FLASHBACK part 6
Hai, update satu lagi sebelum bobok, hahaha ... semoga suka, ya~
--
"Lo terlihat menyedihkan, untuk ukuran lelaki yang katanya sedang kasmaran," ujar Eriko begitu menemui Arkan di Bliss, bar eksklusif milik Arkan yang terletak di lantai teratas Grand Amarilys Hotel-Jakarta.
Arkan mengekeh, mengangkat gelas berisi racikan alkohol campuran dan mendentingkannya ke botol anggur yang dibawa temannya itu. "Tante Dian memang paling bersemangat menyebarkan berita bagus."
Eriko duduk di hadapan Arkan, lebih dulu mengangkat tangan hingga teman-teman yang lain segera bergabung. "Kami berniat mengabaikannya ketika beritanya simpang-siur, tapi begitu seorang Diana Halim yang bicara, jelas sesuatu."
Reon mengulurkan tiga gelas goblet sembari duduk. "Light Lily Rahardian, serius, Ar?"
"Yap, ibuku menyukainya," jawab Arkan sambil menenggak minumannya.
"Graciel adalah teman Helen dan dia sekarang sedang sangat merana," ujar Juan yang kemudian menuang anggur ke masing-masing gelas. "Kau langsung membuangnya setelah dapat Light Lily ini?"
"Serius? Graciel secantik itu, Man ..." tanya Eriko dengan nada terkejut.
"Papa tahu soal kebiasaan main-mainku dan ... ya begitulah, enggak ada main-main selama hubunganku dan Lily resmi dipublikasikan."
Tiga teman di sekitarnya saling pandang sebelum kemudian menertawakan dengan heboh. Arkan mencoba tidak tersinggung atau kesal. Teman-temannya ini asal muasal dirinya punya hobi bersenang-senang dengan perempuan cantik yang menarik, mereka pun begitu dan sudah jelas sikapnya yang kini terpaksa menarik diri dari lingkup permainan itu, jadi bahan tertawaan.
"Ar," panggil Juan lalu berdecak. "Ck, jangan kayak cupu yang enggak pinter! Lo bisa ngandelin kita-kita buat nutupin kalau—"
"Enggak perlu kalian tutupi, kalau gue mau bertingkah pasti bisa mengurus privasi itu sendiri," tegas Arkan lalu menggeleng. "Kalau bokap gue udah angkat bicara dan ngomong empat mata, dia serius. Gue enggak bisa mengabaikan itu."
"Jadi, lo juga serius sama ini cewek?" Reon geleng-geleng tidak percaya.
"Apa boleh buat," sebut Arkan lantas menatap Eriko yang sibuk minum. "Rik, lo amanin ya, kalau ada berita enggak penting ..."
"Selama event entertainment hotel lo dan liputan pembangunan distrik bisnis internasional itu eksklusif punya chanel gue sisanya bisa kita atur."
Juan berdecak-decak. "Event entertainment termasuk pertunangan lo, Ar."
"Enggak yakin," ujar Arkan lalu mengambil botol anggur dari Eriko dan menuang ke gelasnya. "Reynand Rahardian ternyata orangnya sulit."
"Anak ceweknya emang gampangan?" tanya Reon penasaran.
Arkan menyeringai karena pertanyaan itu. Ia mengingat sikap defensif calon tunangannya itu dan mengangguk-angguk. "She's not bad."
Eriko mengeluarkan kotak rokok dan mengambil satu. "Ada beberapa issue enggak bagus tentangnya, Tante Dian aja nanya aku, hubunganmu bakal sampai kapan?"
"Enggak mungkin sampai pelaminan beneran, lah! Gila, rugi besar," cetus Reon sambil menatap Arkan. "Lo jelas cuma mau main-main aja, iya 'kan?"
Arkan menikmati anggur di gelasnya lalu balas menatap setiap pasang mata yang menantikan jawabannya. "Mau main-main atau serius ... itukan urusanku," katanya lambat-lambat seraya kembali menyeringai.
"Brengsek emang!" umpat Juan dan geleng kepala. "Mau lo nakalin pasti, bangsat!"
"Mustahil emang Arkan nurut-nurut aja, pasti lumayan si Lily ini!" selidik Reon.
Eriko mendecih. "Enggak mungkin juga enggak dipakai kalau mainannya aja dilepas semua."
Arkan seketika tertawa, tidak mau membenarkan atau menyanggah segala tuduhan teman-temannya, karena baginya seperti apa nanti dalam memperlakukan Lily ... itu sepenuhnya demi keuntungan dan kepentingannya sendiri.
***
Light Lily: Mas, Lily berangkat sendiri aja, enggak usah dikirim mobil jemputan ... bisa pakai mobil di rumah, ada sopir juga.
Arkan menerima chat itu tepat sebelum dirinya mengirimkan instruksi pada salah satu sopirnya untuk menjemput. Ia menilik efisiensi dan akhirnya membalas.
Zarkan Hendradi: Ok! Begitu sampai lobi, ikuti petugas yang udah nunggu, nanti diantar ke ruanganku.
Light Lily: Iya.
Arkan menunggu sembari menyelesaikan sisa rapatnya untuk hari ini. Ia membuka botol air mineral, menuang ke gelas sebelum minum dan membaca laporan keuangan terbaru.
"Siang, Pak," sapa Alexi.
Arkan mendongak. "Enggak ada orang lain, Lex."
Alexi tertawa pelan lalu meletakkan map kulit warna kecoklatan. "Ini daftar topik dan kemungkinan pertanyaan terkait hubunganmu dengan Nona Lily."
Arkan mengangguk, menutup file laporan keuangannya dan memeriksa isi map dari Alexi. Ia baru setengah membaca saat mendapati lelaki bule di hadapannya sibuk merakit kamera dslr.
"Buat apa?" tanya Arkan.
"Patricia menelepon, katanya Bu Amaris titip pesan ... minta foto untuk publikasi resmi hubungan kalian berdua."
"Ck! Mama," keluh Arkan.
"Menurutku itu langkah bagus, Ar, menilik Nona Lily juga seorang fotografer ... pasangan biasanya berfoto bersama, atau saling mengambil foto." Alexi kemudian meletakkan kamera yang selesai dirakitnya. "Aku meninggalkannya di sini, oke?"
Arkan mengangguk. "Berapa lama waktu yang kupunya bersama Lily sebelum harus berangkat ke Bali?"
"Tiga jam maksimal," kata Alexi.
"Oke," sebut Arkan lalu fokus kembali pada laporan yang ada di meja kerjanya.
***
Lily diminta menunggu di sebuah ruang duduk privat dan selama lima belas menit yang hening, dirinya nyaris tidak sanggup berkata-kata mengagumi koleksi lukisan di ruangan tersebut.
Ia tidak terlalu paham desain interior, namun jelas tatanan furnitur berikut kelengkapan hiasan ruang duduk ini sangatlah mewah dan berkelas.
Lily tidak tahan untuk beralih dari duduknya saat menyadari ada kamera dslr di meja sudut ruangan. Ia segera melangkah dan memeriksa, tidak ada foto-foto atau identifikasi kepemilikan kamera.
"Punya Mas Arkan?" tanya Lily pada keheningan dan hampir terperanjat saat kemudian pintu ganda ruangan terbuka.
"Oh! Astaga, kamu pasti gadis itu," ucap seorang perempuan cantik yang tiba-tiba antusias membuka pintu lebih lebar. "Mas Langit, sini, beneran pacarnya Arkan diumpetin di sini."
"Serius?" tanya suara berat dan sosok yang kemudian menyusul masuk, sempat membuat Lily agak waspada.
"H ... halo," sapa Lily sambil beranjak membawa kameranya.
"Halo, Lily, ya? Aku Alka Fabian dan ini suamiku, Mas Langit ..." sapa Alka dengan ramah.
Lily segera mengangguk dan mengulurkan tangan untuk bersalaman. "Hallo, Kak, Mas ... saya Lily."
Langit mengangguk. "Nungguin Arkan, ya? Hahaha dia lagi ngasuh."
"Ng... ngasuh?" ulang Lily.
"Kami dadakan ke sini, memang berharap menemukan sesuatu yang seru ... udah kuduga dia pasti mau berduaan diam-diam!" ujar Alka dan tampak begitu gembira saat beralih duduk. "Mas, bilangin kalau Yang Mulia enggak buruan ke sini, pacarnya kita angkut ke Jogja."
Langit tertawa lalu beranjak keluar ruangan, meninggalkan dua perempuan yang saling pandang, mengamati.
"Ng, anu, Yang Mulia itu maksudnya Mas Arkan?"
Alka mengangguk. "Soalnya selalu bossy dan kemauannya yang paling dituruti, udah gitu paling repot sedunia kalau lagi kemana-mana. Anyway ... Mas Arkan? Wow, kalian udah sedekat itu?"
"Eh, ng ... kami—"
"Satu tas baru sekarang udah enggak mempan ya, Al, buat bikin kamu berhenti iseng," keluh Arkan yang memasuki ruangan dengan gelengan kepala.
Lily justru salah fokus dengan bayi di lekukan lengan Arkan. Bayi lelaki yang tampan dengan sepasang mata biru dan tampak nyaman menyandarkan pipi montoknya ke bahu Arkan.
"Kak Ken enggak mau kirim beritanya jadi aku penasaran," ucap Alka dan mengerlingkan mata jenaka. "Ciyyeee, Mas Arkan ..."
"For you to know ... pertama kali ketemu, aku dipanggil Pak!"
"Bukan Om?" tanya Langit yang menyusul masuk.
Lily menahan senyum, terpaku pada interaksi tiga orang dewasa yang kemudian saling meledek. Arkan terlihat santai, ditambah bayi di lengannya juga tampak tenang.
"Hallo ..." ucap Lily, menggoyangkan tali kameranya dan menarik perhatian si bayi.
"Ng ... ng ... au!"
"Eh, Kayden, mau kenalan, ya?" ucap Alka, mengambil alih bayinya dan bergeser mendekat pada Lily. "Hallo, Tante ... ini Kayden."
Lily tersenyum, menjabat tangan mungil yang diulurkan ke arahnya. "Hallo, Kayden ... ini Tante Lily."
"Iwyi!"
"Iya, Lily," ucap Lily dan serta merta mengamankan kameranya ke samping ketika Kayden beringsut dan minta dipangku.
"Wahhh ... mau dipangku Tante Lily," ucap Alka senang dan tersenyum lebih lebar. "Biasanya pilih-pilih dia ini, ya ampun ... Lily suka anak kecil, ya?"
"Iya, Kak, beberapa kali bantu Mama juga kalau ada charity," kata Lily lalu tersenyum menahan tubuh montok Kayden.
Arkan sempat terpaku mendapati keponakannya bisa duduk nyaman di pangkuan Lily, karena benar seperti apa yang Alka ungkap, Kayden bayi yang pemilih. Jika bukan keluarga, biasanya tidak mau menempeli.
"Kali ini enggak ada komplain atau komentar," ucap Langit lalu mengedipkan mata pada Arkan.
"Ck! Kalian udah lihat yang perlu dilihat ... saatnya pulang! Waktuku sama Lily jadi kebuang banyak juga!"
"Mulai, mulai!" sebut Alka.
"Yang Mulia telah bertitah kita harus pergi," ujar Langit dengan sikap siap yang justru menimbulkan efek lucu.
"Enggak lucu!" protes Arkan dan beranjak untuk mengambil alih Kayden. "Anak ganteng, kalau mau dibeliin helicopter ... ajak Papa sama Mama pulang, ya? Ya, ya?"
Lily terkesiap bukan karena Arkan menawarkan helicopter pada bayi yang digendongnya, namun ekspresi lelaki itu tampak ceria dan bahagia, terutama saat mendekatkan wajah, mencium pipi montok bayi secara berulang.
"Lain kali kita ketemu lagi, pasukan sepupunya lebih banyak ya, Ly ..." ujar Alka yang kembali menyalami Lily.
"Eh, iya, Kak ..."
"Sabar-sabarin ya, Ly, kalau Yang Mulia banyak maunya," ujar Langit.
Lily mengangguk, hendak ikut beranjak namun Arkan sudah memberi gelengan. Itu membuatnya tertahan di tempat sementara Arkan berlalu pergi.
Entah dorongan apa yang kemudian membuat Lily nekat beranjak, membawa kameranya. Ia begitu saja menyalakannya, membuka tutup lensa dan mengatur arah bidikan.
Arkan benar-benar terlihat berbeda, bukan hanya begitu santai, namun wajah tampan itu juga menunjukkan keceriaan. Ekspresi bahagia yang tulus.
Lily baru akan beralih mode pengambilan gambar saat tiba-tiba seorang petugas menghadangnya.
"Selamat siang, maaf dilarang mengambil gambar tanpa izin, ya!"
"O... oh, saya enggak bermaksud begitu, tetapi—"
"Maaf, tidak ada alasan!" Petugas juga langsung merebut kamera di tangan Lily. "Mohon ikut ke ruang keamanan untuk pemeriksaan."
"Maaf, Pak, saya—"
"Nona Lily!" suara Alexi terdengar dan lelaki itu segera mendekat. "Tolong, Pak, lepaskan, Nona ini adalah tamu pribadi Pak Arkan."
Keterangan itu membuat petugas seketika sigap mengambil jarak, meski jelas memberi tatapan tidak percaya.
"Ada apa ini?" tanya Arkan, bergegas kembali usai mengantar keluarga sepupunya pergi.
"Maaf, saya salah sangka karena sejak tadi Nona ini berjalan sembari terus mengambil foto Bapak," ujar petugas lalu menyerahkan kamera di tangannya.
Arkan menerima kamera itu, memeriksa hasil foto dan sempat terpaku selama beberapa detik. Ia mengembalikan kamera itu pada Lily, "Kembali ke ruang duduk dan tunggu dengan tenang di sana."
"Iya, m ... maaf, Mas, kalau aku—"
"Setelan baruku," kata Arkan pada Alexi yang mengangguk dan langsung mengarahkan ke lift.
Lily terdiam memegangi kameranya karena langsung ditinggal pergi begitu saja. Sikap dingin yang kembali terasa, seolah menegaskan bahwa Arkan tidak peduli terhadap permintaan maafnya.
***
Saat kembali menemui Lily, Arkan juga tidak banyak berbasa-basi, langsung menyerahkan berkas yang sudah disusun oleh timnya.
Draft wawancara IB.net, MBC bersama Ibu Diana Halim.
"Ini ... apa?" tanya Lily.
"IB.net adalah chanel bisnis milik temanku lalu MBC adalah singkatan dari 'My Business Care' salah satu program talkshow tentang bisnis di chanel tersebut. Kita akan melakukan wawancara perdana lusa," kata Arkan membuat Lily sangat gugup membayangkan dirinya akan dilihat ratusan pasang mata.
"Ta... tapi Lily—"
"Talkshow itu berlangsung selama tiga puluh menit, pada dua puluh menit pertama aku akan membicarakan perkembangan salah satu proyek properti di Lombok dan sepuluh menit terakhir adalah tentang kita. Dalam berkas itu ada daftar pertanyaan dan jawaban, pastikan kamu menghafalnya," sela Arkan dan Lily mengamati beberapa pertanyaan dan jawaban di sana.
"Kenapa di pertanyaan terakhir, tidak ada jawabannya?" tanya Lily
"Kamu harus membuatnya sendiri, dan pastikan itu tampak meyakinkan," kata Arkan.
Lily menunduk menatap pertanyaan terakhir itu, 'Apa yang membuat anda yakin pada Pak Zarkan Hendradi?'
"Kamu harus mengambil fotoku untuk scene pertanyaan foto favorit itu."
"Eh foto?" Lily buru-buru membalik setiap lembar berkasnya dan mencermati bagian yang Arkan maksud.
"Itu wajar, sebagai pasangan dan kamu seorang fotografer, bukan hal aneh jika kamu sering memotretku. Kamera itu disiapkan bukan sekadar untuk pajangan atau mengambil fotoku diam-diam."
"Oh!" Lily segera meraih kameranya lagi dan mengakui dengan kesungguhan. "Maaf kalau Lily buat Mas Arkan enggak nyaman, tapi tadi beneran spontanitas aja, ambil foto dan—"
"Apa aku memang terlihat sesenang itu, saat bersama para sepupuku?"
Lily terdiam karena pertanyaan itu agak aneh dan saat Arkan memandangnya, ia segera berujar, "Ng, oh, itu wajar bukan? Seseorang cenderung lebih rileks dan senang ketika berkumpul keluarya."
"Rileks," ulang Arkan lalu menggeleng. "Kita tidak bisa menggunakan foto dengan nuansa yang semacam itu, aku harus terlihat fokus, siap, dan serius."
"Kenapa?"
"Karena itu penting untuk personal brandingku," sebut Arkan lantas merapikan kelepak jasnya. "Kamu sebaiknya mengambil fotoku saat sedang bekerja saja."
"O ... oh, baik."
Lily kembali menyalakan kamera, mengatur mode pengambilan foto sementara Arkan beralih membaca laporan yang Alexi bawakan.
"Why you didn't take any picture?" tanya Arkan setelah mendapati Lily masih diam saja.
"Ini masih proses pengamatan, Lily suka foto alami, karena itu silakan lanjut saja bekerjanya ..." kata Lily dan tetap di tempat sementara Arkan akhirnya memilih beranjak, memeriksa maket di sudut ruangan dan didampingi Alexi dalam merespon beberapa laporan langsung.
Lily mulai mengambil foto saat Arkan semakin tenggelam dalam kesibukan komunikasi dan tampak serius dalam membahas setiap revisi, atau perbaikan kualitas pelayanan hotel.
Lily sudah meletakkan kameranya kala Arkan meminta Alexi memproses hal-hal yang disampaikannya dan mengatur agenda lanjutan.
"Let me see it," pinta Arkan yang memilih duduk di samping Lily.
Lily segera menunjukan hasil fotonya. Ia cukup puas melihat ragam ekspresi serius dan tatap mata Arkan yang nyaris selalu tajam, penuh intuisi.
"Good," puji Arkan dan kembali terdiam saat melihat slide fotonya yang tampak gembira menggendong Kayden.
"Lily suka foto itu," ujar Lily.
Arkan mengabaikannya dan menyerahkan kamera. "Kirimkan foto-foto ini padaku setelah diproses."
"Oke," kata Lily, hendak beralih namun lengannya justru ditahan oleh Arkan. "K ... kenapa?"
"Pasangan mengambil foto bersama," ucap Arkan lalu menarik Lily merapat dan mengeluarkan ponsel, membuka fitur kamera depan yang jernih. "Kurang mesra."
"Y-ya?" tanya Lily dan hampir memekik saat tubuhnya beralih ke pangkuan pria di sampingnya. "Ini, astaga ... maaf, tapi posisinya terlalu—"
"Kita bahkan berciuman di depan umum, ini bukan apa-apa!" kata Arkan lalu memandang ke kamera, tersenyum karena dari angle ini mereka sama-sama terlihat menawan. "Look at me ..."
Lily segera menatap Arkan dan hanya bertahan selama beberapa detik karena malu. Jarak mereka begitu dekat.
"Lakukan sesi ini dengan baik, kita harus membuat orang-orang percaya pada hubungan ini ... demi memudahkan segalanya, antara keluargaku dan keluargamu ... antara kamu dan kakekmu juga."
Lily tahu itu. "H... harus gimana?"
"Letakkan tanganmu di bahuku, rileks ... lalu nose to nose, with soft smile," pinta Arkan, ada gunanya sering berpacaran dengan model. Ia jadi memahami beberapa proses pengambilan foto.
Lily mengikuti perintahnya dengan baik. Ia memastikan area pengambilan gambar sudah pas lalu mengambil foto.
"Pegang rahangku lalu cium pipi."
Jantung Lily nyaris merosot ke perut saat permintaan itu diucapkan. Namun, ia berusaha menurutinya dengan baik, mencium pipi Arkan yang wangi maskulin.
Arkan sengaja menoleh saat Lily hendak mengambil jarak, sebelah tangannya juga menahan belakang kepala sehingga Lily kemudian hanya pasrah ganti dicium olehnya.
Gadis di pangkuannya ini tidak wangi menggoda seperti kebanyakan perempuan yang Arkan kenal, wanginya terlalu lembut, bunga dan buah ceri. Sialnya, itu justru dua kali lipat tidak tertahankan bagi Arkan.
"M ... Mas," panggil Lily saat bibir Arkan bergerak mengecupi dagu lalu beralih ke lehernya.
"Too sweet and you make me wild," bisik Arkan sebelum perlahan menjauhkan wajah, memperhatikan gadis cantik yang pipinya semakin merona.
Tatapan polos dan lugu milik Lily terasa menyesatkan bagi Arkan, mendengungkan alarm berbahaya. Gadis ini jelas tidak tersentuh sebelumnya, murni bagai kelopak mawar putih yang kuncupnya siap terkembang.
"M ... Mas, udah?" tanya Lily dengan gugup.
"Look at the camera," pinta Arkan, memastikan pikirannya jernih. Ia tidak boleh kalah dari hawa nafsu yang memang perlu dikekangnya untuk sementara.
Lily menurut, memandang kamera dan sedikit terkejut saat layar kamera menunjukkan perubahan sikap Arkan. Lelaki itu kembali mencondongkan tubuh untuk mengecup pipinya.
"Smile, Light Lily," bisik Arkan dan Lily segera tersenyum saat bibir lembut beraroma kopi menyentuh pipinya.
Lily bertahan selama beberapa detik hingga potret kemesraan berhasil didapatkan. Ia jelas melihat kebahagiaan palsu dalam kamera ponsel Arkan itu. Seperti saat mereka kemudian berdua berangkulan dan mendongak, tersenyum lebar di kamera, senyum itu palsu. Tatapan penuh cinta itu juga tidak nyata.
"Oke, cukup! Kamu bisa lanjut makan siang sendiri," ucap Arkan setelah memeriksa beberapa foto yang diambilnya, semuanya bagus dan menampilkan potret kemesraan yang dia butuhkan.
"Mas Arkan enggak makan siang bareng Lily?"
"Aku harus bekerja," kata Arkan lalu menyimpan ponselnya dan beranjak berdiri. "Hubungi aku jika ada hal yang perlu kamu tanyakan."
"Oke," ujar Lily, mendapati Arkan langsung meninggalkan tempat, bahkan tidak menolehnya ketika melewati ambang pintu. Seolah setiap pose kemesraan yang tadi tertangkap kamera benar-benar sikap profesionalitas yang tidak melibatkan emosi atau perasaan apa pun.
[]
📸
Lily, run ... Ly~
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top