FLASHBACK part 3
Selamat sore,
hehe dari kemarin lumayan banyak yang nanya, kak kenapa enggak langsung publish semua, tanpa revisi juga enggak apa-apa
ng, jawabannya karena aku butuh distraksi juga dari runyam dan capeknya copy-paste works yang lain, selain itu biar enggak spam dan kalian tetap punya bacaan yang terasa 'berbeda'
Anyway, ini per babnya tuh panjang-panjang ya, lima ribuan, jadi harus direvisi sih biar enggak bosan / males scroll 🤣
.
Oke, selamat membaca~
--
"Yang barusan itu beneran tunangan lo? Sombong banget kayaknya, Zarkan Hendradi," kata Sara begitu Lily ditinggalkan sendiri dan dapat dihampiri untuk bicara.
Pikiran Lily masih sedikit kacau akibat kecupan singkat dari pria yang namanya baru saja disebutkan oleh Sara itu.
"Bukan kayaknya lagi, emang sombong. Boro-boro jabat tangan, basa-basi dikit juga enggak," timpal Dinia sambil memperhatikan rekaman video yang baru mereka selesaikan.
Sara berdecak sebal. "Makan malam sama lo, basa-basi gitu nggak Ly?"
Tidak adanya tanggapan membuat Sara menoleh pada Lily yang bengong dengan dua jari menyentuh sudut bibir. Kening Sara berkerut, Dinia yang ikut memperhatikan akhirnya menyenggol sedikit lengan temannya itu.
"Ly, wooyy... kenapa sih? Bengong," tegur Dinia.
"Eh... Eh, apa? Gimana?" Lily langsung kebingungan, bahkan nyaris gelagapan menanggapi.
"Kita lagi ngegosipin tunangan lo, dia sombong juga enggak sama lo? Makan malam kalian gimana, elo bengong sambil pegang-pegang bibir, tadi dapet ciuman emang?" tanya Sara kepo dan pipi Lily yang merona seolah memberi jawaban pasti.
"Hah?? Beneran ciuman lo??" seru Dinia yang lebih dulu menyadari arti rona merah di pipi Lily.
"Buset, laki-laki emang nggak ada bedanya. Main sosor aja!" kata Sara, tidak habis pikir.
"Husshh, mungkin buat Mas Arkan cuma sebatas salam aja, dia sekolah dan besar di luar negeri ... jadi pasti enggak maksud cium yang arahnya romance, lebih ke salam gitu, kayaknya," ujar Lily dan memutuskan segera merapikan kamera ke dalam tas.
"Mas Arkan? Udah Mas, Mas aja nih!" cetus Dinia dengan nada menggoda.
"Dia jauh lebih tua, Din. Nggak nyaman juga panggil nama langsung."
"Kalau mau panggilan sayang, tuh kayak gue ke Narya ... honey sweety," pamer Sara dengan riang gembira.
"Narya lo panggil Honey kalau lagi baik, kalau lagi kejam lo panggil dia Hanoman!" seru Dinia dan Lily tertawa mengingat keunikan panggilan sayang antara atasan dengan temannya itu
"Kayak lo nggak panggil Gibran pake hinaan aja waktu kalian marahan," decih Sara.
"Gibran kalau lagi baik gue panggil Gibby, kalau kejam gue panggil Om. Itu bukan hinaan," ralat Dinia sambil tertawa.
"Hinaan buat lo, karena lo cewe panggilannya si Om Gibby, hahaha," ledek Sara, membuat Lily langsung terkikik.
"Hush! Sar inget masih ada adek Lily nih. Belum cukup umur dia." Dinia seperti mengingatkan, Sara langsung membuat tanda peace dengan kedua jarinya.
"Adek Lily besok tutup kuping ya, kalau gue sama Dinia lagi ngobrol beginian!"
"Hahaha, udah yuk, balik hotel. Kalian harus edit video kan? Aku mau pindah foto juga, ada beberapa yang mau aku kirim buat Pak Narya nih. Minta koreksi," kata Lily dan membantu merapikan brosur sekalian perlengkapan video di tas Dinia.
"Eh! Besok kita ke Borobudur jam berapa?" tanya Dinia.
"Dini hari banget, soalnya Lily mau motret sunrise-nya," kata Sara ikut membantu Dinia membawakan beberapa barang.
"Sebenarnya Ketep Pass lebih bagus untuk lihat sunrise tapi kabutnya tebal banget dari jalanan nanjak itu. Lebih aman ke Borobudurnya langsung." Lily sudah mencari tahu perihal kondisi tersebut.
"Tempat apaan tuh? Ketep pass?"
"Semacam gardu pandang yang langsung ke arah gunung Merapi, kemarin aku dapat selebaran. Banyak tempat-tempat wisata baru di Yogyakarta yang diperbarui gitu, salah satunya Ketep Pass."
"Wah, perlu dilihat-lihat tuh selebarannya. Yuk, pulang hotel. Selama masih sempat, kita coba utak-atik lagi tempat-tempat yang mau kita kunjungi," kata Sara antusias.
"Seharian besok pokoknya harus dapat banyak tempat, kalau perlu kita abisin nih icon wisata terkenalnya Yogyakarta!" Dinia tak kalah semangat.
"Yogyakarta dan sekitarnya Din, Borobudur itu udah masuknya Magelang, Jawa Tengah," koreksi Lily membuat dua temannya itu menarik alis.
"Oh baru tau, berarti nanti editing opening kita Sar. Kan malu kalau travellers buta wilayah," kata Dinia yang ditanggapi dengan acungan jempol oleh temannya itu.
Tidak lama, ketiganya keluar dari area candi, tidak sibuk mencari atau menghubungi taxi, mereka bertiga memilih berjalan ke arah halte bus. Sara tanpa ada rasa canggung bertanya-tanya nomor bus dan rute menuju halte terdekat dengan hotel. Dinia kemudian membayar tiket dan menunggu dengan santai.
Tiga perempuan beda usia itu tampak terbiasa, saling bicara dan tertawa membahas beberapa tempat yang dilewati oleh bus yang mereka tumpangi.
***
Arkan sudah siap dengan tas kerja saat pintu kamarnya diketuk, bukan tiga ketukan seperti yang biasanya dilakukan Mr. Kim, ini ketukan tidak sabaran yang membuat Arkan menaikkan sebelah alisnya. Tidak ada yang berani melakukan itu, kecuali seseorang yang sangat dikenal Arkan. Betul saja, begitu pintu kamarnya dibuka, Amaris Fabian tersenyum lembut sambil menenteng sebuah koper kecil.
"Biarkan suitenya dibersihkan dulu sebelum dipakai, Ma," kata Arkan membuat Amaris seketika merengut.
"Kenapa kamu nginap disini? Kenapa nggak di rumah?" tanya Amaris sebelum memasuki suite melewati putranya.
Arkan menghela nafas sebelum menutup pintu. "Cuma sehari disini, lagipula ada banyak pekerjaan, kalau di rumah nanti merepotkan Tante Greta."
Amaris menyipitkan mata, alasan klasik sang putra. "Alasan, trus gimana soal Lily, ceritakan pertemuan kalian."
Malas! Batin Arkan dan hanya menjawab seperlunya, "Aku udah minta Mr. Kim sampaikan kalau Lily bisa ketemu Mama saat makan malam."
"Mama belum buka e-mail dari Patricia ck! Ya sudah, kamu sekarang temani Mama pulang, ya."
Arkan seketika menggeleng. "Aku mau ke Jakarta. Ada beberapa hal yang har—"
"Kamu nggak dengar apa yang Mama bilang?" Amaris bersedekap dan menegaskan, "Kamu temani Mama pulang."
"Ma, agendaku penuh! Meeting penting yang enggak bisa begitu aja dicancel. Papa masih sampai lusa juga di Bangkok."
"Ck! Lagian kenapa minta Papa gantikan kamu ke Thailand?"
"Mama yang seenaknya ubah agendaku demi makan malam sama si Lily, lagipula ada event penting di hotel hari ini. Seluruh anggota tim utama Real Madrid FC mulai hari ini nginap di hotel kita, rangkaian asia tour pre-season mereka." Arkan menjelaskan sambil bersedekap. "Aku harus hadir saat media meliput acara—"
"Kamu sama Papa nggak ada bedanya, manager-manager yang kita rekrut bukan orang sembarangan. Mereka tau apa yang harus mereka lakukan, kalian terlalu perfeksionis!" komentar Amaris, jelas sebal saat berlalu membuka lemari es untuk mengambil sebotol juice.
Arkan tidak ambil pusing dan balas mengingatkan sang ibu,"Kita hidup dimana kesempurnaan seharusnya dikejar, Mama."
"Kalau kamu nggak mau temani Mama pulang, kamu harus ikut Mama saat ketemu Lily."
"Hah? Aku udah ketemu dan mak—"
"Kemarin nggak ada Mama! Entah gimana juga kalian berkenalan." Amaris cukup curiga karena sang putra tidak terlihat antusias sama sekali. "Arkan, pilih pokoknya, temani Mama pulang atau ikut makan malam!"
"Fine, makan malam." Arkan memastikan dasi dan jasnya terpasang sempurna baru menoleh sang ibu. "Sekarang aku harus bekerja."
"Wait! Kamu nggak sarapan dulu?"
"Nggak sempat dan malas juga."
"Jangan lupa telepon Calista, dia bilang kangen kamu." Amaris mengingatkan saat putranya itu membungkuk untuk memeluknya sejenak.
"Aku enggak akan telepon Calista, nilai ujian Managementnya B. Dia seharusnya bisa dapat A," kata Arkan sebelum beranjak mengambil tasnya dan keluar dari ruangan.
Amaris Fabian hanya bisa menghela napas lelah sebelum akhirnya ikut menyusul keluar. Melihat putranya langsung sibuk menerima beberapa map sembari berjalan menuju lift.
Asisten sang putra terlihat sama sibuknya menginformasikan beberapa agenda yang harus dilakukan oleh Arkan. Saat berbalik, Arkan melambaikan tangan pada Amaris.
"Hati-hati, jangan lupa soal makan malam sama Lily," kata Amaris membalas lambaian tangan putranya. Raut Arkan tampak merengut sebelum mengangguk dan pintu lift yang tertutup akhirnya menghalangi pandangan.
***
Grand Amarilys Hotel, Jakarta.
"You know, I miss you too, Babe," ujar Arkan melalui sambungan telepon dan memastikan rengekan manja lawan bicaranya mulai tenang. "I'll see you on the next weekend, okay? ... right, be nice girl ... bye bye."
Arkan menurunkan ponsel dan menatap lurus ke depan pada asistennya yang seketika menoleh. "I'm on vacation leave for next weekend."
"Baik, Pak," ujar Mr. Kim lalu memastikan. "Perlukah saya siapkan bunga untuk Miss Anneli—"
"Aku dan Ann sudah putus, ini tadi Graciel, gadis baru dan dia lebih suka hadiah yang bisa diuangkan."
"Ah, baik."
Arkan mengangguk, menyimpan ponsel dan memeriksa kembali laporan melalui laptopnya. Sekitar dua menit lagi mereka akan tiba di Grand Amarilys Hotel.
"Pak ..." ujar sopir dengan nada cemas.
Mr. Kim juga terkesiap dengan banyaknya kerumunan yang nyaris memenuhi area depan hotel. Ia sigap memeriksa ke komputer tabletnya, menahan decakan karena ada update berita yang cukup menggemparkan.
Arkan menyadari mobil melambat dan memperhatikan situasi. "Kenapa banyak mobil media di halaman? Ada masalah soal—"
"Maaf, saya harus menginstruksikan pengamanan. Kita akan berhenti di basement dan langsung memasuki lift khusus menuju suite," kata Mr. Kim yang membuat Arkan terkesiap.
"Apa yang terjadi?" tanya Arkan, membuat asisten pribadinya itu langsung mengulurkan komputer tablet.
"Crazy!" sebut Arkan saat menatap halaman berita.
Kemanalagi.com - CEO MH-Corps mesra dengan wanita misterius. Sudah putus dari Ann Jeane?
Secondtime.com - Zarkan Hendradi, CEO MH-Corps berkencan di Gedung Pertunjukan. Indikasi putus dari artis senior Ann Jeane semakin nyata!
Ada delapan judul lain yang tidak kalah ributnya membicarakan topik tersebut. Dalam hati, Arkan menyesali sikap spontannya mengikuti Lily kemarin. Fotonya menggandeng dan mengecup Lily terpajang di beberapa artikel tersebut. Sialan!
"Mereka belum mengidentifikasi wajah Lily, sebelum lebih jauh tolong kendalikan ini," pinta Arkan seraya membereskan laptopnya.
"Sudah saya instruksikan!" kata Mr. Kim.
"Kabarkan perkembangannya, jangan biarkan mereka mendapatkan identitas Lily. Hubungi sekretaris Pak Randy Rahardian tentang ini. Aku akan menghubungi Lily," ujar Arkan mengeluarkan ponselnya. Ia lebih dulu mengabaikan panggilan masuk dari kekasih barunya, juga perempuan simpanannya, fokus mencari kontak yang baru ditambahkan semalam dan menghubunginya.
Butuh waktu sampai telepon itu diangkat. Arkan berdecak karena disambut suara gemeresak tidak jelas.
"Halo, Lily ... halo, dimana kamu?"
"Ha ... Mas ... in—"
"Suara kamu nggak jelas, Lily! Gemeresak banget dan stop talking first! Enggak kedengaran!" Arkan setengah geram karena hanya suara gemuruh dan pembicaraan putus-putus tidak jelas yang didengarnya.
"Lily, dengar aku ... Ly— tuuutttttt!"
Arkan langsung memeriksa ponselnya, melongo saat sadar perempuan itu, Lily Rahardian benar-benar memutus sambungan telepon, secara sepihak tanpa berbicara sepatah kata pun yang bisa disebut komunikasi! Kurang ajar!
Arkan menahan kesal, fokus pada proses pengamanannya lalu begitu memasuki area hotel langsung menuju ruangan meeting. Tiga manajer senior yang mengurusi hotelnya langsung berdiri dan menyapa dan tanpa banyak berbasa-basi, Arkan langsung meminta mereka mempresentasikan rencana pembaruan layanan hotel.
Mr. Kim memastikan agenda penting Arkan terselesaikan dan baru mengarahkannya ke suite pribadi untuk mengurus kegentingan yang termuat di beberapa media.
"KlikMagazine mendapatkan informasi tentang nona Lily dan dari pihak RR-Company membiarkannya tetap release," ujar Teresa, ketua tim penanganan media dari MH-Corps.
"Berita apa yang mereka release?" tanya Arkan membuat wanita yang setahun lebih muda darinya itu mengetikkan sesuatu dan sebuah berita muncul di sudut layar.
Light Lily, pemenang Youth Photography Contest National Geographic jatuh ke pelukan CEO MH-Corps.
Arkan mengerjapkan mata membaca kalimat pembuka tersebut. Lain daripada artikel sebelumnya yang lebih banyak membicarakan Arkan, artikel satu itu lebih banyak membicarakan Lily.
"Mereka mengenal Lily?" tanya Arkan.
"Nona Lily sudah dua kali memenangkan lomba fotografi di NatGeo. Itu adalah pencapaian yang luar biasa untuk seorang photographer muda, kolom pencarian untuk nama Nona Lily juga banyak terhubung dengan hasil-hasil karyanya," kata Teresa dan menunjukkan apa yang dikatakannya.
Arkan memandangi banyak foto-foto disana, beberapa adalah foto berbagai panggung tarian, lainnya adalah foto ragam upacara adat. Foto-foto tersebut menampilkan ekspresi yang cukup jelas dibaca oleh Arkan. Mimik wanita dalam tarian Bali yang begitu tegas, lirikan mata dan gerak tubuhnya yang meliuk abadi dalam potret. Foto lain adalah wanita dengan pakaian suku, setengah telanjang tersenyum memamerkan lima jarinya yang tidak lagi utuh, tatapan wanita itu sangat berbeda dengan senyum yang terukir di wajahnya. Foto yang paling menarik perhatian Arkan adalah foto seorang anak perempuan, mengenakan atribut kesukuan dari bulu dan kulit binatang, wajahnya tercoreng corak arang di bagian pipi dan dahi, hanya saja anak perempuan itu memiliki mata biru yang sangat unik, tatapannya begitu tajam, seolah memaku untuk balas menatapnya.
"Foto-foto ini... Lily yang mengambil?" tanya Arkan seperti memastikan.
"Benar, Nona Lily berbakat."
"Lily tidak menggunakan nama keluarganya? Hanya Light Lily."
"Benar! Sejauh ini mereka hanya mengenal sebagai Light Lily, pemenang youth photography contest."
Arkan berdecak, "Pantas saja mereka membiarkan artikel ini, perkembangan untuk delapan artikel tadi?"
"Kami berhasil menenggelamkan berita itu dengan membantu publikasi agenda pre-season Real Madrid FC dan rencana latih tanding U-18. Foto-foto yang tersebar sudah berhasil kami amankan, karena posisi yang tertangkap tidak cukup bagus, tidak banyak yang bisa mereka identifikasi dari wajah Nona Lily."
"Kerja bagus, pastikan ini tidak berkembang lebih jauh. Berikan jawaban yang tepat pada media yang menelepon, jangan sampai berita ini sampai ke telinga Presdir!" ucap Arkan yang ditanggapi dengan perubahan wajah Teresa menjadi sedikit gugup.
"Tuan Adam Hendradi sudah tau," kata Teresa menyebut nama Ayah Arkan.
"Mamaku?" tanya Arkan was-was.
"Patricia sudah dua kali menghubungi saya," ungkap Mr. Kim, membuat Arkan memejamkan mata sesaat. Ini akan merepotkan.
"Sialan! Media memang mengerikan. Kalian tau apa yang harus dilakukan, aku akan bersiap untuk agenda terakhir," kata Arkan sebelum berdiri dan beranjak keluar ruangan, yang terpenting adalah menyelesaikan pekerjaannya hari ini.
***
Berbeda dari Sara dan Dinia yang sudah kelelahan berburu video dan foto seharian, Lily masih sangat bersemangat. Tempat terakhir yang mereka kunjungi adalah candi boko, Lily berhasil mengabadikan sunset di salah satu situs purbakala cantik itu. Sunset pertama yang Lily abadikan di Kota Istimewa.
"Jadi nggak sabar pengen cepet-cepet cetak foto dan kasih lihat ke Pak Narya!" kata Lily antusias.
"Narya bangga banget sama lo, Ly. Foto-foto yang lo ambil itu bagus-bagus banget, percaya sama gue deh," kata Sara yang bersandar sambil menstabillo brosur perjalanan yang mereka ambil.
Kegiatan Sara setelah mereka mengunjungi suatu tempat adalah menandai informasi-informasi penting dari brosur perjalanan yang mereka kumpulkan. Dengan stabillo berwarna hijau, perempuan yang paling tua diantara mereka itu menandai informasi untuk dimuat dalam blog. Informasi yang nantinya akan dikembangkan dengan pengalaman pribadi Sara dan Dinia saat mengunjungi tempat tersebut.
"Banyak lho viewers blog kita yang suka nanyain foto-foto kita siapa yang ambil, semuanya karena foto-foto lo itu bagus, Ly," kata Dinia sambil membuka tas ranselnya karena terdengar bunyi telepon.
"Tapi kalian nggak bilang kan kalau itu foto-foto aku?" tanya Lily.
"Nggak, tapi kita berharap sih mereka notice aja sama icon bunga Lily yang kita pakai di bawah foto lo," kikik Sara lalu memperhatikan Dinia yang bertelepon dengan raut serius. Perempuan yang hari ini mengepang rambut hitamnya itu buru-buru meraih laptop setelah menutup telepon.
"Kenapa, Din?" tanya Lily bingung.
"You're in trouble" kata Dinia membuat Sara yang tadinya santai-santai bersandar langsung menegakkan tubuh. Lily yang duduk di kursi belakang langsung memajukan badan untuk melihat laptop.
KlikMagazine - Light Lily, pemenang Youth Photography Contest National Geographic jatuh ke pelukan CEO MH-Corps.
"Gibran nelepon gue, Heritage rame setelah ketahuan itu elo, Ly!" kata Dinia membuat Lily yang masih mematung jadi sedikit kebingungan. Dengan wajah pucat, Lily mengulurkan tangan gemetarnya.
"Sar, pinjam... ponsel. Sorry, aku harus telepon," ujar Lily dan Sara bergegas meraih ponselnya. Masih dengan tangan gemetar, Lily menekan barisan angka yang sudah dihafalnya luar kepala.
"Papa, ini Lily" kata Lily saat telepon itu diangkat.
"Astaga, Lily! Ponsel kamu nggak bisa dihubungi Ly, dan Meilani tidak tau kamu pergi kemana. Tadi pagi kamu cuma balas e-mail Papa dengan mengatakan kamu akan berjalan-jalan dan seharian tidak ada kabar!" Suara Reynand Rahardian diliputi frustasi dan sedikit kejengkelan.
"Maaf, Pa. Lily pergi sebelum kak Mei bangun, ponsel Lily ga dapat signal sampai akhirnya mati sendiri juga."
"Papa dapat laporan dari Daniel, kami akan pulang. Kamu dimana Ly? Biar Meilani koordinasikan jemputan untuk kamu!"
"Lily di mobil, masih perjalanan mau makan malam sama Ibunya Mas Arkan."
"Lily, ya ampun ... kamu bilang sama Papa kalau kita akan membicarakan ini dulu. Astaga, kakek pasti paksa-paksa! Kamu pulang pokoknya, lupakan makan malam dan sebagainya"
"Tapi, Kakek sudah—"
"Dengarkan Papa, Ly. Kamu enggak hidup untuk kakek dan kamu bebas menentukan—"
"Lily sudah janji sama Kakek, Pa dan mungkin memang ini yang terbaik."
Suara Reynand memelan, "Hal terbaik adalah hal yang diputuskan bersama sebagai keluarga, tunggu Papa dan Mama pulang. Dan ingat apa yang tadi Papa bilang, kamu nggak perlu pergi makan malam atau apa pun itu. Kamu harus pulang dan membiarkan Meilani mengamankan kamu sampai situasinya terkendali. Kembalikan ponselnya pada teman kamu, ya."
"Oke, Pa." Lily menghela napas, menunggu sambungan telepon terputus lalu mengembalikan ponsel itu pada Sara. Kedua teman Lily itu langsung menepuk-nepuk pundak Lily. Seolah mengerti terhadap apa yang dihadapi Lily.
Tidak sampai dua puluh menit, mobil mereka sampai di halaman depan hotel yang hampir dua dekade dimiliki keluarga Lily itu. Meilani yang mengenali Sara dan Dinia langsung mendekat ke arah mobil, merasa lega saat Lily turun dari mobil menenteng tas kamera dan ransel yang pastinya berisi perlengkapan memotret gadis itu.
"Nona Lily," panggil Meilani.
"Lily nggak papa Kak Mei, Papa sudah telepon dan—"
"Pak Zarkan Hendradi dan ibunya ada di restoran, sudah hampir satu jam menunggu," Meilani menyela dan Lily langsung bergegas, setengah berlari memasuki hotel dan langsung menuju sayap bagian timur hotel yang berbatasan dengan bangunan restoran.
***
Arkan menilai standart pelayanan dan hidangan yang disajikan restaurant dari hotel yang dimiliki keluarga Rahardian. Dari range 1 sampai 10, Arkan memberikan angka 7. Makanan yang dihidangkan sangat standar, masakan sederhana tidak beragam seperti di restoran milik Arkan. Pelayanannya cukup bagus, terutama ketika mereka mengetahui alasan bahwa area ini harus dikosongkan untuk menjaga privasi. Tirai-tirai diturunkan dan para pegawai sangat kooperatif saat diminta mengumpulkan ponsel berkamera.
Manager bernama Meilani bahkan aktif berkoordinasi, memastikan kebutuhan Arkan dan Mamanya terpenuhi. Mengingat sang Mama, Arkan menoleh menatap Amaris Fabian yang menyelesaikan santapan pudingnya.
"Puding caramelnya enak, Royal Java di Amarilys kalah untuk yang satu ini," kata Amaris penuh penilaian.
"Nggak ada yang bisa mengalahkan jaringan Grand Amarilys, Ma," kata Arkan sambil menatap jam tangannya. Hampir satu jam berlalu, sosok yang ditunggunya belum juga datang.
"Kamu nggak sabaran ya, nunggu Lily?" selidik Amaris.
"Ini bukan masalah sabar dan nggak sabar, sudah hampir satu jam sia-sia hanya untuk menunggui perempuan yang entah dimana. Apa sih maksudnya Om Reynand? Pindah sekeluarga ke Dubai dan meninggalkan Lily sendirian di sini. Kenapa nggak ada yang mengatur Lily untuk bertindak seperti perempuan yang seharusnya, apa gunanya memotret sampai seharian begini?"
"Mama sudah bilang, Lily itu tipe perempuan yang menikmati hidupnya. Lagipula bagus-bagus foto yang dia ambil. Bu Meira selalu sharing ke Mama soal foto-foto Lily, kamu harus lihat betapa bernyawa foto yang diambilnya."
Mengabaikan cerita sang Ibu, Arkan berdecak saat melihat sosok yang memasuki ruangan restoran. "Dia nggak mandi dan berdandan dengan pantas? Ck!"
Perempuan yang Arkan tunggu, masih menenteng sebuah kamera dan ransel. Ikatan rambut panjangnya sedikit terurai karena kesibukan, masih polos tanpa make up, setelan kemeja flannel berwarna hijau gradasi hitam, jeans abu-abu dan sneakers dekil. Pemandangan dari perempuan yang langsung membuat Arkan enggan menyapa.
"Lily, apa kabar? Masih ingat Tante, Nak?" Amaris Fabian langsung berdiri dan membiarkan Lily mencium tangannya. Arkan mengangkat alisnya saat sang Mama beralih memeluk Lily tanpa canggung.
"Tante Amaris, maaf ya... kak Mei bilang sudah hampir satu jam menunggu," kata Lily saat mengurai pelukannya
"Oh nggak papa kok, lagipula kamu memang punya agenda tidak terbatas. Duduk, Ly," kata Amaris dan Lily menarik pelan kursi untuk duduk, tepat di hadapan Arkan.
"Maaf, Mas... waktu tadi pagi telepon, Lily nggak dapat signal dan ponsel Lily mati keti—"
"Kamu itu nggak perpikir untuk membersihkan diri sebelum bergabung bersama kami?" sela Arkan membuat sang ibu langsung sigap menyenggol kakinya.
"Arkan!" Amaris mengingatkan
"Kalau Lily mandi dan bebersih, nanti nunggu lebih lama." Lily tidak tampak tersinggung dengan sikap Arkan, malahan tidak gentar sama sekali dengan tatapan mencela yang nyata-nyata dilemparkan calon tunangannya itu
"Setidaknya kamu harus merapikan diri, jadi nggak mood untuk lanjut makan." Arkan meletakkan sendoknya dan melap bibir dengan serbet.
"Kasihan sama koki yang sudah masak. Lagipula, Mas nggak malu sama Ibu Amaris? Hal sekecil ini aja, buat Mas Arkan mengambek!" omel Lily dan belum sempat Arkan bereaksi, gadis itu melanjutkan kalimatnya, "Lily permisi sebentar ya, Tante," katanya sambil berdiri dan membungkuk sopan kala beranjak keluar ruangan restoran. Meninggalkan Arkan yang melongo karena kejadian yang barusaja terjadi.
Amaris tidak bisa menahan tawanya. Setelah berulang kali bertemu dengan wanita yang langsung takluk di kaki sang putra, menemukan Lily yang sanggup memancing sisi emosi Arkan membuat Amaris tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya. Light Lily Rahardian adalah sosok yang benar-benar bisa membuat Arkan mati kutu.
"Hebat banget, Lily membuat anak Mama ini bisa melongo dalam dua pertemuan!"
"Hebat darimana? Mama lihat sendiri kelakuannya? Dia mau bertemu dengan orang lain, boro-boro mandi dan mempersiapkan diri. Dia datang masih kucel dan dekil, nggak habis pikir!" decak Arkan lalu meminta pelayan membereskan piring dan mejanya.
"Dia memikirkan kita yang sudah lama menunggu."
"Dia seharusnya memikirkan penampilannya, seseorang seperti dia seharusnya selalu tampil sempurna dalam setiap kesempatan. Nggak terbayangkan dia harus jadi nyonya rumah acara formal atau peresmian, opening party, gala dinner, astaga!"
"Dia bisa kok kalau harus bersikap anggun, dia punya tata krama. Kamu saja yang nggak sabar dan mencela dia terus-terusan!"
"Arkan nggak suka lihat perempuan serampangan. Dia seharusnya bisa bersikap lebih layak, apalagi kemarin sudah banyak yang Arkan sampaikan, masih aja nggak dengar!"
"Taruhan sama Mama, kamu akan terpukau kalau dia berdandan dan berlaku seperti perempuan yang layak. Mama tau banyak tentang Lily, sudah sering melihatnya sama Bu Meira. Dia cantik Arkan, dia juga perempuan yang sangat baik ... lagi pula apa yang dia lakukan sejak tadi hanya menjadi dirinya sendiri, dan itu bukan kesalahan."
"Well, kalau aku nggak terpukau, Mama harus membatalkan acara pertunangan tak berguna ini!"
"Kalau kamu terpukau, Mama akan pulang duluan dan kamu harus menjelaskan dengan baik maksud kedatangan kita. Kamu juga harus berusaha mendapatkan kepercayaan Lily bahwa kalian layak bertunangan. Teguran Pak Reynand tadi cukup jelas arahnya dan Mama nggak mau kehilangan Lily!"
"Fine, perempuan serampangan nggak akan berubah bagaimanapun dia berusaha," ucap Arkan sambil mengeluarkan ponselnya, memeriksa beberapa laporan yang masuk dan membalasnya. Pelayan menuangkan wine untuk mengisi gelas Arkan yang kosong. Hanya setengah gelas dan Arkan meraihnya untuk menyesap cita rasa anggur terbaik dari Prancis tersebut.
"Maaf karena bikin nunggu lagi," ucap suara tenang dan lembut milik Lily.
Gelas yang sedang diangkat Arkan nyaris terlepas saat melihat Lily memasuki ruangan restaurant. Penampilan gadis dekil dan serampangan tadi seolah hilang tak berbekas, berganti dengan gadis manis bergaun malam sederhana. Gaun berpotongan A-line sepanjang lutut, warna abu-abu gelap dengan hiasan renda bunga daisy kecil di sekitar leher. Rambut gelung sederhana yang ditahan dengan jepit perak berukir. Make-up tipis yang menegaskan warna merah muda bibir Lily dan rona samar di pipi tirus gadis itu. Sepatu balet satin berwarna abu-abu menemani langkah gadis itu mendekati meja.
"Mama baiknya pamit dari sekarang ya." Suara Amaris Fabian langsung menyentakkan kesadaran Arkan. Seakan tidak percaya, Arkan menoleh pada sang Mama yang tersenyum penuh kemenangan.
"Maaf, Tante kalau nunggu Lily lama banget," ucap Lily, perlahan duduk kembali di kursinya.
"Nggak kok Ly, sepadan sama apa yang ditunggu," jawab Amaris masih tersenyum lebar.
"Oh iya, Lily lupa nggak minta maaf karena acara makan malamnya—"
"Ah santai aja, nanti juga kita lebih sering makan malamnya. Tante cuma mau lihat kamu, khawatir sebenarnya karena mendadak kamu diberitakan. Pasti kaget ya? Papa kamu langsung tegur Arkan, haha maaf sekali ya." Amaris menyela dan Lily mengangguk.
"Selama nama keluarga Lily nggak tersangkut paut, diberitakan seperti apapun buat Lily nggak masalah. Maaf, kalau Papa sampai tegur Mas Arkan," kata Lily membuat Arkan menatap penuh perhitungan pada perempuan di hadapannya itu
"Kenapa kamu minta maaf?" tanya Arkan heran.
"Bukan salahnya Mas Arkan kalau media buat berita, pasti itu bukan kemauan Mas Arkan juga diberitakan seperti itu. Besok pagi saat Papa pulang, Lily akan jelaskan."
"Kamu mau menjelaskan kenapa aku mencium kamu di depan gedung Ramayana Ballet? Kepada Om Reynand?" tanya Arkan yang langsung menegaskan rona merah di pipi Lily.
"O... Oh itu cuma salam—"
"Salam bibir?" cibir Arkan.
"Ehh, sudah-sudah, kalian toh akan berdiskusi untuk hal ini, Arkan kamu harus berlaku baik. Bicarakan pada Lily hal-hal yang harus dia ketahui, katakan juga tentang tim penanganan media dan bagaimana harus menghadapi media jika suatu saat kencan kalian berikutnya ketahuan," kata Amaris lantas berdiri dari duduknya.
"Tante Amaris sudah mau pulang?" Lily reflek ikut berdiri.
"Iya, rumah keluarga Tante di Yogyakarta dan kangen mau pulang. Arkan yang temani kamu, kalian santai aja ya... Kalau Arkan berlaku nggak baik sama kamu, bilang ke Tante ya."
"Tante, Lily antar ke—"
"Nggak usah, bisa kok sendirian. Sampai ketemu lagi ya, Ly." Amaris memeluk Lily sebentar sebelum beranjak keluar restoran.
Lily memandang wanita anggun itu sampai hilang dibalik pintu, beralih ke tempat duduknya untuk memandang Arkan yang terlihat mengerutkan kening padanya. Lily jadi menunduk memandang diri sendiri, seolah mencari apa yang sedang diperhatikan Arkan.
"Perhiasan!" kata Arkan membuat Lily bingung.
"Apa?"
"Kamu nggak pakai perhiasan, kalung, gelang, cincin," kata Arkan dan Lily mengangguk.
"Nggak suka, yang penting Lily pakai gaun dan sudah berdandan," kata Lily sebelum meraih gelas jus jeruk yang diantarkan kepadanya.
"Kemana kamu seharian?"
"Memotret."
"Kemana itu menyebutkan tempat."
Lily berusaha sabar menanggapi, "Banyak, ada di Candi Borobudur, Candi Mendut, Kalibiru, Pegunungan Menoreh, lava tour Merapi, Candi Prambanan, dan terakhir Candi Ratu Boko."
Arkan memberi tahu, "Rumah keluargaku di areal pegunungan menoreh, Fabian Mansion."
"Ah! Rumah besar yang tadi disebutkan driver, rumah itu benar-benar bagus, menguasai areal hunian terluas di pegunungan Menoreh. Mas Arkan nanti pulang kesana juga?"
"Aku tinggal di hotel."
"Kenapa?"
"Berada di lingkungan keluarga bisa membuatku terlalu santai. Rutinitasku sedang padat dan tidak ada waktu untuk itu, lagipula jaringan hotel kami juga sudah menjadi rumahku selama ini."
"Rumah adalah tempat keluarga berkumpul," sebut Lily membuat Arkan menarik sebelah alisnya.
"Keluargamu di Dubai, kau tidak berkumpul dengan mereka."
"Lily nggak—"
"Ups, aku lupa... kamu memang bukan anak kandung Om Reynand," sela Arkan membuat Lily langsung merasa dihempaskan pada ingatan dengan dominasi kesepian yang semasa kecil ditanggungnya dengan kebingungan.
"Lily nggak disana karena Lily menyukai apa yang ada di Indonesia," kata Lily mencoba menjelaskan alasan dirinya tinggal terpisah dari keluarga.
Arkan menghela napas sebelum mengetukkan jarinya ke meja. "Aku seharusnya membaca data dirimu dengan baik, calon tunanganku ternyata talent yang diperhitungkan di dunia potret memotret."
"Lily menyukai pekerjaan itu."
"Meskipun aku tidak mengerti kenapa foto seorang gadis pedalaman bermata biru bisa memenangkan kompetisi internasional."
Lily mengerjapkan mata, "Itu adalah satu-satunya potret suku lingon yang bisa didapatkan."
"Suku Lingon?"
"Ya, sebuah suku yang sangat misterius di Halmahera Timur. Sebelum Heritage, belum pernah ada yang mempublikasikan satupun dari mereka. Timku termasuk yang sangat beruntung bisa mendapatkan satu potret berharga itu."
"Halmahera? Maluku? Kau... kesana? Menyusuri pedalaman untuk sebuah potret?"
"Ada banyak suku di sana, salah satunya yang paling misterius adalah suku Lingon. Lain dari suku lain yang kebanyakan memiliki ras weddoid, melansia, polinesia atau mongoloid. Suku Lingon punya ras kaukasoid yang sangat rupawan. Mereka bermata biru atau hijau, dengan rambut kecoklatan atau pirang. Gadis itu tidak sengaja terpotret saat Lily sedang mengambil air. Dia terlihat penasaran dengan apa yang timku kerjakan, satu sisi dia juga ketakutan, dari rasa ketakutan itulah muncul raut tegas dengan tatapan tajamnya berharap Lily mengerti maksud yang coba dia katakan. Dia meminta kami pergi."
Arkan mencoba memahami situasi itu. "Well, bangsa Portugis memang menjelajah Indonesia Timur."
"Benar, banyak dugaan bahwa ada salah satu kapal Portugis yang nyaris karam di Halmahera. Penghuni kapal itulah yang berkemungkinan besar menyumbangkan ras kaukasoid pada suku Lingon."
"Kau tadi menyebutkan Heritage? Majalah fotografi yang memberitakanmu juga menyebut Heritage, itu studio foto milikmu?"
"Bukan, itu milik Pak Narya dan Pak Gibran. Pak Narya adalah mentorku, beliau pemenang beberapa penghargaan internasional sebelumnya. Beliau menangani banyak iklan dan program pariwisata di Negara kita. Visit Indonesia adalah buah pekerjaan Pak Narya."
"Naryandra Hamzah, dia pernah menggunakan GA-Lombok untuk acara pameran."
"Itu adalah pameran kami dua tahun yang lalu, Mas Arkan masih ingat?"
"Saat itu dia meminta banyak hal untuk disiapkan, kami juga mendapatkan banyak tamu karena acara pameran itu. Kau sudah bergabung bersamanya?"
"Lily nggak ikut, tapi satu foto Lily ada di pameran itu. Fotonya langsung terjual sejak hari pertama, tanpa melewati proses lelang."
"Foto yang mana?"
"Foto deretan Tongkonan dari Tana Toraja, foto pertama Lily yang diikutsertakan dalam pameran Pak Narya. Itu adalah kali pertama Lily ikut kru Heritage memotret keluar Jawa dan tugas pertama Lily memotret rumah adat. Karena membelakangi sebuah bukit, pemandangan sore hari di Toraja itu luar biasa. Bayang-bayang panjang Tongkonan seperti pantulan megahnya rumah adat itu sendiri," kata Lily, membuat Arkan terkenang sebuah memori dirinya yang mengelilingi gallery foto dan terpaku pada sebuah potret deretan rumah adat dengan bayang-bayang matahari yang menciptakan ilusi kemegahan.
"Banua Toraya," kata Arkan, Lily mendongak dengan tatapan penasaran.
"Mas Arkan tau foto Lily? Banua Toraya adalah judul foto yang Lily ambil, artinya Rumah Toraja. Banua adalah rumah dalam bahasa masyarakat setempat."
"Kami yang membeli potret itu, memasangnya di president suite GA-Makassar."
"Beneran?" Sepasang mata Lily seketika berbinar. "Wah terima kasih, semoga dipasang di tempat yang tidak langsung terpapar matahari. Lain kali, Lily akan ke hotel itu untuk menengok fotonya."
Arkan memandang perempuan yang antusias tersenyum kepadanya itu. Biasanya, Arkan menguasai seluruh pembicaraan dengan teman-temannya. Orang lain yang tertarik ke dalam dunia Arkan. Tapi, bersama Lily, seolah Arkan yang tertarik masuk ke dalam dunia gadis itu. Dunia Lily yang tampak begitu hidup, tepat seperti apa yang dikatakan oleh Mama Arkan tadi. Dalam penampilan yang bahkan sangat mendekati perempuan-perempuan yang ada di dunia Arkan, Lily tetap menjadi dirinya sendiri.
"Om Reynand, tidak melarangmu? Pergi ke daerah yang begitu jauh, seorang perempuan."
"Papa tidak sempat melarang, hahaha. Papa sudah di Dubai sejak aku mulai kuliah. Ada keuntungan dan kekurangan karena berjauhan dari keluarga. Kru Heritage bukan hanya aku yang perempuan, kadang pendamping perjalanan kami juga seorang perempuan."
"Kenapa kau begitu menyukai dunia fotografi?"
"Fotografi adalah salah satu cara menghentikan waktu, menciptakan sebuah keabadian."
Jawaban yang justru membuat Arkan semakin penasaran. "Kenapa potret kebudayaan? Kenapa bukan manusia, selebriti banyak yang membutuhkan fotografer pribadi dan bayarannya menggiurkan."
"Mama dulu penari Ramayana Ballet, pemeran utama. Bunyi gamelan, gesekan kain selendang, kerincing gelang kaki, siluet ramping Mama dalam pakaian adat, riasan cantiknya, semua itu menjadi pemandangan terindah dalam masa kecil Lily. Semua hal yang berhubungan dengan itu seakan mengobati rasa kangen Lily pada masa kecil yang sederhana. Lily suka memotret kebudayaan, Lily suka melihat tarian, suka melihat wanita-wanita berpakaian adat, karena semua itu mengobati dan seakan-akan mengembalikan Lily pada masa lalu."
"Kamu menyesali pernikahan kedua orangtuamu?"
"Sama sekali tidak. Mama masih menari, Mama menari untuk Papa. Keduanya saling mencintai, mendukung, selalu memastikan aku dan Romeo mendapatkan apa yang kami inginkan."
"Kamu menangis saat melihat Ramayana Ballet."
"Aku punya Mama lain yang juga menari, panggung temaram mengingatkan aku kepadanya. Tentang ingatanku yang sama temaramnya soal dia," kata Lily memandang vas bening berisi bunga mawar dan hyndrangea palsu yang terpajang di tengah meja
"Myesa Sudierja, nama ibu kandungmu?" tanya Arkan dan Lily mengangguk.
"Tidak ada yang pernah menyebutkan namanya sejelas itu sebelumnya" kata Lily.
"Kakekmu mengharamkan nama itu disebut dan demi menghormatinya, kalangan kami sangat menjaga lidah untuk skandal memalukan itu. Tapi bukan berarti mereka tidak membicarakannya di belakang kakekmu. Circle sosialita yang akan kau masuki bisa lebih mengerikan dari kakekmu. Saat statusmu ketahuan, bisa begitu saja jadi sasaran kebencian tak tersampaikan. Itulah sebab Kakekmu membutuhkan backing dariku, mengamankan citra pribadimu yang cacat."
Lily sejenak menahan napas. "Sebenarnya Lily tidak tertarik untuk memasuki—"
"Anggap saja Kakekmu sedang membalas jasa atas kenangan terhadap Ayah kandungmu. Alfa Rahardian semasa hidupnya menjadi cahaya kehidupan untuk nenekmu. Lagipula, kau tidak mungkin bersembunyi selamanya. Romeo akan dewasa dan menanyakan tentangmu saat menyadari keganjilan dalam status keluarganya."
"Kakek memang paling sayang pada Romeo."
"Dan orangtuamu justru paling sayang padamu. Aku biasanya butuh beberapa menit sampai disambungkan pada Papamu. Tadi siang, beliau sendiri yang menghubungiku. Ibumu juga menegurku karena menciummu di tempat umum. Kau bahkan membuat mereka pulang lebih cepat."
"Mama tau... tentang ciuman itu?"
"Ya, dan maafkan aku, itu ciuman pertamamu. Tidak seharusnya Aku merenggutnya dengan cara yang tidak layak seperti kemarin," kata Arkan dan kembali mendapatkan rona merah di pipi Lily.
"Ehm aku bukan perempuan sentimental, jangan dipikirkan." Lily mencoba mengulas senyum tapi kikuk karena merasa malu.
"Om Rey mungkin akan menentang pertunangan kita. Tapi seperti kamu tau, betapa pentingnya pertunangan ini. Kakekmu dan Papaku sama-sama mengharapkan kita berdua. Kuharap kamu mengerti bahwa ini tidak bisa dihentikan," kata Arkan serius dan ditanggapi anggukan samar oleh Lily.
"Kakek juga berkata seperti itu," ujar Lily dan sadar bahwa dirinya tidak dapat melawan. "Papa pasti akan mengerti begitu aku meyakinkannya."
"Menjadi tunanganku memang tidak mudah tapi seseorang akan selalu ada untuk menjagamu. Kau juga harus menjaga penampilan, minimal seperti sekarang saat bersamaku. Yang lebih penting, jangan melibatkan diri dengan pria lain. Bersikap ceroboh tidak menguntungkan dan ada citra diri yang perlu sama-sama kita jaga."
"Kalau, Mas Arkan? punya perempuan lain?"
"Ada beberapa tapi kupastikan mereka enggak akan mengganggu. Aku paham cara menempatkan diri, karena itu tidak akan membuat situasinya memburuk. Aturan hubungan kita juga sederhana, lakukan apa yang kuminta dan aku akan mencoba sebaik mungkin melindungimu, melindungi kakekmu dan nama keluargamu."
"Tentang pemberitaan media, kata Tante Amaris tadi—"
"Karena JehwaIBD adalah mega proyek Bisnis Distrik pertama, orang-orang yang terlibat di dalamnya akan tersorot. Banyak wawancara seputar itu dan bukan tidak mungkin akan sesekali menanyakan hal pribadi. tim penanganan media sedang membuatkan daftarnya, kamu bisa menghafalnya untuk berjaga-jaga."
"Daftar?"
"Ya, daftar pertanyaan dan jawaban. Mereka akan sangat penasaran kenapa kita jatuh cinta dan semacamnya. Dan jawaban kita harus sempurna satu sama lain."
"Ah begitu."
"Selama kamu melakukan itu, semuanya akan terjaga. Kurasa itu yang harus kusampaikan, aku sudah terlambat untuk memeriksa pekerjaanku."
"Masih bekerja?"
"Aku suka bekerja sama sepertimu suka memotret. Aku harus pergi," kata Arkan berdiri, dengan gerakan tangannya menahan Lily yang akan ikut beranjak.
"Nggak boleh diantar?" tanya Lily
"Bukan, tapi hal ini berbahaya dilakukan di luar," jawab Arkan sambil mendekat pada Lily
"Hal apa?" tanya Lily dan tubuhnya seakan membeku ketika Arkan menunduk, mengulurkan tangannya untuk menangkup wajah Lily.
"Hal yang selayaknya kulakukan untuk ciuman pertama seorang gadis, tutup matamu," pinta Arkan dan menyihir Lily hingga menurut untuk menutup matanya.
Bibir hangat beraroma anggur terasa mengecup Lily, kecupan yang menggoda Lily untuk membuka mulutnya dan membiarkan lidah hangat membelit lidahnya sejenak, sebelum sentuhan bibir yang lebih lembut mengakhiri ciuman itu. Arkan menjauhkan kepalanya dan menatap wajah merona dengan mata yang samar membuka milik Lily.
"Good night, Light Lily," kata Arkan, sejenak menyeringai sebelum beranjak meninggalkan Lily yang lagi-lagi belum sepenuhnya sadar terhadap apa yang terjadi. Ciuman yang diberikan pria itu seolah mematikan seluruh saraf dan menggagalkan respon penuh kewaspadaan yang dimiliki Lily.
[]
NB: This story is just fiction, if there are similarities places, names and stories are just a fluke and there is no element of intent.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top