Fall apart plans

anyway ...


Selamat hari ini kita resmi punya presiden baru, yeaayyy semoga para pemimpin bangsa ini senantiasa takut pada Tuhan dan sungguh bekerja keras mengupayakan yang terbaik dalam menyejahterakan, mengamankan, menjaga, sekaligus menyayangi seluruh rakyat Indonesia tercinta ... Aamiin.

.

3.150 kata untuk bab ini
semoga kalian suka yay

Jangan lupa vote & komentarnya,
terima kasih banyak

🐊

--

Brak!!!

Brak!!! Brak!!!

Calista yang sedang membuat susu di dapur seketika terkesiap mendengar suara benturan keras itu. Bi Marni yang mencuci buah juga segera meninggalkan area wastafel, memeriksa ke pintu depan.

"Non Cally," panggilnya dengan gugup.

Calista berjalan mendekat, memegangi lengan pengurus rumah tersebut dan waspada memperhatikan pintu depan yang selama ini tertutup rapat, jelas ada upaya percobaan dibuka dari luar.

"B ... bukan Mas Arkan?" tanya Calista gugup.

"Non, mau masuk kamar aja apa?" usul Bi Marni.

Calista menggeleng, menunggu hingga suara berisik di luar lebih reda dan baru memeriksa ke lubang intip. Sepasang matanya menajam karena di luar sana para penjaga jelas kewalahan menghadapi kakak sepupunya.

"Kai sama Kak Ken," sebut Calista dengan napas tertahan. Empat orang penjaga itu sudah terkapar lalu sekarang Kenzo Fabian mengeluarkan laptop, jelas maksudnya, hendak mencoba membobol lapis keamanan pintu masuk. Rangkaian kode dan sidik jari Arkan harus diakali.

"Benar itu Mas Kenzo?" tanya Bi Marni untuk memastikan.

"Iya, Bi! Kita bisa keluar dari sini," ucap Calista antusias dan beralih kembali ke sisi pengurus rumah. "Bi, ayo beresin barangku, sebentar lagi Kak Ken pasti bisa—"

"Non Cally yakin? Mau keluar dari sini?" tanya Bi Marni cepat lalu menunduk pada perut buncit yang jelas terlihat dan tidak mungkin ditutupi. "Non Cally beneran mau berterus terang tentang ini?"

Calista seketika terdiam, ekspresi antusiasnya menghilang dan ganti rona kegugupan yang membuatnya beralih duduk, mengelusi perut. "M ... Mas Arkan ada di mana? Kenapa Kai sama Kak Ken bisa di sini?"

"Sepertinya Non Lily berhasil meminta bantuan, entah bagaimana," kata Bi Marni lalu ikut duduk untuk merangkul dan mengelus bahu Calista. "Saya juga enggak tahu situasinya di luar berkembang seperti apa, tetapi yang jelas di sini ada pilihan yang harus segera Non Cally buat."

"A ... aku butuh Mas Arkan, gimana nanti kalau—"

"Mas Arkan enggak bisa selamanya terus mengamankan Non Cally dan selama ini juga, enggak sekali dua kali kalian berdebat, saling berseberangan dengan keadaan di sini."

Calista sadar itu dan merenung, ada dilema yang dirasakannya dan terkadang meski sikap sang kakak cenderung otoriter namun Calista memang merasa aman.

"Non Cally?"

"A ... aku malu, Bi. Ini pasti jadi ..." ucapan Calista tidak selesai karena air matanya mulai menetes dan dirinya begitu saja terisak.

"Ini pasti mengejutkan mereka, mengecewakan mereka, membuat mereka sedih dan tidak menyangka. Namun, soal malu itu pasti ditanggung bersama-sama sebagai keluarga," ujar Bi Marni lalu mengusapi lelehan air mata Calista. "Jadi ibu itu memang banyak sekali belajarnya, Non Cally, enggak begitu saja semua beres, lancar sesuai angan-angan. Ada kalanya memang perlu menghadapi rasa malu, rasa takut, bahkan rasa sakit juga."

Tangis Calista semakin membanjir, gadis itu mendekap perutnya dan kemudian mengangguk. "Iya, aku mau keluar dari sini, Bi ... aku mau sama anakku dan sama-sama keluarga yang lain juga. Aku kangen mereka."

Bi Marni mengangguk, sejenak memeluk Calista lalu usai memastikan ketenangan, mereka lebih dulu menunggu hingga pintu depan yang selama ini mengurung mereka benar-benar terbuka.

"Sialan Arkan, nemu aja rangka dan pintu lapis baja begini. Edan!" sebut Kai dengan agak emosi dan terengah.

Ken menyangga laptopnya dengan sebelah tangan. "Dia memang selalu kerja pakai otak, Kai," katanya lalu melangkah memasuki ruang depan apartemen.

Kai menyusul kakaknya, mengulas senyum lebar saat mendapati Calista bersama Bi Marni tampak sehat. "Oh, syukurlah kalian berdua sehat ..."

"Iya, kami baik-baik aja, Mas Kai," ujar Bi Marni yang lebih dulu berdiri untuk mengangguk.

"Lily dan Arkan diamankan langsung sama Om dan Tante, ada Om Reynand juga."

"Papa sama Mama di sini?" tanya Calista

"Iya, gila beneran Arkan kayaknya sama Lily ... entah apa juga motivasinya sampai ikut mengurung kalian di sini," ucap Kai lalu menoleh karena sang kakak terpaku di belakangnya. "Kak Ken, kenapa diam aja di situ?"

"Calista ... kamu ... " sebut Ken pelan dan nyaris bingung melanjutkan ucapan.

Kai kembali memperhatikan ke arah adik sepupu paling kecil di keluarganya itu. "Weh, baru sadar Cally ternyata gemu ...kan ..."

Suara Kai menghilang seiring Calista perlahan dibantu bangun dari duduk oleh Bi Marni. Gadis itu mengusap perut buncitnya lantas mengangkat kepala, menatap kakak sepupunya bergantian. "S... sorry aku—"

"Jadi ... ini alasan Arkan mengurung kalian di sini?" tanya Ken dengan suara pelan.

Calista mengangguk. "M ... Mas Arkan enggak sepenuhnya salah. Aku yang memang merepotkannya dengan kehamilan diluar pernikahan ini. I am so sorry."

Kai langsung beralih memegangi dinding terdekat, wajahnya syok dan seketika memucat. Ia sebisa mungkin mengatur napas yang terasa berat dan sesak. Ada rasa sakit yang lebih melukainya dibanding pukulan para penjaga tadi ... yakni, kesadaran pahit bahwa garis nasib memilukan itu berlanjut dalam keluarganya.

***

"M ... Mas Arkan?" tanya Lily saat hanya mendapati mertuanya yang memasuki mobil.

"Arkan akan tetap di sini, dia perlu merenungkan semua kesalahannya," sebut Adam lalu mengeluarkan sapu tangan untuk membalut area punggung tangannya.

Amaris Fabian yang duduk di sampingnya tampak menahan tangis, membantu sang suami membetulkan balutan singkat itu. Ada sedikit memar dan lecet kecil akibat berusaha sekuat tenaga memberi Arkan pelajaran.

"Aku akan langsung membawa putriku pulang, Adam!" tegas Reynand.

Lily menegakkan tubuh dan menggeleng. "Enggak, kita harus bantu Cally dulu, dia ada di—"

"Kai dan Ken ada bersama kami, Lily. Jangan khawatir, mereka yang ke apartemen jemput Cally dan Bibi," ucap Amaris lalu tersenyum ramah. "Kami akan menjaganya, karena itu kamu bisa ikut Papamu pulang, ya?"

Lily menggeleng, menoleh ke bangunan hotel yang mulai menjauh karena mobil mereka melaju ke jalanan. "E ... enggak, aku harus ketemu Cally dulu, Papa ... dan menunggu Mas Arkan juga."

"Buat apa kamu menunggunya?" tanya Reynand ketus dan jelas tidak peduli lagi dengan keberadaan besan yang satu mobil dengannya.

"Lily enggak bisa pergi begitu saja," kata Lily dan kemudian mengusapi bekas-bekas tangisnya. "Papa tolong, hanya beberapa hari saja, sampai Cally benar-benar aman dan Mas Arkan juga. Lily mau mengakhirinya baik-baik."

Amaris tidak menyembunyikan tangisnya ketika mendengar itu. Sang suami di sampingnya juga hanya terdiam dengan raut sedih dan putus asa. Untuk pertama kalinya, dengan seluruh kekuatan, kekayaan, bahkan kuasa yang mereka miliki ... ada situasi di mana mereka sungguh tidak berdaya dan hanya bisa pasrah.

"Tiga hari," sebut Reynand lalu menegaskan. "Hanya tiga hari dan setelahnya kamu akan ikut Papa tinggal di Dubai."

"Iya," kata Lily dengan anggukan patuh lalu kembali menyandarkan kepala di bahu ayahnya itu.

Reynand Rahardian merangkul putrinya erat. Kali ini, ia tidak akan lalai atau luput dalam menjaganya lagi.

***

Calista bisa melihat ekspresi syok dan kekalutan yang lebih nyata saat akhirnya bertemu dengan orang tuanya. Tubuh Amaris Fabian bahkan gemetar kala memeluknya, lalu untuk pertama kalinya juga Calista mendapati sang ayah begitu emosional, meneteskan air mata hingga seketika itu juga beralih pergi.

"M... maaf  ..." hanya itu yang bisa Calista ucapkan, berulang-ulang di sela tangis penyesalan dan dalam dekapan sang ibu.

Amaris juga menangis, seakan rentetan mimpi buruk menjadi nyata dan mencoba terus menyeretnya dalam kesedihan dan ketakutan teramat sangat. Ia hampir meraung juga, sebagaimana sang putri, namun dikuatkan dan ditabahkan hatinya. Amarislah orang tua yang bagaimana pun punya andil, harus ikut bertanggung jawab dan menanggung situasi pelik ini.

"Maaf, Ma ... maafkan Cally," isak Calista penuh sesal.

Amaris menenangkan dirinya usai setengah jam saling peluk dan berbagi tangis dengan sang putri. Geliat halus yang terasa dari buncit yang menempel ke sisi pinggangnya juga memberi kesadaran pentingnya kembali bersikap tenang.

Amaris perlahan mengurai pelukannya, setelah itu menangkup wajah sang putri, mengusapi lelehan air mata yang membuat sepasang mata putrinya bengkak. "Sudah, sudah ... si bayi bisa makin gelisah, Cally ... Mama enggak akan kemana-mana, ya? Mama akan terus menemani kamu di sini, ya?"

Calista mengangguk. "M  ... Mas Arkan gimana?"

"Sementara Arkan tinggal di hotel saja, karena Lily dan Pak Reynand ikut menginap di sini."

"Mbak Lily di sini?"

"Iya, tapi dia juga butuh ketenangan." Amaris mengusap anakan rambut putrinya. "Kita semua butuh ketenangan, karena itu, perlu saling menahan diri, ya?"

Calista segera mengangguk.

"Kamu ada rasa sakit, Cal? Pusing atau—"

"Papa pasti kecewa dan marah sama aku, ya, Ma?" isak Calista lagi.

Amaris mencoba bijak menjawab, "Marah, kecewa, sedih, bingung, cemas dan kalut juga ... semua campur aduk jadi satu."

"Ma ..."

"Papa dan Mama juga menyesal sekali."

"Ma ... maafin, Cally ..."

Amaris menarik dan mengembuskan napas pelan sebelum mengusap-usap bahu anaknya. "Mama dan Papa akan selalu memaafkan, Cally ... bahkan mungkin tanpa perlu kamu meminta. Tetapi, beberapa hal butuh waktu, Papa pun begitu, baginya ini pasti pukulan yang sangat berat dan menyakitkan. Cally tunggu ya, sampai Papa juga bisa kembali seperti biasanya."

Calista mengangguk. "Aku kangen banget..."

Amaris hampir menangis lagi mendengar ungkapan anaknya itu. Ia kembali memeluk. "Iya, Mama juga kangen sekali ... dan Mama bersyukur kamu baik-baik saja."

***

Lily selesai mandi dan siap beralih ke tempat tidur saat mendengar suara ketukan berulang. Ia meraih mantel pelapis piama tidurnya lalu membuka pintu kamar.

Amaris dan Adam Hendradi terlihat di depan pintu, keduanya jelas melalui hari yang berat, namun tidak berlarut dalam kesedihan dan kini berusaha mencari tahu.

Amaris mengangguk kikuk, "Maaf, Lily, ini sudah larut dan pasti mengganggu sekali, tetapi—"

"Mama mau masuk, bicara di dalam?" tawar Lily cepat.

"Oh, enggak, kita bisa ke ruang kerja," sebut Adam yang beralih membuka pintu di ujung lorong.

Lily mengangguk, membuntuti ayah dan ibu mertuanya itu ke ruang kerja formal yang setiap dindingnya dipenuhi buku-buku tentang luar angkasa dan antariksa.

"Silakan duduk, Ly," ucap Amaris.

Lily duduk di kursi baca yang menghadap sofbed yang ditempati Adam dan Amaris bersama.

"Cally sudah tenang?" tanyanya karena bahkan hingga jam makan malam, suara tangis adik iparnya itu masih terdengar.

"Ya, dia sudah tidur pulas," jawab Amaris lalu sekilas melirik pada sang suami yang kembali terdiam. "Lily, Bibi sudah cerita bagaimana awal mula sampai Arkan memutuskan untuk mengurung Calista ... lalu kami hanya ingin memastikan tentangmu, apakah ada hal atau tindak pidana yang dilakukan—"

"T... tindak pidana?" sebut Lily nyaris syok.

"Ya, bisa dibilang Arkan melalukan penyekapan. Lalu, apakah menurutmu ada sikap atau tindakan Arkan yang begitu menyakitimu, yang melanggar hukum atau mungkin membuatmu perlu mendapatkan keadilan."

Lily segera menggeleng pada ibu mertuanya. Ia tidak berniat sejauh itu dalam membalas Arkan. "Pada mulanya, memang terasa sangat menyakitkan, dibohongi sedemikian rupa, lalu Mas Arkan berupaya melibatkan Lily dalam rencana manipulasi adopsi yang rumit ... namun, semua itu belum lah terjadi."

"Kami menemukan beberapa berkas di ruang kerjanya di apartemen dan tampaknya sebagian sudah mulai diproses, kami juga menemukan rumah sakit yang sudah dibooking private untuk Cally," ucap Adam.

"Iya memang, tetapi itu belum terselesaikan, Pa. Lily rasa enggak ada yang cukup untuk diproses menjadi tindak pidana, kecuali Cally yang mau melakukannya."

Amaris tetap tidak bisa merasa lega. "Lily, kamu bisa jujur terhadap kami berdua, dan kami berjanji akan selalu bersamamu untuk menyelesaikan masalah pelik ini ... kamu yang mengirimkan S.O.S itu."

"Mama, tujuan Lily mengirimkan itu agar keluarga tahu situasi sebenarnya, itu saja. Lily enggak bermaksud untuk melakukan gugatan atau memprosesnya secara hukum."

"Arkan pasti membuatmu sangat ketakutan," sebut Adam dengan raut sedih.

Lily tidak langsung menjawab namun setelah beberapa detik diam, ia memilih jujur, "Iya, awalnya memang menakutkan, tidak sesuai perkiraan atau harapan ... satu sisi, Lily coba mengerti memang situasinya yang tidak mudah dan Mas Arkan sudah terlalu keras kepala untuk bisa diajak berpikir sehat. Oleh karena itu, Lily berusaha minta tolong ke keluarga di Indonesia."

"Jadi, apa sejak awal kamu memang enggak pernah hamil?" tanya Amaris dan sekalian memastikan. "Lalu, semua foto pemeriksaan yang pernah kalian kirimkan itu palsu?"

Lily mengangguk dengan raut sedih. "Iya, sejak awal ... apa yang dulu Mama lihat di suite juga bagian dari rencana Mas Arkan saja."

"Selama dalam penyekapan, apakah kamu diperlakukan tidak baik atau Arkan menyakitimu secara fisik, memukulmu?" tanya Adam karena sang istri kemudian menunduk untuk menyeka tangis.

"Mas Arkan enggak pernah memukul." Lily segera menjawab. "Pada awalnya kami selalu bertengkar, ya itu menyakitkan secara perasaan dan emosi. Tetapi itu memang situasi yang enggak terhindarkan, karena perbedaan pendapat dan efek kebohongannya juga."

Amaris kembali mengangkat kepala. "Bibi bilang Arkan kerap membuat kamu menangis."

"Iya, pada awalnya, saat-saat Lily belum mampu berpikir jernih dan mulai menghadapinya dengan akal yang sehat juga."

Amaris sempat lebih dulu saling pandang dengan sang suami dan baru bertanya. "Lily, maaf tetapi kami perlu menanyakan tentang status pernikahan kalian ... a ... apakah sudah disempurnakan atau ... Arkan juga tetap belum menyentuh kamu?"

Lily hampir bertanya apa maksudnya, namun tatkala memperhatikan ekspresi tegang ayah dan ibu mertuanya yang perlahan jadi kaku hingga saling menundukkan kepala salah tingkah, itu membuatnya seketika sadar apa maksudnya.

"Ya, i ... itu pernikahan yang disempurnakan."

Amaris seketika mengangkat wajahnya. "Apakah Arkan memaksamu?"

Lily menggeleng. "Enggak."

"Lily, tolong jujur pada Mama, Nak ... ini sama penting untuk memperkuat alasan visum juga yang—"

"Visum?" Lily berseru kaget.

Adam mengangguk. "Iya, besok pagi bersamaan dengan Cally juga melakukan pemeriksaan di rumah sakit. Papamu ingin mendapatkan hasil visum pemeriksaanmu juga."

Lily segera menggeleng, nyaris malu. "E ... enggak usah. Lily baik-baik saja dan aman."

"Aman?" ulang Amaris.

"Ma... maksudnya enggak ada yang aneh, eh, maksud Lily selain sakit yang pada umumnya enggak ada sakit-sakit yang lain," jawabnya panik dengan wajah yang mulai memerah.

Amaris segera mengangguk. "O ... oh, begitu, ya, tentu saja, syukurlah."

Adam menoleh istrinya dan bertanya lirih, "Syukurlah?"

"Ssttt sudah, yang penting Lily enggak kenapa-kenapa," kata Amaris lalu mengibaskan tangan dan mencari tahu terkait hal yang lebih penting, "Lalu tentang Cally, Bi Marni bilang dia selama ini bungkam dan sama sekali tidak ada petunjuk tentang siapa ayah bayinya?"

Lily mengangguk. "Mas Arkan juga sangat frustrasi tentang hal itu."

"Padahal sebentar lagi dia melahirkan," sebut Amaris dengan sedih kemudian dua tangannya terangkat menutup wajah.

"Kita juga enggak butuh lelaki brengsek atau bedebah sekadar untuk berbagi peran orang tua dengan Cally," ujar Adam lalu merangkul istrinya. "Sudah, Ma, nanti kita urus saja bayi itu ... biar Cally melanjutkan sekolah dan—"

"Papa," panggi Lily cepat dan menggeleng. "Cally mau mengurus bayinya, Pa ... dan Lily rasa sudah cukup, jangan ada lagi yang mencoba mengklaim anak itu selain sebagai anak dari orang tua sebenarnya."

Adam terdiam lalu istrinya mengangguk, menurunkan kedua tangan seraya menggeser duduk agar bisa menatapnya. "Iya, Pa ... Cally enggak akan bisa dewasa kalau selamanya terus diamankan atau terlalu diprotect begini."

"Sudah diprotect saja, jadinya begini, Ma..." sebut Adam dengan nada penyesalan.

"Bukan salah Papa dan Mama, atau siapa pun," sebut Lily kemudian beralih mendekat dan berlutut di hadapan mertuanya itu. "Cally, bagaimana pun sudah dewasa, punya hal-hal atau keinginan yang kadang enggak bisa dikendalikan selain oleh dirinya sendiri."

"Lily benar, Pa, dan sepertinya Cally pun paham dia sendiri yang harus bertanggung jawab," ungkap Amaris.

Lily mengangguk. "Iya, karena jika Cally merasa disalahi atau dicurangi ... dia pasti akan berkata jujur juga sama Mas Arkan, meminta pembelaan. Cally enggak melakukan itu, dia hanya minta dibantu melanjutkan hidup dengan cara yang lebih baik."

Adam memejamkan matanya sejenak lalu akhirnya mengangguk. Ia mengulurkan tangan dan mengusap kepala menantunya pelan. "Terima kasih ya, Lily, kami berutang banyak sekali padamu."

"Lily hanya mau Cally punya lebih banyak dukungan yang layak dia dapatkan," ujar Lily dan berusaha menjaga suaranya tetap tenang kala menambahkan, "Apa yang terjadi pada Lily, jangan sampai terjadi pada anak Cally."

"Oh, Sayang," ucap Amaris yang kemudian beralih menarik Lily dalam pelukan. "There's nothing wrong with you ... Lily adalah anak yang luar biasa dan baik sekali. Mama sayang sekali sama kamu, Nak."

Lily mengangguk dan membalas ucapan itu. "Iya, Ma, terima kasih," katanya lalu saat menguraikan peluk mengulas senyum tenang. "Terima kasih juga, karena menghadirkan Papa ... Lily sebenarnya sengaja enggak memberi clue atau kode apa pun pada kiriman di Dubai. Tetapi lihat Papa Lily di sini, rasanya lebih tenang juga untuk nanti menjelaskan ke Mama."

Adam mengangguk. "Kali ini enggak akan ada paksaan lagi, Lily dan enggak perlu khawatir soal Arkan. Apa pun keputusan kamu, kami akan mendukung."

"Terima kasih, Pa," ucap Lily tulus dan menurut saat diminta menegakkan tubuh oleh Amaris yang juga berdiri.

"Ini sudah larut dan waktunya beristirahat, maaf karena kami yang enggak bisa menunggu pagi untuk segera mengetahui kebenaran ya, Ly," ucap Amaris seraya menggandeng menantunya itu.

"Lily mengerti, Ma," kata Lily dan menyempatkan bertukar ciuman pipi saat diantar ke kamarnya.

"Istirahat yang nyenyak ya, Sayang," ucap Amaris.

"Iya, Mama dan Papa juga ya." Lily memberi anggukan singkat pada Adam saat beralih memasuki kamar. "Selamat malam ..."

"Malam, Nak," balas Adam lalu menggandeng istrinya beralih menuju kamar mereka di lantai dua. Keduanya berusaha beristirahat meski penuhnya pikiran dan kecemasan berakhir membuat sepasang orang tua itu hanya berbagi tangis dalam hening.

***

Arkan masih terhuyung-huyung kepayahan kala berusaha kabur dari kamarnya sendiri. Penjaga suruhan sang ayah benar-benar tidak memberi ampun, mereka berani bersikap kasar dan bahkan memukulnya juga.

Sialan! Arkan sudah lama tidak berkelahi dengan sungguh-sungguh dan sebagian otaknya masih berusaha mencerna bagaimana bisa seluruh rencananya hancur lebur seperti ini.

Ia meludahkan liur asam akibat bagian dalam pipinya yang tergigit saat menahan pukulan. Arkan tidak peduli meski harus berjalan kaki, ia akan menemukan Lily.

"Wah! Ini dia tampilan terbaik Yang Mulia Zarkan Hendradi."

Suara familiar itu membuat Arkan mendongak, menemukan kakak sepupunya berdiri di samping pos keamanan hotel.

"Penampilan gembel, menyedihkan!" imbuh Kai yang muncul dari belakang Kenzo dan memberi tatapan muram.

Arkan benar-benar sudah tidak punya sisa tenaga. "I don't wanna fight."

"Bukan levelku juga memukuli pecundang tidak tahu diuntung," sebut Kai lalu menghela napas pendek. "Lo mending pulang ke Indonesia, Langit bilang siap menyambut begitu pesawat lo landing."

"Lily di mana?" tanya Arkan.

"Yang jelas enggak ada di apartemen sialan itu," jawab Ken tegas.

"Kak ... aku mohon ... aku—"

"Pak Reynand berencana melakukan visum pada Lily dan sedikit saja terdapat indikasi pemaksaan hingga kekerasan seksual terhadap putrinya ... you're dead," ucap Ken.

Kai mengangguk. "Om Adam dan Tante Amaris enggak bakal membantumu juga, apabila Lily setuju untuk membawa kasus ini ke pengadilan."

Arkan geleng kepala, menolak mempercayai hal itu. "It's impossible."

"We're gonna be on her side too." Kai memberi tahu dan berjalan mendekat, tanpa aba-aba atau peringatan langsung menyarangkan tinju ke perut Arkan. "Beraninya menggunakan situasiku sebagai pembenaran sikap brengsekmu ..." geramnya lalu mendorong tubuh Arkan yang nyaris tidak punya daya untuk membalas itu.

"Kai," larang Kenzo saat adiknya hendak lanjut memukul ke wajah. "Udah!"

Kai mendorong lebih keras hingga Arkan jatuh terduduk dan akhirnya memilih merebahkan tubuh ke bumi yang terasa semakin dingin.

"Awas lo macam-macam setelah ini!" ancam Kai yang kemudian berlalu pergi.

Kenzo menghela napas pendek lalu berlutut ke samping Arkan, memastikan keadaan sepupunya itu, "Are you okay?"

"No," jawab Arkan singkat lalu memegangi perutnya. "Kai serius mukulnya ... it's so damn hurt."

"Dia udah ngamuk duluan begitu tahu ceritanya dari Cally dan Bi Marni ... kamu pantas dipukul sih!" kata Ken lantas mengulurkan tangan, menepuk-nepuk bahu Arkan. Sulit bagi kakak tertua sepertinya untuk tidak bersimpati pada saat seperti ini.

"Masih ada waktu tiga hari, Ar."

"Ya?"

"Lily dan Om Reynand masih akan di sini selama tiga hari ke depan, karena itu ... jangan justru mengacau begini. Pikir baik-baik dan baru mengusahakan maaf dengan benar."

"Mereka di mana?"

"Semua tinggal di rumahnya Ry, dia landing besok pagi untuk memastikan keadaan Bi Marni juga. Sisa malam ini dipakai buat istirahat ... udah cukup semua chaos hari ini."

"I'm not doing that," ucap Arkan lirih, menunggu Kenzo menatapnya dan baru memperjelas. "Aku enggak memaksa istriku atau berlaku jahat secara seksual terhadapnya. I'm not doing that."

Kenzo terdiam beberapa saat lalu mengangguk. "I know ..." jawabnya kemudian  ganti memberi tahu, "Lily menanyakan keadaanmu dan terlihat cukup cemas berusaha memastikan ... aku rasa masih ada harapan untuk kalian, meski enggak bakal mudah."

"Apa dia baik-baik saja? Cally juga?" tanya Arkan.

"Ya, karena itu perbaiki juga dirimu," jawab Ken lalu menatap beberapa penjaga yang mendekat. "Aku sudah meminta Pak Kim datang mengurusmu, besok pagi dia akan langsung bertugas."

"Thanks, Kak Ken," ujar Arkan lalu memejamkan matanya sejenak sebelum pasrah diangkat oleh para penjaga dan dimasukkan lagi dalam kamar hotelnya yang gelap, hening, dan cukup menyiksa.

[]

📸

Kaciaaan Lacoste mulaiy dizikza, pfftt
tapi ingat ini belumlah seberapa
hahahahaha

kudu sampai buchen abiez pokoknya!
😤😤😤

.

Buat yang mungkin merasa bingung kenapa Kai jadi se-syok & selemesh itu pas tahu Cally hamil di luar nikah karena bagi geng Fabian Family, tekdung duluan itu macam 'lingkaran setan', wakakaka setiap generasi ada aja kejadian, sejak Nikolas (bapaknya mereka) terus Kai sendiri juga tekdungin perempuan dan Cally ternyata gitu, makanya emang nyesel dan kesalnya bareng-bareng sekeluarga ini 😅😆

.

Q: Lily sama Arkan enggak cere 'kan?
A: Enggak, tapi yakali dimaafin begitu sadja, tentu tydaaaaaaaaaaackkk!!!

Q: Buruan si cantik dilaunching aja.
A: Si ganteng dulu dong yang launching, eaa~

Initial name: R.M.V 🥰

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top