Black files


Selamat sore, Bestie
Maafkan aku karena semingguan ini
ssoo hectic dan baru sempat update.

.

Pertama-tama,

Kuat-kuat yha Jang Moelia
karena Anda pantas mendapatkan
siksaan inieh, uhuy ~

.

Genap 3.000 kata untuk bab ini
masih fase galau denial bingung, eaa~

Selamat membaca, Bestie
thank you

🐊

--

Amaris Fabian hanya dapat menghela napas panjang, mendongakkan wajahnya seraya mengafirmasi bahwa cobaan dan ujian besar yang menghantam keluarganya ini pasti berlalu. Putra dan putrinya juga pasti mendapatkan pelajaran berharga, sebagai bekal untuk kelak menjadi orang tua yang lebih baik.

"Ma  ... kenapa?" tanya Adam yang baru selesai bertelepon dan mendapati sang istri seolah termenung di ruang tunggu.

Amaris meletakkan ponsel dan mengulurkan tangannya, meminta sang suami segera mendekat. Adam menurut dengan duduk di sisi istrinya itu. Ia merangkul dan mendekap kala tubuh ramping Amaris melekat padanya, lalu wajah cantik itu tertunduk di dadanya.

"Amaris," panggil Adam lembut.

"Lily chat aku, dia pamit ... katanya minta maaf enggak bisa pamitan langsung." Amaris terisak pelan, tidak dapat membendung kesedihan. "Lily juga minta maaf, karena banyak kurangnya sebagai menantu keluarga kita ... padahal enggak enggak ada kurangnya Lily, dia baik sekali."

Adam seketika merasakan kesedihan itu, yang memang tidak terhindarkan apabila menilai sikap tegas Reynand Rahardian. Ia juga sudah berusaha dengan sebaik mungkin agar Arkan diberi kesempatan untuk memperbaiki hubungan. Namun, kini menjadi jelas ... bahwa kesempatan itu benar-benar telah lenyap bersamaan dengan perginya sang menantu.

"Sekarang kita harus bagaimana? Satu anak masih bingung jadi ibu baru ... satu anak lagi, pernikahannya terancam gagal juga," isak Amaris dan hampir tergugu. "Aku enggak becus ya jadi ibu, aku enggak—"

"Amaris ..." sela Adam lalu mengeratkan pelukannya dan menahan tangis agar tidak ikut larut dalam kesedihan ini. "Anak itu kita berdua yang menghadirkannya, kita juga yang merawat dan mendidiknya ... semisal ada salah, kelalaian, sampai hal diluar dugaan bukan kamu enggak becus, kita yang sama-sama juga berperan buat memperbaikinya."

"Aku enggak kebayang gimana Arkan, Pa?"

"Iya, tadi Ryura bilang Arkan butuh waktu sendiri dulu, makanya enggak langsung ke sini ..." jawab Adam dan mengusap-usap lengan sang istri lembut. "Kita kasih waktu buat Arkan sendiri dulu, Ma ... setelahnya saat dia siap berbagi, baru kita tanya dan sebisa mungkin juga membantunya."

"Aku enggak pengin mereka pisah, Pa  ..."

"Iya, Papa juga enggak mau, tetapi apa yang Lily alami kemarin ini sangatlah enggak mudah. Reynand berhak marah dan kecewa." Adam menghela napas pendek di atas kepala sang istri. "Mungkin benar, jarak itu dibutuhkan Ma, biar sama-sama berpikir matang, serius menimbang baik dan buruk. Kalau sudah jodoh juga enggak kemana."

"Tapi kita mestinya—"

"Untuk sementara kita urus Cally dulu, keberadaan orang itu juga mesti kita pikirkan kedepannya mau bagaimana." Adam menyela lembut dan menunduk untuk mengecup puncak kepala Amaris. "Kita urus Cally dulu ya, Ma ..."

Amaris akhirnya mengangguk. "Mama akan urus Cally dengan baik, sebagai gantinya Papa jangan lepas perhatian dari Arkan ... anak lelaki biasanya kalau punya masalah diam saja, jadi Papa harus peka."

"Iya, Papa janji mengawasinya."

Amaris perlahan mengurai dekapan, menegakkan punggungnya dan menatap sang suami lekat. "Sebagai orang tua, yang terpenting itu kebahagiaan anak-anak, iya 'kan?"

"Ya, tapi kebahagiaan itu juga harus dalam kapasitas dan koridor kebaikan juga, enggak hanya sembarang bahagia saja," kata Adam seraya mengangkat tangan kanannya, membelai pipi sang istri yang sedikit lembab karena tangis. "Kalaupun anak masih sulit merasakan bahagia karena hubungan percintaan yang rumit, seenggaknya dalam keluarga mereka enggak kehilangan kasih sayang dan kepedulian kita ... pelan-pelan, kita belajar jadi contoh orang tua yang lebih baik lagi buat mereka."

Amaris mengangguk. "Perjalanan kita masih panjang sebagai orang tua."

Adam tersenyum simpul. "Masih panjang dengan permasalahan yang akan terus menempa kita agar jadi lebih kuat."

"Walau ada aja masalahnya, enggak menyesal menikah dengan aku, kan?" tanya Amaris dan senyum suaminya berubah jadi tawa pelan. "Papa ..."

"Kalau bukan denganmu, enggak mungkin aku sejauh ini dan enggak mungkin aku bisa sekuat ini juga." Adam berujar lembut sembari menyentuhkan keningnya pada dahi sang istri. "Hidup kita boleh jadi enggak sesempurna harapan, tetapi cinta dan kesetiaanmu sempurna dalam hatiku ... untuk itulah, selamanya enggak akan pernah ada penyesalan, Nyonya Amaris Fabian-Hendradi."

Amaris akhirnya tersenyum saat sang suami ganti mengecup keningnya lembut. Ia selalu mendapatkan kembali kekuatan dan ketenangannya setelah menerima ungkapan sayang sang suami. Mereka telah melalui tiga dekade pernikahan dan rasa cinta yang tetap bertahan inilah kekuatan sejati untuk terus melangkah, mencapai kembali tujuan-tujuan mereka dalam berumah tangga.

Amaris kembali memeluk suaminya, mengatur napas dalam hening dan memikirkan rencana untuk mulai mengupayakan kebahagiaan yang tepat bagi setiap anaknya. Ia tidak boleh gagal lagi.

***

"Bayinya mirip ... ng ... eh, sorry, Cal." Alka Fabian langsung urung melanjutkan ucapan saat menyadari sepupunya terbangun dari tidur.

Calista hanya mengulas senyum datar. Ia juga tidak ingin berkilah atau membohongi diri atas kenyataan yang ada. Bayinya punya gen kaukasia yang cukup dominan, seraut wajah mungil dengan hidung mancung itu juga jelas merujuk pada sosok sang ayah, Reiner Alexi Venandzio.

"R. Marsen Hendradi," ucap Kai membaca papan identitas si bayi. "Beneran dikasih nama Marsen?"

"Iya, panggilnya Arsen," jawab Calista lalu tersenyum. "Biar sama kayak Mas Arkan."

"Terus R-nya?" tanya Kai penasaran.

Calista mengalihkan tatapan dan menjawab lirih, "Reine—"

"No way!" sela Arkan yang kemudian membuka pintu ruang rawat dan mengagetkan semua orang. "Enggak boleh ya, Cal!!!"

"Biasa aja dong!" kata Alka sambil mengelus dada.

Arkan menatap sang adik lekat. "Kamu enggak bakal kasih nama depan penghianat itu buat—"

"He's the father dan karena enggak bisa pakai nama belakangnya, Arsen bisa pakai nama depannya aja!" sela Calista cepat.

"Enggak akan kubiarkan!" kata Arkan.

"Ini bayiku dan aku bakal menamainya begitu!" Calista menegaskan dengan tatapan mata serius.

Kai memperhatikan situasi itu lantas beradu tatap dengan sang adik kembar. "Taruhan yuk, Al, aku pegang Arkan, dia bakal memenangkan perdebatan ini."

"Cally sih yang menang," kata Alka lalu mengangguk. "Kamu pegang Kayden waktu makan malam, biar aku bisa proper dinner sama Mas Langit."

"Heh! Tolong ya," sebut Arkan lalu menggeleng. "Enggak ada taruhan-taruhan! Cally, kamu juga harus tahu, enggak ada gunanya melibatkan penghianat itu dalam hidupnya Marsen."

"Aku enggak bermaksud begitu! Putus hubungan ya emang putus tapi anakku udah ketahuan, siapa yang jadi ayahnya dan aku cuma enggak mau mengingkari itu." Calista lalu menghela napas pendek. "Aku juga udah bilang Mama, katanya boleh kasih nama Reiner Marsen Hendradi."

"Mama mana?" tanya Arkan.

"Minta waktu buat makan siang sama Papa di luar, sejak pagi tadi juga kayak murung gitu," ujar Calista yang kemudian tersadar. "Mas Arkan sendirian ke sini? Mbak Ly enggak—"

"Aku akan tunggu Mama di luar aja," sela Arkan cepat lalu berbalik dan pergi ke luar ruang rawat.

Calista mengerjapkan mata perlahan. "Mas Arkan kenapa deh, ck!"

Kai yang sedikit banyak sudah tahu permasalahan Arkan memutuskan untuk menahan cerita. Calista masih belum sepenuhnya pulih dan wajib dijauhkan dari stress. "Cal, mau makan siang apa? Tadi Om Adam udah bilang suster kalau kamu bosan menu rumah sakit. Udah enggak ada pantangan juga," tanyanya mengalihkan perhatian.

Alka juga ikut mengalihkan. "Kangen sushi sama sasshimi enggak sih?"

Calista tertawa. "Kangen tapi aku lebih pengin yang kuah-kuah ... ramen shoyu pakai irisan spicy beef chashu."

"Tambah gyoza terus dessertnya anmitsu pakai ice cream matcha," imbuh Alka lantas saling berpandangan dengan Calista yang mengangguk-angguk antusias.

Kai tertawa lalu mengeluarkan ponsel. "Mari kita pesan makan siangnya ..."

***

"Eh, Yang Mulia Zarkan Hendradi udah datang," sapa Langit yang kemudian menyodorkan balita dalam gendongannya. "Tolong dong pegang anak saya, kebelet nih."

"Dasar!" gerutu Arkan meski segera mendekap Kayden, membuainya sambil berjalan mondar-mandir. Keponakannya ini mengantuk.

Arkan tersenyum mendapati kepala Kayden semakin tertunduk ke dadanya, tarikan dan embusan napas balita itu juga semakin teratur. Arkan membawanya duduk, memangku tubuh hangat yang sejenak menggeliat untuk menemukan posisi nyaman.

"Sebenarnya emang lebih cocok elo daripada Cally yang jadi orang tua," ujar Langit yang kembali mendekat.

Arkan tersenyum simpul. "Makanya lo bikin lagi, Kayden buat—"

"Lo kemarin-kemarin bukannya sempat bikin juga, enggak ada kemungkinan jadi?" sela Langit yang seketika menghadirkan keheningan.

"Kai cerita?" tanya Arkan.

Langit tertawa geli sambil menggeleng. "Enggak perlu Kai cerita, lo pasti minta hak juga! Enggak mungkin enggak, gue berani taruhan kepala."

Arkan meringis kikuk. "Emang enggak ada yang minat sama kepala lo."

"Lo berdoa aja jadi tuh bikinan lo."

"Bakal lebih rumit kayaknya kalau jadi."

"Tapi bisa jadi itu kesempatan terbaik buat balikan lagi."

Arkan menunduk pada anak yang pulas di dadanya. "Uhm ... I feel like, semisal balikan, maunya bukan karena hal selain keinginan Lily sendiri untuk kami sama-sama lagi."

Langit langsung duduk di samping sepupunya itu. "Apa yang terjadi waktu dia pamit tadi?"

"She just being honest and I ..." Arkan sejenak memutus kalimatnya untuk menahan serak dan sengatan kesedihan. "Gue merasa sangat brengsek, jahat dan keterlaluan ... setelah pikir-pikir juga, rasanya enggak pantas mengharap balik seperti semula. She deserve a better man."

"Emangnya lo rela Lily sama lelaki lain?"

"Enggak." Arkan menjawab dengan raut muram, ditambah gelengan kepala. "Kalau sampai kejadian, gue bisa sampai tahap bunuh orang kayaknya."

Langit seketika menahan tawa. "Dasar gila!"

Arkan angkat bahu. "Entahlah, bingung, sebagian otak gue pokoknya harus buruan jemput ke Dubai. Sebagiannya lagi, kayak sadar diri yang kemarin-kemarin aja lukanya Lily belum sembuh."

"Mumet!" cetus Langit.

Arkan mengangguk lantas menghela napas panjang. "Gue pengin minum-minum tapi Kak Ry bilang kalau larinya ke sana, bisa jadi justru makin kacau ... takut impulsif tiba-tiba berangkat ke Dubai dan mengacau kayak orang gila."

"Ah, gue ada ide," ucap Langit yang kemudian mengambil alih anaknya dari dekapan Arkan. "Kasih Kayden ke Alka dulu baru stress release."

"Ngapain?" tanya Arkan.

"Mukulin brengsek yang udah dipindah ke private room," ujar Langit seraya tersenyum lebar.

Arkan mengangkat sebelah alisnya lalu memberi tahu, "Gue perlu tahu beberapa keterangan dulu."

"Sure!" jawab Langit cukup antusias ketika membawa sang anak memasuki ruang rawat Calista untuk dijaga oleh anggota keluarga di sana.

***

Reiner Alexi Venandzio sadar, tinggal tunggu waktu setelah dirinya dipindahkan ke ruang rawat kosong ini dan entah siapa yang akan kembali datang untuk mengeksekusi. Sejak semalam ia hanya mendapatkan satu informasi sederhana, bayi yang Calista Hendradi lahirkan berjenis kelamin lelaki.

Di ruang rawat baru ini, ada dua orang yang berjaga di dalam, dua orang lagi berjaga di luar. Dokter memeriksanya tadi pagi, memberi perawatan untuk memar-memar di perut juga dadanya. Wajahnya masih terasa sedikit nyeri, terutama di area pipi dekat hidungnya. Namun, ia beruntung karena tidak ada tulang retak atau patah.

Belum, batin Alexi meralat ucapan dalam pikirannya. Ia masih beruntung karena belum ada tulang retak atau patah, terutama menilik ekspresi kemarahan Arkan Hendradi yang masih tertahan kemarin.

Dua penjaga yang ada di dalam ruangan mendadak berdiri dari kursi duduk, keduanya saling pandang lalu bergerak membuka pintu dan keluar.

Alexi juga bergerak bangun, menelan ludah saat mendengar suara sapaan ceria.

"Kon'nichiwa  ..." ucap Langit yang tersenyum lebar, melangkah masuk ke ruang rawat itu diikuti Arkan.

Alexi tahu diantara semua saudara sepupu bosnya, Langit Cakrawala Dirgantara ini yang sebenarnya paling berbahaya. Pembawannya yang jenaka, usil dan murah senyum itu seperti hanya kedok untuk menutupi sisi berbahaya sebagai anggota tim taktis spesialis pertempuran udara. Desas-desusnya malah sepupu Arkan itu merupakan tim operasi khusus untuk misi berbahaya kelas A, dimana musuh harus segera dihabisi sesegera mungkin.

"Untunglah penampilanmu terlihat cukup layak," ucap Langit seraya menggeser salah satu kursi, mendekatkannya hingga ke pinggira ranjang perawatan yang Alexi tempati.

Arkan yang kemudian duduk di kursi tersebut sementara Langit berdiri dengan posisi siap di sampingnya. "Mulailah bicara tentang ini."

Alexi mendapati beberapa foto polaroid antara dirinya dan Calista dilempar ke atas ranjang. Mereka tampak mesra. "Saya bermaksud mengakui semuanya ketika kita bertemu."

"Sejak kapan hubungan itu berubah?" tanya Arkan.

"Kurang lebih delapan bulan sejak Nona Cally dipindahkan ke Tokyo," jawab Alexi lalu ayunan tangan Langit menyasar pipinya, membuat wajahnya seketika berpaling dengan rasa sakit yang meningkat.

"Itu hadiah untuk kejujuranmu," ungkap Langit.

Alexi berusaha menahan rasa sakitnya dan mengangguk. Ia akan menerima pukulan atau apa pun itu yang disasarkan padanya.

"Cally yang mengajakmu berbuat lebih, atau itu selalu inisiatif darimu?" tanya Arkan dengan muram.

Alexi mengakui dengan sejujurnya. "Inisiatif dari saya," jawabnya dan kali ini tinjuan Langit menyasar ke perutnya yang seketika bergejolak, membuatnya sedikit muntah, mengotori selimut bersih di pangkuannya.

"She's only 20, you bastard!" sebut Langit emosi.

"21," ralat Alexi. "It was her 21st birthday."

Arkan menghela napas pendek, tidak lebih terkesan karena jawaban Alexi itu. "Cally menerima fotomu dengan perempuan lain, itu sebab kalian putus hubungan?"

Alexi menggeleng. "Nona Cally mengetahui masalah saya, menyarankan pernikahan untuk mengakses dana perwaliannya dan mengatasi kebangkrutan bisnis keluarga saya ..."

"Orang bodoh sepertimu kemudian memilih berselingkuh darinya?" tanya Langit.

Alexi terdiam cukup lama, kemudian mengaku, "S...saya merasa itu tidak pantas, ketimpangan latar belakang dan kekayaan itu nyata. Saya tidak ingin terkesan memanfaatkan sehingga berpisah adalah solusi yang saya kira tepat."

"Berpisah dengan berselingkuh?" tanya Arkan.

"Saya melakukannya agar Nona Cally lebih mudah menerima perpisahan itu dan ... me ... menurut saya, lebih baik dibenci sekalian olehnya."

"Itu memang yang akan terjadi setelah ini, bukan hanya dibenci olehnya tapi seluruh keluarganya juga," kata Langit dengan anggukan takzim.

Alexi menggeleng. "Saya berubah pikiran dan merasa sangat menyesal, oleh karena itu selama dua bulan terakhir mencoba mencari tahu keberadaannya ... saya tidak—ack!"

Langit mencengkeram batang leher milik lelaki yang seketika kesulitan melanjutkan kalimat, bukan hanya itu kedua tangan Alexi seketika terangkat, mencoba mengurai kekuatan cengkraman yang serasa memutus jalur napas.

"Lang," sebut Arkan.

"Baru juga setengah menit," ujar Langit santai.

"He'a a civilian." Arkan mengingatkan muram.

Langit menyeringai dan melepas leher yang seharusnya amat mudah dipatahkannya. Alexi seketika terbatuk, megap-megap berusaha menormalkan kembali jalur napasnya.

"Dalam dua kali dua puluh empat jam, pengacara kami akan mengirimkan dokumen padamu. Pastikan menandatanganinya dan setelah itu, sepenuhnya enyah dari hidup adikku," kata Arkan lalu beranjak berdiri.

"No!" sebut Alexi lalu menggeleng, mencoba berbicara lebih jelas. "Saya ingin mengenalnya ... bayi itu anak saya!"

"Begitu mengakhiri hubungan dengan Cally, kesempatanmu mengenalnya menjadi nol," kata Arkan lalu menatap tajam pada mantan asistennya itu. "Jangan coba-coba bertingkah juga, karena—"

"Biarkan saya bertemu Calista terlebih dahulu!" pinta Alexi dengan suara yang lebih keras.

Arkan yang kali ini mengayunkan pukulan, menyasar dagu Alexi dan membuatnya terkapar di tempat tidur. Ia langsung mundur dan beranjak ke pintu.

Langit meringis mendapati memar ungu yang langsung tampak di area dagu tersebut. Alexi juga terlihat kesakitan, hingga sudut-sudut mata lelaki bule itu berair.

"Jika ingin wajah cantikmu masih bisa dikenali, jangan memaksakan keberuntunganmu lebih dari ini ..." ucap Langit dan menepuk-nepuk pipi Alexi pelan. "Berdoalah agar kita tidak bertemu lagi, oke?"

"I'm not scared of you..." ucap Alexi dengan suara rintihan pelan.

Langit menyeringai. "Kali berikutnya kuizinkan mencoba membalas, itu pun jika kau bisa melakukannya ..." ujarnya lalu meremehkan dengan menyentil pelipis Alexi dan beranjak pergi, menyusul langkah Arkan.

Alexi hanya bisa mengepalkan kedua tangannya erat-erat. Ia menahan sakit seraya berpikir, mencari celah untuk keluar dari ruangan ini dan menemui Calista.

***

Amaris dan Adam menunggu di luar ruang rawat itu, keduanya sama-sama menegakkan tubuh, berdiri tatkala Arkan berjalan keluar diikuti Langit.

"Dokter bilang, keadaan Alexi itu masih parah," ucap Amaris dengan tatapan lurus pada sang anak.

"Aku cuma nanya beberapa hal," jawab Arkan.

"Aku juga cuma kenalan lebih dekat," timpal Langit dengan senyum ramah. "Bilang nice to meet you."

Adam menghela napas pendek. "Sudahlah, ayo naik dan temani Cally."

Arkan menjajari langkah sang ibu. "Cally bilang Mama setuju nama depan keparat itu digunakan sebagai nama depan Marsen juga."

"Iya," jawab Amaris singkat.

"Ma!!!" protes Arkan sambil menghentikan langkah.

Amaris ikut berhenti dan kembali berhadapan dengan sang putra. "Calista sudah sadar, tidak ada gunanya menutupi identitas ayah bayinya, oleh karena itu mengambil nama depan Alexi cukup adil untuk mengidentifikasi—"

"Berikan nama depanku saja," sebut Arkan.

"Zarkan Marsen Hendradi? Kesannya enggak kreatif," kata Langit menimbrung dan membuat Adam meringis.

"Iramanya lebih bagus," tegas Arkan.

Amaris menggeleng. "Kelak kamu bisa menamai anakmu sendiri begitu, biarkan Cally juga menamai—"

"Mama memangnya terima cucu Mama menyandang nama keparat yang menghamili Cally tanpa pertanggung jawaban yang tepat?" tanya Arkan dengan nada tajam.

"Kehamilan itu selalu tanggung jawab kedua belah pihak dan Cally yang semula memutuskan untuk menyembunyikan dari semua orang! Kamu bahkan turut membantunya melakukan hal itu!" Amaris balas menatap tajam. "Sudah cukup semua hal yang selalu ditutup-tutupi selama ini, saatnya menerima kenyataan dan beradaptasi dengan itu. Suka tidak suka, Alexi memang ayah bayi itu!"

"Lakukan test DNA!" pinta Arkan.

"It's match," kata Adam lalu mengangguk saat Arkan menolehnya. "Kami langsung melakukannya sejak si bayi lahir, membandingkan dengan Alexi dan hasilnya cocok."

"Lo belum lihat bayinya sih," imbuh Langit lalu menggerakkan tangan dari alis ke hidung. "Memang semirip itu, Ar ..."

"Sialan!" ujar Arkan yang kemudian mempercepat langkah, setengah berlari ke kamar rawat sang adik lalu memastikan dengan mata kepalanya sendiri.

Calista hampir gelagapan saat Arkan tiba-tiba masuk kamar dan langsung mengangkat si bayi yang pulas di crib. "K ... kenapa?"

Arkan menggeleng, kembali membaringkan bayi itu dan menoleh adiknya. "Pastikan membuat potret newborn baby yang bagus."

"Ya?" tanya Cally, agak bingung dengan instruksi itu.

"Kirimkan filenya padaku jika sudah membuatnya," kata Arkan lalu sekali lagi menatap keponakan barunya. "Welcome to family, Arsen ..."


***

Pada tengah malam yang hening, Alexi menyadari ada hal yang tidak biasa saat dua penjaga kembali meninggalkan ruangan. Ia bergerak bangun, meski sekujur tubuhnya didera nyeri akibat pukulan Langit dan Arkan tadi siang.

Pintu bergerak membuka, lalu terdengar suara langkah pelan dan dalam keterbatasan cahaya sosok itu mengulas senyum datar.

"Halo, Alexi."

Alexi seketika berusaha turun dari tempat tidur.

"Oh! Tetaplah di tempatmu, ini tidak lama."

"S... saya—"

"Cally mengakui bahwa sebelum masalah kebangkrutan bisnis keluargamu ... hubungan kalian berjalan dengan baik dan supportif."

Alexi sempat terdiam lalu mengangguk. "Saya sungguh-sungguh terhadap perasaan saya. Ketika memutuskan untuk datang ke sini juga, saya telah menyadari bahwa perasaan saya tidak pernah berubah untuk Calista."

"Harus kami akui jika uang yang menjadi tujuanmu, tidak mungkin pengeluaran Cally begitu jauh dari limit bulanan. Dia juga lebih kooperatif pada pendidikannya, tidak selambat yang sebelum-sebelumnya. Nilainya pun tergolong terus mengalami peningkatan."

"C ... Calista hanya butuh dimotivasi dan terkait hobinya juga, itu tidak membawa pengaruh buruk baginya. Bakat Calista memang berbeda dengan Pak Arkan."

Sosok yang memilih berdiri menghadap Alexi itu mengangguk. "Ya ... ketimpangan latar belakang menjadikan situasinya tidak cukup adil bagimu, karena itu gunakan ini saja."

Alexi segera menangkap amplop yang dilempar ke arahnya. Ia membuka penutup dan mengeluarkan isinya, dalam keremangan membaca dokumen tersebut.

Beberapa detik kemudian, Alexi mendongak, memberi tatapan tidak percaya. "I ... ini seharusnya—"

"Pergantian penjaga dilakukan setiap pukul enam pagi," sela sosok yang kemudian memilih beranjak mundur. "Paling lambat lusa, Calista dan bayi itu akan dibawa pulang juga. Jadi, pikirkan rencanamu dengan sematang mungkin."

"W... why?" tanya Alexi tidak mengerti.

Namun, alih-alih mendengar jawaban atas pertanyaan sederhana itu, dirinya justru kembali ditinggalkan.

Alexi kembali memandang berkas di tangannya, black files atau daftar hitam berisi skandal keluarga Hendradi yang selama ini dibereskan secara diam-diam, bahkan sebelum terendus media. Alexi menelan ludah dengan perasaan gugup, berkas yang ada di tangannya ini jelas merupakan senjata yang cukup kuat. Ia tidak akan menyiakan kesempatan.

[]

📸

Welcome world, Acen si BuTjil ~

Acen belike: Hoaamss santuy
lahir di keluarga kaya tujuh turunan
delapan tanjakan, sembilan belokan~

wkwkwkwkwkwkk prince to be 🫰🏻

.

see you Sabtu yay
kangen ngapel malam minggu nih, ea~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top