Bachelorette party

Hai,
update satu bab lagi ya sebelum bobok, hahaha~

Jangan lupa vote & komentarnya, terima kasih.

--

The Bliss, Grand Amarilys Bar – Jakarta

"Ah, sial!" keluh Arkan, langsung tahu apa yang akan menimpanya ketika teman-temannya sudah mengosongkan area bar di lantai teratas Grand Amarilys Jakarta.

"Yo, Bro!" sapa Eriko seraya merentangkan tangan. "Congratulation for your express wedding!"

Juan dan Reon tergelak seraya mendentingkan botol anggur.  "Express and so surprise," sebut Reon dengan seringai gembira.

"Entah kemana playboy yang mengaku akan tetap melajang hingga empat puluh tahun," tanya Juan terheran-heran.

Arkan menghela napas. "Aku bukan playboy," sebutnya lalu duduk, menuangkan minuman untuk ketiga temannya.

Eriko meraih gelasnya dan tersenyum. "Dua tahun terakhir reputasimu memang terlalu bersih, membuat kami jadi kayak kumpulan pendosa."

"Begitulah kalian," ujar Arkan.

"Kau bagian dari kami, sialan," kekeh Juan.

"Setia tidak ada serunya," seloroh Reon lalu mengedipkan mata. "Kami mempersiapkan hadiah terbaik untukmu."

Arkan menyipitkan mata curiga. "Kalian memang enggak baca tulisan cetak tebal di undangannya, tidak menerima hadiah atau sumbangan."

"Itu berlaku untuk mereka yang jumlah kekayaannya di bawahmu, kita semua setara, Bro," kata Juan, tertawa-tawa menenggak cairan alkohol di gelasnya. "Lagipula kita jauh-jauh mempersiapkannya, kau mestinya berterima kasih dan menikmatinya dengan baik."

"Aku yakin ini bukan hal yang bagus," sebut Arkan, semakin curiga.

"Anggap sebagai pemanasan, kembali menjadi lelaki sejati," kata Eriko dan tertawa saat mendentingkan gelas dengan Reon.

"Aku enggak butuh kekacauan baru, ya."

"Ini kekacauan yang seru, bukan baru," sebut Juan.

Arkan tidak bisa menahan curiga dan bergegas mengeluarkan ponsel, menghubungi asisten pribadinya. Namun, sebelum melakukan itu, ia lebih dulu teralihkan chat masuk ke ponselnya.

Light Lily
Mas, Lily lupa, waktu dulu ganti baju di hotel ninggalin celana jeans, di sakunya ada memori foto yang belum aku proses. Lily mampir buat ambil, ya?

Light Lily
Sebentar aja kok, ini udah di lobi dan dikasih kunci sama Mr. Kim

Arkan tidak membalas dan seketika menatap Eriko. "Rik, serius, kalian bikin ulah apa?"

"Udah enggak sabar?" tanya Eriko lalu menyeringai. "She's ready in your room..."

"She?" ulang Arkan, memastikan dengan kepanikan yang mulai terasa.

Juan mengangguk. "Graciella, dia bilang merindukanmu."

"Damn you!" sebut Arkan sebelum bergegas mengantongi ponselnya, berlari keluar area bar dan mengabaikan ejekan tidak sabaran dari teman-temannya yang kemudian riuh menertawakan.

Sialan! Arkan membantin makian itu, menekan tombol lift dan berharap Lily tidak lebih dulu tiba di depan kamarnya.

***

Lily menempelkan kunci kartu ke pintu lalu mendorongnya membuka, agak mengeryitkan kening karena ruangan itu wangi, berhias bunga dan terdengar suara musik mengalun lembut.

"Mas ..." panggil Lily melangkah masuk ke area ruang duduk.

"Mas?" suara perempuan menyahut dan suara musik seketika berhenti.

Langkah Lily juga tertahan, itu karena sosok perempuan cantik yang duduk di sofa dengan pakaian seksi warna merah menyala, belahannya tinggi dan posisi kaki yang saling bertumpu membuat bagian pahanya tersingkap.

Graciella, nama perempuan itu dan Lily mengenalnya sebagai salah satu mantan pacar Arkan.

"Apa yang Mbak lakukan di—"

"Mbak?" ulang Graciella dengan raut muram. "Zarkan mengundangku dan aku menunggunya."

"Aku enggak mengundangmu," suara Arkan terdengar sebelum sosoknya berdiri di samping Lily. Ia perlu mengatur napas karena berlari. "Eriko jelas memberi tahu hal-hal yang menimbulkan kesalahpahaman, I'm so sorry, Graciella."

Graciella segera berdiri, bersedekap dan tindakan itu membuat belahan dadanya semakin tersembul. "What do you mean? You play me again?"

"I am not," tegas Arkan lalu melirik Lily yang memasang wajah tenang. "Apa pun itu, alasanmu berada di sini ... bukan karena aku mengundangmu, Eriko melakukannya, kita sama-sama dikerjai."

"For what?" tanya Graciella tidak mengerti.

"Well, ya, menurut Eriko mungkin seru, mengundang salah satu mantanku untuk membuat keributan di tengah pesta lajangku."

"P ... pesta lajang?" ulang Graciella.

Arkan mengangguk dan merangkul Lily. "I will marry my fiance, this weekend."

"So disappointing!" cetus Graciella sebelum kemudian beranjak. "You choose her, over me?"

"I choose her over every woman I've ever date." Arkan menegaskan.

"Untuk berapa tahun?" tanya Graciella saat berdiri di hadapan Arkan, sekilas melirik ke arah Lily dengan wajah enggan. "Pernikahan kalian untuk berapa tahun? Aku harus tahu memungkinkan enggak untuk tetap menunggu."

Lily terkesiap mendengarnya, bergegas melepaskankan diri. "Aku rasa kalian perlu menyelesaikan urusan ini."

"Enggak!" tegas Arkan lalu menahan lengan Lily. "Aku sudah menegaskan pada Graciella dulu, hubungan kami sudah berakhir."

"You text me and you want me here," sebut Graciella lalu mengeluarkan ponselnya, menunjukkan pesan yang dimaksud. "Tadi pagi aku terima bunga, ada kunci kartu kamarmu, makanya aku bisa masuk ... you prepared all of this, for me."

Arkan memejamkan matanya sesaat. "Itu jelas-jelas nomor baru, bukan nomorku."

"Kamu dulu begitu, menghubungiku dengan nomor yang berbeda-beda."

"Graciella, I'm serious right now ... semua ini kesalahpahaman." Arkan kembali merangkul Lily dan menunjuk pintu. "Please, leave us ... you can reach Eriko, dia ada di bar dan kamu bisa meminta penjelasan padanya."

Graciella sempat memberi tatapan tidak percaya, namun akhirnya memutuskan untuk beranjak, meski sebelum benar-benar pergi menyempatkan untuk mengumpat. "You really filthy jerk, Zarkan! And you better be careful, Girl ... saat bersamaku, aku bukan satu-satunya ... dan mungkin saat bersamamu juga, ada lebih banyak perempuan lain!"

Lily tetap diam, menunggu sampai Graciella benar-benar pergi dan baru beranjak menuju pintu kamar. Ia agak terkesiap karena pintunya terkunci, handelnya juga kaku sampai ketika Arkan menempelkan ibu jari, membuat pintunya terbuka.

"Aku benar-benar enggak mengundang Graciella," ucap Arkan.

Lily mengangguk, fokus mencari pakaiannya dan menemukan terlipat di atas meja rias. Di sampingnya ada plastik kemasan berisi memory card. Ia mengambilnya, memasukkan ke tas.

"Lily ..." panggil Arkan karena tunangannya itu langsung beranjak.

"Mas Arkan beneran menyiapkan ini semua?" tanya Lily, memperhatikan hiasan bunga di setiap sudut ruangan.

"Ya, tapi semua ini buat kamu," jawab Arkan, dirinya baru kembali ke Jakarta hari ini dan sialan, sungguh kebetulan karena Eriko mengerjainya pada saat semua persiapan selesai.

Lily berhenti melangkah lalu menoleh lelaki yang akan dinikahinya dalam beberapa hari nanti. "Buang semuanya, Lily enggak mau ada bunga-bunga lagi di ruangan ini."

"Sure," ucap Arkan lalu mengangguk. "Aku akan antar kamu pulang sekarang."

"Enggak usah, Cloudia menungguku di bawah," jawab Lily kembali melangkah menuju pintu.

Arkan bergegas membuntuti. "Aku beneran enggak pernah main-main perempuan selama kita bertunangan dan—"

"Itu bohong," kata Lily kemudian menghela napas. "Mas Arkan masih sama perempuan itu dulu, pada awal hubungan kita ... makanya dia juga percaya diri datang ke sini hanya karena dapat kiriman chat dan bunga."

"Aku beneran dikerjai sama Eriko dan yang lain, mereka ada di atas, kalau enggak percaya ayo ikut dan minta penjelasan sekalian," ajak Arkan sembari meraih tangan Lily.

Lily menepisnya, memilih mundur menjauh dari sentuhan tangan itu. "Aku mungkin enggak merasa percaya diri atas kekuranganku, ada hal yang membuatku enggak sempurna atau cukup layak untuk setara sama Mas Arkan juga lingkup pergaulan kelas atas ... tapi aku percaya diri bahwa aku sungguh perempuan baik-baik."

"Lily ..."

"Bukan aku yang enggak baik kalau sampai ada penghianatan dalam pernikahan kita," ujar Lily lalu menegaskan maksudnya. "Bukan salahku juga kalau sampai ada kesalahan hingga skandal yang merugikan semuanya. Karena aku sudah berusaha, sebaik yang aku mampu untuk memantaskan diriku sebagai pasanganmu."

Arkan menghela napas. "Iya, Lily ... aku janji hal seperti ini enggak akan terulang."

"Enggak butuh janji, tapi bukti!" tegas Lily dengan sikap tenang dan tatapan lurus ke arah Arkan. "Kedepannya, hal ini terulang atau enggak ...  akan jadi penegasan siapa Mas Arkan yang sesungguhnya. Lelaki yang sungguh-sungguh mencintaiku, atau seperti yang Graciella bilang, sekadar brengsek yang tidak bermoral."

Damn it!  Arkan membatin makian dan berusaha tidak terpancing emosi. Ini adalah kali pertamanya merasa begitu terpojok, kesulitan membalas kecurigaan semacam itu. Ia memang brengsek, tetapi kapasitas moralnya masih dapat dipertanggung jawabkan. Arkan tidak seburuk itu.

"Lily pulang sekarang," pamit Lily dan terkesiap karena lengannya ditahan Arkan. "Mas ... kamu tuh, lepas—"

Arkan menarik lengan itu, memeluk tubuh ramping yang samar-samar tercium wangi lembut kesegaran bunga kenanga dan mawar. "Listen to me carefully ... memang benar, di awal hubungan kita sempat ada Graciella juga yang lainnya, tetapi semua itu berakhir lama sebelum hari aku memutuskan serius membangun hubungan kita."

Lily mendengar itu dan tidak lagi meronta atau meminta terlepas dari pelukan Arkan.

"Aku minta maaf karena lelucon teman-temanku bikin enggak nyaman, aku pun kesal dan enggak menyangka mereka sampai sejauh ini." Arkan menegaskan itu sembari mengelus punggung Lily lembut. "Aku akan pastikan hal ini enggak terulang, bukan demi penegasan yang kamu sebutkan ... tetapi karena aku memang setia sama kamu."

Lily menghela napas pendek, menunduk ke dada Arkan dan mendengar suara degub jantung pria itu.

"I miss you so much," ungkap Arkan karena sejak acara di rumah Lily, sudah dua belas hari mereka belum bertemu muka, baru kali ini. "Aku enggak akan kasih kamu pulang, kalau masih marah ... orang bilang itu buruk buat keberuntungan hari pernikahan."

"Siapa yang bilang?" tanya Lily.

"Aku, barusan," jawab Arkan enteng membuat Lily meringis.

"Kalau ketahuan Papa aku di sini, bisa jadi masalah ..."

"Aku akan telepon Papamu, mulai malam ini sampai hari pernikahan, kita tinggal bareng a— aww!" Arkan berteriak karena pinggangnya dicubit.

Lily melepaskan dirinya dari pelukan Arkan dan beralih. "Mas Arkan jangan sembarangan ya!"

"Itu solusi biar enggak ada yang aneh-aneh lagi," cetus Arkan.

"Ya, tapi enggak tinggal bareng juga," ujar Lily kemudian menggeleng. "Kita enggak boleh mengulang kesalahan, jadi sampai hari pernikahan memang baiknya tuh enggak ketemu dulu."

Ada seringai tersungging di bibir Arkan saat mengucapkan sebuah dugaan. "Padahal aku tahu kamu sengaja cari-cari alasan ke sini buat ketemu aku."

"Enggak! Lily mau ambil—"

"Just be honest, kamu juga kangen aku," kata Arkan, menyela dengan penuh percaya diri.

Lily memang merindukan tetapi alasannya datang sungguh karena memory card yang tertinggal. "Aku harus pulang," katanya lalu segera menghindar dengan melangkah cepat.

Arkan tertawa, menyusul langkah Lily dan merangkul calon istrinya itu. "Tetap begini sampai bawah."

"Nanti kelihatan Cloudia!"

"Kedepannya dia perlu terbiasa sama pemandangan begini," ucap Arkan lalu ketika mereka memasuki lift bersama beralih memeluk Lily erat. "Atau pemandangan yang begini."

"Mas!" tegur Lily namun dirinya juga tidak menghindar saat lelaki itu tertawa kesenangan, menundukkan wajah dan mencium bibirnya lembut.

***

"Congratulation, our beautiful bride to be ..." Sara dan Dinia berseru bersamaan sebelum kemudian menyebarkan kelopak bunga mawar ke atas kepala Lily yang baru membuka pintu apartemen.

"Astaga ..." kata Lily gembira, padahal ia mengundang kedua sahabatnya ini sekadar untuk acara makan-makan perpisahan sederhana di apartemennya.

Sara dan Dinia juga membawakan kado, bingkai foto mereka bertiga sebagai kenang-kenangan. Kemarin, Lily resmi mengakhiri kontrak kerja profesionalnya dengan Heritage.

"Wah, gila, ini hasil perawatan pengantin? Mulus banget mukanya," puji Sara.

Dinia mengangguk-angguk. "Serumnya aja ada emasnya ya, Ly?"

"Emas Arkan," canda Lily kemudian mempersilakan kedua temannya duduk.

Sara langsung mengeluarkan isi cooler bag yang dibawanya. "Aku bawa banyak banget jajanan!"

"Ada rujak nanas dan pancake durian dari toko Oma ... fresh made!" cetus Dinia semangat, membantu Sara mengeluarkan setiap kotak makanan.

Lily menelan ludah, sebenarnya itu memang jenis makanan favoritnya, tetapi semalam dirinya membaca-baca perihal jenis makanan sehat dan makanan yang perlu dihindari para calon ibu, terutama di usia awal kehamilan. "Ng ... aku ..."

"Puas-puasin pokoknya Ly, makan semua ini sebelum harus ikut lidah western suami," kikik Dinia membuat Sara menyeringai.

"Iya, lagian selama hunting foto di Semarang juga, kita malah enggak jadi kulineran."

Lily meringis. "Soalnya aku harus jaga makanan."

"Tuntutan Arkan segitunya banget, ya? Padahal udah kurus ini," ujar Sara, heran.

"Bukan gitu, Sar, memang inisiatifku sendiri kok," kata Lily dengan pipi bersemu. "Maaf juga, untuk sementara enggak makan durian, nanas, terus yang fermentasi juga."

Sara dan Dinia seketika menghentikan kesibukan mereka membuka kotak makanan, keduanya saling pandang dengan tatapan yang penuh curiga.

"Kita beneran enggak mau curiga ke arah sana, meski kaget banget lo tiba-tiba memutuskan menikah, Ly ... tapi ... masa sih?" ucap Sara dengan ragu.

"Enggak, enggak mungkin," cetus Dinia.

Lily mengangguk. "Untuk testpack itu harus nunggu telat dulu, tapi sekecil apa pun kemungkinannya kalau benar terjadi kehamilan, aku harus jaga diri baik-baik."

"Astaga!" seru Sara dan Dinia bersamaan.

"Sorry, karena baru bilang," kata Lily, agak kikuk dan sebenarnya malu.

"Ya ampun, Ly, astaga ..." Sara segera menutup kotak berisi pancake durian. "Kita yang harusnya minta maaf, karena enggak tahu ... ya ampun, semoga lo sehat-sehat terus, yaa."

"Amin," ungkap Lily kemudian menerima pelukan Sara.

Dinia menghela napas pendek. "Emang laki di mana aja, enggak bisa dipercaya!"

"Tapi bagus loh, Din, ini langsung tanggung jawab, enggak pakai nunggu hasil tes hamil beneran apa enggak," ujar Sara dan mengelus-elus bahu Lily. "Cukup gentleman lah."

"Iya, cuma 'kan kesannya kayak enteng banget berbuat terus nikahin gitu." Dinia memandang Lily lekat. "Selalu Arkan yang seenaknya sendiri di hubungan ini."

"Kok lo ngomong gitu sih, Din?" tanya Sara.

"Karena Lily berhak mendapatkan pernikahan dalam situasi ideal dan terhormat lah, Sar."

Lily seketika terdiam karena ucapan Dinia itu. "Din, jangan marah, aku enggak apa-apa kok, lagipula salahku juga sampai kami khilaf sama-sama."

"Salah lo gimana?" tanya Sara, bingung.

"Iya, aku mabuk awalnya, terus jadi—"

"Mabuk?" ulang Sara dan Dinia bersamaan, keduanya jelas semakin kebingungan.

"Iya, makanya sampai khilaf gitu sama Mas Arkan," jawab Lily, menahan rasa malu yang mulai merambati pipinya. "Ng, aku tahu juga situasi pernikahan ini kayak enggak ideal, tetapi Mas Arkan berusaha melakukan yang terbaik juga kok ... aku percaya sama dia."

"Orang kayak Arkan gitu, biasanya justru jenis yang tukang curiga dan bisa jadi lepas tanggung jawab ketika ngehamilin orang. Ini justru dia berusaha mengamankan Lily, langsung prepare pernikahan juga, tandanya emang berpikiran jernih," puji Sara.

Dinia menyipitkan mata. "Entah berpikiran jernih atau memang udah terencana."

Terencana? ulang Lily dalam hati. "O ... oh, Mas Arkan memang tipe yang apa-apa gerak cepat gitu, keluarganya juga banyak yang bisa bantuin, jadi persiapan lancar aja sejauh ini."

"Orang kaya raya apa sih yang enggak bisa? Unlimited money pula," ungkap Sara, mengangguk-angguk dengan pengertian.

Dinia tertawa. "Wah, teman kita bakal menantu salah satu orang terkaya Indonesia."

"Ya ampun," sebut Lily kemudian ikut tertawa. "Biasa aja, Din, enggak yang gimana kok."

"Apanya, Arkan pasti extra care banget ke elo, ya? Mengingat calon pewarisnya juga," kata Dinia yang lagi-lagi membuat Lily terdiam.

Selain pada awal-awal pembicaraan pernikahan dulu, Arkan sudah tidak pernah mengungkit perkara kemungkinan kehamilan itu. Selama ini juga, di setiap telepon, kiriman chat atau email, tidak pernah ada obrolan seputar hal itu.

"Arkan tuh perkara lo salah sepatu aja bawel banget ya, Ly? Apalagi sekarang deh, lo pasti ditanyain melulu, makan apa, lagi apa ... ketebak banget," imbuh Sara sambil tertawa.

Lily meringis, baru menyadari bahwa calon suaminya memang terasa terlalu tenang belakangan ini. Arkan tidak pernah bertanya-tanya seperti dugaan Sara atau berusaha memastikan kondisinya dari hari ke hari. Obrolan mereka hanya seputar saling memberi konfirmasi persiapan pernikahan.

"Ly?" panggil Dinia.

"Oh, hahaha ... sorry, mendadak ada pikiran enggak penting," ungkap Lily kemudian beralih ke nampan yang disiapkannya. "Kita makan aja yuk ... aku udah mintain mbak di rumah bikinin nasi liwet, ayam bakar, sama sambel goreng ... ada rebusan kangkung sama bayam juga buat lalap."

"Aaakkk ... ada untungnya gue enggak sarapan! Sikaaaat," cetus Sara penuh semangat.

Lily tertawa, segera memindahkan nampan itu. Ia enggan berpikir yang tidak-tidak, karena yang terpenting adalah pernikahan terjadi karena Arkan mencintainya. Persoalan anak, Lily memang berharap dirinya sungguh mengandung dan yang terpenting adalah tetap menjaga diri dengan sebaik mungkin.

***

"Pesta lajang macam apa ini," sebut Kai Fabian, mengaduk kopi hangat di cangkirnya kemudian menyesap perlahan.

Langit Dirgantara yang duduk di sisi kirinya melakukan hal yang sama. "Padahal Kak Ken sama Kak Ry udah enggak ikut, tapi kita malah makin cupu."

"Mereka beneran udah tobat, enggak ada mabuk-mabuk lagi, kecuali mabuk cinta sama istri," ungkap Kai membuat Langit terkekeh.

"Itu sih gue udah bukan level mabuk lagi," kata Langit lantas menyeringai. "Teler mampus ... karena itu terima kasih ya, Kai, udah barengin Alka lahir ke dunia dan jagain dia sampai jadi jodoh gue."

Kai menanggapi dengan lebih dulu menyentil dahi Langit, membuat lelaki di sampingnya mengaduh seraya menjauhkan tubuh. "Jangan dekat-dekat, gue masih normal."

"Gue juga normal makanya milih adik kembar lo!" balas Langit sambil mengusap-usap dahinya.

"Nah, itu dia Yang Mulia," sebut Kai mendapati Arkan memasuki kamar.

Arkan menghela napas panjang, lelah akibat meeting sepanjang perjalanan pulang yang didominasi kemacetan. Lalu, alih-alih bisa langsung beristirahat justru harus menghadapi dua sepupunya. "Siapa yang bolehin kalian masuk kamar gue?"

"Ibunda ratu Amaris Fabian yang terhormat." Langit bergeser, menepuk-nepuk bagian kosong diantara dirinya dan Kai. "Gue bela-belain nih ngabur ke sini daripada ngelonin Alka, jadi jangan sampai sia-sia. Ada petuah dan nasihat pernikahan yang perlu lo dengar."

"Gue capek banget," keluh Arkan meski tetap melangkah ke tempat kosong itu, duduk diantara dua sepupunya.

Kai menggeser cangkir teh kamomil dengan tutup kaca yang mulai berembun. "Ini bagus buat relaksasi."

Arkan mengambil cangkir, menyesap perlahan dan mengangguk. "Lumayan enak."

"Enak lah, Bunda yang nyeduh, spesial buat calon manten," ungkap Kai lalu memperhatikan Arkan mulai melonggarkan dasi, membuka dua kancing kemeja dan menyugar rambut.

Langit memperhatikan hal yang sama. "Lo enggak kayak orang mau nikah tau!"

"Hanya karena gue tetap sibuk kerja bukan berarti gue enggak mempersiapkan diri," ucap Arkan lalu mencampakkan dasinya ke lantai, kembali meminum tehnya hingga tersisa setengah.

"Apa coba persiapan lo?" tanya Kai.

"Kemarin gue siapin kamar hotel buat jadiin kamar pengantin, tapi sialannya malah ada masalah dan jadi ganti interior sekalian."

Langit geleng kepala. "Itu doang?"

"Buat gue, itu doang yang penting."

Kai berdecak. "Langit benar ... ini tuh kayak pernikahan sekadar urutan jadwal lo berikutnya."

"Enggaklah, Kai," ujar Arkan, enggan diragukan. "Gue beneran mau menikah dan siap melakukannya."

"Do you really love her?" tanya Langit cepat dan ketika Arkan langsung terdiam sambil menghindari tatapan matanya. "Nah 'kan ... lo nih!"

"I do love her," sebut Arkan cepat lalu menambahkan. "Gue cuma agak kaget lo nanya begitu, kayak apaan aja."

"Kayak apaan gimana? Lo tuh punya perasaan, Lily juga punya perasaan, dan pernikahan seharusnya terjadi karena perasaan yang sama juga," kata Langit.

Kai geleng kepala. "Just be honest with us, Ar ..."

"I am honest," balas Arkan cepat. Ia harus bisa meyakinkan dua sepupunya ini. "Kalian enggak perlu khawatir, gue sama Lily itu saling memahami, udah lumayan lama juga tunangannya."

"Jangan lo pikir kita enggak tahu kalau hubungan pertunangan kalian selama ini hanya formalitas semata ya," kata Kai.

Langit berdecak. "Hanya karena kerjaan gue lebih banyak berurusan soal pangkalan dan pesawat tempur, bukan berarti enggak paham transaksi bisnis."

"Alasan ketahuan ngamar Tante Amaris juga kayak terlalu bodoh gitu." Kai mengungkapkan kecurigaan yang dipendamnya. "Lo bukan amatir, Man, terutama dalam urusan nakalin perempuan."

"Situasinya emang enggak tepat aja waktu Mama tiba-tiba datang ke suite," ungkap Arkan.

"Apalagi kejadian di hotel, pengamanan lo soal urusan pribadi selalu berlapis-lapis! Ketahuan ngamar, apalagi sama Tante Amaris langsung ... smell so fishy," kata Kai.

Arkan mengibaskan tangan santai. "Selalu ada kesialan pertama untuk segalanya, lagian bukannya kalian kemarin-kemarin dukung pernikahan ini ... kenapa sekarang malah kesannya pada curiga begini?"

"Ya, karena elo enggak kelihatan excited layaknya pengantin pada umumnya," sebut Langit dan menjelaskan. "Waktu siapin hadiah-hadiah pernikahan itu lo excited, gue tahu lo minta bantuan Alka sama Bunda untuk siapin beberapa hadiah buat Lily ... tapi setelah itu semuanya kayak anyep aja, sampai sekarang bahkan lo masih gini-gini aja."

"Ya, emangnya gue harus gimana?"

Langit kembali menatap Arkan lekat. "Lily tuh perempuan baik-baik, semua orang di keluarga kita beneran sayang sama dia ... kalau sebagai suaminya lo bahkan enggak merasa sayang sepersetengah dari kami, mending—"

"Lo dari mana sih, bisa ngomong gue enggak sayang Lily?" sela Arkan, agak tidak terima.

"Dari sikap-sikap lo! Pernikahan bukan transaksi bisnis, Ar ... gue mau lo paham itu."

"Gue paham, Lang!" tegas Arkan lalu mengangguk. "Fine, aslinya gue memang agak terpojok sama situasi, tetapi meski bukan cinta, perasaan gue buat Lily itu udah lebih dari sekadar tunangan formalitas."

"Tuhkan! Feeling gue enggak pernah salah!" kata Langit lalu menatap Kai. "Lo aja deh yang mukul duluan, kalau gue pasti langsung jelek lagi mukanya."

Kai tidak memukul hanya geleng kepala ke arah sepupunya. "Lo gila sih, Ar ... bisa-bisanya mengusulkan pernikahan saat perasaan lo sendiri masih belum dipastikan gitu."

"Pernikahan bagi gue dan Lily kalau pun enggak terjadi sekarang ya cuma tinggal tunggu waktu aja ... gue sekadar mempercepat situasinya, Lily pada akhirnya juga setuju dan—"

"Terang aja dia setuju, orang dia udah cinta lo duluan," ujar Langit dan menyipitkan mata. "Lo jangan bilang enggak tahu tentang perasaannya Lily, kalau lagi kumpul bareng gitu jelas banget dia suka ngelihatin lo atau otomatis senyum malu-malu."

"Karma karena mainin perempuan baik-baik tuh berat, Ar." Kai memperingatkan.

"Gue enggak berniat begitu," kata Arkan, sejenak terdiam untuk memikirkan penjelasan yang tepat. "Gue serius terhadap Lily, meski belum jatuh cinta atau sungguhan punya perasaan cinta ... gue enggak berniat untuk menyiakan dia, justru dengan pernikahan ini gue juga berniat membalas budi, menjauhkan dia dari tekanan kakeknya yang licik itu, memberinya kehidupan yang lebih baik, keluarga yang lebih hangat dan nyata."

"Sama perempuan sebaik itu, seharusnya gampang buat lo jatuh cinta, Ar ... takut apa sih?" tanya Langit heran.

"Bukan masalah takut, tapi dari dulu cinta emang kayak bukan prioritas aja. Gue selalu penuh perhitungan, gue punya perencanaan, dan sebagaimana biasanya, Lily tinggal mengikuti apa yang gue mau, itu udah cukup! Landasan pernikahan enggak selalu cinta agar bisa berhasil," kata Arkan tenang.

"Ini kita ngomongin pernikahan, bukan rencana bisnis baru!" komentar Langit.

"Gue juga ngomongin pernikahan. Selama ini hubungan gue sama Lily lancar-lancar aja dengan model seperti itu. Sebaliknya, beberapa hubungan orang lain yang sehari-harinya ngumbar cinta malah selesai dengan menyedihkan?" tanya Arkan membuat Kai menyipitkan mata.

"Hubungan itu lancar karena selama ini masalah kalian hanya seputar tuntutan penampilan sempurna yang harus Lily jaga. Kalau orang menikah, normalnya yang dijaga itu keutuhannya. Sempurna enggak sempurna, kalian berdua harus saling jaga supaya tetap utuh!" tandas Langit dan Kai mengangguk setuju.

"Dan emang enggak ada orang sempurna di dunia ini, Bro." Kai kembali mengingatkan. "Saat menikah, lo harus berbagi setiap ketidaksempuranaan sama Lily juga. Sosok lo yang ada di televisi, masuk majalah, diliput tiap akhir pekan dengan skenario pencitraan serba sempurna itu bukan sosok yang jadi kesayangan di keluarga kita. Lily harus bisa lihat itu ... Arkan yang sebenarnya."

"Itu memang bagian dari diri gue yang sebenarnya. I am quite perfect," ujar Arkan.

"Susah ngomong sama batu!" gerutu Langit.

Kai terkekeh. "Tapi entah kenapa gue merasa Lily udah mulai aware, sama sisi-sisi Arkan yang sebenarnya, tinggal tunggu waktu dia bisa cuekin Arkan si tukang pencitraan."

"Lily enggak akan cuek! Dia bahkan udah bertekad buat masakin gue, gila banget."

Langit menyipitkan mata. "Wah, canggih juga si Lily, alus caranya menyamakan selera lo."

"Enak aja! Semua resep yang gue kasih itu western menu. Jadi, dia yang bakal satu selera sama gue." Arkan mengangguk-angguk percaya diri dengan rencananya.

"Oh iya, gue dengar obrolannya Om Adam sama Papa, lo serius masukin klausul perpisahan?" tanya Kai membuat Langit mendelik.

"Lo beneran enggak waras!" tuduh Langit.

"I try to protect my reputation and—"

"Reputation my ass!" sela Kai dengan ekspresi kesal dan tidak setuju.

Arkan seketika mengangkat tangan. "Sorry, okay? Tapi waktu itu, sebelum disadarkan Papa, memang pikiran gue hanya soal memastikan reputasi keluarga kita terjaga ... dan for you guys to know, klausul itu udah dihapus. Jadi, tenang semuanya."

"Lo kayaknya tetap bakal mengacau sih," keluh Langit.

Kai menyengir. "Bener, situasinya makin terasa kayak dipaksakan."

"Enggak, lo berdua percaya sama gue! Semuanya akan baik-baik saja," ujar Arkan, yakin.

"Gue aja meski udah cinta ampun-ampunan sama Alka, tetap mikir berulang kali, gugup juga berulang kali, salah tingkah sampai berbuat konyol berkali-kali untuk akhirnya tiba di momen yakin bisa menjadi suami yang baik buat Alka," ujar Langit lalu bertanya. "Kalau lo, momen apa sampai bisa yakin, lalu menikah tiba-tiba itungan minggu begini?"

Arkan memikirkannya selama setengah menit. "Lily enggak pernah menyerah, Lang ... gue enggak sekali dua kali mengkritik atau berkomentar soal penampilan, pendapat, selera sampai apa pun tentang dirinya. Dia nangis, kelihatan sedih, terkadang juga malu, tapi dia enggak menyerah selama dua tahun hubungan ini, dia berusaha dengan baik. Karena itu gue yakin, hanya Lily yang bisa jadi pasangan gue selamanya."

"Selamanya?" Kai memastikan.

"Ya, selamanya." Arkan menegaskan, hanya itu yang bisa dia tukar untuk masa depan yang akan segera mereka bagi bersama.

Langit mengangguk. "Lo sebaiknya serius dengan semua itu, juga dengan pernikahan ini."

"I am serious," tegas Arkan lalu mengangguk.

Kai kemudian tertawa, merangkulkan lengannya ke bahu Arkan. "Oke, bagian serius-seriusnya udah lewat ... sekarang kita bahas perkara tiket gue, kenapa belum dikirim juga?"

"Enak aja, Pak Kim udah laporan dari minggu lalu kalau tiket itu—"

"Tiket pertandingan emang udah, tapi tiket pesawat, terus tiket terusan sekalian buat liburan ke Disneyland bareng Freya?"

Arkan mengangguk paham. "Duit lo yang banyak itu buat apa sih? Kalau perkara liburan sama anak aja harus gue yang bayar?"

Langit turut merangkul Arkan. "Bukan hanya perkara liburan bareng anak yang harus lo bayar, tas barunya Alka juga urusan lo ... soalnya kalau gue yang beli, orang bakal curiga gue korupsi."

"Brengsek!" maki Arkan dan disambut tawa terbahak dua sepupunya.

Tawa terbahak Kai dan Langit itu masih bertahan hingga esok harinya. Pasalnya, baru sekali ini mereka melihat langsung tuan muda paling modern di keluarga mereka melakukan ritual siraman. Tidak terbayangkan bagi mereka berdua, Arkan sungguh penurut dan betah melakukan susunan acara tradisional semacam itu.

"Ini patut diabadikan, Yang Mulia Zarkan Mahesh Hendradi mandi kembang!" kata Kai lalu mengarahkan kamera pada Arkan.

Langit terkekeh, nyaris geli karena dirinya yang membantu persiapan acara. "Itu perlu gue kasih tau enggak? Kalau airnya diambil dari sumur yang belum kena filterisasi?"

"Biarin, paling juga gatel-gatel dia!" kata Kai iseng dan memotret lebih banyak foto.

Tepat saat acara siraman selesai, Kai dan Langit langsung sigap menghadang sepupu kesayangan mereka itu. Kai mengulurkan kimono handuk yang biasa Arkan pakai.

"Selamat ya, Ar ... one step closer ..." ungkap Langit penuh senyum.

"Gue curiga ini bukan air dari kamar mandi," keluh Arkan lalu sedikit membungkuk, ekspresi wajahnya cemas sekaligus tidak tenang. "Lihatin rambut gue masih ada kembang-kembangnya enggak? Gue juga curiga itu kembangnya enggak dicuci dulu tadi ..."

"Kembang buat mandi, ngapain dicuci dulu sih? Bego!" sebut Kai sebelum kembali menertawakan Arkan.

"Hah! Sialan! Pantesan gatel kepala gue!" gerutu Arkan yang segera berlalu menuju kamarnya, ia harus mandi lagi dan memastikan ujung kepala hingga ujung kakinya bersih sempurna.

[]

📸

pas ngedit ini tetiba sadar, emang mirip-mirip ya klakuan Jang Moelia Arkan ini dengan KagenBi, pfftt

Next part adalah wedding day! Nyiapin ati banget buat ngeditnya, doain lancar yay! ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top