Another plan

Hai,

sebelum baca, aku mau infoin sesuatu dulu, karena banyak yang menyangka ada versi 'baca cepat' untuk cerita ini.

Aku tegaskan, enggak ada versi baca cepat di Karya Karsa, kalau memang ada pembaca yang tahu jalan ceritanya itu karena memang dulu mereka baca versi 2017 sampai 2019 sebelum diunpublish.

Kali ini aku publish ulang dengan revisi supaya lebih nyaman dibaca dan 'semoga' lebih masuk akal, pfftt.

Besar harapanku untuk pembaca baru / yang baru menemukan Arkan-Lily sekarang bisa menantikan cerita versi ini saja, terima kasih.

.


Lily baru bisa meninggalkan suite Arkan pada sore jelang malam hari. Itu berkat Cloud yang datang bersama Reynand Rahardian. Arkan memang memperkirakan ayah Lily itu akan segera datang ke Jakarta, namun tetap tidak menyangka secepat ini dan langsung menyasar ke suitenya.

Arkan tidak mencoba melawan saat beberapa pukulan dan tendangan langsung disasarkan ke tubuhnya. Lily sempat terkesiap, kaget karena luapan emosi sang ayah namun dirinya tidak bisa berbuat banyak karena segera diamankan, dibawa beranjak pergi.

Sekitar dua puluh menit menahan diri sebagai samsak hidup, Arkan akhirnya dilepaskan. Arkan yakin seluruh wajahnya akan bengkak, perutnya memar dan dirinya tadi sedikit memuntahkan cairan pahit saat mendapat tendangan ke tiga dari Papa Lily itu. Bagian dalam bibir bawah Arkan luka, amis dan asin darah juga semakin terasa saat Reynand melayangkan pukulan terakhir mengenai rahang kanan Arkan.

Jika bukan karena sering berlatih tanding bela diri ala militer dengan para sepupunya, Arkan mungkin tidak sanggup berdiri. Tampaknya, Reynand juga memberikan belas kasihannya. Hidung mancung Arkan entah kenapa tidak kena sasaran tinju. Begitu pula dengan kedua mata Arkan yang masih selamat. Hanya saja pelipis Arkan jelas memar kena amukan pukulan Reynand saat awal-awal mendatanginya tadi.
  
"Bedebah!! Kurang ajar!!!" Dua makian yang diucapkan Reynand sebelum berlalu dari ruangan suite Arkan.

Arkan berupaya mengejar, namun rasa sakit lebih dulu melemahkan dan melumpuhkannya. Dua penjaga sigap memasuki suite dan meminta bantuan Mr. Kim untuk mengurus Arkan.

***

Lily menatap layar ponselnya dengan gamang. Arkan tidak bisa dihubungi. Cloud tidak membawanya pulang ke rumah, pengawal wanita yang sudah bersama Lily sejak dua tahun lalu itu mengantarnya ke apartemen. Apartemen dua kamar yang diperoleh Lily saat ulang tahun keempat belas. Randy Rahardian yang membelikan apartemen itu, beralasan bahwa Lily tidak diperbolehkan membuat ruang gelap untuk keperluan cetak foto di rumah utama keluarga Rahardian.

Apartemen ini juga tempat pelarian Lily saat rumah utama mengadakan pesta sosialita penting. Apartemen yang merupakan satu-satunya hadiah yang pernah diberikan sang kakek padanya. Bahkan tidak bisa disebut hadiah karena diberikan tanpa ucapan apa pun. Sejak SMP setelah pulang sekolah Lily diantar ke apartemen ini, sebelum mobil tamu atau pejabat penting datang ke rumah utama.

Ada masa ketika mendiang sang nenek menentang keputusan tidak masuk akal karena harus menyembunyikan Lily. Rasa rindu langsung menggayut di benak Lily teringat sosok yang paling dicintai keluarga Rahardian itu. Jika sang Kakek penuh antipati terhadap Lily, neneknya selalu memastikan Lily mendapatkan perhatian. Dulu, saat neneknya masih ada ... semua terasa lebih mudah.

Lily menyukai apartemen ini. Bahkan sejak kedua orang tuanya dan Romeo pindah ke Dubai, ia jadi kerap menetap di sini. Hanya ketika ada acara keluarga atau mengurus cek kesehatan sang Kakek, Lily baru kembali ke rumah utama.

Apartemen ini lebih terasa seperti rumah yang sebenarnya dibandingkan rumah utama keluarga Rahardian. Lily bisa memajang foto orangtua kandungnya di nakas tempat tidur, berdampingan dengan foto keluarga terbaru yang setiap tahun mereka ambil.
  
"Nona harus tinggal di sini sampai Pak Reynand kembali," kata Cloud saat mengantarkan segelas air putih dingin.
  
"Semalam, kamu langsung laporan sama Papa?" tanya Lily.
  
Cloud mengangguk. "Saya harus melaporkan segala sesuatunya, terutama ketika ada situasi genting."
  
"Kenapa kamu nggak paksa saya pulang semalam?"
  
"Pak Zarkan tidak melepaskan, Nona Lily juga tidak melepaskan diri."

Jawaban itu membuat Lily terdiam, mencoba menggali ingatan yang samar sekaligus membingungkan. Ia biasanya tidak seceroboh itu, Arkan juga bukan lelaki yang akan bertindak tanpa alasan.

Kepercayaan diri juga ketegasan Arkan terkait apa yang terjadi semalam, membuat Lily agak gamang. Ia satu-satunya yang tidak ingat dan bukan berarti itu menjadikannya tidak nyata ... terlebih dengan keputusan tentang pernikahan. Amaris Fabian juga sudah mengetahuinya, tidak mungkin akan didiamkan begitu saja.

"Papa mahir bertinju dan masih berlatih juga setiap akhir pekan," ungkap Lily cemas.

"Pak Zarkan pantas menerimanya."

"Papa pasti marah banget."

Cloud masih menanggapi dengan kalimat tenang. "Pak Reynand tidak akan membunuhnya."

Lily menggeram dengan gemas, "Selama ini kamu terkesan membela Mas Arkan dan—"

"Saya membela selama sikap dan perintahnya masuk akal, yang semalam itu jelas melanggar kesepakatan dengan Pak Reynand juga." Cloud menghela napas pendek lalu kembali pada sikap sigapnya, mengawasi dari sudut ruangan.

Lily meminum air di gelasnya, mencoba menghubungi Arkan lagi meski tetap tidak tersambung. Ia juga mencoba menghubungi asisten pribadi Arkan, tersambung namun tidak merespon.

Ini sungguh membuat frustrasi. "Bagaimana ini?" tanya Lily sebelum beranjak untuk mondar-mandir di ruang depan apartemennya.

Langkahnya terhenti tatkala mendengar suara kode pintu terbuka dan Reynand berjalan masuk. Lily mengupayakan ketenangan saat mendekat.

"Pa ... Lily—"

"Bukan salah kamu," ujar Reynand lalu berdiri di hadapan sang anak yang jelas menahan sedih juga bingung. "Ini salah Papa, seharusnya enggak sembarang mempercayai Arkan dan meninggalkanmu sendiri dalam menghadapinya."

Ada rasa sesak yang membuat Lily jadi perlu bergerak untuk mengalihkan. Ia menggeleng. "Enggak, Lily enggak apa-apa, Pa."

"Jujur sama Papa, Ly ... kamu boleh meminta apa saja, kamu anaknya Papa dan—"

"Aku enggak apa-apa, beneran," ucap Lily dan alih-alih mampu meyakinkan sang ayah, justru dirinya seolah tengah meyakinkan diri sendiri. Keputusan terkait pernikahan itu terus berputar di kepala Lily, ia tidak bisa menghentikannya begitu saja.

Bagaimana dengan kakeknya, juga keluarga Arkan?

"Lily dengar ..."

Lily kembali menggeleng. "Mas Arkan gimana, Pa ... apakah dia—"

"Ly, dengar, ini sudah bukan tentang Arkan lagi ... ini tentang kamu dan Papa merasa sangat bersalah, karena membuat kamu terus berkorban, menahan diri sampai begini demi seseorang yang tamak sepertinya." Reynand menggenggam tangan sang putri dan bersungguh-sungguh memberi tahu. "Jangan mementingkan nama baik atau kebahagiaan orang lain, pentingkan diri kamu sendiri, Ly ... kamu sangat berharga bagi Papa, Mama, dan Romeo."

Air mata Lily seketika menetes mendengarnya. Ia merasa sangat malu dan sedih karena telah membuat sang Papa harus menyalahkan diri atas kesalahan yang diperbuatnya.

"Papa ... tapi aku—"

Reynand segera memeluk sang putri, mencoba menenangkan. "Shh ... jangan khawatir, kamu akan terlepas dari semua ini, segera. Ikatan keluarga yang hanya membuat kamu berkorban semakin banyak ini, harus segera berakhir!" ucap Reynand dengan tekad yang menguat seiring terdengarnya suara tangisan Lily.

***

Arkan tidak bisa kehilangan lebih banyak waktu. Oleh karena itu, meski tim dokternya masih berupaya menahan tetap dalam perawatan, Mr. Kim juga memberi tahu situasi yang belum kondusif, Arkan tetap nekat menyambangi Reynand Rahardian. Ia harus bisa mendapatkan restu dan segera menikahi Lily.

Reynand Rahardian menerima kehadiran pria itu semata untuk menegaskan berakhirnya hubungan. "Kamu punya tim dokter yang cukup hebat, ternyata."
  
"Mereka bekerja keras dalam tiga hari ini," ujar Arkan mencoba terlihat setenang mungkin.
  
"Om berharap mereka masih bisa bekerja keras untuk seminggu atau sebulan ke depan!" kata Reynand sebelum berdiri dan beranjak pada Arkan.

Melihat tajamnya tatapan mata dari Papa Lily itu, Arkan langsung bersiap. Terutama saat Reynand meraih tongkat golf yang bertengger di samping mejanya. Melihat dari ukiran merk yang tepasang di gagangnya, tongkat kokoh itu terbuat bahan platina yang sangat bagus. Kali ini Arkan pasti cedera, minimal retak. Sial!
  
Arkan berusaha tidak goyah. "Saya akan menerima luka sebanyak apapun, setelahnya berikan izin Om Rey agar saya bisa menikahi—"

Ayunan tongkat itu mengenai kaki Arkan, membuat tunangan Lily itu langsung jatuh belutut. Arkan meringis merasakan sakit di area pergelangan kakinya.

"Jangan memancingku untuk benar-benar melukaimu!" kata Reynand saat Arkan kembali menatap matanya. Untuk ukuran seorang pria yang bersalah, putra rekan bisnisnya ini cukup pemberani.
  
"Saya akan menerima luka sebanyak apapun, setelahnya berikan izin agar saya bisa menikahi Lily." Arkan nekat menyelesaikan kalimatnya dan pukulan kedua tongkat golf itu bersarang ke lengannya.

Pukulan itu keras tapi tidak dalam kadar yang bisa membuat Arkan menjeritkan rasa sakit. Pukulan ayahnya saat Arkan berbuat kenakalan di masa lalu nyaris sepuluh kali lebih sakit dari pukulan Papa Lily. Pukulan Langit dan Ryura saat latih tanding aikido juga lebih menyakitkan. Ini masih bisa ditahan.
  
"Ada gunanya kamu belajar bela diri ala militer bersama para saudaramu," komentar Reynand sebelum melemparkan tongkat golfnya dan beralih menarik kerah kemeja Arkan. Kembali melayangkan pukulan ke wajah yang baru sembuh tersebut. Arkan masih tidak membalas, begitu juga saat tendangan kembali bersarang ke perutnya.

Pintu ruang kerja terbuka dan Randy Rahardian segera berupaya menghentikan. "Reynand!!! Kamu sudah gila??"

"Papa yang gila karena bersekongkol dengan bedebah ini!" geram Reynand, saat pengawal sang putri melaporkan situasi genting pada malam itu, Randy Rahardian justru melakukan pembiaran.

"Lepas!" teriak Randy lalu membebaskan kerah kemeja Arkan dari cengkraman Reynand.

Arkan beralih duduk si sofa kulit, mengatur napasnya seraya memperhatikan ayah dan anak yang mulai berseteru sendiri.

"Kamu sudah gila, bagaimana kalau Adam Hendradi tau tentang hal ini!!!" decak Randy kesal.
  
"Dia mungkin brengsek, tapi tidak sepengecut itu untuk mengadu," kata Reynand melirik Arkan.

Arkan mengangguk, ia tidak mengadu pada ayah atau ibunya, bahkan memilih bermain kucing-kucingan untuk menyembunyikan luka di wajahnya ini.
  
"Brengsek? Kamu menyebut calon suami Lily dengan kata-kata yang tidak pantas!!!"
  
"Papa yang tidak pantas menentukan calon suami untuk putriku, Papa tidak punya hak!!!"
  
"Putri kesayanganmu itu, sudah tidak ada harganya la—"

Arkan menatap iba pada pajangan gedung Burj Khalifa dari kristal yang kini berupa serpihan di lantai. Reynand Rahardian jelas berusaha mengendalikan dirinya menghadapi pria tua itu. Arkan sendiri sedikit muak dengan ambisi yang terlihat jelas di wajah kakek Lily.

"Putriku hanya akan menikah dengan seseorang yang akan mencintainya. Sudah cukup dengan pertunangan konyol yang kalian paksakan padanya. Lily tidak akan menikah dengan paksaan yang sama!!!" kata Reynand sebelum beranjak keluar dari ruangan.

Arkan melihat Randy Rahardian yang sekilas mematung. Ada tatapan terluka di mata pria tua itu. Tapi tatapan terluka itu dengan cepat berganti saat beralih memandang Arkan. "Nak, apa kamu baik-baik saja? Siapa yang harus Kakek telepon? Mr. Kim atau doktermu?" tanya Randy saat mendekat pada Arkan sambil mengeluarkan ponsel.
  
"Saya baik-baik saja. Om Reynand tidak benar-benar serius memukul saya," kata Arkan saat meraih tissue untuk meludahkan darah yang ada di mulutnya. Beralih meraih tissue lainnya untuk membersihkan wajahnya. Arkan pikir, dia mendapatkan memarnya kembali.
  
"Maafkan Reynand, dia—"
  
"Seharusnya saya yang dituntut permintaan maaf," sela Arkan.
  
"Ah, soal Lily. Hubungan antara orang dewasa memang seperti itu. Wajar setelah dua tahun bersama kalian terlibat hubungan lebih jauh. Reynand terlalu kuno dan tidak—"
  
"Saya menghargai sikap-sikap kuno. Saya harus meminta izin untuk bertanggung jawab," sela Arkan lagi dan bersiap untuk berdiri.
  
"Oh tidak perlu khawatir tentang izin apa pun, kamu bisa melakukan yang kamu mau pada Lily. Pernikahan adalah jalan terbaik, Reynand juga akhirnya akan mengerti. Lakukan saja!"
  
"Saya tidak akan melakukannya jika Om Rey tidak mengizinkan."
  
"Lily adalah cucuku yang—"
  
"Dia menjadi cucu Anda di saat-saat seperti ini, ya," sindir Arkan lantas menyerigai muak. "Dia cucu yang penurut dan jelas akan menuruti Anda. Saya tahu betul tentang itu, tapi rasanya sudah cukup permainan itu di antara kita berdua. Saya hanya akan bicara pada Om Reynand tentang urusan pernikahan," lanjut Arkan sebelum bangkit berdiri, memastikan tubuhnya bisa diajak bekerja sama sebelum beranjak mencari Papa Lily itu.

Arkan tidak akan menyerah hingga mendapatkan restu. Di antara banyaknya kesalahan yang dilakukannya. Beberapa hal tetap harus dilakukan dengan cara yang benar.

Saat menanyakan tentang Reynand, pegawai rumah tangga yang ditanyai Arkan menunjuk bangunan rumah kaca di samping rumah. Dari luar, Arkan bisa melihat rumah kaca itu di rawat dengan sangat baik. Sebaris nama yang terukir di pintu masuk mengingatkan Arkan tentang sosok wanita yang dulu mendampingi si tua Randy Rahardian.

Sambil menarik napas pelan, Arkan memasuki rumah kaca itu. Hawa sejuk terasa saat Arkan masuk semakin ke dalam, ada set kursi rotan di tengah rumah kaca itu dan Reynand Rahardian duduk di sana memandangi deretan anggrek yang tergantung di dinding kaca. Kuncup bunga Lily tampak di pot-pot yang memanjang di bawah deretan anggrek tersebut.
  
"Kamu mungkin bisa bernegosiasi dengan Papaku, tapi tidak denganku!" kata Reynand menyadari siapa yang mendatanginya.
  
"Sudah lama, saya tidak tertarik bernegosiasi dengan Pak Randy. Tidak seru, karena saya selalu memenangkan negosiasi dengan mudah," ungkap Arkan sambil berjalan mendekat.
  
"Kamu menjadi favoritnya selama ini, mudah baginya mewujudkan keinginanmu!"
  
"Sayang sekali yang saya inginkan berikutnya tidak bisa didapatkan darinya."
  
"Memang tidak semua keinginanmu harus terpenuhi."

Arkan tersenyum dengan tanggapan sinis yang baru disampaikan lawan bicaranya itu. Sejak awal, memang lebih menarik berurusan dengan Reynand dibandingkan Randy Rahardian.
  
"Izinkan saya menemui Lily," kata Arkan mengubah arah pembicaraannya.
  
"Dan membiarkan kamu kembali mempengaruhinya? Tidak akan!" tolak Reynand.
  
"Saya tahu Lily mengkhawatirkan saya, dan sebelum ponselnya tidak dapat dihubungi ... dia berkali-kali mencoba menelepon saya, ada banyak pesan dan—"

"Cincin dan perhiasan lainnya akan dikembalikan minggu depan," sela Reynand dan memberi tatapan serius. "Lily juga tidak akan terhubung lagi denganmu dan—"

"Dan itu pasti akan membuatnya menderita, untuk seorang perempuan, biasanya cinta bertahan lebih lama." Arkan berujar dengan penuh percaya diri.
  
Reynand menghela napas pendek. "Kepercayaan diri yang bagus, tapi sayang sekali dia akan mengalami cinta baru dalam hidupnya nanti. Cinta yang sebenarnya dan layak dia dapatkan!"
  
"Lily tidak bisa memutuskan saya tanpa bicara langsung pada saya!"
  
"Aku yang membuat keputusan!"
  
"Itu artinya Om Reynand tidak ada bedanya dengan Pak Randy!" cecar Arkan dan langsung mendapatkan tatapan tajam dari Papa Lily itu. "Bukan hanya Lily yang berusaha atau berkorban dalam hubungan kami selama dua tahun ini. Saya juga melakukan yang terbaik untuk menjaganya!"

"Tapi kamu—"

"Saya mengakui itu kesalahan saya, karenanya saya juga mencoba untuk memperbaiki! Saya menghormati Om Rey, bukan sebagai relasi bisnis berharga bagi keluarga saya. Tapi sebagai seseorang yang paling menyayangi Lily di dunia ini. Saya diajari untuk bertanggung jawab atas kesalahan dan saya berusaha untuk itu. Karenanya, sepuluh atau dua puluh pukulan akan saya terima. Selama itu bisa melegakan kemarahan Om Rey atas sikap saya," tegas Arkan, menyatakan kesungguhan sikapnya.
  
"Kamu tidak punya hak menyamakan aku dengan pak tua itu!" kata Reynand.
  
"Jika Om Reynand memutuskan segala sesuatu tentang Lily secara sepihak, itu sama saja dengan apa yang dilakukan Pak Randy," ucap Arkan dan kembali mendapatkan tatapan tajam Reynand
  
"Arkan!"
  
"Saya tidak akan berbuat sesuatu tanpa berani menanggung resikonya. Saya tidak akan berbuat kesalahan jika tidak berani bertanggung jawab atasnya. Lily dan saya sepakat tentang pernikahan. Saya bisa saja mencarinya, menemukannya, menikah dengannya tanpa Om Reynand. Bagaimanapun dia tidak punya wali yang terhubung dengan darah di keluarga ini. Saya bisa melakukan itu dengan mudah!"
  
Reynand mengepalkan tangannya kuat. "Lalu kenapa kamu datang kemari?"
  
"Karena untuk beberapa hal saya ingin melakukannya dengan cara yang benar!"
  
"Aku hanya akan menyerahkan Lily pada seseorang yang mencintainya!"
  
"Satu-satunya cara agar Lily terbebas dari keluarga ini hanya memberikan keluarga baru untuknya. Saya setuju saat Om Rey mengatakan bahwa Pak Randy tidak berhak menentukan calon suami Lily. Tapi satu sisi, saya juga tidak akan melepaskan Lily!"
  
"Kamu tidak akan bisa meyakinkan aku tentang—"
  
"Kalau begitu, biarkan Lily yang meyakinkan Om Rey!" sela Arkan dengan percaya diri.

Reynand menarik napas pelan sebelum memutuskan beranjak mendekati pot-pot bunga Lily yang ada di hadapannya. Arkan merasa bahwa lawan bicaranya akan membutuhkan banyak waktu untuk berpikir. Rencana yang cermat disusunnya akan bergeser dan itu akan semakin memusingkan.
  
"Saat Alfa meninggal, dia tidak meminta banyak hal padaku. Dia hanya ingin Lily bahagia. Saat ibuku tiada, beliau juga tidak meminta banyak hal padaku. Ibu hanya ingin Lily mendapatkan keluarga yang sebenarnya." Reynand menjaga agar sikapnya tenang dan suaranya tidak bergetar. "Ibu berharap aku dan istriku bisa meluluhkan hati Papa untuk menyayangi anak itu. Aku mengakui bahwa kami telah gagal melakukannya. Randy Rahardian tidak punya hati. Satu sisi, Lily selalu punya banyak tempat di hatinya. Dia bahkan memberikannya untuk seseorang yang tidak layak seperti papaku ... juga orang sepertimu."
  
Arkan beranjak berdiri dan mendekat. "Om Rey, Lily mencintai sa—"
  
"Lily tidak mencintaimu pada awalnya. Dia melakukan pertunangan itu untuk memenuhi keinginan Papaku. Lily berharap bahwa dengan begitu kakeknya akan menerimanya. Kesalahanku, karena aku meninggalkannya sendiri. Kesalahanku juga, karena entah bagaimana aku percaya bahwa kamu akan melepaskan dia pada akhirnya nanti. Aku percaya kamu peduli pada kebebasannya, namun ternyata tidak! Kamu sama saja dengan Kakeknya Lily," geram Reynand sambil mengepalkan tangan.

Arkan langsung menyadari betapa sosok di hadapannya ini berusaha sangat baik untuk menahan diri terhadapnya selama ini. Seharusnya, Arkan ditembak mati kemarin. "Om Rey ..."

"Aku hanya ingin putriku bisa benar-benar bahagia," ujar Reynand lalu sebelum tidak sanggup menahan diri, memilih beranjak meninggalkan Arkan yang mematung di tengah ruang kaca.

***

Lily termenung membaca rentetan kiriman email dari Amaris Fabian, ibunda Arkan itu jelas berupaya menghubungi dan menemuinya. Namun, apa daya, Lily harus menghindar.

Lily tidak tahu bagaimana harus menghadapi situasi saat ini tanpa arahan atau pendampingan Arkan. Sang Papa menegaskan pemutusan hubungan, namun kakeknya menentang. Lily tahu dirinya harus menemui Arkan untuk mendapatkan kepastian.

"Gue tahu lo mau kabur, tapi kita lagi repot banget nih," decak Dinia lalu melirik pada Cloud yang siaga di sudut ruangan.

"Kita males ya, Ly kalau dicecer terus," imbuh Sara yang kerap disasar tuduhan membantu Lily kabur.

Heritage adalah tempat pelarian yang membuat Lily merasa mampu bernapas  kembali. Meski, untuk datang ke tempat ini dirinya butuh menjanjikan banyak hal pada sang Papa, termasuk selalu ada dalam pengawasan Cloud.

"Aku butuh ngomong sama Mas Arkan," ucap Lily lirih. "Ponselku disita, karena itu ini satu-satunya cara ... supaya ketemu."

"Di berita katanya absen menghadiri peresmian distrik pertama JehwaIBD, diapain sih sama bokap lo?" tanya Sara.

Lily angkat bahu. "Please, Sar, tolongin."

Dinia lebih dulu berdecak. "Sial, lemah kita nih sama beginian."

Sara mengangguk. "Urus tuh orang Din," katanya lalu membuat panggilan telepon, sengaja mengurus karya foto dengan bentangan besar yang mengganggu jarak pandang Cloud.

Saat pengawal Lily itu sigap bergerak, Dinia juga berlagak meminta anak magang untuk semakin menyibukkan suasana, dengan mudah mengambil ponsel Lily dari tas yang Cloud tinggalkan.

"Ly, ayo ke pantri, bikin es kopi," ajak Dinia begitu berhasil mengamankan ponsel.

Lily segera beralih. "Oke," serunya antusias dan menatap pengawalnya. "Tolong bereskan lensa ya, habis bikin es mau langsung pulang."

"Oh, baik," ucap Cloud sigap.

Lily berlalu melewatinya, secepat mungkin mengambil ponsel dari Dinia lalu keluar lewat gerbang samping dan langsung mencegat taksi.

Lily meminta taksi melaju sementara dirinya mengaktifkan flip ponsel hadiah Arkan. Pria itu benar-benar langsung mengganti ponselnya usai mereka bertunangan.

Mas Arkan calling ...

Pemberitahuan panggilan masuk itu seketika membuat Lily lega. Ia segera mengangkatnya, "Hallo, Mas ..."

"Finally," desah Arkan lega di ujung telepon. "Kamu di mana, Ly? Aku jemput sekarang."

"Aku di taksi, Mas ... Mas Arkan di—"

"Hotelku! Kamu langsung ke sini, kita harus bicara."

"Iya, Mas, Lily ke situ," ucap Lily dan langsung memberi tahu alamat tujuan pada sopir.

"Aku tunggu ya," kata Arkan sebelum mematikan sambungan.

Lily menurunkan ponsel untuk mengakhiri sesi telepon. Ia menghela napas lega, karena suara Arkan terdengar jelas, pria itu pasti sudah baik-baik saja.

Sesungguhnya Lily juga tidak mengerti, sejak kapan perasaannya tumbuh dan berkembang hingga sejauh ini. Dahulu, kamera dan fotografi adalah hal yang selalu membuatnya merasa tenang dan bahagia, namun sejak bersama Arkan, melakoni hubungan dengan lelaki itu ... ada momen tertentu yang membuatnya juga begitu lepas tertawa, nyaris menyamai kegembiraannya kala memotret.

Gila memang, seseorang yang seharusnya tetap membangun jarak dan menempatkan batas, justru membuatnya perlahan jatuh cinta. Sejak awal, Lily menyadari bahwa dirinya tidak bisa membenci Arkan. Sikap pria itu memang menakutkan, seringnya karena tidak dapat ditebak. Tapi semua itu bukannya membuat Lily terpukul mundur, Lily justru semakin penasaran.

Sekali, dua kali... pada saat yang tepat, Arkan tanpa sadar melepaskan topengnya dan itu adalah sosok yang sangat mudah didekati. Lily menyukai saat-saat itu, saat Arkan berbagi perasaan padanya. Pria itu memang hanya memberikan sepenggal-penggal cerita hidupnya ... tapi sepenggal demi sepenggal itu semakin mendekatkan Lily pada sosok penuh kasih sayang dibalik topeng penuh dominasi yang ditampilkan.

Di balik sikap menyebalkan dan pemaksaan Arkan, Lily juga merasakan kepedulian. Satu tahun yang lalu misalnya, Arkan yang pertama datang ke rumah sakit. Saat itu Lily jatuh terguling ketika menuruni Semeru. Pergelangan kaki Lily retak dan Arkan mengomelinya habis-habisan di rumah sakit.

Awalnya, Lily mengira pria itu mengomelinya karena membuat pekerjaan terganggu. Saat Lily mengungkapkan itu, Arkan semakin mengamuk dan sempat meninggalkan rumah sakit dalam keadaan marah. Lily benar-benar tidak mengerti dengan sikap aneh itu. Tapi, ketika malam hari datang dan obat penahan rasa sakit Lily sudah habis ... ada genggaman tangan Arkan yang menenangkannya. Arkan menemaninya, bahkan memeluknya yang menangis tergugu karena sakit.

Arkan memang bersikap menyebalkan dengan menahan kamera-kamera Lily. Arkan juga memaksanya mengajukan cuti bekerja dari Heritge sampai benar-benar pulih. Namun setiap malam, bergantian dengan orang tuanya, Arkan selalu ada di samping tempat tidur Lily. Pria itu berdalih melakukannya untuk mencitrakan sosok tunangan yang sempurna tapi Lily merasakan ketulusan dari setiap genggaman tangan yang membantunya belajar berjalan atau menuntunnya ke kamar mandi setiap tengah malam.

Hal yang lebih membuat Lily merasakan kepedulian Arkan adalah ketika pria itu mau berbagi kehangatan keluarganya. Lily menyukai setiap saat diajak berkumpul bersama keluarga besar Arkan. Sepupu-sepupunya yang ramah dan perhatian. Para keponakan yang baik, lucu, dan menyenangkan. Arkan adalah paman favorit mereka. Tunangan Lily itu selalu menjadi sasaran request mainan dan Arkan selalu murah hati pada keponakannya. Arkan tidak pernah melarang Lily dekat dengan keluarga pria itu. Sebaliknya, Arkan seolah membawa Lily untuk merasakan kehangatan keluarga yang sebenarnya.

Lily memandangi cincin pertunangannya dan dalam hati berdoa, semoga hubungan mereka tetap baik-baik saja.

***

Arkan menunggu sembari terus menempelkan kompres berisi es batu ke sudut bibirnya yang agak memar. Penampilannya belum pulih sepenuhnya tapi dia perlu bicara pada Lily, sesegera mungkin. Reynand Rahardian sempat menggoyahkan tekadnya namun setelah akal sehat Arkan kembali, apa yang direncanakannya harus tetap terwujud. Jika persetujuan dari Papa Lily tak kunjung didapat, maka Arkan terpaksa menggunakan rencana kedua untuk memaksakan pernikahan.

Tiga ketukan terdengar sebelum pintu terbuka. Lily melangkah memasuki suite dan menatap Arkan yang sedang mengompres memar. Mata tunangan Arkan itu membulat terkejut, bergegas mendekat dan duduk.

"Mas, ya ampun... kok nggak ke rumah sakit?" tanya Lily dengan nada khawatir, menggantikan tangan Arkan untuk memegangi kompres es batu.
  
"Ini nggak begitu parah, masih lebih parah yang sebelumnya," kata Arkan.
  
Lily sempat mengerjapkan mata sebelum berseru, "Mas Arkan ketemu Papa lagi?"
  
"Tadi pagi, aku harus dapatkan restu Om Reynand," ungkap Arkan dan Lily langsung merenung sambil menundukkan kepala.
  
"Soal pernikahan, itu memang terburu-buru," ucap Lily pelan.

"Kamu sudah setuju, Ly!"
  
"Iya, tapi coba Mas Arkan pikirkan ulang, nggak ada yang harus—"
  
"Kita akan punya anak, itulah kenapa kita harus segera menikah!"

Pernyataan yang langsung membuat Lily melepaskan pengangannya pada kompres es batu. Balok-balok es sebagian jatuh di pangkuan Arkan, pria itu dengan santai memungutnya dan memindahkannya ke mangkuk di meja.

Lily masih terkejut untuk bisa melakukan sesuatu. Pikiran Lily bahkan tidak sampai pada kemungkinan itu. "Mas... tapi—"
  
"Aku mungkin menghamilimu, karena itu kita harus segera menikah!"
  
"Tapi, belum tentu juga karena sebelum malam itu aku baru selesai mensnya dan—"

"Lily," panggil Arkan lembut. "Di dunia ini ada beberapa hal yang ingin aku lakukan dengan benar. Yang pertama adalah tentang melindungi keluargaku. Yang kedua adalah tentang menikahi seseorang yang kucintai, aku ingin melakukannya dengan pantas."

"Cinta?" pekik Lily cepat. "Mas Arkan... cinta, sama Lily?" Lily terkejut dan tidak percaya. Ini mustahil.

Arkan juga merasa sedikit konyol dengan ucapannya, tapi dirinya tidak punya pilihan. Apa saja akan diucapkannya asal bisa meyakinkan Lily untuk segera menikah. "Dulu, mungkin aku menyentuh perempuan tanpa perasaan tapi saat bersama kamu, aku melakukannya karena memiliki perasaan. Entah itu disebut cinta atau bukan, tapi itu adalah perasaan yang ingin kupertanggung jawabkan dengan pernikahan ..."
  
"Tapi soal menikah dalam waktu dekat itu... Papa bilang, akan memutus—"
  
"Papamu juga mengatakan itu padaku, akan mengakhiri semuanya di antara kita. Tapi aku enggak bisa melepaskan kamu, Ly. Aku nggak mau melakukannya, because I love you." Arkan menegaskan kalimat terakhirnya.

Jantung Lily berdetak keras mendengar kalimat tunangannya itu. Perasaannya menghangat secara tiba-tiba.

"Jadi, Lily harus apa?" tanya Lily, dirinya benar-benar mudah luluh, terlebih setelah pernyataan cinta yang didengarnya.

Arkan sebenarnya merasa brengsek karena memanfaatkan perasaan yang dimiliki tunangannya itu pada dirinya. Tapi sekali lagi, Arkan benar-benar tidak punya pilihan. Sesegera mungkin, Arkan harus menikah. Tidak ada banyak waktu yang tersisa bagi dirinya.
  
"Bicara pada Mamamu tentang ini, Ly."
  
"Mama pasti kecewa kalau tau," kata Lily tidak bisa membayangkan reaksi sang Mama saat Lily menceritakannya. Papanya sudah memberitahu Lily agar hal yang terjadi kemarin sebaiknya dirahasiakan dari sang Mama.
  
"Hanya Tante Meira yang bisa meyakinkan Om Rey," ujar Arkan sebelum menggenggam tangan Lily. Mencoba tetap menyakinkan tunangannya itu. "Mamaku akan mendukung kita, karena itu Mamamu juga harus begitu, iya 'kan?"

Lily menghela napas pelan sebelum terdiam. Lima belas detik terlewat hingga akhirnya Lily mengangguk pelan. Arkan langsung bersorak dalam hati, beralih memeluk Lily dan menggumamkan terima kasih.
  
"Lily akan cari waktu yang tepat, hari ini Mama baru menyusul pulang ke Jakarta, Mas."
  
"Oke, nggak papa. Kamu sudah makan siang?" tanya Arkan saat melepaskan pelukannya.
  
"Belum, aku kabur dari Heritage."
  
"Ck! Ya udah, makan siang sama aku." Arkan memutuskan cepat. "Aku juga akan minta Cloud untuk nyusul ke sini. Kamu tau kan? Aku nggak suka kalau kamu pergi-pergi tanpa Cloud, jangan diulangi lagi ya ..." Arkan menyentuh ringan pipi kanan Lily. Nada suaranya tetap lembut tapi tatapan pria itu seakan bisa melubangi kepala Lily jika tidak segera menurut.

"Iya, Mas."
  
"Sebelum keluar kamu ganti baju dan sepatu di kamar ... kamu kalau enggak diawasi, suka begini, sembarangan lagi berpenampilan."

"Oh, Lily soalnya—"

"Jangan lupa dandan juga, muka kamu pucat ... pakai pewarna bibir yang waktu itu, cocok buat kamu dan aku suka," ujar Arkan sambil mengusap bibir Lily sejenak sebelum beranjak berdiri. "Aku tunggu di luar ya, Sayang."

Lily mengerjapkan mata saat langsung ditinggalkan, terlebih Arkan juga sibuk sendiri dengan ponsel, seolah lelaki yang baru saja menyatakan cinta dan bersikap lembut tadi hanya halusinasi.

Terkadang, Lily memang takut dirinya sudah sepenuhnya tertipu oleh topeng pencitraan untuk mengenali Arkan yang sesungguhnya. Lily takut jika perasaan di dalam hatinya ini tumbuh karena kamuflase salah satu topeng itu.

Lily takut jika sosok Arkan yang memberinya sedikit kebahagiaan selama ini, sebenarnya tidak pernah ada.

[]

📸

Bunglon emang!
wkwkwkwkk

Buaya-Bunglon plus Blengcek
kuat-kuat ya Ly
yokbisayok!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top