Alexi & Cally


Hai,
Kedjutaaaaan 💥

.

Panjang banget lho bab inieh,
3.450 kata!
Uwooo ... menyala semangatku dalam menyiksa Lacozteeee, hahaha

Kalian semangat juga ya
jangan lupa vote & comment

Thank you so much ❤️

🐊

--

Calista terbangun dari tidur siangnya, seketika menggeram sambil memejamkan matanya lagi, rasa tidak nyaman akibat gerakan dan geliat si bayi muncul, seolah menekan ulu hatinya hingga membuat sesak. Itu semakin terasa membuatnya kewalahan hingga tidak sanggup melakukan hal selain mengusap dan berusaha menenangkannya.

"Cal ... are you okay?" tanya Lily yang menunggui dalam ruang rawat dan langsung mendekat pada sang adik ipar.

"Ngh, sumpah enggak ngerti dia maunya apa," sebut Calista lalu meremas pinggiran ranjang perawatan yang ditempatinya. "Ngghhhhh ..."

"Shhh, tenang-tenang," ucap Lily kemudian membantu mengelus pelan perut buncit Calista. "Kamu atur napas juga Cal, tarik ... embuskan ... ayo ... pelan-pelan, Cally."

Calista mencobanya, berulang sesuai dengan instruksi Lily hingga bayinya cukup tenang. Ia memejamkan mata sambil perlahan melepas cengkraman pada pinggiran ranjang. "Rasanya aku bakal mati duluan, Mbak ..."

"Hush! Jangan ngomong begitu," tegur Lily yang kini merapikan pinggiran selimut Calista. "Kamu akan baik-baik saja dan si bayi juga."

"Mbak ... Mbak Lily bakal maafin Mas Arkan, 'kan?" tanya Calista sewaktu Lily hendak beralih. "Mbak ... aku bisa lihat kalau Mas Arkan udah menyesal ... Papa dan Mama, Kai sama Kak Ken juga, mereka enggak ada yang bakal melunak, sampai Mbak Lily mau maafin."

Lily termenung sejenak, memikirkan ucapan adik iparnya lalu memberi tahu dengan pedih, "Maaf?" ulangnya lalu menunduk ke lantai ruang rawat yang dilapisi karpet mahal, khas ruangan VVIP. "Kata itu memang berarti banyak hal dan sejujurnya, Mbak enggak bakal bertindak sejauh ini kalau sejak awal Mas Arkan meminta maaf dengan cara yang benar."

Calista mengerjapkan mata. "Maksudnya?"

Lily mengangkat kepalanya untuk memandang Calista. "He did all for you, to protect you ... karena itu merasa setiap hal yang dia lakukan punya sisi pembenaran, memintaku memahami itu, ikut bekerja sama dalam mengamankanmu."

"Sewaktu Mbak Ly baikan sama Mas Arkan, aku kira kalian memang sudah saling paham, kukira semua akan berjalan sesuai rencana Mas Arkan." Calista geleng kepala. "Aku enggak menyangka kalau akhirnya Mbak Ly membuat rencana lain dan jadi begini."

"Apa kamu keberatan?"

"Enggak, tapi aku maunya setelah aku bisa baik-baik sama Papa dan Mama ... Mas Arkan bisa sama Mbak Ly juga, saling baik selayaknya suami-istri mesra seperti semingguan terakhir sampai enggak pulang ke apartemen."

Lily tersenyum sendu. "Dengan begitu semua hal terasa tepat ya, Cal?"

"Iya, semua orang happy," ungkap Calista dengan senyum lebar.

"But I am not really happy," ucap Lily jujur.

Calista menghentikan senyumnya lalu menggeleng. "Mbak Ly ... Mas Arkan enggak punya pilihan Mbak, keadaanku yang—"

"Dia selalu punya pilihan, Cal ... dan bersikap jujur padaku adalah hal yang enggak dipilihnya sejak awal."

"Mas Arkan pasti berpikir bahwa bisa jadi Mbak Ly enggak akan bantu kalau jujur sejak awal."

Lily mengangguk. "Sebagai gantinya dia menjebak Mbak dalam situasi yang bahkan enggak bisa kujabarkan bagaimana harus melewatinya selama ini."

"Mbak ..." panggil Calista lirih karena Lily meneteskan sebutir air mata.

"Sama sepertimu secure bersama Papa dan Mama. Mbak juga baru bisa merasa secure sekarang, saat ada Papaku yang selalu bersamaku." Lily butuh sejenak mengatur napasnya. "Mbak Ly juga bisa melihat bahwa Mas Arkan menyesal, tetapi penyesalan itu ada bukan karena sejak awal dia sadar bersalah telah berbohong, menyakiti dan merusak kepercayaan Mbak."

"Mbak Ly ..."

Lily menggeleng, enggan terbawa emosi dan tanpa sadar meluapkan amarah. "Kita fokus aja ya sama perawatan jelang kelahiranmu, soal Mas Arkan ... Mbak butuh waktu sebelum menghadapinya lagi."

Calista ikut sedih saat mendapati Lily cepat-cepat mengusap lelehan air mata. "Aku tahu aku tamak dan mungkin kedengarannya enggak tahu diri ... tapi please, kalian jangan berpisah ya. Mbak Ly yang terbaik buat Mas Arkan."

"Kalau pun kami berpisah, itu juga bukan kesalahan kamu, Cal," sebut Lily yang kemudian bergerak lebih dekat lalu mengusap raut wajah sedih adik iparnya. "Dasar hubungan kami yang kayaknya memang enggak cukup kuat, makanya ketika dipaksakan, jadinya berantakan begini."

"Mbak Ly ..." isak Calista yang seketika dilanda kesedihan. Kakaknya pasti akan sangat terluka dan kecewa, kedua orang tuanya juga.

"Shhh ... jangan nangis, kami yang lebih dewasa akan menyelesaikan ini secara dewasa dan berusaha pada jalan kebaikan yang bisa dipilih bersama." Lily mengusap aliran tangis di pipi Calista. "Apa pun itu, bagi Mbak, kamu tetap adik Mbak juga ..."

"Aku minta maaf, Mbak Ly ... aku ... seandainya aku—"

"Shhh ... udah, udah, you're gonna be okay, Cally." Lily berupaya menenangkan dengan beralih memeluk, mengusap-usap bahu adik iparnya yang sedikit terguncang karena luapan emosi.

Lily juga sebisa mungkin menahan tangisnya. Ia tidak boleh lebih emosional lagi dan membuat keadaan yang sudah tenang menjadi bergejolak. Penting untuk Calista mendapatkan ketenangan sebelum menghadapi persalinan yang berat.

***

Arkan berdiri di depan ruang rawat itu dengan sebuket bunga lily dan mawar putih yang dirangkai sedemikian indah. Ia diberi tahu bahwa orang tuanya masih tertahan di ruang konsultasi bersama tim dokter sementara Reynand Rahardian meminjam salah satu ruangan untuk bekerja.

Arkan pikir ini kesempatannya untuk bicara dan meminta maaf secara pantas, mengupayakan perbaikan hubungan dengan Lily. Namun, mendengar obrolan yang cukup emosional itu membuatnya seketika kehilangan keberanian. Istrinya masih sangat terluka.

Arkan menatap buket bunganya, mengambil sepotong kertas yang terselip di tengah bagian buket lalu meninggalkannya begitu saja di pinggiran pintu. Ia melangkah mundur dengan perlahan lalu beranjak pergi, bergegas mencari area kosong dan sepi sebelum perlahan mengatur napas dengan menghadap dinding kosong terdekat.

"Dasar hubungan kami yang kayaknya memang enggak cukup kuat, makanya ketika dipaksakan, jadinya berantakan begini."

Ucapan itu terngiang dalam kepala Arkan, membuat rasa bersalah dan penyesalannya seakan meluap. Ia begitu saja berteriak lalu mengayunkan tinju ke dinding putih di hadapannya.

Tangannya terasa nyeri, kebas dan jelas berdarah lagi. Namun, itu tidak seberapa sakit dibanding hatinya yang hancur, berkeping-keping.


***

"Cally ... lihat, ini cantik banget buket bunganya ..." ucap Amaris yang memasuki ruang rawat dengan mendekap buket bunga nuansa putih itu. "Aduh, mana wangi segarnya alami banget."

"Dari siapa, Ma?" tanya Calista yang dibantu duduk dan Lily mengatur posisi sandaran tempat tidur.

"Enggak ada kartu atau apa pun, tapi Mama dapat di depan pintu." Amaris sedikit mengerutkan kening. "Lantai ini cuma ditempati kamu aja, pastinya buat kamu juga ya?"

"But its lilies," ujar Calista lalu menatap kakak iparnya. "Kayaknya buat Mbak Ly deh."

"Bukanlah, enggak ada hal yang bikin Mbak Ly pantas dikasih bunga," kata Lily yang kemudian menunjuk ke vas kosong di dalam rak pajangan. "Mama, itu ada vas kosong kalau bunganya mau dipindah ke sana."

"Loh iya, Lily mau bantu pindahin, Sayang?"

"Boleh," jawab Lily yang kemudian beranjak untuk mengambil vas tersebut, membawanya ke wastafel untuk lebih dulu mengisinya dengan air.

"Ini mirip buket itu, yang waktu Mbak Ly dirawat di rumah sakit juga habis kecelakaan pemotretan itu ... Mas Arkan selalu bawain buket lili sama mawar putih 'kan, dulu itu?" tanya Calista.

Lily juga mengingatnya namun dia enggan beranggapan bahwa buket bunga tersebut ditujukan untuknya. Ia juga tidak mau memberi harapan kosong terkait kelanjutan hubungannya dengan Arkan. "Mbak enggak ingat deh," jawab Lily pelan kemudian membawa vasnya ke meja.

Amaris membuntuti seraya mengurai ikatan pita juga kertas wrapping di sekitar bunga-bunga indah itu. "Lama banget ya, Ly, sejak kelas ikebana kita dulu ... Mama juga udah agak enggak ingat aturan-aturan potong dan penempatannya."

"Kalau bunganya sudah indah, ditata kayak apa juga tetap indah kok," ujar Lily santai kemudian menunggu setiap tangkai bunga dilepas dari ikatan buket.

Amaris menghitung dalam diam. "Dua puluh tangkai bunga lili, delapan tangkai mawar dan uhm ... dua puluh empat tangkai baby's breath aduh agak rapuh ini bunga, mana kecil-kecil."

"Mama, harus banget dihitungin?" ujar Calista lalu meringis sambil mengusapi perut. "Aduh ... aduh ... mulai lagi dia."

"Kenapa, Cal?" tanya Amaris langsung menoleh ke area ranjang perawatan.

Lily memberi tahu sang Mama mertua. "Ma, Mama bantu Cally aja tenangin si bayi ... kayaknya mulai lagi gejala kontraksinya."

"Oh, ya ampun, Cally tenang, Cal ... diatur napasnya, jangan malah menggeram begitu," ucap Amaris yang bergegas mendampingi sang putri.

Lily mengamati adik iparnya seraya tangannya memeriksa tangkai bunga dan tanaman penghias sebelum dimasukkan ke dalam vas. Ia mengerjapkan mata saat memperhatikan tulisan di salah satu lembar kertas wrapping.

Order from: Mr. Hendradi, Zarkan.
To: Mrs. Hendradi, Light Lily.

Lily sejenak mematung, memperhatikan tangkai-tangkai bunga yang dipisahkan oleh Mama mertua. Ia begitu saja sadar, Dua puluh tangkai bunga lily ditambah delapan tangkai bunga mawar adalah jumlah hari yang berlalu sejak mereka menikah. Lalu dua puluh empat tangkai baby's breath yang melingkupi bunga utama itu adalah dua tahun masa pertunangannya.

Arkan pasti datang dan mungkin pria itu mendengar ucapannya pada Calista yang sempat agak emosional tadi. Lily sejenak memejamkan mata, meyakinkan dirinya bahwa meski dugaannya benar, itu tidak akan mengubah apa pun. Cepat atau lambat, Arkan memang perlu tahu jalan yang akan dipilihnya; perpisahan yang tidak terelakkan.

Lily mengangkat satu bunga mawar, mendapati beberapa kelopaknya kemudian berjatuhan.

"Oh, ada yang rusak ya, Ly?" tanya Amaris kala menoleh.

"Iya, Ma," jawab Lily.

"Dibuang aja yang bunganya udah rusak," sebut Amaris yang kemudian fokus kembali pada Calista.

Lily memandang setangkai mawar yang memang tidak sesempurna bunga lainnya. Ia tersenyum sendu, menempatkan bunga itu ke bagian tengah lalu menutupi bagian yang tidak sempurna dengan bunga lain, membuatnya tetap indah.

"Thank you," sebut Lily lirih dan menahan tangis kala sejenak menunduk, mencium harum bunga yang selesai dirangkainya. Ia berharap, setelah ini, hidupnya juga bisa dirangkai kembali, ditata ulang ... hingga bagian yang tidak sempurna darinya juga tertutupi dengan baik.

***

Adam Hendradi duduk berhadapan dengan Reynand Rahardian yang menatap datar dan tidak sedikit pun menunjukkan ekspresi damai ketika menyadari ada Arkan di sekitar mereka. Putranya memang menunggu di luar dan jelas bisa mendengar percakapan ini.

"Pak Randy menghubungiku dan mengingat antara MH-Corps dengan RR-Company ada urusan bisnis, mega proyek dengan kontrak kerja sama hingga empat tahun ke depan, suka tidak suka diperlukan pembahasan lebih lanjut terkait hubungan anak-anak kita," ucap Adam dengan suara pelan.

Reynand menipiskan bibirnya. "Lily memang belum mengambil keputusan, namun perpisahan adalah jalan terbaik."

"Rey ..."

"Kamu sengaja memukul putramu karena tidak ingin aku yang memukulnya?"

"Reynand ..."

"Putriku harus melakukan banyak hal selama menjadi tunangan putramu, harus senantiasa cantik, berpenampilan menarik, membawa diri secara pantas, menguasai banyak obrolan bisnis, terlibat dalam acara-acara yang mengharuskannya menahan diri kala berbaur dengan kalangan yang sempat merendahkan statusnya." Reynand mengingatkan itu dengan raut yang tetap datar. "Putriku bahkan harus merelakan pekerjaan impiannya, yang seharusnya menjadi jalan untuk masa depannya yang cemerlang. Semua pengorbanan itu adalah demi putramu yang sedemikian tega membohongi dan menyakitinya."

"Aku tidak akan menutup mata atas kesalahan itu, Rey. Aku tahu Arkan layak dimarahi, dimusuhi, bahkan dihukum hingga dijauhi ... sampai Lily merasa cukup aman lagi untuk bersamanya."

"Berat badan putriku berkurang drastis, Adam. Dia belum pernah sekurus ini sebelumnya dan aku bahkan kehilangan suara tawanya juga ..." ungkap Reynand dengan rasa sakit hati yang masih terus berusaha ditahannya. "Istriku sangat mengkhawatirkannya dan kami telah sepakat tidak ingin hal selain kebebasan untuk Lily."

"Rey, aku dan istriku akan berusaha lebih keras mendidik Arkan, beri kami waktu untuk membantunya mempertanggung-jawabkan kesalahan ini." Adam berujar serius dengan tatapan mata penuh permohonan. "Amaris sangat menyayangi Lily dan untuk tetap mempertahakannya sebagai putri kami juga ... kami bersedia melakukan apa pun."

"Tidak," tolak Reynand lalu menghela napas pendek. "Sudah cukup semuanya, Adam ... dan maafkan aku, urusan bisnis kalian, atur ulang saja bagaimana kesepakatan baiknya dengan Papaku. Jangan bawa-bawa Lily lagi."

"Reynand!" panggil Adam dengan suara penuh permohonan.

Reynand mengabaikan itu, membawa serta laptopnya beranjak dan melangkah ke pintu. Ia sejenak terpaku karena Arkan langsung berlutut di hadapannya.

"Papa," panggil Arkan dengan suara serak. Ia sudah menahan diri sejak tadi dan tidak bisa menunggu untuk segera memohon ampunan. "Papa ... aku sepenuhnya bersalah telah berbohong dan menyakiti Lily, membuatnya harus berkorban sedemikian rupa untukku yang tidak bersikap layak sebagai suaminya. Aku sangat menyesal, aku akan memperbaiki semuanya dengan benar ... karena itu maafkan—"

Reynand menyela ucapan panjang itu dengan ayunan kepalan tangan kuat yang langsung mengenai dagu dan membuat wajah Arkan seketika berpaling darinya.

Adam yang melihat itu menahan dirinya agar tidak bergerak membela sang putra. Ia sadar pukulan itu bahkan tidak seberapa telak dibanding caranya mendisiplinkan sang anak sebelumnya.

"Papa ..." panggil Arkan dengan suara lirih, akibat syok dan kekalutan pasca dipukul.

"Aku menyesal karena mempercayai semua omong kosongmu, karena itu akulah yang akan memperbaiki semuanya dan membahagiakan putriku lagi ..." Reynand memberi tahu dengan nada dingin dan ekspresi wajah penuh kemarahan. "Jangan pernah muncul di hadapannya lagi."

"Papa ..." panggil Arkan yang langsung bergerak menahan kaki Reynand. Ia tidak kuasa menahan tangis saat bersujud dan memohon, "Please ... satu kali lagi kesempatan, satu kali lagi saja. Papa ... aku mohon."

Reynand menoleh Adam yang hanya berdiri diam di dalam ruangan. "Lakukan sesuatu, karena aku sangat enggan! Bersikap begini juga tidak akan membuatku memaafkannya."

"Rey ..." ucap Adam dan ikut memohon dengan membungkukkan tubuh. Selain ketika dahulu meminang istrinya, Adam belum pernah sampai harus merendahkan diri dan memohon seperti ini, "Aku mohon, Reynand ... sekali ini saja, beri putraku kesempatan untuk memperbaiki semuanya."

Reynand menghela napas pendek dan dengan segenap kekuatan meski itu harus bersikap lebih kasar dengan menendang tubuh Arkan menjauh, ia akhirnya melepaskan diri. "Aku akan memastikan semuanya diproses dalam diam, tanpa tuntutan selain penyelesaian yang adil ... karena itu kedepannya tolong jangan mempersulit apa pun lagi."

Arkan seketika menegakkan tubuh, berusaha meraih lengan ayah mertuanya meski ditampik cepat. Raut wajah Reynand Rahardian terlihat semakin muram, menahan seluruh amarahnya agar tidak terluapkan begitu saja.

"Putriku mungkin cacat identitas seperti caramu menyudutkannya dulu, namun dia telah berusaha dengan sesempurna mungkin dalam mencintaimu ..." Reynand memberi tahu dengan suara lirih yang sarat akan ungkapan sakit hatinya. "Sudah cukup seluruh usahanya itu dan biarkan dia kembali pada keluarganya, kepadaku yang dipanggilnya saat membutuhkan pertolongan."

Ucapan itu yang membuat Arkan terdiam di tempat, memejamkan mata karena pedihnya rasa penyesalan. Ia kembali berlutut, menundukkan kepala dalam-dalam sementara Reynand melanjutkan langkah meninggalkannya.

***

Lily mencari sang ayah untuk bertanya kapan hendak pulang, namun saat akan melewati lorong justru mendengar percakapan itu. Ia tetap berdiri diam hingga akhirnya Reynand berbelok dan melihatnya.

Mereka hanya berbagi tatapan hening sampai akhirnya Reynand memindahkan laptopnya ke tangan kiri dan membuka lengan kanannya.

Lily langsung bergerak, memeluk ke sisi kanan tubuh sang ayah dan menyembunyikan wajah ke dekapan yang selalu membuatnya merasa aman.

"Tinggal dua hari lagi ya, Ly ... setelah itu benar-benar pulang sama Papa," ucap Reynand lirih.

Lily menanggapi dengan anggukan kepala dan tetap bertahan dalam pelukan ayahnya itu hingga ketenangannya kembali. Ia memang tidak boleh goyah lagi.

***

Esok harinya Lily membantu Bi Marni mempersiapkan perlengkapan newborn untuk dibawa ke rumah sakit.

"Ini kamarnya Cally waktu tinggal di sini?" tanya Lily yang pertama kali memasukinya.

"Iya, Non ... dulunya penuh banget kamar ini."

"Ada tiang jemurannya," sebut Lily dan membuat Bi Marni tertawa.

"Bukan, itu kata Non Cally namanya tiang display, wah dulu entah berapa puluh kostum digantung situ, hangernya pun khusus lho dulu, custom yang bikin bentuk baju kostumnya tetap bagus."

"Terus kok kosong gitu, Bi?"

"Dibakar sama Mas Arkan semuanya, terus itu ada rak khusus aksesoris sama lemari wigs juga ikut dikosongin, dibakar semuanya, padahal mahal semuanya."

Lily melangkah ke rak khusus yang disebut, mendapati wadah-wadah cincin, gelang, struktur khusus kalung rantai yang kosong. "Mas Arkan beneran bakar semuanya?"

Bi Marni mengangguk. "Iya, semuanya. Saya sampai takut dulu, karena semarahnya Mas Arkan ya biasanya masih kontrol gitu, tapi hari itu beneran kayak orang emosi, kalut, ngamuk banget. Non Cally saja sampai gemeteran."

"Waktu itu Bibi belum paham ya duduk perkaranya apa?"

"Iya, itu juga tiba-tiba sekali dan Non Cally juga keadaannya udah begitu masih diam aja. Setelah semua dibakar tetap diam, dibawa pergi juga kayak pasrah-manut aja gitu lho."

Lily paham itu dan memeriksa area meja belajar Calista yang sangat rapi. Ia menahan tawa mendapati banyak buku yang masih terbungkus rapi. "Cally beneran deh, bukunya kayak baru semua, ampun!"

"Susah memang Non Cally itu belajarnya. Kayak cuma kooperatif kalau diajari, Pak Alexi dulu suka menyempatkan bantuin tiap mau ujian."

"Oh ya? Mereka belajar bareng di bawah?"

"Di kamar ini, Non."

Lily terkesiap. "Lho, emang boleh begitu?"

"Eh, kenapa enggak boleh? Non Cally kan memang akrab, dekat juga sama Pak Alexi ya, orang kalau dijemput suka gandeng-gandeng gitu."

"Hah?" sebut Lily semakin terkejut. "Pak Alexi gandeng Cally?"

"Non Cally yang gandeng, ya itu manja-manja kalau kayak lagi bareng Mas Arkan atau Mas Kai gitu, nglendot juga."

Lily menggaruk pipi, itu sungguh situasi yang tidak terduga. Ia ingat bahkan Alexi saja selalu menjaga jarak, berjalan dua langkah di belakang Calista atau berdiri dengan jarak selengan dari bungsu keluarga Hendradi itu setiap berinteraksi. Alexi memang ramah, sopan, sekaligus kerap membantu, mendampingi Calista selama acara pesta atau makan malam formal yang diadakan keluarga Hendradi.

"Bibi cerita soal Cally dan Pak Alexi itu ke Mas Arkan juga enggak?"

"Enggak, soalnya kalau sama Mas Arkan semuanya kan serba serius begitu, khawatirnya nanti malah salah paham."

"Ya memang situasi itu memungkinkan salah paham, Bi ... dan kurang pantas juga kalau sampai Cally segitu dekatnya dengan Pak Alexi, bagaimana pun beliau lawan jenis."

"Oh, tapi ya masa berani Pak Alexi bersikap kurang pantas ke Non Cally? Beliau itu kelihatan yang jenis perhatiannya ngemong kok, kayak kakak gitu."

Lily seketika merasa tidak yakin dengan ucapan Bi Marni tersebut. Ia merasa curiga dan memperhatikan situasi, ini mungkin kesempatannya untuk mencari tahu.

Lily segera membantu Bi Marni menyiapkan perlengkapan yang dibutuhkan, lalu setelah semua beres dirinya mencari alibi untuk tinggal lebih lama di kamar itu. Lily dengan sengaja, saat mengembalikan sisa pakaian Cally, menarik salah satu tumpukan baju, membuatnya berjatuhan dari lemari.

"Ehh, Non," sebut Bi Marni kaget.

"Maaf, Bi, ini kayak baju saya, ternyata bukan ... biar Lily aja beresin. Bibi masih harus siapin sarapan, 'kan?"

"Iya, itu tinggal aja, Non, nanti habis urus sarapan Bibi beresin."

Lily menggeleng. "Enggak apa-apa, Lily yang salah kok ... Bibi tinggal aja, enggak lama beresin ini."

Bi Marni akhirnya mengangguk, membawa travel bag ukuran sedang keluar kamar lalu menutup pintu. Lily segera membereskan tumpukan baju tersebut, setelahnya memeriksa laci di lemari, laci nakas, area bawah tempat tidur sampai semaksimal mungkin berjinjit memeriksa bagian atas rak pajangan.

"Enggak, enggak ... kalau Cally mau menyembunyikan sesuatu pasti di tempat yang orang lain yakin, enggak mungkin disembunyikan di sana." Lily bergumam sendiri seraya mengedarkan pandangan ke sudut-sudut kamar. "Tempat yang enggak mungkin Cally ..."

Tatapan mata Lily tertuju ke meja belajar. Ia segera beranjak memeriksa setiap laci, buku, hingga kotak pensil. Namun, hasilnya nihil, tidak ada yang aneh atau mencurigakan.

"Enggak di si ..." ucapan Lily terjeda menyadari bagian dasar laci meja belajar Calista agak terangkat. Ia mengeluarkan seluruh isinya ke atas meja, memeriksa lebih teliti dan menemukan kait untuk mengangkat  lapisan kayu tersebut.

Lily mengangkatnya, menemukan kotak penyimpanan rahasia. Ia mendapati sebuah ponsel dengan strap gothic dari untaian manik-manik huruf R, E, X, Y diakhiri bentuk hati warna merah. Lily juga menemukan buku warna hitam, death note, namun saat dibuka ada puluhan foto polaroid berjatuhan.

Lily terkesiap memungutinya, terutama karena ada banyak foto Calista dengan pakaian kostum gothic yang seksi, sebagian besar diantaranya berfoto pasangan dengan sosok yang meski mengenakan topeng, atau sama-sama mengenakan kostum, namun jelas itu Alexi.

"Ya Tuhan ..." sebut Lily saat kemudian menemukan foto Calista dan Alexi saling berciuman, berbaring bersama di tempat tidur, bahkan ada foto mereka di atas ranjang kamar ini.

Lily menahan gemetar di ujung jarinya kala memeriksa isi buku tersebut. Ada banyak tiket menonton, tiket event cosplay, tiket kereta berstempel stasiun, tiket penerbangan, semuanya atas nama Calista dan Alexi. Calista selalu berangkat lebih dahulu, Alexi menyusulnya sehari atau dua hari kemudian. Lily membekap mulut saat menyadari sejak tahun lalu bukan hanya liburan bersama, namun dari beberapa bukti booking ... dua orang itu juga menempati kamar hotel yang sama.

Mr. & Mrs. Reiner Alexi Venandzio.

Lily hampir lupa cara bernapas saat membuka halaman buku terakhir dan yang tertempel di sana hanya sebuah testpack bergaris dua, ditambah foto Alexi merangkul perempuan lain.

Calista tidak menulis keterangan apa pun, hanya memenuhi halaman tersebut dengan stiker hati yang patah berwarna hitam.

I am done ...
Adieu, my secret love, XY.

Kalimat singkat itu yang membuat Lily tersadar XY adalah singkatan untuk Alexi dan Cally. Alasan adik iparnya itu dulu mengecupi kerah pakaian karena mungkin terkenang akan hubungannya. Lalu, alasan Calista tidak bisa berterus terang juga, pastilah tersadar ... selama ini sudah terlalu jauh melanggar batasan.

[]

📸

Dek Cally, tobat ya dek yaaa~
wakakakakaa
one step cloooooseeer

Eh salah, belum
masih ada drama lanjutan
yakali Arkan udah dipukulin
Alexinya enggak, kenak juga dong
hahahaha sungguh tyda sabar.

Tibanin buayanya lagi dong,
biar makin semangat menyiksa uri lacozte inieehh 🐊🐊🐊🐊🐊

.

Q: Kak maaf nanya, ini jatohnya Cally engga minor kan sama si Lexi?
A: Cally dua tahun lebih muda dari Lily. Jadi, dia umur 21th ... Cally bukan minor, tapi minus, akhlaknya.

Q: Tapi momen kabur bareng itu epic, Kak
A: Lebih epic momen ini menurutku 🙏🏻

.

Lily right now:

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top