9. Penawaran Menggiurkan
Waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi ketika Lilac mengirimkan email kepada Elisa dan menyatakan bahwa divisi food and beverage sudah mendigitalisasi semua berkas-berkas mereka. Pak Rezky rapat di luar kantor sehingga ia memiliki waktu luang.
Segera Lilac membuka laman pencarian dan menyusuri materi perkuliahan yang dipublikasikan secara bebas di internet. Kali ini, rasa penasarannya mengarah ke sebuah topik. Corporate Secretary.
Bagai berada di dunia lain, Lilac melahap satu per satu informasi yang diterimanya. Ketika ada hal yang tidak ia pahami, ia langsung membuka ke tab baru dan menelusuri informasi tersebut. Setelah lebih dari dua puluh tab ia buka di komputernya, barulah Lilac puas dan merasa lebih memahami tentang pentingnya posisi corporate secretary dalam sebuah perusahaan.
Meskipun tak mungkin masuk dalam rentang karir corsec, tapi ia senang mengetahui bahwa apa yang ia kerjakan sehari-hari penting untuk menjaga bentuk dan citra perusahaan di mata masyarakat.
Ponsel Lilac mendadak berbunyi. Gadis itu memeriksa sekilas siapa yang menelepon. Nomor asing.
"Halo?" jawab Lilac. Ia tetap menerima panggilan dari nomor asing meskipun besar kemungkinan berasal dari bank atau perusahaan asuransi yang ingin menawarlan produk mereka. Terkadang, nomor asing yang masuk bisa berasal dari vendor atau perusahaan rekanan Narve yang butuh melakukan janji temu dengan Pak Rezky. Karena itulah Lilac tetap menerimanya.
"Halo, selamat pagi. Lilac masih ingat saya? Saya Imo." Pagi itu pun nomor asing menunjukkan identitas yang tidak biasanya.
"Oh, Pak Imo temannya Mas Febrian, ya? Ada apa, Pak?" tanya Lilac ragu. Baru kemarin mereka bertemu dan rasanya ganjil sekali ditelepon pria asing yang baru dikenalnya. Lilac bahkan tidak memberikan kontaknya kemarin pada Imo. Berarti Febrian lah yang memberikan kontak Lilac.
"Kamu ada waktu? Saya mau ketemu sekarang, boleh? Ada yang mau saya bicarakan," pinta Imo tanpa basa-basi.
"Ada apa ya, Pak?"
"Nanti saya jelaskan di pertemuan."
"Maaf, saya harus tahu pertemuannya tentang apa."
"Saya mau membuat penawaran. Semacam business offer."
Lilac berpikir sejenak. "Saya nggak bisa kalau jam kerja. Jam makan siang saja boleh?"
"Boleh. Saya tunggu di Chillin?" Dengan sigap Imo menyebut nama kafe dekat kantor Lilac tersebut.
"Jangan Chillin. Saya lebih suka di Bookish Café," balas Lilac cepat.
"Bookish?"
"Saya kirim alamatnya nanti via chat, ke nomor ini bisa, kan?"
"Bisa, kok. Saya tunggu, ya."
Lilac memutuskan percakapan sambil memikirkan penawaran yang ingin Imo ajukan. Mungkin sebuah ide peluang strategi yang menguntungkan Pearsons dan Narve atau lebih gila lagi, ajakan kerjasama antara kedua peruasahaan yang jelas-jelas merupakan head to head competitor itu. Memang tak jarang rekanan bisnis Narve yang mendapatkan kerjasama melewati diskusi dengan sekretaris seperti ini, tapi mereka salah jika berpikir bahwa Lilac akan merekomendasikan apa pun pada Pak Rezky karena yang selama ini ia lakukan hanya menjadi perpanjangan mulut saja. Pak Rezky selalu memikirkan semua langkahnya sendiri dan mengajarkan Lilac proses berpikirnya. Hanya itu.
Apa pun yang akan dibicarakan Imo, Lilac harap pertemuan siang nanti tidak membuang waktunya.
***
Imo duduk di depan meja untuk dua orang sambil melihat sekitarnya. Meskipun waktu menunjukkan tepat tengah hari, tapi nuansa kafe itu amat temaram karena cahaya dari luar tidak banyak masuk ke dalam ruangan. Berbagai koleksi buku mengelilingi tembok kafe. Karena berada di dalam gang, tak banyak pengunjung yang datang meskipun kafe ini dikelilingi gedung perkantoran dan saat ini sedang jam istirahat. Dalam hati, Imo sempat bertanya-tanya, mengapa kafe yang menjual pengalaman membaca buku malah memiliki pencahayaan yang buruk?
Melihat suasana yang berada di kafe itu, mau tak mau Imo mengambil sebuah kesimpulan. Lilac tak ingin pertemuan mereka terlihat oleh siapa pun.
"Maaf saya terlambat. Sudah lama, Pak?"
Imo menengadah dan tersenyum menatap Lilac
"Hey, nggak, kok. Saya juga baru sampai. Duduk, yuk."
Imo memanggil pelayan kafe dan memesan Spagetti bolognese dan long black coffe, sementara Lilac memesan ayam keju, kentang goreng, dan ice moccachino.
"Thank you udah mau ketemu saya."
Lilac mengangguk canggung, "Jujur, saya kurang nyaman, tapi saya nggak mau dianggap sombong sama temannya Mas Febrian."
Imo yang tak menyangka bahwa Lilac ternyata bisa begitu jujur spontan tertawa dan menyugar rambutnya ke belakang. Sekilas perhatian Lilac tertuju pada jari manis di tangan kanan pria itu. Ia berusaha menutupi kebingungannya karena tidak menemukan cincin perak yang semalam masih tersemat di jari itu.
"Saya mau menawarkan sebuah posisi di kantor saya."
Mata Lilac membesar setelah Imo mengemukakan penawarannya. Sekilas, Lilac pikir ia salah dengar.
Tersenyum melihat reaksi Lilac, Imo kembali menjelaskan situasinya dengan lebih detail. "Karena restrukturisasi, selama dua tahun terakhir ini PT. Pearsons mengalami perubahan dalam pembentukan divisi. Terdapat tiga divisi yang digabung menjadi satu, yaitu divisi public relation, legal, dan corporate affair."
"Digabung? Jadi apa?"
"Corporate secretary."
Jantung Lilac berdegup kencang. Ini mungkin hanya kebetulan, dirinya mendapat tawaran untuk bergabung ke divisi corporate secretary saat dirinya baru saja kembali menekuni tentang hal itu. Kebetulan ini menarik seluruh atensi Lilac sekaligus membuatnya diam dalam geram.
Tamparan takdir hari ini terasa begitu perih di pipi Lilac, membuatnya panas.
"Karena budaya divisi yang berbeda, kami mengalami banyak bongkar pasang dan turnover dalam dua tahun terakhir. Saya, selaku Head of Corsec, kekurangan orang. I need to fix this," ujar Imo.
"Pak, saya berterima kasih karena Bapak sudah mempertimbangkan saya, tapi sepertinya saya nggak bisa bergabung dengan divisi Bapak," tolak Lilac mentah-mentah. Jantungnya berdegup ketika berucap demikian, dan makin nyeri dalam setiap milidetik setelahnya.
"Kamu dengar dulu penawaran saya—"
"Masalahnya bukan di penawaran Bapak, tapi di saya. Perusahaan Bapak nggak mungkin bisa menerima saya," Tanpa ingin membuang waktu lebih jauh, Lilac memotong ucapan Imo dengan sopan.
Pria di hadapan Lilac itu mengerutkan dahi, "Kenapa?"
"Karena saya lulusan SMA. Saya nggak memenuhi kualifikasi rekrutmen perusahaan swasta, apalagi perusahaan sebesar PT. Pearsons."
Lilac tahu posisinya dalam dunia profesional. Status sarjana adalah kualifikasi penting bagi perusahaan-perusahaan besar. Dirinya mendapat perlakuan spesial di Narve, dan Lilac sadar itu. Hubungannya dengan Pak Rezky membuatnya bisa lolos menjadi karyawan Narve meskipun ia bukan lulusan S1 atau lebih tinggi. Pak Rezky merekrutnya secara langsung, memaksa perusahaan menerimanya dengan status sekretaris Direktur.
Sayangnya, hanya sampai di situ perlakuan spesial yang bisa diterima Lilac.
Beberapa kali Lilac yang didukung Pak Rezky mengajukan permintaan kenaikan karir dengan pindah divisi dan jabatan, tapi semua pengajuan itu ditolak perusahaan. Ia juga sempat ingin direkrut oleh perusahaan lain. Sayangnya, perekrutan itu pun berakhir batal. Semua karena satu hal, Lilac tidak memenuhi persyaratan untuk menjadi staff, yaitu pendidikan minimal lulus S1.
Lilac sudah kenyang dengan pandangan orang yang berubah ketika tahu ia hanya mengenyam pendidikan sampai SMA. Imo yang berada di hadapan Lilac pun tidak berbeda. Wajahnya kaget, terkejut, dan sebentar lagi akan berkata bahwa dengan berat hati, ia akan mencabut penawarannya kembali.
"Sebentar ... kamu pikir saya nggak tahu itu?" Seringai Imo muncul sementara mata Lilac yang sempat layu kini kembali terbuka lebar, apalagi ketika Imo lanjut berkata, "Penawaran saya belum selesai, La."
"Maksud Bapak gimana?" tanya Lilac. Dadanya penuh dan bergemuruh. Ia tak paham ke mana arah bicara Imo, dan ini meresahkannya.
"Oke, gini. Kamu tahu, kan, kalau PT. Pearsons punya kampus yang nggak jauh dari kantor utamanya?" tanya Imo. Lilac tak menjawab. Wajahnya kebas dan jantungnya berdegup kencang.
"Saya menawarkan untuk meneruskan pendidikan sampai kamu dapat ijazah S1 dengan syarat, penghasilan kamu ditarik lima puluh persennya untuk biaya pendidikan dan setelah lulus, kamu harus bekerja di Pearsons minimal lima tahun." Imo memberikan penawaran pamungkasnya. Dengan ambisi sebesar yang ia lihat semalam, Imo berharap instingnya benar, bahwa perempuan ini memiliki keinginan yang besar untuk melanjutkan studinya. Cukup besar hingga persyaratan yang sudah Imo bicarakan dengan HRD pagi tadi ini bisa diterima.
"Lima puluh persen?" tanya Lilac. Hatinya berada di antara ingin menyanggupi dan memikirkan ekonomi keluarganya yang otomatis berkurang drastis jika ia menerima syarat itu.
"Kami punya program untuk pendidikan karyawan di Universitas Pearsons yang memungkinkan kamu bekerja sambil kuliah. Ijazah kami legit, La."
Lilac terdiam. Ia tak percaya apa yang baru saja ia dengar. Mimpi yang sempat ia kubur seolah mencuat dan bersinar kuat, memberi hatinya harapan yang ia sendiri takuti saat ini.
Terlalu banyak pertaruhan. Bagaimana kalau ini semua tidak berjalan sesuai dengan apa yang ia inginkan?
"It's a good deal, La. You know it." Seperti iblis yang membujuk manusia, bujukan Imo terdengar begitu manis dan masuk akal di telinga Lilac. Meskipun begitu, Lilac sadar bahwa emosi telah mengendalikan dirinya saat ini.
"Saya ... saya mau pikir-pikir dulu," balas Lilac.
"I give you two weeks. Semoga kamu bisa kasih saya kabar baik nanti." Imo memberikan kartu namanya kepada Lilac. Mereka lalu memakan makan siang masing-masing dan beranjak bersamaan.
"Ditunggu kabar baiknya, Lilac," ucap Imo sebelum mereka berpisah. Pria itu berjalan lebih dulu, meninggalkan Lilac yang masih termenung. Punggung pria itu melarutkan pikiran Lilac tentang apa yang baru saja terjadi.
Kabar baik ... Lilac masih belum bisa memutuskan apakah tawaran menggiutkan ini adalah kabar baik atau bukan.
(((Bersambung)))
***
Hai hai~
Maaf kemarin dan dua hari lalu nggak update, lagi hectic banget. Huhuu ....
Semoga suka part ini yaa.
Sampai jumpa di part selanjutnya~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top