6. Kehidupan Sosial
Elisa menyeruput kopi robusta hangat beraroma tembakau khas Temanggung di dalam kafe bernuansa kayu yang bernama Chillin' Cafe. Kafe yang terletak tak jauh dari kantor utama Narve tersebut selalu menjadi tempat pertemuan antara karyawan dengan pihak luar seperti vendor, outsourcer, atau media. Namun, yang pagi itu Elisa temui bukanlah ketiganya.
Seorang pria berkemeja putih lengan panjang yang duduk berseberangan dengan Elisa menunggu perempuan itu menikmati kopinya. Ia tersenyum, memainkan cincin perak di jari manis tangan kanannya, lalu bersandar.
"Let me get this straight. Kamu mau aku keluar dari posisi aku yang udah strategis di Narve, jadi anak buah kamu, dengan kenaikan gaji hanya lima persen?" tanya Elisa sambil melipat tangan di atas meja. Pria di hadapan Elisa terkekeh. Ia menyisir rambut yang lebatnya menutupi tengkuk ke belakang.
"Hm, aku akan ulangi penjelasanku karena aku rasa kamu kurang memperhatikan. I'm in the middle of merger division that lead to major turnover. I need help. Apakah penawaran ini menguntungkan secara material untuk kamu? No. Apakah penawaran ini menguntungkan secara non-material untuk kamu? Mungkin. Apakah penawaran ini menguntungkan dari berbagai aspek untuk aku? Definitely. So please, for old time sake, Sa ...."
Elisa memelotot sambil menahan geli dan bertanya dengan nada tinggi, "Old time sake apa nih maksudnya?"
"For the sake of good time in college laaah. Kamu junior linglung, aku senior baik, kamu sering bilang 'I owe you', you know? Good time."
"Imo gila. Se, la, lu. Aku pass dulu." Elisa menggeleng kuat, memperlihatkan tekadnya untuk menolak.
"Oh, come on ...."
"Kenapa nggak ajak Febrian, sih? Dia kan lebih dekat sama kamu daripada aku."
"Udah kemarin. Dia masih mikir-mikir karena lintas divisi. Padahal aku bilang supaya santai aja, dia tetap mau pikir-pikir dulu."
Elisa mendengkus. "Tipikal Febrian. Kebanyakan mikir."
"Sama tahu, kamu sama dia, tuh."
"Enak aja. I have clear and big vision. Di Narve, targetku saat ini jelas, mau bikin integrated system kayak di kantor kamu," balas Elisa yang sewotnya lebih ngotot dari ketika menolak tawaran lawan bicaranya tadi. Salah satu yang paling ia hindari adalah disamakan dengan Febrian. Baik dari sisi ambisi maupun kemampuan, Elisa yakin bahwa dirinya di atas teman kuliahnya itu.
"Kenapa kamu nggak ke kantor aku dan operating that already-built-system?" tanya pria itu.
"I want to create it, not operate it, Mo."
"Ah, basi. Who do you want to prove to?"
"Myself." Elisa mengangkat bahu, lalu lanjut menyeruput kopi ketika teleponnya berbunyi.
"Halo? Iya, La. Loh, kok kamu yang kerjakan? Pak Ashraf yang minta? Kok nggak ada yang konfirmasi ke saya? ... Ya udah, deh, saya ke kantor. Nanti, kamu dan Cynthia ke ruangan saya. Nggak perlu, Lilac, itu bukan pekerjaan kamu. Ngerti? Oke, terima kasih."
Imo menyeringai melihat Elisa, "Problem?"
"Just another day at office." Elisa menghela napas lelah. Untuk kesekian kalinya ia merasa bahwa wewenangnya telah dilangkahi.
"Kalau di kantorku, kamu nggak akan jadi common enemy kayak sekarang, loh. Everyone will respect you." Seolah paham, pria di hadapannya memanfaatkan perasaan sebal Elisa untuk kembali membujuknya.
"Pass, Imo. Udah, ah, aku balik dulu. Salam buat Tania ya."
Senyum Imo memudar perlahan. Ia hanya mengangguk mendengar kalimat terakhir Elisa. Tak sadar dengan perubahan ekspresi Imo, Elisa pun beranjak dari meja dan berjalan ke luar kafe.
"Sa, yang telepon kamu tadi siapa?" Pertanyaan Imo membuat Elisa yang belum jauh dari meja mereka berbalik.
"Sekretaris direktur. Kenapa?"
"Coba tanyain, dong, kira-kira dia mau nggak kerja di tempatku?"
Elisa membalas cepat, "Nggak masuk requirement perusahaan kamu. Dia cuma lulusan SMA."
Imo hendak bertanya lebih lanjut, tapi Elisa yang tahu bahwa pertanyaan itu hanya akan membuat emosinya tersulut memilih pergi tanpa menunggu balasan dari Imo. Pria itu lalu bersedekap, lalu berpikir sejenak.
"Lulusan SMA? How old is she?" Imo berpikir, mengingat kapan terakhir perusahaan di Jakarta menerima karyawan dengan ijazah SMA. Namun, ia segera bergeleng dan menggaruki kepala. Pencarian anak buah ternyata lebih sulit dari dugaannya.
***
Ruangan Elisa dikelilingi tembok putih, tanpa hiasan apa pun selain jam dinding. Berkebalikan dengan meja kerja dan rak buku yang cukup ramai diisi hiasan dan ornamen cinderamata tiap Elisa berkunjung ke Negara-negara Eropa. Namun, keramaian hiasan ruangan itu tak ikut memecah senyap antara Elisa dan dua orang yang duduk di hadapannya.
Lilac dan Cynthia nyaris tak bergerak sementara Elisa menatap mereka dengan raut wajah tak senang.
"Kenapa, sih, sedikit-sedikit harus ngadu ke Pak Ashraf, atau minta bantuan Lilac?" tanya Elisa pada Cynthia.
"Tadi Pak Ashraf menanyakan progress digitalisasi meeting report, Mbak, dan saya lupa simpan folder-nya di server apa."
"Kalau memang kamu nggak sekompeten itu untuk kerjakan kerjaan kamu, lain kali kamu harus bilang ke saya."
"Tapi, tadi Pak Ashraf yang minta supaya Ila ikut membantu."
"Ya udah, akhir tahun nanti kamu minta review performance dari Pak Ashraf aja. Nggak usah ke saya lagi, ya?" Balas Elisa dengan nada yang begitu tajam. Ia merasa dicurangi. Saat review performa kerja tiba, semua sekretaris direksi meminta untuk ia review karena Direksi selalu tak punya waktu untuk melakukannya. Tapi, ketika ada instruksi, mereka mengabaikan apa yang ia sampaikan dan lebih mendengarkan direktur mereka sendiri. Kini, Elisa merasa harus bersikap lebih tegas.
"Ma- maaf, Mbak."
"Saya cuma kasih tahu pilihan logis aja buat kalian. Bagaimana mungkin saya bisa review kalian kalau saya nggak tahu kerjaan kalian? Semua minta nilai bagus, tapi kerja sembunyi-sembunyi. Kalian pikir saya apa?" tegur Elisa, membuat Cynthia makin panas dingin.
"Mbak, maaf. Saya dan Cynthia tidak akan mengulanginya lagi." Lilac yang sudah tak tega melihat Cynthia dimarahi begitu keras akhirnya ikut bersuara.
"Kamu juga. Kenapa, sih, harus dikit-dikit bantuin orang? Ini kan hal yang harusnya bisa Cynthia handle sendiri."
"Saya cuma bantu ingatkan sistem penyimpanan berkas kita, Mbak."
"Terus kenapa kamu yang telepon saya untuk cek akses server?"
"Itu ...." Lilac menunduk sementara Cynthia menatap temannya itu dengan rasa bersalah. Ini semua salahnya, karena ia tak berani menghubungi Elisa, maka ia meminta Lilac yang melakukannya. Meskipun kenyataannya demikian, Lilac tidak membocorkannya sama sekali. Ia melindungi Cynthia, bahkan ketika ia tengah kena semprot atasan galak seperti Elisa.
"Atau kamu emang senang, ya, kalau orang sekitar kamu nggak berkembang? Biar bisa kayak kamu?" tanya Elisa yang mulai habis kesabaran. Ia tahu bahwa petinggi-petinggi di kantor ini begitu tergantung dengan Lilac. Di sisi lain, para petinggi itu membencinya.
Elisa tak akan mundur. Ia akan menunjukkan siapa dirinya dan mana yang harus lebih dihargai antara ia dan Lilac.
"Mbak El ...." Cynthia berujar pelan, tapi penuh rasa geram. Sementara Lilac, perempuan itu hanya diam. Mata besarnya makin membesar dan tubuhnya tak bergerak. Saat ini, ia berusaha mati-matian menahan rasa sakit yang timbul dari ucapan Elisa tadi. Namun, atasan yang satu itu kembali membuka mulut, menandakan bahwa ia belum selesai menegur Lilac dengan lidah tajamnya.
"Saya memang nggak punya privilege kayak kamu yang bisa seenaknya masuk perusahaan ini tanpa harus bersusah payah. Nggak kayak kamu, I worked my ass off to be here. Menamatkan studi saya sampai berdarah-darah. Kamu, yang nggak tahu rasanya kerjakan skripsi, kerjakan thesis, sidang untuk kelulusan, jangan pikir bisa terlihat superior di mata saya hanya karena bisa satu dua trik kearsipan. Ngerti?"
Meskipun terguncang, tapi tubuh Lilac tidak gemetar. Dengan tegas ia menjawab Elisa, "Ngerti, Mbak."
"Kalian bisa keluar. Ingat, semua masalah dan progress, lapornya ke saya. Direktur kalian nggak ada yang ngerti proses digitalisasi berkas ini. Saya yang ngerti. Ngerti?"
"Ngerti, Mbak," ucap LIlac dan Cynthia bersamaan sebelum keluar dari ruangan itu. Mereka berjalan dengan lemah menuju lift untuk kembali ke lantai tiga, Lantai CEO, COO, dan gudang berkas yang amat besar. Di pantry lantai itu, keempat sekretaris lain sudah menunggu dengan wajah cemas. Lilac dan Cynthia berusaha mengangkat senyum.
Mereka menceritakan apa yang terjadi dalam ruangan Elisa secepat mungkin. Mereka hanya punya sedikit waktu luang saat itu. Namun, langsung mengeluarkan keluh kesah membuat perasaan Cynthia dan Lilac lebih baik. Lebih tepatnya bagi Cynthia karena Lilac tidak banyak bicara. Ia hanya menggeleng dan tersenyum tipis.
"Kebangetan banget Mbak El!" seru Asri sambil menahan suara agar tetap pelan. Ia gemas sendiri mendengar cerita Cynthia tentang ucapan Elisa terhadap Lilac. Seandainya perempuan itu tahu bahwa selama ini Lilac selalu membelanya di hadapan direksi, ia pasti masih punya malu untuk tidak mempermalukan bawahannya seperti tadi.
"Gue paham kok, Cyn," jawab Lilac, membuat Ritha mengerutkan dahi.
"Lo nggak mikir kita semua mikir kayak dia, kan, La?" tanya Ritha. Lilac diam.
"La, kita nggak pernah mikir begitu. Dan ... Mas Febrian juga nggak pernah mikir gitu, loh, tentang lo," ucap Devi lembut sambil melirik teman-temannya yang lain dengan senyum.
"Kok jadi Mas Febrian?" tanya Lilac heran.
"Soalnya doi ngajak jalan nanti malam. Ikut ya, La?" pinta Fatma. Lilac terbelalak, tak menyangka bahwa arah percakapan mereka bisa berbelok sepatah ini.
"Gimana, ya? gue kalau ada waktu—"
"Mending langsung pulang cepat dan bantu ngurusin rumah, iya gue tahu." Asri memotong ucapan Lilac, "Tapi, kita berenam tuh udah tiga tahunan bareng-bareng, sejak Devi dateng. Lo sama gue malah udah empat tahun barengan, La. Selama itu, lo nggak pernah mau ikut kalau kita mau jalan dan refreshing."
"Mentang-mentang sekre refreshment, ngajakin refreshing, tuh," celetuk Devi. Ritha segera menoyor pelan perempuan itu, memintanya agar diam.
"Gue kan selalu ikut kalau lunch di luar," bantah Lilac dengan suara yang lemah.
"Beda dong, La. Lo tuh harus punya social life sama kita-kita juga. After what happened today, you need it. Trust me," bujuk Asri lagi. Lilac diam sesaat, membuat teman-temannya menunggu.
"Gue tanya orang rumah dulu, ya?" pinta Lilac. Sekretaris lain mengangguk sambil berharap bahwa Ibu Lilac mengizinkan anaknya untuk sekali saja pergi ke luar rumah usai bekerja.
Mereka pun kembali ke latai mereka masing-masing. Lilac tahu bahwa Ibu dan Adik-adiknya akan mengizinkan ia pulang telat malam itu. Ia tahu bahwa keluarganya juga sering mendorongnya untuk bergaul di luar. Ia sudah lama tak melakukan hal itu. Mungkin malam ini saatnya ia mulai menyegarkan pikirannya, seperti ucapan Asri tadi.
***
"Temen lo dateng nggak, nih, Feb?" Tantri mulai kehilangan kesabaran. Tim marketing lintas divisi beserta Narve's Angels bergerombol di depan tempat karaoke dalam mal langganan mereka, persis seperti anak hilang.
"Dateng, tadi dia bilang udah dekat, kok," jawab Febrian. Matanya sesekali mengarah kepada Lilac yang berdiri tak jauh darinya. Ia tak ingin menyia-nyiakan malam ini dan berusaha agar bisa lebih dekat dengan perempuan itu.
"Mas Feb, tadi siapa nama temannya?" tanya Devi dengan penuh minat.
"Imo," jawab Febrian.
"Imo?" Lilac mencoba mengucapkan nama yang baru ia baca itu. Keningnya tergelitik. Rasa geli itu menyunggingkan senyumnya. Nama yang unik untuk seorang pria dewasa.
Menyadari suara Lilac, Febrian pun menengok dan tersenyum ke arah perempuan itu, "Lucu, ya, namanya? Aslinya Makimo Athariandi."
"Gemes banget, ya? Makimo," celetuk Ritha. Di saat yang bersamaan, Lilac menyadari bahwa seorang pria berkemeja lengan panjang dan celana bahan hitam berjalan datang ke arah mereka. Matanya seperti mengarah ke Febrian. Entah kenapa, Lilac memperhatikan detail pria itu dari atas sampai bawah. Ia menyadari adanya cincin perak di jari manis pria itu ketika mendengar suara Febrian yang tengah menjawab celetukan Ritha,
"Yang ini nggak bisa dimodusin. Udah ada pawangnya, istri dan anak satu."
(Bersambung)))
***
HAH? EH? GIMANA?
Hayooo ... masih yakin cowoknya si Imo ini? 😝
Lihat saja nanti yaa. See you on next chapter~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top