5. Demi Keluarga
"Cie Ila ... makin makin, nih, sama Mas Feb," goda Devi pelan saat mereka berjalan menuju ruang seminar. Lilac mengerutkan dahi, tapi tak membalas teman kantornya itu. Ia lebih mengerahkan perhatiannya pada seminar yang didatangi bersama teman-temannya. Selain seminar tentang Good corporate governance, Narve's Angels juga menghadiri seminar tentang peran e-commerce dalam ekosistem bisnis consumer goods dan cara berpikir kritis untuk pengembangan produk.
"Yang e-commerce itu kayak rencananya Mbak El bukan sih? Kayaknya gue pernah dengar Pak Jerry ngomong tentang itu, deh," celetuk Devi sambil mengunyah udon. Saking semangatnya, keenam sekretaris petinggi Narve Living baru makan siang di restoran Jepang dekat gedung serbaguna setelah kenyang menghadiri tiga seminar.
"Gue juga kayaknya pernah dengar. Target kita lima tahun ke depan katanya, punya e-commerce sendiri," timpal Asri.
"Ribet nggak, sih? Mending ke toko oren atau toko ijo. Lebih lengkap, nggak cuma dari satu perusahaan doang," komentar Ritha.
"Nah, itu tantangannya. Langkah bisnis itu, kan, pasti ada kesempatan dan tantangan," ujar Fatma menanggapi.
Cynthia manyun dan tampak berusaha berpikir keras, tapi akhirnya berkata, "Nggak kebayang gue, gimana bikin orang-orang mau download kalau isi marketplace-nya cuma produk-produk kita doang."
"Bisa pakai sistem membership, ada program diskonan yang besar untuk belanja bulanan." Lilac ikut memberi pendapat dan para sekretaris di sekelilingnya langsung bergumam paham. Meskipun begitu, pikiran Lilac jauh lebih memikirkan gambaran besar ekosistem pasar yang berpotensi dalam pembentukan konsumsi rumah tangga berbeda dari yang sudah ada.
"Bener juga. Jadi menarik ya," ujar Fatma.
"Emang Ila paling nyambung, deh, kalo ada pelatihan sama seminar tuh," tambah Asri.
"Iya, Ila tuh nyambungnya ke seminar doang, bukan ke Mas Febrian." Devi menaik-naikkan alisnya, seolah memberi aba-aba bagi yang lain untuk ikut menggoda Lilac.
"Cieee ...." keempat sahabat lainnya pun berseru kompak.
"Apaaa coba?" ujar Lilac sambil tertawa geli. Urusan asal sambung menyambung topik, teman-temannya itu memang paling juara.
"Menurut lo, yang paling menarik seminar yang mana, La?" tanya Ritha.
Lilac berpikir sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Hm, yang pertama sih kayaknya."
"Kenapa?" tanya Devi penasaran.
"Tadi ada penjelasan detail tentang corporate secretary. Gue belajar banyak sih, apalagi sambil inget-inget apa yang lagi Mbak Elisa kerjain sekarang," jelas Lilac.
Semua teman-temannya tersenyum sambil saling bertukar pandang. Mereka selalu menganggap pendapat Lilac penting dan menarik, khususnya dalam urusan pekerjaan. Meskipun terkenal pendiam, Lilac sangat andal dalam berpikir kreatif, membuatnya menjadi sekretaris yang paling sering memberi solusi untuk tiap dinamika urusan direktur.
"Mbak Elisa akhir-akhir ini kayak IT nggak, sih? Suruh belajar digitalisasi arsip, rapihin folder server, buka-buka software, pusing gue jadinya." ujar Cynthia.
"Nah, mungkin corsec di perusahaan kita lagi proses menyesuaikan sama revolusi industri 4.0 yang tadi dibahas," sambung Lilac.
"Lebih moderen, gitu ya?"
"Biar lebih efisien ke depannya." Lilac menelungkupkan sendok dan garpu di atas mangkuk ramen yang telah kosong. Ia lalu bersiap dan mengangkat tas-nya ke bahu, "Gue duluan, ya?"
Seluruh mata terbelalak mendengar Lilac berpamitan sementara yang mendapat tatapan terkejut santai merapikan dan menenteng goodie bags dari beberapa stand dan seminar di acara Summit tadi.
"La, lamaan dikit, dong, nongkrongnya. Kita lagi nungguin anak marketing, nih," pinta Devi Lilac memberi senyum ramah yang khas, senyum yang – meskipun ramah – membuat lawan bicaranya tahu bahwa keputusannya tidak bisa ditawar.
"Kalian aja, deh. Mumpung pulang cepat, gue mau bantu ibu di rumah," balas Lilac. Mendengar alasan itu, tak ada yang tega untuk membujuk Lilac lebih lanjut. Perempuan itu pun pergi sambil diam-diam membayar makanan mereka ke kasir.
Kelima sekretaris lain menahan kecewa di meja mereka. Bersama Lilac, mereka sudah bertahun-tahun bekerja bersama, bahu-membahu melakukan pekerjaan mereka dalam mengurus jadwal dan kepentingan direksi. Keenamnya begitu kompak di kantor, tapi Lilac selalu menjauh di setiap pertemuan luar jam kerja.
"Susah banget, ya, mau ngajak Ila main?" celetuk Asri sambil memajukan bibir karena petang itu tidak berjalan sesuai rencana. Ia yang sudah mengenal Lilac selama empat tahun jadi gemas sendiri. Asri menjadi saksi bagaimana Lilac bekerja amat keras, lebih dari karyawan Narve pada umumnya. Semua demi membuktikan bahwa dirinya memanfaatkan kekuasaan Pak Rezky untuk bisa bekerja di perusahaan itu. Meskipun begitu, Asri ingin memperkenalkan Lilac bahwa selain bekerja keras, berjejaring dan memiliki kehidupan sosial juga penting bagi kehidupan karyawan swasta seperti mereka.
"Nggak apa-apa, kita bujuk lagi besok." Devi membangkitkan semangat teman-temannya.
"Oh, iya! Besok ada tamu rahasia!" seru Ritha yang dengan mudah tersulut semangatnya.
"Tamu rahasia?" Fatma mengerutkan dahi, tak paham arah pembicaraan Devi dan Ritha.
Cynthia menyeringai, lalu meminta agar Fatma mendekat supaya ia bisa berbisik, "Kita mau ketemuan sama cowok ganteng dari Pearsons."
***
Lilac pulang mendapati kedua saudaranya berada di ruang tengah, kompak menonton acara kompetisi pencarian bakat menyanyi. Keduanya menyapa seadanya saking asyiknya memperhatikan seorang peserta yang memiliki suara serak dan tengah bernyanyi penuh penghayatan.
"Ibu mana?" tanya Lilac setelah berdiri di belakang sofa kayu tua yang sudah bersama keluarganya selama puluhan tahun.
"Masih di rumah Bu Mandha, Kak. Arisan Bu Mandha baru mulai sore tadi, jadi pada sekalian makan malam," jawab Surya. Ia menyalami tangan Lilac, diikuti oleh Lily.
"Kamu nggak jemput, Sur?" tanya Lilac.
"Belum dikabarin Ibu, Kak. Mungkin habis makan malam nanti jemputnya."
"Jalan sekarang aja, Sur. Tungguin Ibu, sekalian bantu-bantu."
"Tapi, Kak ...." Wajah Surya spontan memelas menatap Lilac.
"Kenapa?" tanya Lilac sambil menyipitkan mata.
"K,alau ketemu Pak Rezky, Surya suka diajakin main catur sambil cerdas cermat strategi bisnis gitu," keluh Surya segan. Lilac terkekeh geli mendengar keluhan adiknya.
Pak Rezky dan Bu Amandha adalah pasangan dari kalangan atas yang cukup unik dan nyentrik. Salah satu kenyentrikan mereka adalah hubungan kekerabatan yang amat erat dengan keluarga Lilac. Berawal dari keakraban Pak Rezky dengan Ayah Lilac yang saat itu sering dipakai jasanya untuk mengurusi kebun dan mengecat rumah Pak Rezky.
Kecakapan Ayah Lilac dalam bekerja menggugah minat Pak Rezky. Ternyata Ayah Lilac yang cerdas sangat cocok diajak mengobrol Pak Rezky yang kala itu masih menjabat sebagai direktur marketing di Narve.
Karena sering memberi pekerjaan kepadanya, Ayah Lilac pernah menghadiahi Pak Rezky dan Bu Amandha masakan buatan Ibu Lilac. Saat itu, hanya masakan itu yang bisa Ayah Lilac berikan sebagai hadiah kepada orang lain. Setali tiga uang, lidah Bu Amandha ternyata cocok dengan masakan Ibu Lilac. Sejak saat itu, tiap kali beliau mengadakan acara di rumahnya, Bu Amandha pasti meminta bantuan Ibu Lilac untuk memasak dan membantu membersihkan rumah.
Hubungan dua keluarga beda kelas ini makin unik setelah Pak Rezky dan Bu Amandha mengebal Lilac. Bagi mereka yang tak bisa memiliki anak, Lilac memenuhi kebutuhan batin mereka yang ingin menjadi orang tua. Lilac merupakan anak yang cerdas, sopan, dan menyenangkan. Tak jarang Ayah Lilac mengajak Lilac untuk bermain ke rumah Pak Rezky ketika dirinya bekerja di sana.
Saat Lilac berusia delapan tahun, Pak Rezky sering mengajaknya bermain catur sambil mengobrol tentang strategi langkah untuk menang. Kini, setelah Lilac bekerja di kantor dengannya, sepertinya Surya yang kebagian peran sebagai lawan catur Pak Rezky.
Lilac mendekati Adik laki-laki satu-satunya dan berkata, "Sur, kamu itu anak semester tiga jurusan manajemen bisnis. Jadikan ajang permainan catur dengan Pak Rezky itu sebagai bimbel."
"Kuliah mah mana butuh bimbel, Kak?" balas Surya.
"Kita selalu butuh masukan ilmu, loh. Pak Rezky itu orangnya jago bisnis. Coba kamu sekalian tanya-tanya soal materi kuliah yang kamu nggak paham, Beliau pasti bisa jawab."
Surya berpikir sejenak, lalu tersenyum dan mengangguk, "Oke, deh. Surya ke rumah Bu Mandha dulu yaaa. Dek, bantuin Kak Ila siapin makan!"
Lily berdecak ketika Surya mengacak-acak rambutnya, tapi remaja SMA itu tetap memusatkan perhatiannya pada tontonan televisi di depan mata.
"Kakak bawa goodie bags dari acara tadi, nih." Ucapan Lilac barusan langsung mengalihkan perhatian Lily.
"Wah, lumayan nih! Besok bisa titip jual di kantin sekolah," ujar Lily senang sambil memeriksa isi goodie bag bawaan Lilac satu per satu.
"Kamu nggak mau ambil buat kamu sendiri?"
Lily menolak, "Hasilnya kan buat jajan aku juga."
Lilac menghela napas, lalu tersenyum dan memberi Adik bungsunya dua lembar uang dua ratus ribu, "Nih, ada, kok uang jajan kamu."
"Simpan aja, Kak, buat tambah-tambah SPP semester depan."
"Ada kok buat semester depan. Udah, kamu ambil. Kalau nggak pakai, tabung. Biar tabungan kamu sendiri juga berkembang."
Lily tersenyum canggung sebelum berkata ragu, "Lily lagi cari-cari kerja, Kak. Rencananya, kalau dapat, Lily nggak lanjut kuliah. Mau langsung kerja aja."
"Kenapa?" tanya Lilac. Ia berusaha tenang meskipun jiwanya sudah ingin memrotes keputusan yang dinilai sembrono itu.
"Biar bisa bantu Ibu dan Kak Ila. Lily kepengen keluarga kita tuh nggak serba nge-pas tiap bulannya. Kalau Lily nggak kuliah dan kerja, Lily bisa ngeringanin beban biaya keluarga kita, Kak. Syukur-syukur bisa nambahin," jelas Lily.
Lilac terharu atas pemikiran adik bungsunya. Ia pun berusaha sekeras mungkin untuk tidak panik dan mencari cara mengkomunikasikan pendapatnya tanpa menghakimi keputusan Lily itu.
"Ly, Ibu kerja sampai malam kayak gini bela-belain cari uang untuk pendidikan kamu dan Surya. Kak Ila juga begitu, pengen lihat kamu dan Surya jadi sarjana. Jadi, nggak ada tuh rasa terbebani, nge-pas, itu semua nggak ada."
"Tapi, kuliah nggak gampang, Kak. Bukan cuma capeknya, tapi makan biaya juga. Mending Lily kerja," bantah sang Adik yang ternyata lebih gigih dari dugaan Lilac.
"Jangan berpikir gitu. Walaupun berat, harus semangat belajarnya. Semangat kuliah dan lulus juga. Tahu kenapa?"
"Kenapa, Kak?"
Lilac memeluk Adiknya, menarik napas panjang, lalu mengembuskannya sebelum berkata dengan nada rendah dan patah, "Karena nggak ada tempat yang sejahtera di luar sana untuk lulusan SMA."
(((Bersambung)))
***
Biar landak asal selamat 👍
See you next chapt!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top