4. CG Summit
Di lantai sebelas, seseorang masuk ke ruangan Pak Rezky tanpa mengetuk pintu. Gelagatnya seperti mencari seseorang, sambil memasang wajah bingung. Seolah terbiasa, Pak Rezky mengabaikannya dan tetap mengecek email pekerjaan.
"Lilac mana, Rez?" tanya pria yang sebaya dengan Pak Rezky tersebut.
Si Pemilik Ruangan mendengkus. "Kamu jangan recokin anakku terus dong, Dja. Kan kamu juga udah ada Fatma."
"Kasihan aku sama Fatma, nggak bakal kuat dia didesak Elisa terus. Masa' tiba-tiba ada deadline input data berkas project development? Kemarin kan bilangnya boleh legal dulu aja. Dikira nge-scan ribuan data itu cepat apa?" Setelah mengeluh, Pak Radjata Prayudam – Direktur Home Care PT. Narve Living – mempersilakan dirinya sendiri untuk masuk dan duduk di sofa tamu.
Pak Rezky hanya terkekeh dan bergeleng pelan. Ia bersyukur memiliki Lilac sebagai sekretaris karena saat ini karena divisinya menjadi divisi yang paling banyak mendigitalisasi berkas. Berkat Lilac yang selalu mencicil sejak instruksi diturunkan, berkas divisi Food and Beverage sudah ter-input sebanyak 80%.
"Kayaknya, di antara semua sekretaris, cuma anakmu yang paling bisa ngehadepin nenek sihir satu itu," ucap Pak Radjata, membuat Pak Rezky tersenyum bangga sambil tetap bekerja di depan komputernya.
"Eh, aku kok nggak dijawab? Mana anakmu?" tanya Pak Radjata lagi.
"Ya, sama sekretarismu."
"Ke CG Summit? Ngapain Lilac ikutan? Emang dia bakalan ngerti seminar di sana?"
"Kenapa nggak?"
"Hey, I'm just saying. Dia nggak perlu kamu panas-panasin. Karirnya, kan, mentok jadi sekretarismu aja."
Pak Rezky perlahan menaikkan bahu sambil memasang wajah malas. "Kita nggak tahu tentang itu."
"Jangan tersinggung. Aku nggak menghina. Justru aku merasa Lilac istimewa. Dia bisa jadi sekretarismu juga sudah hebat. Selain dia, mana ada zaman sekarang lulusan SMA yang bisa kerja di Narve dan dapat gaji di atas tujuh juta? Tapi, kamu juga tahu peraturan kita. Kamu pikir, kenapa dia nggak pernah bisa naik ke divisi corsec? Karena nggak mungkin kita angkat anak lulusan SMA untuk menjabat jabatan sekelas manager dan supervisor."
Pak Rezky menarik senyum formal di hadapan kerabatnya, lalu mencoba bertanya tentang keadaan divisi Home Care setelah didatangi Elisa. Pak Radjata langsung mencurahkan seluruh kekesalannya dan Pak Rezky dengan tenang menyimak meskipun kepalanya terus mengulang ucapan Pak Radjata tentang Lilac tadi.
***
Devi merentangkan tangan amat lebar ketika masuk ke lobi gedung serbaguna tempat acara yang mereka tuju berlangsung. "Adeeem ...." Komentarnya puas.
Meskipun gedung itu tertutup dan banyak orang berada di dalamnya, udara dari pendingin ruangan langsung terasa di bagian pintu masuk, membuat orang yang terkena terik matahari dari luar langsung merasakan nikmatnya kesejukan dalam ruangan. Devi menoleh ketika merasakan tepukan di bahu.
"Yuk," ujar Asri, membuat Devi tersadar bahwa Lilac sudah selesai membayar taksi dan teman-temannya sudah berjalan di depannya. Mereka pun bergabung dengan kelima sekretaris lain.
Dekorasi dalam gedung serbaguna yang amat luas itu amat menggugah semangat. Berbagai stand produk dari banyak perusahaan, bahkan produk yang belum launching.
"Itu mereka!" Cynthia melambaikan tangan ke arah sebuah stand. Dari stand itu, para perwakilan anak marketing dari tiap divisi kategori produk PT. Narve Living melambai balik. Mereka berjalan ke stand yang tampak lebih besar dari para tetangganya.
"Kenapa luas banget stand kita?" tanya Ritha sambil melihat-lihat bagian dalam stand.
"Karena kita pesan dua space," jawab Tantri, salah satu anak marketing dari divisi Hygiene and Refreshments.
"Tapi disatuin gitu? Rajin, deh," komentar Devi.
"Secara budget, lebih untung. Empat divisi disatuin, tapi cuma keluar cost dua kali lipat," jelas Dipa, anak marketing lain yang berasal dari divisi Home Care.
"Saya bantu masuk-masukin goodie bag, ya?" tanya Lilac saat melihat beberapa anak marketing yang tengah menyiapkan bingkisan acara.
"Tolong, ya, banyak-banyakin contoh si Ila gini. Datang-datang bantuin, bukan komen doang," celetuk Adi, salah seorang staff marketing divisi Personal Care. Semua hanya tertawa maklum. Para sekretaris lain pun pada akhirnya ikut membantu mengingat banyaknya produk yang mereka urus dalam satu stand.
PT. Narve Living adalah perusahaan multinasional asal Belanda yang bergerak di bidang consumers goods – sebuah industri penghasil barang-barang yang langsung dikonsumsi masyarakat sebagai kebutuhan sehari-hari. Produk keluaran Narve; begitu biasanya perusahaan ini disebut; tak hanya dapat ditemukan di supermarket dan minimarket, tapi bisa dipastikan ada di tiap rumah di Indonesia. Cakupan produk mereka meliputi sabun cuci piring, sabun mandi, minyak, mentega, susu, makanan ringan, minuman ringan, hingga alat pembersih dan desinfektan. Dengan menaungi ratusan brand yang terbagi dalam empat kategori, Narve menjadi perusahaan yang memimpin dalam industri consumer goods di Indonesia dan beberapa negara di Benua Eropa.
Meskipun bekerja di Narve terdengar begitu hebat, tapi para sekretaris di sana sebenarnya cukup mirip anak hilang. Secara struktur, mereka berada di bawah divisi corporate secretary, namun dari deskripsi kerja, mereka merupakan bawahan langsung para direktur. Hal ini sering membuat adanya adu lempar tanggung jawab antara direksi dan corporate secretary ketika evaluasi performa kerja.
Karena itulah keenam sekretaris begitu kompak dalam situasi apa pun. Enam lajang berusia 20an itu sadar bahwa mereka merupakan penarik perhatian orang-orang dari luar perusahaan. Tak hanya cantik dan berkarakter, mereka juga gesit dalam melakukan tugas mereka. Hanya dengan kelima sekretaris lain pula Lilac merasa diterima di perusahaan itu.
"Habis ini kita keliling dulu, ya? Pak Erick suruh gue ikutan seminarnya juga, mumpung gratis dan for public," ucap Asri setelah sepuluh menit membantu tim marketing mempersiapkan stand-nya.
"Ya iyalah gratis, yang dibahas, kan, materi-materi basic semua," timpal Febrian, senior executive marketing divisi Food and Beverage yang sudah lama Lilac kenal. Beberapa kali pria yang lebih tua lima tahun darinya itu mengajaknya pergi di akhir pekan, tapi selalu Lilac tolak karena urusan keluarga.
"Tapi, lumayan ilmunya," celetuk Fatma. Febrian tak membalas, tanda ia juga setuju dengan Fatma.
"Sebentar lagi ada seminar apa?" tanya Lilac yang tengah memasukkan produk terakhir ke goodie bag.
"Nggak tahu, nih," Cynthia menatap selebaran yang berisi denah lokasi dan susunan acara, "Good corporate governance?"
Tema itu membuat Lilac tertarik. Segera ia berikan goodie bags terakhirnya pada Febrian, lalu berkata, "Kita ikut seminar dulu, ya?"
Febrian menepuk kepala Lilac, "Yang pinter, ya."
Lilac membalas dengan anggukan, lalu mengajak teman-temannya beranjak. Ia tak menyadari tatapan jail para sekretaris lain melihat gelagat Febrian tadi.
Febrian sendiri mengantarkan kepergian Lilac dan teman-temannya dengan tatapan penuh minat hingga mereka berenam menjauh. Ekspresinya berubah 180 derajat ketika seseorang berdiri di hadapannya.
"Ngapain lo?" tanya Febrian di hadapan pria berkemeja biru muda dan jas hitam. Rambut pria itu terbilang gondrong karena tebal dan panjangnya hingga tengkuk. Sedikit janggut dan kumis tipis menghiasi wajah cerah yanb tersenyum mendemgar Febrian tadi.
"Lihat anak-anak marketing siapin stand," jawab pria itu.
"Salah stand lo, Pearsons di sana." Febrian menunjuk stand di seberangnya dengan dagu.
"Kan sekalian nengok temen lama," balas pria itu ringan.
"Oh gitu? Nengokinnya pas event kantor gini biar pamer, gitu?"
"Lah, kok pamer, sih?"
"Belagu sih lo sekarang, mentang-mentang udah jadi kadiv."
Pria yang dituding Febrian tadi spontan memundurkan tubuh dan memasang wajah tersinggung. "Kalau gue belagu, gue bakal pura-pura nggak lihat lo, Feb, gimana sih? Gue justru mau kasih lo opportunity, loh. Malah dikatain."
"Mo, udah, deh. Nggak enak ini ada temen-temen gue," ujar Febrian pelan. Ia tahu alasan teman lamanya mendatangi stand itu meskipun perusahaan mereka head-to-head competitor.
"Siapa, Feb? Wuih! Orang Pearsons!" Dipa mendatangi Febrian sambil dengan gesit menangkan nametag pria yang bicara dengan rekan marketing-nya itu..
Febrian menyeringai, lalu menarik tubuh Dipa dan menatap "Nih, lo mending tanya dia aja. Dia lagi cari tuh, opportunity baru."
"Ada job vacancy di Pearsons?" tanya Dipa bersemangat.
"Yoi, jadi manajer." Dengan santai Febrian menajwab pertanyaan temannya itu.
"Yah, gue mana bisa? Lo lah, Feb!" seru Dipa lagi sambil menepuk bahu Febrian. Segera saja ia dihadiahi tatapan sinis senior-nya di marketing Narve.
"Ini gue juga lagi ngajakin," pria dari perusahaan Pearsons masih gigih berdiri di depan stand kompetitornya.
"Terus, kenapa nggak mau?" Tantri yang sejak tadi hanya berdiri di dekat sana akhirnya tidak tahan dengan rasa penasaran dan ikut bergabung dalam percakapan.
"Males gue, pas kuliah kenyang kerja sama dia," jelas Febrian.
"Beda lah, Feb, kuliah sama kerja tuh. Cobain dulu," bujuk pria yang ternyata merupakan teman kuliah Febrian tersebut.
"Mas, Mas, ini sebenernya kita nggak enak banget loh, kompetitor tapi ngobrolin tawaran kerja di tempat terbuka gini," tegur Adi sambil tetap mengerjakan bagiannya, mempersiapkan layar presentasi produk digital.
"Oh, sorry, sorry. Besok malam kita ngumpul aja gimana? Karaokean, gue yang traktir." Pria itu masih menggunakan kesempatan terakhirnya untuk bertemu janji dengan Febrian, kali ini sambil merayu teman-temannya juga.
"Mau!" seru Tantri dan Dipa kompak.
"Hus!" Febrian segera meredam minat Tantri dan Dipa.
"Loh, kenapa? Kan cuma main bareng aja. Masa' kita nggak boleh networking? Kita juga kan bisa enjoying life outside office with friends." Pria yang tak lelah membujuk Febrian itu mencoba melunakkan teman kulahnya.
"Feb, boleh, ya?" pinta Dipa. Tantri juga memperlihatkan wajah memelas yang sama. Febrian menatap Adi, temannya yang satu itu hanya mengangkat alis tinggi-tinggi, tanda dia tak keberatan.
Febrian pun menghela napas. "Ya udah."
Semua berseru, termasuk pria dari perusahaan Pearsons. Setelah merasa berhasil membujuk Febrian sedikit ke arah yang ia tuju, pria itu pun pamit.
"Mo!" panggil Febrian pada temannya. Pria itu berbalik dan menjawab panggilan itu dengan menaikkan sebelah alis.
"Gue bawa enam orang lagi, nggak apa-apa?" tanya Febrian. Pria yang ditanya menyeringai dan mengacungkan ibu jarinya.
"Santai, bawa aja," seru pria itu sebelum akhirnya menuju stand Pearsons dan mulai bekerja di sana.
Tantri menahan senyum sementara Dipa sudah terang-terangan menebak, "Pasti mau bawa Ila deh, tapi biar nggak ditolak, lo alibi ngajak lima temennya yang lain."
Febrian tidak marah dengan tebakan itu. Sepertinya, perasaan yang ia miliki terhadap si sekretaris kalem dan dewasa itu sudah menjadi rahasia umum.
"Yang penting target gue tahun ini kesampaian, ngajakin Ila jalan," ucap Febrian dengan wajah yang lebih riang daripada ketika temannya datang.
(((Bersambung)))
***
Apakah sudah ada yang bisa menebak siapa yg bakal jd ehem2-nya Ila?
Yak! Nggak tau deh. Lihat bab selanjutnya aja ya besokkk~
Sampai jumpaaa
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top