10. Pemberian Orang Tua

"Saya ditawari pekerjaan di Pearsons, Pak."

Lima belas menit menjelang waktu pulang kantor. Alih-alih bersantai, Pak Rezky malah mendapatkan kabar yang begitu mengguncang harinya. Tentu saja direktur paruh baya itu dapat menjaga wibawanya dengan tersenyum dan mengangguk bak orang tua yang tengah melakukan diskusi penting dengan anaknya.

"Apa yang orang ini tawarkan ke kamu?" tanya Pak Rezky. Beliau sadar bahwa kedatangan Lilac ke ruangannya untuk memberitakan hal ini menunjukkan bahwa penawaran ini amat menggungah ketertarikan perempuan itu.

"Bapak tahu, kalau Pearsons itu punya kampus?" tanya Lilac. Dengan cepat Pak Rezky menghubungkan semua info yang ia ketahui dan menemukan jawaban. Tentu saja, hal yang selama ini selalu Lilac inginkan, tapi bertahun-tahun ia pendam. Kuliah.

"Meskipun dijanjikan bisa kuliah sambil kerja, penghasilan saya dipotong sampai 50 persen dari yang sekarang sudah saya dapatkan. Itu berarti hanya cukup untuk bayar SPP Lily dan kebutuhan sehari-hari kami saja. Tapi, ini kesempatan saya mendapatkan gelar S1. Saya mau coba diskusikan sama orang-orang rumah dulu," jelas Lilac. Pak Rezky mengangguk.

"Baik." Pak Rezky memajukan tubuhnya, lalu berkata, "Terima kasih sudah mengabarkan Bapak, ya, La."

Dahi Lilac berkerut. Ia bertanya, "Bapak nggak menasehati saya?"

"Lilac, kamu itu sudah 25 tahun. Sudah dewasa, tahu apa yang harus dilakukan. Bapak percaya sama kamu," jawab Pak Rezky. Terlepas dari semua pertanyaan dan kekhawatirannya, ia benar-benar percaya bahwa Lilac akan memutuskan hal ini dengan baik.

Lilac berterima kasih sebelum pamit dari ruangan atasannya. Ia menarik napas panjang sebelum bersiap pulang.

***

"Kerja sambil kuliah?"

Lily terbelalak sementara Lilac mengangguk sambil menahan senyum gugup. Entah kenapa, rasa semangatnya sulit teredam saat ini. Ia tahu bahwa seharusnya dirinya tak berharap, tapi, kesempatan di depan mata untuk melanjutkan studi benar-benar terasa nyata dan tergapai.

"Ah! Tawaran macem apa yang jelas-jelas beli rugi gini?" seru Surya dengan pangkal alis yang sudah berkerut.

"Hus, kok beli rugi? Memang Kak Ila barang?" bantah Lily

"Yang diperjualbelikan jasa-nya Kak Ila. Tenaga, pikiran, yang biasanya dihargai tinggi sama Pak Rezky malah diminta diskon sama itu orang. Enak aja," debat Surya lagi. Lily menunduk memikirkan ucapan Kakak laki-lakinya tadi.

"Iya juga, sih. Masa' penghasilan Kak Ila jadi berkurang? Padahal, dengan penghasilan yang sekarang aja, aja kita udah nge-pas. Kalau Lily mau jajan, Lily ikut jualan kue dan camilan buatan Ibu."

"Uang kuliah Surya juga nanti gimana? Untuk kebutuhan nge-print tugas, fotokopi bahan kuliah, makan siang, semua kan perlu uang. Ini Surya juga udah selalu titip jualan di koperasi, loh, sambil bantu jualan baju-baju reseller-nya Ibu di kampus. Kita tuh situasinya lagi nggak bisa kena pengurangan pendapatan, Kak."

"Lagian, kalau Kak Ila kuliah nanti, waktu luangnya harus dipakai belajar. Nggak bisa dipakai untuk cari tambahan. Kecuali kalau Lily nggak usah lanjut sekolah—"

"Nggak, Ly. Jangan." Lilac mengembuskan napas mendengar Lily dan Surya bicara bergantian. Benar ucapan kedua adiknya. Potongan lima puluh persen dari penghasilan memang terlalu besar. "Kalian benar. Saat ini, waktunya nggak pas untuk kehilangan setengah penghasilan. Besok pagi, Kak Ila akan telepon orangnya untuk tolak tawaran itu."

Surya menghela napas lega. Ia takut sekali mengalami hidup susah sampai tidak makan berhari-hari seperti tujuh tahun lalu. Serupa dengan Surya, Lily pun menyiapkan makan malam dengan senyum mengembang karena merasakan kelegaan yang sama. Sementara itu, sesosok ibu-ibu yang masih tampak segar meskipun usianya sudah kepala lima menatap putra-dan putrinya satu per satu.

Bu Mirna, sosok yang seharusnya menjadi kepala keluarga di antara mereka, Ibu dari ketiga anak yang luar biasa, berusaha menepis raut muramnya. Malam itu, ia berusaha mengikuti suasana agar rumah mereka yang serba sulit tidak ditambah pelik dengan argumennya. Anak-anaknya membutuhkan kedamaian, membuatnya yang tak bisa memberi lebih enggan untuk menantang ucapan anak kedua dan pertamanya.

"Bu, ini nasinya kurang?" Lamunan Bu Mirna buyar oleh sodoran piring dari Lilac. Putrinya itu tersenyum, meneduhkan hatinya.

Bu Mirna membalas senyuman Lilac dan menggeleng. Hatinya tak rela kesempatan putri sulungnya untuk kuliah menguap begitu saja.

***

Rumah Pak Rezky dan Bu Amandha memiliki rumah besar yang biasanya hanya dinikmati berdua di akhir pekan. Asisten rumah tangga mereka saat ini memiliki pulang di akhir pekan dan kembali hari Senin. Mereka menganggap mengurus rumah di akhir pekan amatlah menyenangkan dan menjadi kesempatan menikmati waktu berkualitas berdua. Namun, Sabtu itu terasa berbeda. Pukul sepuluh pagi, pasangan ini sudah kedatangan tamu.

"Bu Mirna, ada apa? Sambil sarapan, yuk?" ajak Bu Amandha, sosok sebaya yang penampilannya jauh lebih muda dari Bu Mirna karena perawatan dan pola makan sehat. Ada masanya Bu Mirna iri akan itu semua. Namun, kini ia lebih menysukuri keberuntungannya karena tidak seperti Bu Amandha, dirinya bisa melahirkan tiga malaikat dari rahimnya.

"Tidak usah, Bu, terima kasih." Sengaja Bu Mirna datang setelah waktu sarapan supaya tidak merepotkan. Maksud kedatangannya pagi itu sudah merupakan permintaan yang amat besar, ia tidak berani merepotkan Bu Amandha lebih jauh.

Bu Mirna menatap Pak Rezky dan Bu Amandha dengan wajah segan. Meskipun keduanya begitu hangat pada dirinya sekeluarga, tapi Bu Mirna kerap merasa tak pantas berada di hadapan pasangan kaya raya itu. Ia meremas blus panjangnya di atas pangukan sambil memberanikan diri untuk bicara lagi.

"Sebelumnya, saya ingin berterima kasih pada Ibu dan Bapak. Enam tahun lalu, setahun setelah suami saya berpulang, Ibu dan Bapak tidak pernah berhenti membantu saya dan anak-anak saya," ujar Bu Mirna. Spontan Pak rezky dan Bu Amandha saling pandang. Bu Amandha lalu  mengangkat telapak tangannya  ke depan, mencoba meminta Bu Mirna untuk menahan ucapannya.

"Bu, tolong jangan diungkit lagi. Setahun itu terlalu lama untuk kami membiarkan Ibu dan anak-anak berjuang sendirian setelah Reihan tiada," ujar Bu Amandha dengan suara bergetar. Ia masih tidak dapat mempercayai kenyataan bahwa sahabat suaminya, seseorang yang telah dianggap sebagai Adik sendiri dan mendapatkan tempat di hati suaminya, wafat mendadak karena serangan jantung beberapa saat setelah ia dan suami pindah ke London untuk dinas di sana selama setahun.

Bu Mirna menggeleng, "Kami sangat bersyukur. Suami saya juga pasti merasa amat beruntung bisa berkenalan dan dipedulikan sebegininya oleh Bapak dan Ibu. Perhatian Pak Rezky dan Bu Amandha pada kami, anak-anak kami, khususnya Ila, kami amat berterima kasih atas itu."

Pak Rezky kembali menatap istrinya, lalu bertanya selembut mungkin pada Bu Mirna, "Sebenarnya, apa yang hendak Bu Mirna ingin sampaikan? Sampaikan saja, jangan takut."

"Jadi begini, apakah Bapak dan Ibu sudah tahu soal tawaran pekerjaan yang didapat Lilac?" tanya Bu Mirna ragu sambil bergantian menatap Pak Rezky dan Bu Amandha. Pak Rezky tersenyum dan mengangguk.

"Yang kemarin aku ceritakan itu," ujar Pak Rezky pada istrinya. Bu Amandha mengangguk, lalu mengembalikan perhatiannya pada Bu Mirna.

"Pak ... Bu ... saya mungkin lancang saat ini, tapi saya punya permohonan untuk Bapak dan Ibu." Pasangan itu memperhatikan Bu Mirna ketika beliau mengemukakan permohonannya, "Tolong bujuk Lilac untuk menerima penawaran kerja itu."

"Hm, bagaimana keputusan Ila sendiri?" tanya Pak Rezky.

Bu Mirna menggeleng lemah, "Dia terlalu memikirkan adik-adiknya. Syarat pemotongan penghasilan sampai lima puluh persen membuatnya merasa berat untuk menerima tawaran itu. Padahal, kalau dia terima, Ila bisa jadi sarjana, Pak, Bu."

Bu Amandha spontan memasang wajah muram. Ia tahu betul sosok seperti apa Lilac, si anak dewasa yang selalu memikirkan orang-orang di sekitarnya. 

"Ila anak pintar, Pak, Bu. Dia terlalu sering diremehkan karena pendidikan terakhirnya. Bapak dan Ibu tahu kalau Ila lebih dari apa yang selama ini orang-orang lihat. Dia suka belajar, suka sekolah. Jika ada pilihan, pastilah dia lebih memilih untuk kuliah sampai S3. Tapi, kenyataannya tidak begitu. Dengan seluruh daya dan upaya kami sekeluarga pun, Ila hanya bisa mencapai tingkat SMA." Bu Mirna tak kuasa menahan tangis mengingat putri sulungnya. Ia tahu betul apa yang dirasakan Lilac, apa yang selama ini gadis itu pendam rapat.

Diliputi perasaan bersalah karena uang terakhir keluarga dipakai untuk keperluan kelulusan sekolahnya, kini Lilac selalu menjadikan keinginannya sebagai prioritas terakhir. Gadis itu mendedikasikan seluruh hidupnya selama enam tahun terakhir untuk keluarga setelah merasa telah mengorbankan keluarganya demi mencapai titel 'lulusan SMA.'

Pak Rezky terdiam,  menimbang-timbang. Jika boleh jujur, ia tak ingin ikut campur dalam pengambilan keputusan ini. Bukan karena tak peduli, tapi ia tak sanggup melepaskan Lilac di dunia kerja yang keras.

Lilac benar-benar bagaikan permata yang Pak Rezky temukan di jalan. Gadis itu juga hadir sebagai sosok anak, tangan kanan, sekaligus penenang dalam pernikahannya. Pak Rezky dan Bu Amandha akhirnya dapat merelakan kenyataan bahwa mereka tak bisa memiliki anak karena keberadaan Lilac, sosok putri sempurna yang mengisi kekosongan di hati mereka.

Di sisi lain, Pak Rezky memahami maksud Bu Mirna. Hatinya pun hancur tiap kali mendengar bagaimana kesempatan demi kesempatan tertutup di depan mata Lilac karena dianggap tidak berpendidikan tinggi. Ingin sekali pak Rezky membuktikan bahwa Lilac jauh dari apa yang orang-orang anggap.

Bu Amandha menggenggam tangan sang suami sambil berkata lembut, "Pak, walaupun nanti sudah bukan sekretaris Bapak, Ila itu tetap sudah menjadi anak kita. Tidak mungkin kita dan Ila menjauh begitu saja setelah dia keluar dari Narve."

"Nggak mungkin itu, Pak, Bu. Anak-anak saya sudah menganggap Pak Rezky dan Bu Amandha sebagai orang tua asuh mereka. Apalagi Ila, dia sayang sekali pada Bapak dan Ibu," timpal Bu Mirna.

"Pak ...." Genggaman tangan yang menguat membuat Pak Rezky menatap kala istrinya berkata penuh harap, "Bantu Ila, ya?"

Pak Rezky diam sejenak, mencari kekuatan dari keteduhan tatapan Bu Amandha. Setelah mendapat kekuatan itu, ia pun  menghadap ke arah Bu Mirna dan mengangguk.

Ia akan melakukan apa yang selalu orang tua lakukan untuk anaknya. Memberi yang terbaik.

(((Bersambung)))

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top