1. Sekretaris Andalan
"Udah deh, nggak usah buang waktu. Mending you semua panggil Lilac sekarang!"
Gebrakan dan bentakan Pak Jerry Hendratno – Direktur Personal Care PT. Narve Living – membuat beberapa deretan orang di depan mejanya tersentak.
Elisa, kepala corporate secretary yang mewakili divisinya untuk merekapitulasi berkas legal tiap divisi produk, menghela napas panjang. Ia segera berbisik kepada Devi yang telah menjadi sekretaris Pak Jerry tiga tahun terakhir, "Telepon Lilac, deh, biar cepat."
Devi mengangguk dan segera berlari ke luar ruangan, menuju mejanya sendiri, lalu menekan deretan nomor ekstensi. Ia menunggu dengan hati kacau hingga nada tunggu berubah jadi suara sapaan yang sopan.
"La, bantuin dong. Pak Jerry ngamuk." Wajah panik Devi berubah semringah mendengar jawaban dari perempuan yang ia telepon, "Oke. thanks banget, ya, La!"
Devi tak berani kembali ke ruangan Pak Jerry sebelum malaikat penolongnya muncul. Biarlah Elisa dan anak buah Pak Jerry menenangkan bos berusia 54 tahun itu. Bolak-balik ia gigiti kuku tangan kiri dan kanannya demi menutupi panik. Setelah beberapa menit, ia melihat seorang perempuan berkemeja soft pink, celana hitam, dan sepatu pantofel datang setengah berlari. Pipi mulus perempuan itu berwarna sedikit kemerahan, mungkin karena memilih untuk turun dua lantai lewat tangga ketimbang lift agar lebih cepat sampai.
"Ilaaa! Sorry banget yaaa," ujar Devi begitu Lilac sampai di hadapannya. Sebagai sesama sekretaris Direktur, mereka memang terbiasa saling bantu. Namun, dalam berbagai keadaan, Devi lebih sering mengandalkan sahabatnya itu ketimbang sebaliknya.
"Nggak apa-apa. Yuk, masuk." Lilac tersenyum demi menenangkan Devi sebelum akhirnya mereka masuk ke ruangan Pak Jerry bersamaan.
"Permisi, Pak," sapa Lilac sopan, tentunya sambil sedikit membungkuk demi menjaga suasana hati Direktur yang tengah keruh.
"Lac, tolongin dong ini! You biasanya cepat cari dokumen." Tanpa basa-basi, Pak Jerry langsung memberi instruksi. Jelas terlihat bahwa kesabaran beliau nyaris habis. Lilac tersenyum gugup menatap tumpukan kotak ordner yang memenuhi meja.
"Ini ... yang dari gudang, Pak?" tanya Lilac memastikan sambil maju ke depan meja Pak Jerry perlahan.
"Yes! Anak-anak ini semua bilang kalau berkas bukti tayang nggak ada. I nggak percaya, jadi I cari sendiri. Tapi, tetap nggak ketemu juga."
"Mungkin sudah digitalized, Pak. Coba di-check dulu." Elisa mencoba bersuara sambil mengingatkan bahwa saat ini, tiap bukti tayang memang sudah seharusnya di-input dalam folder khusus di server kantor.
"You diam. Kalau nggak bisa bantu, minimal jangan terlalu menyusahkan. Dari dulu nggak ada ceritanya kita dimintakan berkas mendadak begini, bikin panik satu divisi saja," balas Pak Jerry sambil memelotot. Ia mendengkus karena Elisa mengingatkannya kembali akan tugas administrasi yang bahkan belum setengahnya diselesaikan oleh divisi Personal Care.
Mata besar Lilac mengamati tumpukan yang berisi ribuan berkas itu. Sebagai seorang sekretaris, Lilac tergolong sosok yang paling rajin merapikan berkas di gudang. Tak heran jika Direktur selain atasannya langsung kerap meminta tolong untuk dicarikan berkas. Akan tetapi, dalam kasus ini, Lilac pun tidak yakin dapat menemukan apa yang Pak Jerry inginkan. Sudah lebih dari empat orang; termasuk Pak Jerry sendiri; yang mencari dan hasilnya nihil.
Dengan pasrah, Lilac berdoa sambil mengambil sebuah kotak ordner dari tumpukan di atas meja Pak Jerry. Baik warna maupun bentuk kotak ordner tersebut membuat Lilac teringat akan kumpulan berkas bukti tayang. Ia segera membuka dan membolak-balik puluhan tembaran dari berbagai ukuran dan warna. Lilac menyingkap rambut berombak sebahu yang sempat menutupi wajahnya ketika menunduk tadi, lalu mengangkat kotak ordner yang ia pegang ke hadapan Pak Jerry.
"Sepertinya ini, Pak, berkasnya. Mungkin bisa di-cek," ungkap Lilac tenang. Pak Jerry memelototi salah satu anak buahnya yang berasal dari divisi sales and marketing. Tanpa tunggu instruksi lisan, sang anak buah pun mengambil alih kumpulan berkas yang Lilac papah.
"Be- betul ini, Pak!" seru sang anak buah yang kini memandang Lilac takjub. Pak Jerry tertawa keras. Kombinasi lega dan bangga membuat seluruh otot di wajahnya mengendur.
"See? You pasti bisa temuin! Kalian ini contohlah Lilac ini, teliti dan cepat kerjanya," ucap Pak Jerry dengan suara membahana. Pria tambun itu tertawa lega mengetahui masalah berkas sudah selesai.
"Tadi kan Bapak juga ikut periksa." Devi menggerutu dengan suara pelan.
"Apa, Dev?" tanya Pak Jerry tanpa diduga. Tubuh Devi menegak dan ia langsung menepuk bahu Lilac yang sedikit lebih rendah dari bahunya.
"Saya akan belajar lebih tekun lagi sama Lilac, Pak," jawab Devi cepat sambil memberi cengiran panik. Lilac hanya tersenyum.
Pak Jerry menatap Elisa dengan senyum kemenangan. Ia sendiri yang memberikan berkas itu pada Elisa sambil berkata, "Lain kali, tanya anak kreatif in house. Mereka juga punya kontak dengan agency yang ngurusin placement iklan kita. Jangan direktur kamu suruh urusin perintilan kayak begini. Devi!"
"Y- ya, Pak!" seru Devi tak kalah nyaring setelah dipanggil tanpa persiapan.
"Sampaikan permohonan maaf pada Team di Amsterdam karena kita harus reschedule meeting sore nanti. Bilang saja, ada masalah internal sehingga presentasi dari Team Indonesia baru bisa dilakukan besok sore." Pak Jerry sengaja membuat suasana menjadi canggung untuk Elisa, tapi perempuan itu tetap terlihat tenang.
"Terima kasih banyak atas bantuan Team Personal care. Saya permisi dulu," ucap Elisa sopan. Ia keluar ruangan diiringi Lilac dan Devi. Pak Jerry menahan anak buahnya yang lain untuk membahas materi presentasi esok sore.
Setelah mereka berada di meja kerja Devi yang lokasinya tiga langkah dari ruangan Pak Jerry, Elisa maju ke hadapan para sekretaris Direktur di hadapannya.
"Devi, saya harap kamu bisa lebih bertanggung jawab lagi ke depannya," tegur Elisa tanpa aba-aba. Devi terbelalak sementara Lilac hanya diam di tempat, terjebak dalam suasana yang amat canggung. Apalagi setelah itu, Elisa lanjut berkata, "Kamu sekretarisnya Pak Jerry, kok bisa Lilac yang lebih tahu keperluannya Bapakmu?"
"Maaf, Mbak," pinta Devi dengan wajah penuh sesal. Ia melirik Lilac, perempuan itu hanya menatapnya simpati sambil melipat bibir tipisnya ke dalam mulut.
"Jangan diulangi, atau ini akan berpengaruh ke penilaian evaluasi tahunan kamu nanti." Elisa mengangkat dagu dan bersedekap sebelum beranjak tanpa menunggu jawaban Devi.
"Ajegile Mbak El, mainannya ngancem melulu." Devi mengusap-usap dada sambil menghela napas lega karena orang yang menjadi ancaman telah pergi.
"Sabar ya, Dev," hibur Lilac seadanya. Ia juga masih terkejut dengan teguran Elisa yang dirasa cukup keras itu. Bahkan, atasannya saja tak pernah menegur Lilac seperti itu di hadapan karyawan lain.
"Lo tahu sendiri, La, gue gampang panik kalau Pak Jerry udah ngebentak. Lagian Mbak El juga yang salah, kok. Kayak Pak Jerry bilang tadi, minta berkas kok dadakan? Dipikir berkas tahunan itu kita simpan di meja kerja?" keluh Devi sambil berjalan ke balik meja kerja dan duduk di sana. Lilac mengambil gelas berisi minuman dan memberikannya pada sang rekan kantor.
"Mungkin dia pikir kita semua udah mulai input data-data berkas ke sistemnya itu, ya?" tanya Lilac, lebih kepada diri sendiri.
Sejak Elisa menjabat sebagai kepala Corporate secretary di Narve Living, sosoknya sukses menjadi musuh bersama nyaris semua karyawan di perusahaan tersebut. Visinya untuk mendigitalisasi semua berkas perusahaan membuat seluruh divisi kewalahan karena harus memasukkan berkas yang ada bahkan sejak Narve Living membuka anak perusahaannya di Indonesia 40 tahun lalu.
"Ah, semua gara-gara Mbak Elisa tuh, sok rajin. Ngurusin berkas tahunan kok di tengah tahun? Kan, dua kali kerja nanti. Mana akhirnya semua kena, tuh sampai anak marketing kena omel Pak Jerry juga hari ini."
Lilac memilih diam karena tidak ingin memanaskan situasi. Bulu matanya yang lebat bergoyang tiap mata besarnya berkedip memperhatikan keluh kesah Devi yang seperti tak berujung.
"Gue rasa dia iri tuh, lihat lo dipuji Pak Jerry tadi. Dia yang lulusan S2, tapi lo terus yang diandelin direktur sini." Seringai Devi naik kala mengungkapkan fakta itu dengan bangga, tapi ucapan itu malah membuat rahang Lilac turun.
"Ya, ampun! Baru inget. Duluan, Dev!" Lilac menepuk dahi dan segera berlari.
"Kenapa, La?"
"Gue ke sini belum izin Bapak, tadi beliau lagi meeting. Dadah!" Lilac melambai kasar sambil kembali melesat menuju tangga sementara Devi terkekeh dan bergeleng melihat Lilac berlari sekuat tenaga.
Kalau ada seseorang yang sanggup membuat Lilac yang tenang dan kalemmenjadi heboh dan kelimpungan, orang itu adalah atasan Lilac. Satu-satunyasosok yang Lilac hormati sekaligus kagumi, membuat sekretaris andalan itu rela melakukan apa saja.
(((Bersambung)))
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top