Tiga Puluh Tujuh
[Pokoknya aku repost ini sampe tamat, tapi nanti bakalan unpublish cepat tanpa pengumuman lebih dulu, ya. Pokoknya yang mau baca lengkap di Karyakarsa kataromchick atau ke google playbook dengan cari 'Faitna YA'.]
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Patra begitu mengetahui bahwa adiknya menemui Nayana tadi siang.
Nayana tidak sempat mengatakannya pada Patra. Jika pria itu langsung tahu saat ini, itu artinya Pratista sendiri yang mengungkapkan pada sang kakak. Nayana juga tidak berniat memperparah hubungannya dan keluarga pria itu. Bagi Nayana saat ini, adik Patra itu hanya sedang mengada-ada saja untuk mencari keributan. Dan untungnya Nayana tidak tertarik masuk ke dalam permainan itu. Dia sudah paham bahwa ciri khas perempuan dalam keluarga Patra adalah dengan membuat saingan mereka merasa tertekan dan depresi hingga memutuskan pergi sendiri. Cara itu sudah berhasil lebih dari enam tahun lalu, dan Nayana tidak berniat masuk ke dalam kubangan yang sama untuk kedua kalinya.
"Aku harus kenapa? I'm okay, Pra. Kamu nggak usah sepanik itu. Lagian kamu tahu dari mana soal Pratista yang nemuin aku?"
"Syukurlah,"—Prata menghela napas lega—"aku tahu dari suaminya Tita. Dia cukup tahu banyak soal rasa nggak suka Tita ke kamu, sebagai mantan kakak ipar. Suaminya telepon aku dan bilang kalo Tita pulang dalam keadaan marah-marah nggak jelas, dan pas ditelisik sama suaminya, dia ngaku udah nemuin kamu siang tadi."
Nayana meringis mendengar kalimat penjelasan itu. "Kayaknya aku udah keterlaluan juga nimpalin ucapannya. Maaf, karena aku tadi agak kebawa kesel juga. Tahu sendiri emosi perempuan yang suka meledak-ledak. Aku ngomong kalimat yang pasti nyakitin adik kamu itu."
Patra menggelengkan kepala tak setuju. "Kalo soal ucapan, aku yakin Tita nggak kalah ketusnya. Aku paham banget sejak dulu, mama dan Tita nggak bisa biarin kamu tenang sedikit. Makanya aku lebih cemas soal kamu, aku takut kamu balik terguncang dengan ucapan dan sikap Tita."
"Patra, aku udah banyak belajar. Sebenernya aku bisa lebih parah menghadapi adik kamu, tapi aku inget kalo kita ujungnya bakal jadi keluarga lagi. Jadi, aku minta sama dia supaya bisa belajar menerima aku, begitu juga sebaliknya. Supaya Zaira nggak takut kalo mami dan tantenya ada di satu tempat yang sama."
Patra setuju dengan pernyataan itu. Mereka harus memikirkan respon Zaira yang masih begitu kecil dan tak akan paham masa lalu yang pernah dilalui Mami dan tantenya.
"Jangan belain aku, Pra. Aku nggak mau besar kepala. Bela aku disaat yang pas. Jangan terus-terusan. Aku juga memposisikan adik kamu. Dia mungkin punya beban pikiran yang nggak bisa kita bayangkan. Jadi, ya, udahlah. Aku nggak mau banyak drama sama adik kamu."
"Oke, oke. Nggak akan aku bikin hubungan kalian makin rumit."
Keduanya mengangguk dan Nayana menyadari Zaira yang tak terlihat di sekitar. Ke mana anak itu? Katanya mau pergi ke mal bersama maminya.
"Zaira di mana? Jadi, pergi sama aku, kan? Terus orang kantor kamu belum dateng?" tanya Nayana penuh rasa penasaran.
Patra tertawa. Melihat Nayana yang banyak bertanya begini membuat pria itu ingat betapa miripnya Nayana dan Zaira. Ketika mereka bertanya menggebu dan tak bisa mengungkapkan satu persatu, di sanalah kemiripan itu muncul.
"Kamu, kok, malah ketawa? Aku serius, Patra!"
Patra menggerakan tangannya, meminta waktu untuk menyelesaikan tawanya lebih dulu.
"Maaf, maaf. Aku lagi ketawa karena ngerasa kalian mirip banget kalo kayak begini. Aiya juga kalo nanya nggak bisa satu-satu, nggak sabaran, dan wajah penasarannya sama kayak kamu gini."
Nayana tersipu malu, Patra memang sangat memahami sikap putri mereka dan ditambah sudah lebih dulu kenal dengan Nayana semasa muda. Tak heran jika pria itu merasa terhibur dengan kemiripan tersebut.
"Ya, udah. Sekarang Zaira-nya mana?" tanya Nayana satu persatu.
"Lagi ganti baju di kamarnya. Dia juga ribet kalo pilih baju."
"Berarti kamu nggak jadi kerja atau belum dateng orang kantornya?"
"Aku mau ikut kalian, jadi aku minta asistenku buat dateng lebih awal tadi."
Nayana yang memahaminya memilih menganggukan kepala dan segera menuju kamar Zaira. Perempuan itu ingin melihat apa yang sudah Zaira lakukan di kamarnya.
Saat membuka pintu kamar putrinya itu, Nayana bisa memahami apa yang Patra rasakan. Kebiasaan memilih baju dan tidak sreg dengan semua koleksi di lemari adalah kebiasaan perempuan yang hakiki. Dengan cepat Nayana menoleh ke arah Patra dan menahan tubuh pria itu.
"Kamu di luar aja, ya. Biar aku yang bantu pilihin baju buat Zaira."
Patra membuka mulutnya dan bersiap mengatakan sesuatu, tapi Nayana dengan cepat mendorong pria itu dan menutup pintu. Kali ini Nayana akan memulai mengurus putrinya dengan baik. Biarkan saja Patra sibuk menunggu para perempuan yang bersiap.
***
Berangkat menuju mal, mereka bertiga bernyanyi lagu anak-anak bersama Zaira. Semula Nayana merasa sangat kekanakan karena harus bernyanyi lagu anak-anak. Namun, karena Patra bersemangat, maka Nayana juga tak merasa aneh melakukannya. Gambaran keluarga bahagia sudah mereka kantongi. Sejujurnya Nayana sudah sangat nyaman dengan semua ini, tapi masih ada satu tugas lagi dimana mereka harus menemui keluarga Nayana yang pastinya sudah berpencar-pencar tempat tinggal.
Meski ada rasa cemas, tapi keberadaan Zaira membuat kecemasan itu perlahan pergi. Mereka sibuk untuk membuat Zaira merasakan keluarga lengkap. Absennya Nayana selama enam tahun pertumbuhan anak itu sudah menjadi salah satu alasan hausnya Zaira dengan sosok ibu. Tidak heran jika gadis kecil itu selalu menginginkan kedekatan dengan Nayana meski terkadang ada saja dramanya.
"Mami, ini cantik nggak?" tanya Zaira.
Baju motif bunga yang ditunjukkan Zaira membuat Patra mengernyit. "Aiya? Bukannya kamu udah punya baju motif bunga?"
Anak itu berdecak dan memutar bola matanya selayaknya orang dewasa. Dia seperti bosan dengan tingkah papinya itu.
"Tuh, kan, Papi nggak ngelti lagi. Aiya punya baju bunga bunga banyak, tapi beda-beda bunganya."
Patra menggaruk pelipisnya, mulai tak percaya dengan apa yang putrinya katakan. Semua baju bermotif bunga milik Zaira sama saja di mata Patra. Apanya yang berbeda?
"Tapi Aiya—"
Nayana menghentikan apa yang akan Patra katakan. Dia tahu apa yang Zaira mau, jadi dia yang akan menemukan jalan keluar.
"Papi udah janji buat nggak ganggu sesi belanja mami dan Zaira, kan?" Nayana menekankan ucapannya.
Patra mengalah, dia memilih menjauh dan menunggu di kursi yang disediakan di toko tersebut. Dia memilih untuk memainkan ponselnya sendiri. Namun, tatapan matanya menangkap sosok lain yang lebih membuatnya penasaran.
"Itu kan si orang asing. Ngapain dia sama perempuan lain? Jadi dia ... deketin Aya dan perempuan lain?"
Tanpa menanyakan apa pun pada Nayana, Patra segera berjalan untuk memberikan perhitungan pada si pria asing. Padahal seharusnya Patra tak boleh bersikap sembarangan karena dia tak tahu banyak mengenai pria asing itu. Namun, kali ini Patra tak bisa menahan diri. Dia pernah cemburu karena si pria asing, jadi sesegera mungkin dia akan memberi perhitungan tak peduli risikonya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top