Tiga Puluh Tiga

[Yihiiii! Epilog sudah tayang di Karyakarsa ya. Cerita ini officially tamat! 😍. Buat yang baca di Wattpad, aku cuma akan post sampai bab terakhir(45) secara perlahan. Epilog dan extra part hanya ada di Karyakarsa. Mengenai versi cetak, infonya menyusul, ya. Santai aja dulu, deh. Aku mau fokus nulis expar dan lapak yang lain. Happy reading 😊]

Nayana mengemban tanggung jawab pekerjaannya dengan baik. Tidak berniat izin dengan dalih sakit, padahal dia sendiri yang mencari masalah karena meneguk alkohol tak seperti orang normal. Otaknya memang tidak normal hanya karena mendapati kemarahan Patra. Mana yang katanya dia ingin mengambil alih Zaira dari papinya? Mana kekuatan yang dirinya punya untuk bisa menjadi sosok ibu yang bisa membuat Zaira melupakan papinya? Dan ada satu pertanyaan tambahan. Apakah dirinya masih ingin melakukan semua itu? Mengambil Zaira agar terpisah dari Patra?

"Mbak, ini ada sample produk yang kemasannya diganti. Harus diperiksa dulu apa kekurangannya. Kira-kira bu bos bisa dateng hari ini nggak, ya?"

Nayana sempat lupa bahwa tugasnya adalah menjadi sekretaris kantor pemimpin perusahaan tersebut. Sudah pasti dia akan menjadi pihak yang sibuk dimintai memastikan jadwal dan kesediaan atasannya.

"Sebentar, ya, Yam. Saya hubungi dulu bu bos, nanti kalo ada kabar saya kasih tahu."

Maryam mengangguk dan kembali lagi ke tempat kerjanya. Tidak ada yang bisa dipastikan jika menyangkut atasan mereka. Jadwal pimpinan sekaligus pemilik perusahaan memang selalu tak bisa ditebak. Masalahnya usahanya tak cuma satu, itulah kenapa atasan mereka jarang berada di kantor ini.

Nayana mengirimkan pesan WhatsApp kepada asisten pribadi atasannya, dan harus menunggu hingga ada balasan yang sesuai. Jika saja dia boleh mengganggu dengan menelepon, pasti sudah dilakukan. Sayangnya, Nayana sudah diberikan pengertian bahwa jangan sampai menelepon karena bisa saja mereka sedang dalam rapat penting. Urusan orang kaya yang sibuk memang berbeda.

Kesibukan Nayana mengurus berkas yang masuk untuk dipilah sebelum ditaruh ke meja atasannya kembali mengambil alih. Nayana sibuk, lebih tepatnya membuat pikirannya sibuk sendiri. Sebab dia merasakan perasaan tak menyenangkan ketika pikirannya kembali melalang buana pada pertemanannya dan Galea yang tidak mengalami perkembangan sama sekali.

Bayangan semalam saat dirinya tak sepenuhnya sadar kembali datang. Galea adalah orang yang membuatnya berhenti minum dan menghubungi Patra untuk membawa Nayana pulang. Lagi-lagi dia membuat Galea mengurusnya, padahal Nayana tak ingin ada momen semacam itu. Meski di dalam hatinya memang tidak bisa menyangkal adanya perasaan aneh karena sendirian lagi selama di kantor.

Galea tidak akan sulit mendapatkan teman, karena memiliki sikap yang mudah bergaul. Namun, Nayana sudah pasti tak bisa mudahnya bergaul. Alasan pertama karena dia memang tidak suka sok kenal sok dekat, yang kedua karena dirinya memang berada di ruangan yang jauh dari pegawai lainnya. Tugas Nayana memang harus sepenuhnya fokus pada atasannya saja.

Berdecak sendiri, Nayana tidak bisa tenang memikirkan Galea. Jika memang Galea tidak ingin memperpanjang pertemanan mereka, lalu kenapa datang ke pub? Jika memang perempuan itu tak peduli, harusnya memang mengabaikan saja informasi yang didapatkannya dari pelayan pub. Bukankah artinya memang Galea masih memiliki kepedulian pada Nayana? Belum lagi fakta bahwa Nayana belum meminta penjelasan atas informasi yang Galea berikan secara asal pada Jefran. Bukankah seharusnya mereka bicara dengan serius? Membicarakan segala kesalahpahaman yang terjadi diantara mereka?

Melihat jam tangannya, sebentar lagi memasuki waktu makan siang. Nayana akhirnya menutup ponsel kantor dan beberapa berkas yang tadi dibacanya. Dengan gerakan cepat, dia berjalan menuju meja kerja Galea. Ketika dirinya mendapati Galea sedang merebahkan kepala di meja, Nayana langsung mengajak perempuan itu bicara dengan nada menodong.

"Gue mau ngomong!"

Galea berdecak, tapi tidak menghindari ajakan bicara itu. "Ngomongnya di tempat makan aja, konsentrasi gue kurang kalo belom makan."

*** 

Ada hening yang tidak bisa Nayana pecah saat berhadapan dengan Galea. Sedangkan Galea malah sibuk dengan makanannya dan tidak terlihat gugup sama sekali. Nayana merutuki idenya yang sangat mendadak tadi. Harusnya Nayana diam saja hingga Galea yang mengajak lebih dulu untuk bicara. Sungguh Nayana merasa bodoh karena tidak tahu harus melakukan apa pun.

"Lo sebenernya mau nggak, sih, ngomong sama gue?" ucap Nayana gemas.

"Lo nggak lihat gue lagi makan?" balas Galea.

"Terus kapan mulai bahasnya?!"

"Ya, lo aja duluan. Gue dengerin."

Nayana memang mau tak mau melakukan ini. Bicara lebih dulu untuk menyelesaikan masalah yang terjadi diantara mereka berdua.

"Pertama, gue tetep mau bilang makasih karena lo nyamperin gue ke pub. Terlepas dari marah-marahnya kita berdua. Thanks. Gue juga mau tanya kenapa lo kasih info palsu ke bang Jefran soal ulang tahun gue?"

"Buat apa lagi? Supaya dia bisa kasih lo hadiah romantis dan bisa semakin deket sama lo."

Nayana menghela napasnya dan berkata, "Dan itu nggak berhasil."

"Iya. Gue udah tahu kalo nggak berhasil."

Kening Nayana mengkerut. "Tahu dari mana?"

"Dari Jefran sendiri. Dia patah hati dan curhat sama gue."

Melihat sikap Galea yang biasa saja, Nayana yakin yang diucapkan temannya itu memang benar. Rupanya Jefran menjadikan Galea sebagai tempat curhatnya. Ya, Nayana tidak heran lagi. Galea memang orang yang enak dijadikan teman bicara, pendengar yang baik juga.

"Gue baru ngerasain omongan lo. Emang bener, nggak ada hal yang bisa bikin hati tenang kalo ngebiarin dua laki-laki di satu tempat yang sama. Akhirnya Jefran sendiri yang ngalah, dan meskipun gue nggak enak hati, tapi seenggaknya sekarang udah selesai. Gue lebih lega."

"Terus kenapa lo malah sibuk mabok semalem?" Galea bertanya.

Nayana tidak langsung menjawab. Dia malu untuk menyebutkan alasannya. Kemarahan Patra-lah yang membuat diri perempuan itu menjadi tak tenang hingga akhirnya melampiaskannya pada alkohol.

"Lo nggak mabok karena kehilangan laki-laki yang tadinya mau deketin lo, kan?" tambah Galea.

"Nggaklah, gila! Gue pusing karena habis cekcok sama Patra."

Galea menghela napas sebelum menghabiskan makanannya dan menciptakan jeda kembali.

"Gue minta maaf juga udah terlalu ikut campur soal Jefran dan Patra yang ada di hidup lo."

"Ngapain minta maaf? Lo bener, kok. Apa lagi itu bisa ngurangi beban perasaan lo sendiri ke bang Jefran. Sekarang kalian bisa, kok, pendekatan tanpa bingung soal gue."

Galea langsung menggelengkan kepalanya cepat. "Nggak ada yang kayak gitu. Kalo gue suka sama dia juga gue nggak niat ke arah serius. Dia sama aja kayak laki-laki yang pernah mampir dan jadi temen sesaat aja. Lagi pula dia cari gue juga karena butuh tempat curhat aja, nanti kalo dia udah move on juga nggak akan inget sama gue lagi."

Nayana tak habis pikir dengan temannya itu. Galea yang cerewet dan cenderung percaya diri tetap memiliki sisi insecure yang tak bisa diobati dengan instan.

"Lo terlalu ngeremehin diri lo sendiri. Tapi apa pun itu, gue nggak mau pusing sama urusan lo dan bang Jefran. Gue aja sekarang udah pusing, jadi nggak mau nambah pusing diri sendiri."

Mereka saling bertatapan sesaat dan mengangguk kompak.

"Jadi ... kita nggak saling marahan lagi, kan?" tanya Nayana.

"Yang marah duluan, kan, lo bukan gue."

Nayana memutar bola matanya. "Ya, ya, ya. Yang penting sekarang gue udah lebih lega."

Satu masalah Nayana selesai. Sisanya adalah membicarakan apa yang ada diantara dirinya dan Patra saja. Semoga segalanya bisa berjalan lancar dan Zaira tidak mendiamkan Nayana lagi. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top