Tiga Puluh Satu

[Bab 44 sudah tayang duluan, ya. Cek di Karyakarsa aku langsung aja. Atau yang yg ikutin disini bisa ikutin special chapter 31, ya. Special Chapter khusus cuma ada di Karyakarsa soalnya. Terima kasih😍]

Bukan hanya Nayana yang saat ini merasakan pusing di kepala, Patra juga. Dia tidak mengerti kenapa mantan istrinya selalu bertindak gegabah untuk menentukan sesuatu. Padahal, saat mencoba mendekatinya dulu, Nayana tampak begitu kalem dan tenang. Tak tahu turunan dari siapa hingga perempuan itu bisa memiliki sisi ceroboh dan tak berpikir jauh seperti ini.

Minum alkohol, di tempat umum, di tempat yang tak pernah Patra bayangkan akan didatangi oleh perempuan itu. Memang selalu ada perubahan dalam diri seseorang, termasuk Nayana. Namun, Patra tak pernah berpikir akan sejauh ini perubahan yang mantan istrinya alami. Berulang kali dia memikirkan, apa memang sajahat itu sikap Patra dulu hingga menjadikan Nayana pribadi yang berbeda begitu merasakan kebebasan?

Selama ini, rasa bersalah tertanam begitu hebat dalam diri Patra. Apa rasa bersalah yang sering diungkapkan pria itu masih tak cukup membayar segalanya? Apa yang harus Patra lakukan untuk bisa mendapatkan maaf Nayana dan memperbaiki pribadi Nayana yang terlanjur seperti ini?

"Benciiiii! Aku, tuh, benci banget sama mama kamu! Adik kamu juga! Sombong banget dia! Apa dia pikir aku begini karena kemauanku sendiri??!! Dia nggak tahu aja gimana kakaknya bisa menghujani aku dengan cinta, lalu menjatuhkan aku ke dalam jurang paling dalam sampai nggak terselamatkan!"

Orang bilang, ocehan orang mabuk adalah kejujuran yang paling benar. Sekarang Patra percaya. Ocehan Nayana memang berisi luapan isi hatinya yang tak terbendung. Patra sudah berulang kali mendengar segala ocehan dari Nayana. Kurang lebih isinya sama hanya saja kali ini Nayana meluapkan isi hati mengenai rasa tak sukanya terhadap mendiang ibu Patra dan adik pria itu.

"Kenapa hanya aku yang disalahkan di sini?"

Sekarang Nayana mulai menangis. Tidak ada yang bisa menghentikan perempuan itu, dan Patra juga tak akan susah payah melakukannya. Biarkan saja perempuan mabuk itu meneruskan apa yang ingin dilakukan. Percuma diatur untuk meminta berhenti, yang ada Nayana malah semakin tak suka.

"Dari dulu ... aku nggak pernah diurus dengan baik sama orang tuaku. Aku lebih suka ke rumah Ayumi. Ketemu bang Jefran yang dari dulu emang ganteng."

Kali ini Patra menatap sekilas dengan tajam pada Nayana yang menyinggung Jefran dan menyebutnya tampan.

"Hm. Mana mungkin kamu nggak suka laki-laki ganteng. Kalo aku nggak ganteng, kamu udah pasti nggak akan mau!" balas Patra.

"Huh! Aku tahu kamu ganteng, makanya aku langsung nembak kamu duluan waktu itu. Walaupun kamu nggak setertarik itu sama aku sejak awal!"

"Oh, iya! Aku inget kalo kamu dari awal emang bocah nekat. Harusnya aku sadar sejak kamu dateng ke aku dan bilang suka dengan beraninya, dan langsung balik begitu aku nggak kasih respon. Astaga, gimana bisa aku lupa kalo kamu memang suka nekat dan ceroboh dari dulu!"

"Jangan salahin aku! Salahin kamu yang nggak bisa jaga ketampananmu! Bikin banyak perempuan mepet ke kamu!"

"Dalam kondisi mabuk aja kamu masih menyangkal apa pun. Yang namanya hubungan berpasangan, udah pasti nggak bisa disalahkan salah satu pihak aja."

Nayana menangis kembali. Kali ini Patra tidak mengatakan apa pun lagi. Dia bingung mau membawa Nayana pulang ke mana. Masalahnya sekarang Zaira berada di rumah sendirian. Jika membawa Nayana pulang ke rumah perempuan itu sendiri, besar kemungkinan tidak ada yang mengurusnya. Astaga, Patra menjadi dilema jika begini.

Satu-satunya cara adalah dengan menghubungi Pratista untuk menemani Zaira di rumah. Setelah itu Patra harus memastikan Nayana tidak melakukan hal bodoh hingga tertidur. Semoga saja perempuan itu bisa tidur lebih cepat dan Patra juga bisa kembali ke rumah untuk menemani Zaira.

*** 

Nayana benar-benar membuat pekerjaan bagi Patra. Memarkirkan mobil, menggendongnya, dan mencari kunci rumah di tas perempuan itu yang membuat pekerjaan tambahan. Sungguh momen seperti ini sangat menyusahkan. Pantas saja teman kantor Nayana memilih untuk menghubungi Patra ketimbang menambah sulit hidupnya sendiri. Jika saja tak ingat masih ada rasa cinta, Patra pasti sudah enggan melakukan tugas semacam ini. Jika tak ingat Nayana juga adalah ibu yang melahirkan anaknya, Patra akan meninggalkan perempuan itu tanpa peduli apa pun.

"Tita, ini masalah serius. Aku titip Aiya ke kamu, ya."

"Jawab dulu pertanyaanku! Kakak pasti ngurusin perempuan itu lagi, kan? Jujur!"

Patra menghela napasnya panjang. Para perempuan memang suka sekali membuat drama dalam hidup. Sudah bukan hal aneh jika Pratista juga membuat drama lebih dulu sebelum menyetujui untuk menjaga Zaira di rumah Patra.

"Iya. Maminya Aiya lagi kesulitan sekarang. Aku mohon pengertian kamu sekali lagi, oke?"

"Aku selalu pengertian ke Kakak, tapi emangnya dianggap? Ya, udahlah, aku ke rumah Kakak dulu buat jagain Aiya. Jangan kelamaan. Kalo kelamaan, aku akan bawa Aiya ke rumahku tanpa aku kasih tahu ke Kakak!"

Tak lama setelah itu panggilan disudahi. Patra mengurut keningnya dan menghela napas kembali. Dia duduk di pinggir ranjang Nayana dan mempertanyakan pada diri sendiri kenapa kembali lagi ke rumah ini. Padahal dia sudah mengatakan untuk tak terdistraksi lagi dengan apa pun yang berkaitan dengan Nayana.

"Apa yang akan gue lakuin besok pagi?" gumam Patra.

Dia memikirkan apakah harus kembali dalam mode dingin dan marah pada Nayana, atau bersikap biasa saja kembali karena sudah membantu perempuan itu yang sedang mabuk. Pilihan pertama berkaitan dengan harga dirinya, dan pilihan kedua sebenarnya memudahkan segalanya. Zaira ingin melihat papi dan maminya saling berdamai, jika Patra memutuskan untuk bersikap biasa saja, maka mereka bisa melihat Zaira kembali ceria.

Disaat seperti ini, Patra terkejut dengan tangan Nayana yang melingkari perutnya. Wajah perempuan itu berada di punggung Patra. Rupanya efek mabuk pada Nayana memang segila ini.

"Aku nggak suka kamu yang menjauh dari aku, Pra."

Tubuh Patra kaku, dia tidak tahu bahwa Nayana bisa mengatakannya. Sedari tadi perempuan itu hanya mengoceh tentang rasa bencinya, dan sekarang dia mengatakan isi hatinya dengan nada yang lebih tenang. Masihkah Nayana mabuk?

"Aku harus mengakui, kalo aku nggak suka kamu dan Zaira bahagia. Aku cemburu, Pra. Aku ... seharusnya aku juga ada di sana. Aku nggak punya masa kecil seceria Zaira, aku ... maafin aku."

Dalam enam tahun kepergian Nayana, tak pernah ada satu kali pun Patra mendoakan hal buruk. Pria itu selalu berdoa agar pintu hati Nayana diketuk dan kembali untuk membahagiakan anak mereka. Patra juga tak pernah lupa mengenalkan sosok Nayana pada Zaira. Sungguh Patra tidak menyesali kelahiran Zaira dan pernah menghabiskan waktu bersama Nayana yang hingga sekarang masih dicintainya.

"Aku nggak pernah berharap kamu terluka. Aku ingin kamu bahagia, Ay. Aku selalu berdoa kamu bisa berdamai dengan masa lalu, bicara kembali denganku penuh ketenangan, lalu kita bisa membicarakan mengenai tumbuh kembang Aiya bersama. Aku tahu itu keinginan yang berlebihan, tapi aku senang kamu akhirnya datang meski sembunyi-sembunyi. Aku meminta kamu masuk ke rumah dan menemui Aiya, supaya anak kita tahu bahwa maminya memang ada dan masih mau ketemu sama dia."

"Aku tahu aku juga salah, Pra. Tapi aku terlalu bodoh untuk nggak mengakuinya. Aku terlalu egois dan kekanakan. Aku kesepian, Pra. Aku juga mau mendapatkan kasih sayang dari Zaira, aku juga mau disayang anak kita seperti dia menyayangi kamu."

Patra melepaskan tangan Nayana, memposisikan diri telentang miring dengan perempuan itu. Dari tatapan Nayana, perempuan itu sudah tak terlalu mabuk seperti semalam. Ah, mungkin Nayana memang tak terlalu mabuk, tapi ingin menumpahkan isi hatinya saja.

"Kamu nggak perlu menyimpan rasa cemburu dan iri. Aiya menyayangi kamu tapi dia terlalu gengsi ungkapinnya. Sama seperti kamu yang memilih jujur pas mabuk kayak gini. Kita bisa menjadi orang tua yang kompak buat Aiya, asal kamu mau, dan bukan aku yang memaksa."

Nayana mengangguk-anggukan kepalanya dengan cepat. "Aku mau! Aku mau merasakan kebahagiaan itu, Pra. Aku mau bisa bahagia. Aku capek meluapkan kebencian terus, aku mau kalian ada di hidupku!"

Patra tersenyum senang. Dia mengusap pipi Nayana dan mengecup bibir perempuan itu. "Aku udah rekam ini, kalo besok pagi kamu mengelak, aku akan tunjukkan semuanya supaya kamu nggak bisa berkata apa-apa."

Ya, Patra memang sudah menaruh ponselnya di nakas menggunakan beberapa benda untuk menahannya agar tak terjatuh. Kamera depan pria itu sudah menangkap seluruh racauan Nayana malam ini sejak pelukan di perut Patra terasa. Inisiatif Patra memang sangat bagus untuk bergerak cepat mengumpulkan bukti ucapan Nayana.

"Aku nggak akan lupa, bahkan kalo kamu cium aku sekarang, aku nggak akan lupa, Pra."

Sebelah alis Patra naik, tapi dia tahu Nayana tak bercanda dengan ucapannya.

"Aku nggak mau menyetubuhi perempuan yang nggak sadar, lagi pula masalah kita belum selesai—"

"I love you. Kamu merekamnya? Kalo besok aku nggak sengaja lupa, tunjukin rekaman ini. Aku masih cinta sama kamu, Patra. Aku menginginkan kamu dan Zaira dalam hidupku. Apa itu bisa membuat masalah kita selesai?"

Patra terdiam sejenak, sedang memikirkan sesuatu sebelum bertindak.

"Kalo kamu nggak mau—"

"Masalah kita harus tetap diselesaikan besok pagi, tapi aku nggak bisa menolak ini." Patra mencium bibir perempuan itu dengan panas. Dia memberi jeda sebentar untuk berkata, "Aku juga masih cinta sama kamu. Ingat ini baik-baik, Ay."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top