Tiga Puluh Lima

[Aloha! Extra Part 2 sudah tayang dan bisa kalian nikmati, yes. Happy reading!]

Berbagai rasa bercampur saat ini, yang lebih mendominasi adalah lega. Bahagia? Nayana tahu dirinya menyukai pelukan bertiga yang sangat dramatis itu, bahkan pelukan tersebut hanya bisa dipisahkan oleh bunyi notifikasi layanan pesan antar restoran yang Patra sukai. Selama Patra mengambil makanan di depan, Nayana dan Zaira memiliki waktu berdua. Anak itu menatap Nayana dengan penuh pengharapan. 

"Kamu mau bilang sesuatu, Zaira?" 

"Mami nggak mau bilang susuatu ke Aiya?" 

Nayana ingin menertawakan ucapan anak itu yang salah, 'sesuatu' menjadi 'susuatu' adalah typo dalam ucapan yang sangat lucu. Namun, Nayana tak ingin hal itu menjadi kebiasaan. 

"Sesuatu, Zaira. Bukan susuatu." 

Zaira mengangguk-angguk. "Iya, itu maksudnya, Mami. Jadi mami nggak ada mau bilang ke Aiya?" 

Nayana mengangkat kedua alisnya kebingungan. Dia tak tahu harus mengatakan apa pada anak itu. Sedangkan Zaira terlihat sangat mengharapkan Nayana mengatakan sesuatu. Emangnya aku harus bilang apa? Ucapan apa yang diharapkan Zaira? 

"Mami ... harus bilang apa?" 

Zaira melipat kedua tangannya di depan dada. Nayana seperti menghadapi diri sendiri yang super ribet karena berharap orang lain bisa menebak keinginannya. Rupanya drama seorang perempuan sudah mengakar di dalam diri Zaira. 

"Mami belum minta maaf sama Aiya. Mami malah-malah ke Aiya di mobil waktu itu. Mami halusnya say sowwy ke Aiya! Kata papi, wapun Aiya udah maafin, tapi yang salah halus tetep minta maaf langsung bial maafannya benelan selesai." 

Nayana meringis karena ucapan putrinya yang sangat serius terselip kata yang tak sempurna diucapkan. Sungguh hal kecil yang lucu itu mendistraksi Nayana dari mode serius ke mode ingin tertawa. 

"Zaira, walaupun bukan wapun, ya." 

Anak itu langsung memasang anggukan lagi yang menginginkan bagian tersebut tak dipermasalahkan. 

"Jadi, Mami kenapa lepot-lepot omongin omongan Aiya yang salah??? Mami halus minta maaf tauk!" 

Nayana akhirnya memilih mengalah. Dia tak mau lebih banyak drama yang terjadi akibat dirinya lebih lama menyampaikan ucapan maaf yang diinginkan Zaira. 

"Oke, Zaira. Maafin Mami yang kemaren sempet marah-marah sama kamu. Maafin mami yang nggak bisa jadi mami yang baik buat Zaira. Maafin mami yang nggak ada buat Zaira sejak lahir. Maafin mami—"

"Maafnya, kok, banyak banget, Mami?" sela Zaira. 

Tingkah anak itu memang sangat lucu. Cerewetnya tak bisa menghentikan Nayana kali ini untuk tertawa. Dia senang Patra bisa mengurus Zaira dengan benar, bahkan menjadi anak yang cerdas hingga saat ini. 

"Mami, kok, tawanya nangis?" tanya anak itu lagi. 

Nayana memang tertawa, tapi sambil menangis. Dia tak tahu emosi mana yang lebih mendominasi karena melihat Zaira yang luar biasa tumbuh kembangnya. Padahal selama ini dia berharap buruk pada kehidupan yang dijalani Patra dan bayi yang ditinggalkannya. Namun, lihatlah sekarang, dia bisa melihat bagaimana putri yang ditinggalkannya sebagus ini tumbuh dan berkembang. Bahkan Zaira tumbuh menjadi anak yang lebih mudah memaafkan, tak seperti Nayana yang harus digedor dari berbagai sisi untuk bisa tersadar. 

Nayana mengusap air matanya, dia tak mau membuat Zaira panik. "Maaf, ya. Mami terharu." 

"Terharu apa, Mami?" tanya Zaira. 

Nayana tertawa lagi, tapi masih dengan air mata. 

"Aaa, Mami jangan nangis. Aiya nggak malahin Mami. Don't cly, Mami." 

Nayana memeluk anak itu dengan erat, dan Patra menatapnya dalam diam. Ini sungguh pemandangan yang luar biasa menenangkan hati. 

***

Banyak hal di dunia ini yang tidak bisa ditolak atau dihalangi kedatangannya. Tidak bisa. Itulah yang namanya takdir. Berulang kali Nayana mencoba berlari dari takdirnya bersama Patra, nyatanya menerima adalah hal yang paling membuat hati tenang. Tidak perlu ada rasa benci dan Nayana lega dengan hal itu. 

"Kita mungkin bisa digerebek kalo terlalu sering bersama kayak gini." Patra bicara dengan pelan. 

Zaira sudah tertidur dan berada di tengah memisahkan papi dan maminya. Sebagai orang tua, mereka akhirnya bisa memberikan pengalaman tidur bertiga meski Patra harus mengakui ranjang milik Nayana itu terlalu kecil untuk mereka gunakan bersama. 

"Kayaknya tetanggaku bukan tipikal yang terlalu repot ngurusin orang lain. Kamu nggak perlu cemas soal itu." 

"Aku nggak cemas, justru aku berharap bisa digerebek dan dinikahkan lebih cepat sama kamu." 

Nayana yang mengira ucapan Patra adalah serius, kini menghela napas karena pria itu sedang bergurau. 

"Ya, ya, ya. Kamu bisa jadikan itu sebagai candaan." 

"Aku serius, Ay. Kapan kamu mau aku bawa ke KUA untuk rujuk?" 

Mereka sudah sepakat untuk tak menghabiskan lebih banyak drama. Tujuan mereka sudah jelas, membangun keluarga lagi bertiga. Ajakan kembali bersama Patra memang bukan dimulai dengan pacaran, mereka sudah tak sebercanda itu. 

"Kali ini bukannya kita harus melakukannya dengan baik, Pra? Bicara dengan keluarga masing-masing dan mendapatkan persetujuan. Kita nggak bisa nikah mendadak dan terpaksa. Aku mau diterima di keluarga kamu—oleh adik kamu, dan kamu dikenal dan diterima keluargaku yang memang ... agak rumit." 

Menghadapi Pratista tidak seberat menghadapi keluarga Nayana. Sebab orang tua perempuan itu yang sudah memiliki keluarga masing-masing, dan terlebih lagi Nayana sudah menyembunyikan keadaannya yang pernah berbadan dua. Kedatangan Nayana nantinya pasti akan membuat huru hara di keluarga. Belum lagi fakta bahwa Nayana sudah memiliki anak berusia enam tahun. Patra memiliki tugas yang tidak mudah dibandingkan Nayana yang hanya perlu berhadapan dengan Pratista. 

"Kita punya banyak tugas, Pra. Dan kali ini kita harus melakukannya dengan benar." 

Patra menganggukan kepalanya. Dia tahu bahwa semua itu akan menjadi salah satu permasalahan yang harus diselesaikan sebelum mereka kembali menikah. 

"Lalu, apa ada tanda-tanda kamu hamil?" tanya Patra tiba-tiba. 

"Pertanyaan apaan itu? Aku menjaga diriku dengan baik, Patra." 

"Ya, siapa tahu ada kemungkinan kamu nggak bisa menahan kehadiran nyawa baru di dalam tubuh kamu."

"Nggak ada kayak gitu lagi. Sekarang fokus aja ke hubungan yang akan kita bangun dan Zaira. Persoalan anak, kalo memang sudah waktunya, kita pasti dikasih." 

***

Berbeda dengan Nayana yang sudah menemukan jalan keluar dari masalahnya. Galea tidak tahu masalah apa yang sebenarnya dihadapinya ini. Dia yakin Jefran masih begitu mengharapkan Nayana, tapi pria itu malah sibuk datang padanya beralasan butuh teman. Galea tak masalah dengan itu. Yang menjadi masalah bagi perempuan itu adalah pertemanan yang mereka jalani ini lebih kepada friend with benefit. 

"Lain kali jangan main di rumahku. Cari tempat lain kalo memang nggak cuma sekedar ajak cerita doang." 

Jefran menatap Galea yang berkeringat. Dia tidak tahu bahwa pengalaman pertama mereka bisa membawa mereka di sini. Pria itu tidak berniat melakukannya, tapi Galea yang membuatnya nyaman membuat semua ini terjadi. 

"Kamu yakin nggak ada laki-laki yang terbawa perasaan sama kamu?" tanya Jefran. 

Pria itu tahu bahwa dirinya bukan yang pertama bagi Galea. Dari apa yang Jefran rasakan, Galea jelas memiliki kemampuan yang tak akan bisa dilakukan jika minim pengalaman. 

Galea mendengkus. "Berhenti nanya apa pun yang udah diketahui jawabannya." 

"Saya nggak percaya nggak ada pria yang nggak menemui kamu untuk kedua kalinya." 

Galea tidak menutupi tebakan Jefran yang memang ada benarnya. Ada beberapa pria yang datang lebih dari dua kali dan memang cocok dengan kepribadian Galea. Namun, ujungnya juga menghilang. Jadi, Galea sudah paham bahwa tidak ada yang perlu diharapkan dari seorang pria. 

"Benar, kan, ucapan saya? Memang ada pria yang datang ke kamu lebih dari sekali."

"Nggak perlu dibahas. Udah selesai, kan? Kamu bisa pulang kalo udah—"

"Saya pulang sebelum subuh. Saya nggak bisa pulang sekarang. Capek."

"Kalo gitu mobilnya pindahin dulu. Jangan di pinggir jalan. Nanti tetangga pada protes." 

"Iya, nanti saya pindahin. Kamu mau tidur langsung atau mandi?" 

"Mandi. Aku nggak bisa tidur dalam keadaan nggak bersih."

Galea bangun dan meninggalkan Jefran yang menatap perempuan itu melakukan kegiatannya sendiri. Tak malu berjalan meski telanjang di hadapan Jefran. Tidak ada pikiran apa pun yang terlintas di kepala Galea. Dia hanya senang menghabiskan waktu dengan Galea. Namun, usianya sudah bukan untuk main-main. Orang tuanya pasti akan ribut mencarikannya pasangan. Jika Jefran meninggalkan Galea, mungkin dia akan menjadi pria yang sama jahatnya yang meninggalkan perempuan itu setelah menghabiskan waktu bersama. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top