Tiga Puluh Enam

[Extra part 3 udah tayang di Karyakarsa ya. Mari mampir sayangkuhhh.]

Nayana dan Patra sudah mempersiapkan diri untuk bisa melangkah ke jenjang berikutnya. Mereka pernah menghadapi pernikahan, tapi dulu mereka tidak tahu harus melakukan apa. Mereka hanya dua anak muda yang tak pernah memiliki pengalaman mengenai pernikahan. Terlebih lagi dulu mereka menikah karena dipaksa demi nama baik keluarga. Meski ujungnya perpisahan adalah langkah yang tidak bisa dihindari.

Semua pengalaman yang membuat mereka terombang ambing dan bisa dikatakan membuat gila inilah yang akhirnya menjadikan mereka lebih kuat akan masalah apa pun. Meski Nayana adalah pihak yang tak langsung bisa menerima permasalahan yang menerpa hidupnya. Setidaknya kini mereka berdua sudah sepakat menjadi manusia yang lebih dewasa menyikapi permasalahan yang ada.

"Mami Aiya mau ayamnya lagi."

Sepagi ini, Nayana mau tak mau memasak menu sarapan yang terbilang berat. Sungguh ayam goreng, sayur asam, dan sambal terasi harusnya disuguhkan ketika jam makan siang. Namun, karena ayah dan anak yang kompak katanya rindu dengan hidangan berat buatan Nayana, maka tidak ada penolakan yang bisa diberikan. Belum lagi melihat lahapnya Zaira dan Patra, mau tak mau semangat Nayana malah semakin bertambah untuk menghidangkan menu masakan enak setiap harinya.

"Iya, boleh. Nasinya juga habisin, ya."

"Oke, Mami!"

Patra menikmati makanannya dengan lahap dan tanpa suara. Tidak ada yang bisa mengganggu pria itu sama sekali. Seolah kehidupannya ditarik oleh magnet paling ampuh di dunia ini, yaitu makanan.

"Papi mau nambah nggak?"

"Nanti biar aku ambil sendiri."

Nayana mengangguk dan kembali fokus pada makanannya sendiri. Dia tidak terbiasa makan terlalu banyak di pagi hari. Ketika dia masih hidup sendiri, nasi yang ada di rice cooker seringnya menjadi kering dan tak disentuh. Kali ini, sekali Nayana memasak nasi, maka tak perlu berhari-hari untuk membuat nasi tersebut habis. Sudah ada Zaira dan Patra yang nafsu makannya tak perlu diragukan lagi.

Semua pemandangan ini membuat Nayana menginginkan lebih. Menginginkan semua ini terjadi setiap hari. Sebab dengan menghabiskan waktu makan bersama seperti inilah Nayana bisa merasakan tenang dan tak kesepian. Dia bisa merasakan bahwa inilah hidupnya, berdampingan dengan anak dan pria yang mencintainya.

"Habis ini mami mau kelja, ya?" tanya Zaira yang sudah menghabiskan makanannya.

"Iya. Kenapa?"

"Boleh nggak nanti kalo mami udah pulang kita main ke mal?"

Nayana memberikan banyak tatapan lebih dulu pada Patra, meminta persetujuan pada pria itu mengenai ajakan Zaira.

"Boleh nggak sama papi?"

"Tapi nanti sore waktunya asisten papi dateng ke rumah buat bahas kerjaan."

"Kan, Aiya bilangnya ke mal sama mami bukan sama papi."

Anak itu membuat Patra melebarkan mata tak percaya. Sepertinya ini pertama kali Zaira mau pergi tanpa mengajak papinya.

"Kamu udah lupain papi, Aiya? Kamu nggak mau ajak papi lagi?"

"Ihhhh, Papi! Aiya pengen jalan-jalan sama mami soalnya kalo sama papi Aiya nggak bisa beli-beli yang lucu-lucu!"

Nayana mengernyitkan keningnya tak paham arah pembicaraan keduanya. "Nggak bisa beli yang lucu-lucu? Beli apa?" tanya perempuan itu.

Patra menepuk keningnya dengan cepat. "Astaga, Aiya. Jadi karena itu."

"Apa, sih? Mami nggak paham."

"Ay, jadi kalo Aiya pergi ke mal sama aku, dia selalu marah karena aku nggak bisa pilih mana baju yang lebih lucu untuk dia beli. Aku selalu bilang dua-duanya yang ditanyakan ke aku itu bagus dan lucu. Ujungnya aku beliin Aiya dua baju yang dia taruh karena bad mood, padahal pas sampe rumah dia udah males lihat baju itu. Dan berlaku juga untuk semua barang lainnya."

Nayana tahu bahwa Patra memang payah jika diminta mengenai barang mana yang lebih bagus, lebih cantik, atau lebih lucu. Rupanya itu terjadi pada putri mereka juga.

"Jadi, intinya Zaira butuh seseorang yang bisa mengerti selera dia?"

Patra mengangguk dan Zaira juga ikut melakukannya. Keduanya terlalu mirip secara fisik, tapi untuk sifat Zaira lebih mewarisi sebagian besar milik Nayana. Namun, Nayana harus bersyukur karena Zaira lebih dewasa dibesarkan oleh Patra, tidak mudah tersinggung seperti Nayana. Itu berkat sosok Patra yang tidak pernah lupa memberikan perhatian dan pengertian pada Zaira. Berbeda dengan Nayana yang memiliki orangtua yang sibuk masing-masing dan lebih memilih menitipkannya pada sang nenek.

"Mami kenapa sedih?"

Nayana terkejut ketika Zaira berdiri di tempat duduknya dan memajukan tubuh dengan berpegangan pada meja makan.

"Hah? Mami nggak sedih."

Zaira menggelengkan kepala dengan dramatis. "No, no, no! Mami sedih. Aiya bisa tahu."

Nayana menatap Patra, tapi pria itu hanya memejamkan mata sejenak. Pria itu tak berniat menghentikan Zaira untuk mendapatkan jawaban jujur dari maminya.

"Mami bahagia karena bisa lihat kamu bahagia sama papi kamu. Maaf, ya, karena udah ninggalin kamu."

Zaira turun dari tempat duduknya dan memeluk perut maminya. "It's okay, Mami. Aiya ngelti, kok. Jangan sedih lagi, ya. Habis ini kita tinggal baleng beltiga."

Sesederhana itu Zaira memaafkan Nayana dan tidak membuat rumit permasalahan apa pun. Bahkan anak itu sudah tak sabar untuk bisa tinggal bersama.

***

Membentuk keluarga lebih mudah ketimbang masuk dalam suatu keluarga yang sudah terbentuk sebelumnya. Dalam hal ini, Nayana yang kesulitan masuk ke dalam keluarga Patra. Bahkan dia harus sadar diri karena ada anggota keluarga Patra yang sangat tak suka padanya. Jika Nayana berencana menemui dan bicara dengan Pratista saat nantinya resmi bersiap menikah dengan Patra. Namun, Pratista sudah lebih dulu menemui Nayana di kantor perempuan itu.

Jam makan siang, Pratista datang dan sudah memberikan tatapan tak bersahabat pada Nayana. Sejak awal melihat Nayana dibawa ke rumah keluarganya, perempuan itu memang terkontaminasi oleh ibunya yang membenci Nayana juga. Bagi mendiang ibu Patra, kehadiran Nayana membuat putranya tak bisa fokus membangun masa depan. Sedangkan Pratista hanya ikut-ikutan saja tak suka pada Nayana.

"Mau aku pesenin makanan? Siapa tahu kamu lapar."

Pratista mendengkus. "Nggak usah sok perhatian atau sok sopan. Aku tahu kamu dari awal memasang sikap bermusuhan denganku dan mama."

"Kalo kamu memahami situasiku saat itu, kamu pasti paham kenapa aku nggak suka masuk ke rumah kalian dan dipaksa untuk nggak keluar-keluar karena dianggap aib. Tapi aku nggak butuh pengertian dari kamu, Pratista. Aku tahu kita sama-sama perempuan, tapi kamu nggak peduli dengan kaum sesama kamu."

"Heh! Kalo kaum sesamaku memang patut dibela, aku nggak perlu disuruh buat ngertiin posisinya. Tapi kamu—"

"Kalo aku jahat dan nggak mau peduli dengan situasi kamu, aku pasti akan mengatakan dengan lantang bahwa kamu sedikit banyak bersalah ke aku, dan kesalahanmu membuat kamu nggak dengan mudah bisa mengandung. Kamu secara nggak langsung mencibir aku yang dengan mudahnya menjebak kakak kamu dengan kehamilan, padahal itu bukan keinginanku sendiri. Aku nggak mungkin bisa hamil sendiri."

Pratista langsung mengeratkan rahangnya. Nayana menyatakan fakta bahwa Pratista memang sulit diberikan keturunan saat ini. Nayana agaknya terlalu angkuh karena menganggap semua itu berhubungan dengan sikap Pratista dulu yang mencibir kehamilannya. Padahal semua itu memang takdir Tuhan. Ya, walau ada hubungannya mungkin tak secara langsung seperti itu. Namun, Nayana tak mau Pratista menekannya dengan mudah begitu saja.

"Kamu bicara seolah kamu Tuhan. Aku jadi makin paham kenapa mama nggak suka dengan kamu. Aku juga nggak heran karena kamu dengan mudahnya meninggalkan bayi kamu sendiri. Karena kamu memang sok tahu—"

"Kalo saat itu aku tetap keras kepala bertahan. Aku bisa gila, dan aku bisa aja lebih membahayakan bayiku sendiri. Kamu nggak tahu rasanya tertekan, hampir gila, dan terus disalahkan dalam kondisi berbadan dua. Bahkan setelah melahirkan aku tetap disalahkan. Bayi itu lahir dengan selamat aja harusnya kalian bersyukur, karena stres yang aku rasakan nggak mempengaruhi kondisi Zaira."

"Terus aja kamu menyangkal kesalahanmu sendiri. Kamu memang nggak pantas untuk bersama kakakku. Jadi, jangan pernah menghubunginya apa pun alasannya! Jangan bikin dia sibuk ngurusin kamu! Lepaskan kakakku dan kalo kamu mau sama Zaira, cukup jadi ibunya dan jangan masuk ke kehidupan pribadi kak Patra."

Nayana tertawa pelan. Dia tidak bermaksud sombong, tapi kenyataannya peringatan Pratista ini sudah terlambat.

"Sayangnya kami sudah sepakat untuk segera kembali bersama. Membesarkan Zaira bersama dan memulai perjalanan baru sebagai pasangan menikah. Kalo kamu mau memisahkan, maka sibuklah berharap. Karena kami akan dengan kuat semakin mengikat diri sebagai pasangan dengan jati diri baru."

Pratista melebarkan mulutnya dengan dramatis.

"Jadi, mulai sekarang, tolong belajarlah menerima bahwa aku akan menjadi bagian dari keluargamu, Pratista."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top