Tiga Puluh Empat
[Extra part 1 sudah tayang di karyakarsa, ya. Silakan mampir!]
Seperti yang Nayana pikirkan sejak awal, dia yang sudah lega mampu menyelesaikan masalah dengan Galea—temannya, kini harus dihadapkan dengan permasalahannya dan Patra. Sebenarnya tidak ada yang menjadi masalah pelik diantara mereka berdua. Ini hanya persoalan masa lalu yang sibuk diungkit melulu. Seolah Nayana tak pernah bosan dengan seluruh drama yang dirinya ciptakan sendiri di dalam kepala. Jika meniliki dari point of view Nayana, memang tak ada yang salah dengan drama ciptaannya itu. Sebab rasa sakit mendasari seluruh tindakan perempuan itu. Namun, kembali lagi, tak semua hal selalu berjalan seperti apa yang kita inginkan.
Seperti filosofi dari sisi agama, bahwa masalah yang datang pada kehidupan seseorang adalah ujian bukan bencana. Harusnya memang manusia bisa memaknainya dengan tepat, tapi tak semua orang bisa memiliki pemikiran luas dan hati lapang. Sama seperti Nayana yang tak langsung bisa menerima segalanya, tak mau melihat dari sisi yang lebih manusiawi. Ya, manusia pada dasarnya lebih sering melakukan kesalahan, kan? Bahkan menyangkal diri sendiri pernah melakukan kesalahan sudah menjadi salah satu bagiannya. Dan kini Nayana menyadarinya demikian. Selain Patra, dirinya sendiri sudah melakukan kesalahan besar.
"Pulang sama gue, Gal?" ajak Nayana.
"Boleh."
Setelah memastikan komputer mati, memasukkan barang-barang pribadi agar tak tertinggal di kantor, keduanya mulai menginjakkan kaki keluar dari gedung tersebut. Galea seperti biasa mengikuti Nayana dan diantar pulang dengan tenang. Hari mereka berjalan dengan baik setelah saling memaafkan. Sudah sepantasnya orang dewasa memang menyikapi setiap masalah dengan ringkas, kan? Ya, meski ada drama, tapi masalah diantara mereka memang harus jelas penyelesaiannya.
"Abis ini lo mau mabok lagi?" tanya Galea.
"Nggaklah. Gue udah janji sama Patra kalo kita harus ngomongin masalah yang ada diantara kita berdua. Sama kayak tadi yang gue lakuin ke lo, ajak ngomong empat mata dan gue berharap masalah bisa selesai sesegera mungkin."
"Ya, semoga aja masalah diantara kalian bisa cepet selesai. Asal kalian beneran nyelesaiin, ya. Kalo ujungnya ke ranjang, ya, kapan kelar masalahnya?"
Galea tampaknya terlalu mengenal Nayana hingga bisa menyindir dengan kalimat seperti itu. Nayana juga tak berniat untuk memberikan balasan yang berupa penyangkalan. Dia sudah belajar bahwa menyangkal banyak hal hanya membuatnya pusing sendiri.
Begitu sampai di depan rumah Galea, betapa bingungnya Nayana karena melihat mobil yang terparkir lebih dulu di sana. Mereka berdua tidak bodoh untuk mengenali mobil itu, kendaraan yang selalu digunakan oleh Jefran kemana pun pria itu pergi.
"Berhenti di sini aja, Nay." Galea berucap.
"Ya, oke."
"Lo mau turun?" tanya Galea sebagai sebuah penawaran yang membuat Nayana mengernyit. "Siapa tahu lo mau ngomong juga sama Jefran," tambah Galea.
"Nggak ada yang perlu gue omongin sama dia. Udah sana turun. Dia pasti mau curhat lebih banyak ke lo."
Galea mendengkus keras. "Dan yang jadi bahan curhatannya ngomong dengan santainya sekarang."
Nayanamengibaskan tangannya tak mau membahas hal ini lebih lama. Sedikit banyakNayana malu dengan apa yang dirinya alami dengan Jefran. Pria itu sudah jelas mengatakandirinya mundur dengan jantan. Sisanya hanya kecanggungan yang pasti Nayana danJefran miliki. Untung saja hubungan mereka belum sejauh itu hingga Nayana jugatak perlu bertemu kembali dengan Ayumi sebagai perempuan yang dikenalkansebagai calon Jefran. Memang takdir Tuhan selalu tepat.
***
Nayana Anjali [Aku mau ngomong malem ini.]
Pesan tersebut dibaca oleh Patra dengan sangat baik. Dia tak salah membaca nama formal sang mantan istri yang sebelumnya diberi nama 'Mami Aiya'. Patra mengubahnya karena kemarahannya yang sempat mengambil alih. Kini, dia agak bingung ketika membaca nama panjang itu lagi karena dirinya tak lagi marah untuk alasan apa pun.
"Naya Najali siapa, Papi?" tanya Zaira.
Anak itu hanya membaca sekilas nama yang tertera di notifikasi ponsel papinya hingga salah menyebutkan nama tersebut.
"Nayana Anjali, Aiya."
"Iya, itu maksud Aiya. Siapa, Pi?" todong anak itu hingga papinya mau menjawab.
"Itu nama panjang mami, Aiya."
Wajah Zaira langsung menunjukkan rasa penuh keingintahuan yang lebih dalam. Patra sudah bisa menebak bahwa anak itu akan mengeluarkan banyak pertanyaan tambahan. Namun, yang lebih penting sekarang adalah mereka datang ke rumah Nayana untuk mendapatkan kejelasan.
"Nama mami—"
"Aiya, nanyanya nanti dulu. Kita harus siap-siap ke rumah mami sekarang."
"Mami kenapa, Pi?"
Patra dengan cepat bergerak menuju kamar putrinya dan mengambil pakaian yang sekiranya bisa digunakan untuk ganti. Pria itu memperkirakan untuk menginap di rumah Nayana. Pembicaraan mereka tidak akan bisa selesai dalamm waktu singkat, jadi sudah pasti dia harus siap siaga untuk membawa putri mereka serta segala kebutuhannya.
"Papi ... mami kenapa?"
"Mami nggak apa-apa, Aiya. Tapi kita bakalan nginep di rumah mami soalnya papi mau ngomong banyak sama mami."
"Ngomong apa?"
"Ngomongin soal kemungkinan mami kamu mau tinggal sama kita."
Dengan balasan dari sang papi yang seperti itu, Zaira langsung memiliki semangat yang sama besarnya seperti Patra. Tanpa menunggu lagi, anak itu mengambil pakaian tidur kesukaannya agar dibawa untuk menginap malam ini.
***
Nayana terkejut ketika mendapati bel rumahnya berbunyi tepat saat dirinya akan memasak untuk perutnya yang kelaparan. Lebih terkejut lagi karena Patra dan Zaira sudah membawa tas olahraga yang perempuan itu bisa perkirakan isi di dalamnya memang banyak. Tak lupa senyuman Patra dan Zaira yang bak pinang dibelah dua. Mereka seolah kembaran berbeda generasi.
"Hai, Mami!" sapa Zaira lebih dulu.
Anak itu sudah bersikap biasa seolah tak terjadi apa-apa sebelumnya. Padahal Nayana masih ingat bagaimana anak itu ketakutan dengan ucapan yang diberikan sang mami. Tangisan Zaira juga masih terbayang di kepala Nayana dengan jelas, tapi anak itu sudah tak lagi bersikap takut.
"Hai, Zaira."
"Kata papi hali ini bakalan nginep. Aiya boleh masuk?"
Nayana sungguh tak mengerti bagaimana bisa anak ini bersikap sangat ceria dan tak terlihat takut sama sekali. Mantra apa yang sudah membuat Zaira melupakan sikap maminya dengan cepat?
"I-iya. Kalian boleh masuk."
Membiarkan ayah dan anak itu masuk dengan leluasa dan bahkan menaruh barang-barangnya di dalam kamar, Nayana tidak bisa berkata apa-apa. Kembali lagi tujuannya mengajak bicara Patra pasti memang menghabiskan banyak waktu dan pria itu tak bisa melepaskan tanggung jawab pada Zaira dengan mudahnya. Jadi, Nayana memaklumi hal ini meski sangat tiba-tiba.
"Papi, Mami, Aiya siap-siap bobo ke kamal dulu ya!"
Demi Tuhan, ini masih jam tujuh malam. Belum ada tanda-tanda anak itu mengantuk sama sekali. Namun, tidak ada yang berniat melarangnya.
"Jadi, bisa kita membicarakannya sekarang, Ay?"
"Hah? Aku laper, mau masak dulu. Aku tadi kirim pesan ke kamu itu buat kamu bales kapan kamu bisa ke sini, ini malah udah ke sini duluan!"
"Aku pesenin makanan dari restoran kesukaanku dan Aiya. Kamu nggak perlu masak. Yang terpenting adalah kita bisa bicara serius."
Patra jika sudah memiliki keinginan memang tak bisa diberi pengertian 'nanti'. Mau tak mau Nayana mengangguk dan duduk seperti yang Patra perintahkan. Selama beberapa menit pria itu sibuk dengan ponsel untuk memesankan makanan dari restoran yang dimaksud.
"Jadi, kita bisa langsung ke intinya, kan? Kamu yang ajak aku untuk bicara, itu artinya kamu udah inget dengan apa yang kita lakukan dan bicarakan semalam. Kamu juga udah sadar kalo masih ada rasa cinta diantara kita. Iya, kan?"
Nayana menatap Patra dengan mata melebar terkejut, tapi tetap menganggukkan kepalanya.
"Aku inget semuanya, Pra."
"Good. Jadi, aku akan meluruskan semuanya. Karena kita masih cinta, kamu mau memulai kembali semuanya denganku, kan? Kita membangun hubungan yang baru bersama-sama. Aku nggak berniat melanjutkan drama, kalo kamu mau memberikan penolakan dan alasan lebih panjang. Aku hanya ingin keputusan yang tegas. Iya atau nggak? Kita berkeluarga lagi atau sepenuhnya mengambil jalan sendiri-sendiri?"
Nayana benar-benar tak diberikan pilihan untuk berada ditengah-tengah saja. Patra menuntut jawaban Nayana 'ya atau tidak'. Waktu berpikir Nayana hanya sebentar karena Patra sudah menaikkan kedua alisnya meminta jawaban.
"Aku mau," ucap Nayana.
"Mau apa?"
"Ya, aku mau kita berkeluarga. Memulai hubungan baru dengan Zaira di dalamnya."
Patra menggigit bibir bawahnya dan langsung berdiri menghentak kakinya sendiri. Meski terkejut, Nayana tak bisa tak tersenyum melihat tingkah pria itu yang sedang menahan euforia penuh rasa senang.
"Aiya! Aiya!" panggil Patra segera.
Zaira muncul dari balik pintu kamar Nayana dengan pakaian yang masih sama seperti tadi. Nayana menyimpulkan bahwa anak itu hanya beralasan saja.
"Papi!"
"Aiya, kita akan tinggal sama mami secepatnya!"
Zaira menatap maminya sekilas sebelum menatap kembali papinya dan berteriak kegirangan bersama.
"Yeeeeeey!"
Patra menggendong putrinya itu dan memutar tubuh untuk membuat gerakan yang membuat mereka berdua tertawa. Lalu, Patra menarik tangan Nayana lembut untuk berdiri. Begitu mereka sejajar, pelukan itu terpenuhi. Zaira terkikik senang karena bisa memeluk papi dan maminya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top