Pertama ; Yang Kembali

[Baca duluan sampai tamat tersedia di Karyakarsa kataromchick.❤️]

Gadis kecil itu berdiri di balik tubuh sang ayah yang sedang tersenyum di depan Nayana. Sungguh Nayana tak peduli dengan senyuman yang pria itu berikan. Nayana sudah muak dengan semua itu, cenderung membenci apa yang ada pada diri si pria. Namun, statement tersebut kontras dengan fakta bahwa gadis kecil yang sedang bersembunyi sembari mencuri pandang pada Nayana mewarisi sebagian besar genetik si ayah yang sangat Nayana benci. Haruskah Nayana ikut membenci keturunan pria itu?

"Duduk dulu, Ay—"

"Stop calling me like that."

Patra sepertinya terkejut dengan sarkasme yang muncul dari bibir Nayana. Dulu tak begitu. Dulu Nayana lebih suka memendam dan diam. Sekarang tak lagi.

"Papi," panggil gadis kecil itu.

Patra melihat ke arah putrinya dan tersenyum untuk menenangkan. "Aiya, ini mami. Aiya katanya mau ketemu mami. Ayo, dong, salim dulu ke mami."

Nayana merasa begitu asing dengan sebutan 'mami' yang disematkan oleh Patra. Nggak pantes. Nayana merasa dirinya tak pantas menyandang gelar tersebut. Mengingat dirinya yang pergi meninggalkan gadis kecil itu bahkan setelah lahir, rasanya sangat aneh dipanggil mami ketika baru bertemu.

"Bukan."

Patra menatap putrinya dengan bingung. "Bukan apa?"

"Aiya bukan mo ketemu mami yang ini. Mami Aiya bukan yang ini, Papi."

Anak itu terlihat menahan tangisnya. Nayana jadi mengingat bagaimana dirinya dulu, yang mudah menangis ketika menghadapi pengalaman tak menyenangkan.

Patra sepenuhnya fokus pada putrinya, seolah lupa ada Nayana yang melihat semua itu dalam diam. Perempuan itu kembali mempertimbangkan tindakannya yang impulsif mendatangi rumah Patra. Lihat saja, perempuan itu malah mendapati pemandangan yang cukup tak menyenangkan dengan melihat respon gadis kecil itu.

"Aiya ... ini mami yang sama. Di foto itu mami memang masih muda. Dulu mami masih kuliah, makanya beda. Sekarang mami udah kerja dan penampilannya agak beda. Tapi mami yang di foto sama yang di sini, itu sama."

Nayana tak suka pada tindakan Patra yang mengenalkan sosoknya pada gadis kecil mereka menggunakan foto lama. Nayana tahu dulu dia benar-benar cupu dan tidak pantas bersanding dengan Patra. Lagi pula, kenapa pria itu malah menunjukkan foto lama? Kenapa tidak menggunakan foto di sosial media Nayana yang terbaru?

"Kamu kasih dia foto lama aku?" tanya Nayana dengan datar.

Patra menoleh dan mengangguk. Gadis kecil yang semula sibuk menatap wajah ayahnya kini kembali tertuju pada Nayana.

"Apa kamu masih hidup di jaman itu? Sekarang udah ada medsos. Foto terbaruku bahkan ada di sana. Kamu justru kasih dia foto lama yang bikin dia nggak kenal dengan aku yang sekarang!"

"Aku mau dia mengenal kamu yang apa adanya, Ay."

Nayana mendengkus keras. "Apa adanya? Mulut kamu memang nggak berubah busuknya dari dulu. Masih sama, suka merendahkan aku."

"Jangan salah paham gitu, Aya. Maksudku apa adanya itu—"

"Nggak perlu alasan." Nayana beralih menatap gadis kecil yang tak jadi menangis itu. "Siapa nama kamu?"

Patra merasakan cengkeraman putrinya semakin kuat. Sepertinya takut dengan apa yang dihadapi—menghadapi ibunya.

"Aiya, ditanya sama mami." Patra menekankan lagi.

"Aiya ..."

Patra menarik napasnya. "Namanya Zaria Patraya. Usianya sekarang enam tahun. Dia udah belajar membaca dan menghitung tapi nggak masuk di TK."

Patraya? Nayana merasa geli dengan kreativitas Patra yang sangat minim itu. Menggunakan gabungan nama mereka berdua untuk nama putri mereka? Bahkan disaat pria itu tidak mencintai Nayana sejak awal? Huh, betapa lucunya pria itu.

"Terus kenapa kamu membiasakan dia menyebut namanya Aiya?"

"Faktor pertama karena putri kita belum bisa bilang huruf 'r' dengan baik. Kedua, aku mau panggilan kalian mirip. Aya dan Aiya."

Nayana tidak paham kenapa Patra seolah tak bisa move on dengan kehidupan lamanya. Padahal, tak ada yang baik dengan masa lalu mereka. Dan haruskah Nayana ingatkan pria itu mengenai masa lalu mereka? Haruskah Nayana mengulang kembali kejadian lama itu? Haruskah Nayana menyadarkan Patra mengenai rasa sakit yang pria itu tinggalkan hingga membekas melubangi hatinya?

"Kamu kayaknya lupa banyak hal, sampai-sampai kamu menggunakan semua yang berkaitan dengan hubungan bobrok kita dulu."

Patra tampak panik dengan ucapan sinis dan nada mencibir Nayana. Sepertinya Patra tidak menjelaskan kejujuran pada anak mereka.

"Aiya, boleh nggak papi dan mami ngomong dulu berdua? Aiya bisa tunggu di kamar, nanti kalo udah selesai papi samperin Aiya di kamar."

Zaria kecil mengangguk patuh. Tidak terlihat tanda-tanda akan membantah papinya. Nayana benci hal itu. Gadis kecil tanpa sosok ibu dalam hidupnya itu terlalu manis dan terlalu menghormati papinya yang brengsek. Ingat, Nay. Dia brengsek ke kamu, bukan berarti begitu juga ke anaknya. Mungkin Patra gagal menjadi pasangan, tapi tidak gagal menjadi seorang ayah. Ya, mungkin hal buruk hanya diberikan pada Nayana saja. Seolah hanya Nayana saja yang pantas mendapatkannya.

Kini hanya ada Patra Rajaksa dan Nayana Anjali saja. Kedua insan itu saling menatap dengan maksud yang berbeda. Patra yang menumpuk banyak kesalahan menatap perempuan di hadapannya dengan penyesalan. Sedangkan Nayana menatap pria yang sudah memberinya banyak luka itu dengan penuh kebencian.

"Aku belum tanya kabar kamu sejak kedatangan kamu. Apa kabar, Aya?"

Nggak lebih baik dengan lihat kalian bahagia. "Seperti yang kamu lihat, aku sehat. Kamu berharap aku menderita, ya?"

Tak seperti reaksi yang Nayana tunggu, Patra malah menggelengkan kepalanya dengan pelan. Pria itu tidak tersulut dengan emosi karena ucapan Nayana yang selalu saja kasar.

"Aku seneng kamu sehat, dan ... semakin cantik."

Untuk sepersekian detik, Nayana menyukai pujian yang keluar dari mulut Patra. Dia pernah menantikan pujian itu untuk terus menerus mengalir dari bibir pria itu. Dia pernah terhipnotis hanya dengan pujian murahan seperti itu. Dulu sekali, sekarang tidak lagi. Nayana tidak ingin meneruskan mantra pria itu menghipnotisnya.

"Aku nggak ke sini untuk mendengar kalimat murahan dari kamu," balas Nayana. "Kenapa kamu suruh anak itu masuk ke kamarnya? Padahal kamu memaksa aku sampai di sini karena anak itu. Iya, kan?"

Nayana tahu seberapa menyakitkannya menyebut anaknya dengan sebutan 'anak itu'. Namun, itu sepadan dengan raut kecewa yang terpampang nyata di wajah Patra.

"Enam tahun. Aku nggak percaya akhirnya kamu mau datang."

"Aku nggak berniat datang, aku cuma mau lihat keadaan rumah kamu. Aku dengar kabar ibu kamu yang meninggal, jadi aku mau tahu apa kalian masih tinggal di sini atau nggak."

"Rumah ini yang jadi saksi kelahiran dan tumbuhnya Aiya. Apa pun akan aku lakukan supaya rumah ini bisa terus menjadi saksi—"

"Kesakitan," sela Nayana mengejutkan Patra.

Pria itu terdiam dan Nayana kembali melanjutkan kalimatnya dengan sesuatu yang bergerak dibalik kelopak matanya. "Saksi dari betapa sakitnya aku menjalani segalanya, karena kamu." 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top