Ketujuh ; Sesal Patra
[Sudahkah kamu membaca sampai bab 14 di Karyakarsa?]
Tak seperti Nayana, Patra hidup dengan penyesalan yang luar biasa. Di dalam dirinya banyak sekali kata-kata makian yang ditujukan pada dirinya sendiri. Hal pertama yang disesalinya adalah mengapa dia tak berusaha mengatakan hal sejujurnya pada Nayana saat mereka menjadi sepasang kekasih dulu. Jika saja saat itu bisa mereka lewati dengan komunikasi yang jelas, mungkin kemarahan hanya akan bertahan beberapa waktu. Tidak seperti sekarang, kemarahan Nayana bertahan sepanjang waktu. Bahkan meski Zaira sudah lahir ke dunia dan Patra menunjukkan kasih sayangnya yang tulus, kemarahan Nayana tidak juga reda.
"Aku nggak habis pikir kenapa kakak masih aja nggak bisa lupain perempuan itu??"
Pratista selalu tak suka jika sudah membahas mengenai Nayana. Ada banyak perempuan yang selalu adik Patra itu sanjung namanya untuk menjadi kandidat ibu baru bagi Zaira. Namun, diantara semua perempuan itu tak ada yang bisa menggerakan hati Patra. Sebab sejak kuliah, sejak taruhan itu berhasil dan mendekatkannya pada Nayana, hati pria itu bertaut erat di sana.
"Apa yang aku denger kemarin? Perempuan itu datang ke sini? Ngapain dia? Mau menghancurkan kakak lagi?"
Patra menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Sejak awal dia nggak pernah menghancurkan apa pun. Dia orang yang baik, Ta. Aku yang bikin dia jadi benci keluarga kita."
"Orang baik? Kalo dia baik, dia nggak akan ninggalin anaknya sendiri!"
Meninggalkan Zaira bukanlah kesalahan Nayana sendiri. Itu semua karena sikap Patra sendiri. Dulu Nayana tidak ingin melanjutkan apa pun diantara mereka, salah Patra yang mengambil bagian untuk memaksa Nayana.
Patra masih ingat, bagaimana ekspresi keterkejutan Nayana ketika akhirnya pria itu datang ke rumah kos perempuan itu.
"Nayana! Aku akan tetep di sini, kalo kamu nggak mau keluar aku bakalan bikin temen kos kamu nggak nyaman dan—"
Nayana terpaksa, itu sudah pasti. Wajah terkejut perempuan itu tak membuat Patra mundur untuk pulang. Justru Patra ingin membuat Nayana pulang bersamanya. Pulang ke mana? Patra sempat memikirkan hal tersebut bahkan ketika berdiri di depan pintu kos Nayana. Namun, dia menolak untuk mempertahankan pemikiran tersebut. Sebab ada nyawa yang harus dipertanggung jawabkan sekarang ini.
"Kamu, tuh, ngapain ke sini!? Kurang jelas apa yang aku bilang kemarin?? Kamu mendadak nggak punya telinga, ya!?"
"Aku nggak mau denger apa pun yang kamu bilang kemarin, Ay. Aku nggak mau jadi pria yang seenaknya ngelempar tanggung jawab. Aku tahu aku salah tapi anak—"
Nayana menghentikan Patra untuk melanjutkan ucapannya. Saat ini mereka ada di depan pintu kamar kos, bagaimana bila ada penghuni lain yang melihat dan mendengarkan dengan jelas perdebatan mereka?
"Masuk! Aku nggak mau kamu ngomong sembarangan di sini."
Nayana mungkin menyesali keputusan itu, memberikan Patra kesempatan untuk masuk ke dalam kamar kosnya lagi. Namun, hanya dengan begini mereka bisa bicara sedikit lebih leluasa. Tidak akan ada yang mencuri dengar apa pun selama mereka berdua tidak bicara dengan teriakan.
"Kamu nggak perlu tanggung jawab untuk apa pun! Aku udah bilang kemarin dengan baik kalo kamu nggak perlu dibebani dengan hal semacam itu."
"Aku nggak mau melakukan kesalahan lebih jauh. Aku mau memperbaikinya, Ay. Seenggaknya untuk anak itu."
Nayana menjambak rambutnya sendiri, lalu menggigit kukunya. Prata tahu itu adalah tanda kecemasan yang melanda Nayana. Tidak ada hal yang mudah untuk dijalani dengan kondisi seperti ini. Pikiran mereka sudah melalang buana dan tetap buntu untuk menentukan pilihan.
"Aku mau gugurin janin ini, tapi kenapa kamu malah halangin jalanku???!" keluh Nayana.
Banyak pria yang akan memilih mengambil jalan yang mudah, menggugurkan janin yang sudah terbentuk. Namun, Patra tidak dibesarkan dengan cara seperti itu. Dia memang salah melakukan taruhan dengan teman-temannya. Juga melakukan seks bebas dengan Nayana. Namun, Patra tetap ingat dia hanya memiliki sang ibu dan adik perempuannya. Meski sang ibu bisa bekerja dan memberikan apa pun untuknya, tapi tidak akan semudah itu untuk menerima kenyataan bahwa putranya sudah menghamili seorang gadis.
"Ay, aku mohon. Ikut aku sekarang, ya? Aku akan ngomong sama orang rumah soal kita."
"Aku nggak mau! Buat apa kamu lanjutin hubungan yang kamu niatkan cuma jadi taruhan?? Kamu itu nggak punya perasaan apa pun, kamu cuma ngerasa bersalah, Patra! Jadi berhenti buat membujuk aku! Aku nggak akan mengubah pikiranku!"
Patra menggelengkan kepalanya. Dia tak ingin Nayana melakukan buruk pada janin mereka, juga untuk menyangkal mengenai tuduhan Nayana bahwa Prata hanya merasa bersalah. Apa pun yang hati lelaki itu rasakan saat ini, itu bukan rasa bersalah semata.
"Nggak, Ay. Jangan lakuin hal buruk sama janin yang kamu kandung. Pleas, Ay."
"Udah, Prata. Mendingan kamu pergi. Aku nggak akan mempan kamu paksa kayak apa pun."
Prata menolak dengan sama kerasnya, bahkan lelaki itu mengeluarkan ponsel untuk menghubungi ibunya yang mungkin sedang bekerja mengurus kebun saat ini.
"Halo, Ma."
Nayana yang melihat hal itu berusaha mengambil ponsel Prata, tapi tinggi badan dan kekuatan mereka yang jauh berbeda membuat gadis itu gagal melakukannya.
"Ma, tolong dateng ke kosan di jalan Melati nomor 52. Please dateng sekarang, Ma."
" ... "
"Mama harus ke sini, mama harus bantu aku karena ... karena aku harus tanggung jawab. Aku bikin hamil pacarku, Ma."
Ketika Prata mengingat kejadian tersebut, dia tahu betapa memalukannya menghubungi dan memberitahukan ibunya dengan cara seperti yang tak etis itu. Dia sudah membuat ibunya hampir terkena serangan jantung, memberitahu kesalahan fatalnya melalui sambungan telepon, dan masih menyulitkan wanita itu dengan menyuruhnya datang ke kos dimana Nayana tinggal. Namun, Prata sangat berterima kasih kepada ibunya saat itu. Sebab jika ibunya tidak datang memaksa Nayana untuk mempertahankan bayi itu, mungkin mereka tak akan melihat Zaira yang ceria dan sehat.
Meski sebagian isi hati Prata juga menyesal memaksa Nayana dengan cara seperti itu. Sebab akibat dari pemaksaan yang dilakukannya berdampak besar pada kehidupan Nayana. Sikap ibu Prata dan adiknya tidaklah baik pada Nayana yang tidak sepenuhnya menerima kehamilannya. Yang lebih membuat Nayana menaruh rasa benci yang berkepanjangan adalah pernikahan secara paksa. Nayana merasa mereka menikah karena paksaan bukan karena cinta serta kesediaan satu sama lain.
Jadi, satu-satunya pilihan yang bisa Patra berikan pada Nayana yang serba tak bahagia adalah membiarkannya pergi memperbaiki kehidupannya yang sudah Patra rusak.
"Kak! Bukan cuma kakak yang bersalah! Dia hamil itu juga karena bodoh jadi perempuan sejak awal. Kalo dia nggak segitu murahannya ngebiarin kak Patra—"
"Ta, jangan bikin perasaan bersalah ini makin besar. Aku udah brengsek banget jadi cowok waktu itu. Aku bahkan masih bisa kuliah, masih bisa berteman sama teman tongkronganku. Sedangkan Nayana nggak punya kesempatan buat ngelakuin itu semua. Dalam kasus kami, Nayana adalah pihak yang paling dirugikan."
"Ya, itu karena kebodohannya sendiri juga! Udah kuliah, masa nggak kenal proteksi?!" Pratista mendengkus. "Aku nggak pernah bilang begini karena waktu itu aku masih muda banget. Tapi sekarang aku udah paham, aku pikirin lagi dan memang dia cewek bodoh!"
"Kamu pikir kita berdua nggak pake pengaman apa pun? Udah, Ta. Tapi takdir Yang Maha Kuasa lebih dahsyat. Mungkin itu salah satu cara menegur yang paling ampuh untukku. Mama nggak pernah ngajarin aku untuk jadi brengsek, tapi aku udah melewati garis. Jadi, aku nikmatin perasaan bersalah ini, Ta. Kamu juga perempuan, Ta. Kamu pasti bisa bayangin kalo ada di posisi Nayana saat itu. Jangan cuma membela aku sebagai kakak kamu, tapi lihat juga posisi Nayana yang nggak punya pilihan dan nggak bahagia."
Pratista memalingkan wajahnya dari sang kakak. Dia tidak ingin menerima langsung fakta bahwa dia harusnya memahami sesama jenisnya. Perasaan tak suka kepada Nayana masih begitu jelas dan Pratista tak bisa bersikap baik pada perempuan yang mengandung dan melahirkan Zaira itu. Ketimbang diceramahi kakaknya untuk mengerti posisi Nayana lagi, Pratista memilih untuk meninggalkan kakaknya dan mengajak Zaira untuk pergi bersama. Pratista akan membiarkan kakaknya tenggelam dengan bayangan masa lalu dan penyesalannya saja.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top