Ketiga ; Napas Yang Berhembus
[Bab 6 sudah bisa kalian baca, bagi yang ingin baca duluan, ya. Happy reading!]
Ada tiga sayatan yang melukai hati Nayana. Satu diantaranya adalah sayatan fisik, terlihat dan membekas di perut bawahnya. Setiap kali merabanya, dia merasakan sensasi ngilunya. Lalu, dia baru menyadari bahwa ketika mendapati hasil pengorbanannya malah akrab dengan Patra ... sayatan lain malah mengupas dadanya. Dan satu lagi sayatan yang tidak kuat untuk Nayana sebutkan, tapi selalu hadir di ingatan. Mencabik-cabik dirinya hingga tak kuat bernapas.
"Mami nangis."
Nayana langsung mengusap pipinya. Dia tidak tahu jika tangisan bisa jatuh tanpa dirasa.
"Aiya? Papi, kan, udah minta waktu buat ngomong sama mami. Kenapa Aiya nggak nurut?" Patra yang tak mau Nayana kesal langsung menghampiri putrinya yang keluar dari kamar.
"Aiya nulut Papi. Tapi ini onti Tita mo bicala."
Pratista. Nayana tahu siapa wanita itu. Adik perempuan Patra yang dulu menatapnya dengan sinis. Mereka pertama kali bertemu ketika Patra membawa Nayana ke rumah orang tuanya, rumah yang sekarang masih digunakan oleh Patra, dan membawa kabar kehamilan Nayana.
Nayana paham tatapan sinis dan tak suka itu datang karena ada penolakan yang dia berikan. Nayana sempat menolak keras keinginan Prata untuk bertanggung jawab. Dari sanalah hubungan tak akur antara Nayana dan Pratista dimulai.
"Aya, aku tinggal sebentar nggak apa-apa, kan?" tanya Patra.
"Hm."
Meski Patra agak tak nyaman meninggalkan Nayana, tapi pria itu akhirnya menyingkir untuk bicara dengan adiknya melalui ponsel yang Zaira berikan. Patra tahu bahwa Nayana tak suka dengan adik pria itu dan juga sebaliknya. Jadi, Prata memilih menjauh saat bicara dengan sang adik.
"Kamu benelan mami aku?"
Ah, Nayana lupa jika sedari tadi ada anak kecil yang memperhatikannya dan Patra.
"Kenapa? Kamu nggak suka punya mami kayak saya?"
Nayana tahu dirinya sangat bodoh untuk berinteraksi dengan anaknya sendiri. Namun, dia memang tidak tahu harus memulai dari mana. Dia tidak bisa tiba-tiba akrab dan mengatakan kalimat sayang pada Zaira karena ini pertemuan pertama mereka setelah anak itu lahir.
"Kenapa lambutnya melah, lulus lagi? Jelek. Lambut mami yang di foto cantik. Hitam, telus sosis kayak aku."
Semua ciri fisik yang disebutkan Zaira itu memang milik Nayana. Dulu. Tapi karena tak ingin mengingatnya lagi, Nayana mengubahnya. Rambut hitam dan bergelombangnya hanya mengingatkan Nayana bagaimana seringnya telunjuk Prata memainkan rambut perempuan itu saat mesra sebagai kekasih.
Ya, selayaknya pasangan kekasih lainnya, Patra dan Nayana memiliki banyak waktu berdua yang dihabiskan dengan berbagai cara romantis. Sentuhan fisik adalah kegiatan yang paling disenangi. Ke mana saja tujuannya, asal selalu bergandengan tangan maka akan terasa lengkap. Lebih dari bergandengan tangan? Tak perlu dipertanyakan! Jika tak melakukannya, Nayana tidak akan kebobolan dan melahirkan seorang bayi.
"Kamu tumben ke sini, Ay? Aku masih ada latihan—"
"Aku telat."
"Hah? Telat kelas siapa sampe panik gini, Ay?"
Nayana tidak bisa menyembunyikan kepanikannya sama sekali. Dia sedang dalam masalah besar dan sekarang mereka ada di area kampus yang tentu saja masih banyak mahasiswa lalu lalang di sekitarnya.
"Ay? Kamu kenapa?"
"Pra, aku telat haid. Dua bulan. Aku takut, Pra!"
Wajah Prata pias seketika. Lelaki itu tak bisa berkutik untuk sesaat, menambah rasa panik Nayana.
"Pra, jangan diem aja! Ngomong sesuatu. Aku takut, Pra. Aku bingung!"
Prata memejamkan matanya sejenak, sebelum kemudian memberikan kalimat penenang untuk kekasihnya.
"Kamu tenang dulu, Ay. Jangan terlalu panik gini. Kalo kamu terlalu panik, bakal banyak yang curiga. Kamu sekarang balik ke kosan dulu, aku ke sana habis latihan. Aku akan beliin alat tesnya, kita pastiin berdua nanti, ya."
Pastiin berdua? Ketika Nayana mengingatnya kembali, itu menjadi salah satu kalimat yang lucu. Dulu dia begitu naif dan tertipu dengan kalimat yang Patra sampaikan. Kepercayaannya pada lelaki itu sangat tinggi hingga lupa bahwa ada banyak hal negatif yang sebenarnya dilakukan oleh Patra.
Nayana terlalu mendalami ingatannya, hingga dia tidak sepenuhnya sadar bahwa tangan mungil milik Zaira sudah menyentuh rambut yang diwarnai dan sempat diprotes oleh putrinya itu.
"Lambut sosisnya hilang benelan, ya?" tanya Zaira.
Anak itu seperti lupa ingatan saja. Padahal saat Nayana datang tadi, gadis kecil itu sibuk menyembunyikan diri di belakang tubuh ayahnya. Namun, lihat saja saat ini. Zaira sudah sangat dekat dengan Nayana dan tidak memperhatikan jika Nayana menatap gadis kecil itu dengan sorot tajam.
Nayana tidak tahu kenapa dia menyorot tajam Zaira. Anak tak bersalah itu seolah simbol dari kehancuran yang dirasakan oleh Nayana sendiri. Harusnya hanya Patra yang mendapatkan tatapan itu, bukan Zaira.
Saat anak itu mulai menyadari jarak mereka yang terlalu dekat, barulah tangan mungil itu ditarik dan Zaira kembali membentang jarak pada Nayana.
"Kenapa kamu sentuh rambut orang sembarangan?" tanya Nayana.
"Kamu bukan olang sembalangan. Katanya kamu mami aku?" balas Zaira dengan cerdas.
Berhadapan dengan anak kecil sudah pasti akan menguras kesabaran, dan Nayana bisa merasakan kesabarannya sedang diuji tanpa standar penilaian yang jelas.
"Katamu aku bukan mami kamu. Aku beda dari foto yang papi kamu tunjukkan. Iya, kan?"
Zaira mengangguk pelan.
"Terus kenapa kamu bilang aku mami kamu sekarang? Kamu nggak anggap aku orang sembarangan? Apa kamu nggak diajari papi kamu kalo nggak boleh sentuh bagian tubuh orang lain sembarangan? Kamu suka deket-deket orang asing?"
Zaira terlihat menunduk. Anak itu merasa sedang dimarahi. Cara bicara Nayana yang datar dan kaku tampaknya membuat Zaira takut dan menutup mulutnya dengan cepat.
"Kenapa? Aiya kenapa sedih gitu?"
"Papiiii ... aku diomelin! Huhuhu."
Sudah pasti Zaira langsung mengadu mengenai apa yang dirasakannya. Anak itu sangat manja dan selalu meminta perhatian sang ayah. Nayana tidak suka hal itu. Bukan karena dia cemburu, tapi karena rencananya untuk menjauhkan Zaira dari Patra akan menjadi sangat sulit.
Patra menatap Nayana yang diam dan terlihat biasa saja. "Kamu beneran ngomelin Aiya?"
"Aku nggak ngomelin dia. Aku kasih tau ke dia, kalo nggak boleh pegang bagian tubuh orang lain sembarangan, apalagi orang asing. Apa kamu nggak ngajarin hal dasar seperti itu ke dia?"
"Aya, kamu bukan orang asing. Kamu ibunya. Dan kalo memang kamu nggak nyaman disentuh Aiya, karena kalian baru ketemu, kamu bisa bilang baik-baik."
"Aku bilang baik-baik, tapi kamu udah mengajarkan dia jadi anak manja. Kenyataan dan ucapan yang dia sampaikan ke kamu jadi beda. Kamu memang nggak bener, ya. Masih aja jadi contoh buruk dari dulu."
Dalam satu kalimat yang mengandung kata 'buruk' dan 'dulu', Nayana sudah bisa melihat ekspresi menyesal pria itu lagi. Tampaknya bukan Nayana seorang yang belum bisa move on dari masa lalu mereka, tapi Patra juga. Jadi, haruskah Nayana memanfaatkannya? Mempermainkan Patra menggunakan kenangan masa lalu mereka.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top