Kesepuluh ; Makan-makan

[ Bab 20 sudah bisa kalian baca duluan di Karyakarsa 'kataromchick'. Habis bab 20 akan ada special chapter yang gak boleh dijamah pembaca si bawah umur. Thank you.]

Galea menatap Nayana dengan gerakan mata lirikan samping ke atas dan ke bawah, khas tetangga julid yang tak suka tetangga lainnya yang sedang sukses. Ya, Nayana sedang meraup kesuksesannya saat ini. Sebab Zaira tanpa perlu banyak paksaan sudah mendekatkan dirinya pada Nayana. Padahal anak itu bersikap sangat kaku saat pertama kali mereka bertemu. Bahkan Nayana ingat sekali, Zaira menolak mengantarnya yang ingin pulang.

Mungkin saat itu memang Zaira tak mau maminya pulang, hingga melakukan tindakan yang memancing rasa kesal Nayana dan akhirnya membalas gadis itu dengan sikap sama kekanakannya.

Sekarang bukan hal itu yang harus Nayana pedulikan, dia ingin mengetahui kenapa Zaira mau mengikutinya sejauh ini. Meski rasanya normal saja bagi anak itu untuk ikut siapa pun, papi atau maminya. Namun, sudah pasti ini adalah hal yang berbeda.

"Enak?" tanya Nayana.

Untung saja Nayana bisa berpikir dengan lancar untuk segera mengganti pakaiannya dengan meminjam milik Galea, hingga dia bisa mengajak Zaira bicara santai seperti ini tanpa dinilai menggunakan pakaian seksi.

Zaira mengangguk. "Masakan mami enak, nggak kayak papi."

"Papi kamu bisa masak?"

"Bisa, tapi seling gosong!"

Nayana tidak heran dengan hal tersebut. Patra sejak dulu memang tidak bisa memasak, dan bukan hal mengejutkan jika masakannya tidak enak bagi Zaira. Terlebih lagi warna masakan pria itu pasti tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata selain gosong.

"Hehe, masakan mami kamu enak, ya? Kalo gitu, kamu makan dulu di sini dan tante mau ngomong sama mami kamu dulu berdua. Boleh?"

Galea sudah menekan lengan atas Nayana dan tidak menunggu persetujuan Zaira ketika menarik teman kantornya itu menuju balkon apartemen Galea.

"Kenapa, sih, Gal?"

Galea melebarkan kedua matanya. "Kenapa??? Lo hutang banyak penjelasan sama gue!" ucap Galea dengan penekanan yang kuat.

"I know—"

"Gue nggak butuh kata 'I know' lo itu. Jelasin sama gue, gimana ceritanya lo bisa punya anak?!"

Nayana menyipitkan kedua matanya dan memberikan pertanyaan balasan yang membuat temannya itu semakin naik darah. "Lo beneran tanya gue soal ... how can I get pregnant?"

Galea mengubur wajahnya di kedua telapak tangannya dengan teriakan yang ditahan kuat-kuat. Dia tahu ini bukan saatnya meledak menghadapi Nayana yang malah terlihat sengaja mempermainkannya.

"Gue nggak bego buat tahu teori pembuahan, tapi gue mau tahu gimana bisa lo punya anak disaat gue nggak pernah tahu lo hamil atau bahkan nikah! Lo keliatan kayak perempuan dewasa yang nggak berniat menikah, bahkan nggak keliatan tertarik sama lawn jenis mana pun. Gue kira lo bakal nyiapin tabungan masa tua dan pindah ke luar negeri buat hidup sendiri. Gue bahkan nggak tahu apakah lo punya keluarga di Indonesia atau nggak! Gue nggak tahu banyak soal lo, Nay! Dan tiba-tiba aja ada anak kecil yang manggil lo MAMI! What the hell!?"

Nayana memberikan tatapan meminta pengertian dari Galea. Mereka tak bisa membiarkan hal ini ketika ada Zaira di dalam yang bisa saja mendengarkan mereka saat ini. Jika Zaira tak paham, Nayana bisa lega. Namun, bisa saja anak itu menyimpan kecerdasan untuk mencerna apa yang akan Nayana jelaskan pada Galea.

"Niatnya memang gue ajak lo keluar buat cerita sedikit soal keresahan gue. Tapi ternyata anak itu dateng dan menggagalkan rencana."

Galea mendesah kesal. "Oke, gue lepasin lo sekarang. Tapi gue bakalan tetep nuntut penjelasan setelah anak lo pulang."

Dengan senyuman penuh rasa terima kasih, Nayana mengangguk dan mengeratkan genggaman tangan pada Galea. "Thanks. Gue tahu lo temen yang baik, Gal."

***

"Zaira nggak mau pulang?" tanya Galea.

"Aiya! Namaku Aiya, Tante!"

Galea tersedak dengan kelakuan anak itu. Dia tidak tahu bahwa Nayana memiliki sikap judes seperti yang anaknya miliki atau tidak, tapi Galea mencoba memaklumi sikap anak yang kehilangan sosok ibu itu. Sok tahu banget gue. Galea hanya menebak jika Zaira memang kehilangan sosok ibu, karena selama mengenal Nayana beberapa tahun ini, perempuan itu hidup selayaknya perempuan single.

"Oke, Aiya nggak pulang?"

Zaira menatap maminya yang sibuk minum air putih. Dengan sengaja menghindari apa pun yang Zaira dan Galea lakukan dengan kontak mata, karena mendaratkan tatapan pada salah satunya hanya akan membuat Nayana dalam posisi sulit.

"Mami?" tanya anak itu.

"Hm? Mami kenapa?"

"Kapan pulang?"

Nayana mau tak mau menatap anak itu dengan bingung, lalu beralih pada Galea yang bersedekap dan menepuk keningnya karena tak percaya dengan hal ini.

"Hm, mami masih mau di sini. Kayaknya nginep di sini."

"Oke." Zaira malah terlihat menaruh kedua tangannya di atas meja makan dengan rapi.

Nayana dan Galea bertatapan dengan bingung.

"Jadi, Aiya kapan mau pulang."

"Aiya di sini sama mami."

"Apa?!" sahut Galea dengan cepat.

Nayana mengusap wajahnya, tak percaya dengan apa yang Zaira ucapkan.

"Kamu nanti dicariin papi sama onti Tita."

Zaira menggelengkan kepalanya penuh keyakinan. Anak itu berlagak seperti orang dewasa yang sedang meyakinkan orang di sekitarnya tak akan terjadi apa-apa.

"Onti Tita pasti udah pulang. Kalo papi, pasti nggak apa-apa, soalnya Aiya sama mami."

Galea terlihat akan meledak, tapi Nayana memberikan gelengan kepala agar temannya itu tidak menunjukkan emosi di depan Zaira yang sangat lugu.

"Kamu harus bilang papi dulu kalo mau nginep. Kamu nggak boleh bersikap sembarangan. Anak yang baik nggak akan main asal nginep. Kamu harus bilang sama papi kamu dulu, kalo papi kamu bilang boleh baru kamu juga boleh nginep. Tapi kalo papi bilang nggak, jangan bandel karena papi pasti sedih."

"Papi sedih?"

"Iya. Papi kamu pasti sedih."

"Nangis?"

"Kalo papi kamu sedih suka nangis atau nggak?"

"Suka. Papi nangis kalo liat foto bayi aku sama mami."

Nayana hampir kehilangan kemampuannya bicara karena penuturan Zaira yang terlalu jujur. Tak mau terlalu terbawa lamunan masa lalu, maka Nayana menarik napas dan mengajak Zaira untuk pulang.

Ya, anak itu harus pulang karena Nayana tak mau terlalu tak sopan membuat anak itu langsung menempel padanya. Pelan-pelan, Nay. Nanti dia akan lepas dari papinya. 

"Nay, lo nanti ke sini lagi?" tanya Galea menahan temannya itu.

Nayana merasa harusnya memang tidak menyembunyikan dirinya dari Galea yang sedikit banyak sudah membantunya. Galea bukan orang asing yang harus diawasi. Selama bekerja di kantor, Galea tidak banyak bicara dengan pegawai lain karena memang lebih nyaman kepada Nayana.

"Gue udah bilang akan jelasin sama lo."

Galea mengangguk mengerti. "Tunggu sebentar, gue bawain makanannya buat Aiya."

"Hah? Ngapain?"

"Biar dia bisa rasain masakan maminya lagi nanti malam atau besok pagi."

Lihatlah, Galea bahkan berempati dengan kondisi Zaria yang sudah bisa ditebak kekurangan sosok ibu. Galea bisa mendeteksi adanya rasa senang dalam diri Zaria yang merasakan enaknya masakan buatan maminya. Entah apa saja yang sudah Galea alami selama dirinya tumbuh hingga bisa peka terhadap suatu keadaan, lebih lagi keadaan yang dialami orang lain. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top