Kesembilanbelas ; Makan Siang

[Bab 30 sudah tayang duluan di Karyakarsa, ya. Monggo mampir😊]

Bagi orang lain, makan siang mungkin adalah rutinitas biasa yang tidak ada bagian spesialnya. Namun, bagi Patra, makan siang ini jelas jauh berbeda dari apa yang pernah dirinya bayangkan. Makan siang bertiga, bersama Zaira dan Nayana. Meski inginnya pria itu Nayana menyandang status sebagai istrinya, tapi dia bersyukur untuk hari ini Nayana bersedia menuruti salah satu keinginan putri mereka.

Mendapati bahwa banyak kemajuan yang terjadi dalam hubungan ibu dan anak itu, Patra tidak mau menghancurkan suasananya. Dia juga tidak akan membiarkan jika nantinya Pratista terus mengacaukan kedekatan yang semakin menunjukkan ke arah yang lebih baik tersebut.

"Papi mau apa?" tanya Zaira.

"Hm? Mau apa ... maksudnya?"

Nayana yang melihat hal itu langsung menghela napas dan berkata dengan sarkas. "Kamu ngelamun, ya? Zaira jelas tanya kamu mau menu apa? Kenapa malah balik tanya?"

Zaira hanya menatap ke arah maminya yang mengomeli sang papi. Tidak ada tanda-tanda Zaira risih dengan hal tersebut, justru anak itu berada dipihak Nayana karena Patra tidak terlihat fokus dengan mereka.

"Papi bengong telus! Papi nggak mau makan sama Aiya sama mami, ya?"

Patra langsung menggelengkan kepalanya. "Nggak gitu, Sayang. Papi seneng bisa makan siang sama kalian berdua."

"Telus kenapa dali tadi banyak diemnya? Papi pasti bad mood."

"Aiya, papi justru terlalu seneng makanya banyak diem. Papi mikir gimana caranya kita bisa makan bertiga lebih sering. Karena papi bahagia dengan kegiatan seperti ini."

Nayana langsung menghunuskan tatapan tajam pada mantan suaminya itu. Bagaimana bisa Patra tanpa tahu malu mengungkapkan keinginan semacam itu? Zaira pasti belum mengerti bahwa Nayana tidak akan bersedia melakukan apa yang dikatakan Patra. Sebab terlalu lama dengan Patra membuat banyak kenangan menyembul naik dan membuat suasana hati perempuan itu tak nyaman.

"Jangan bicara macam-macam, Patra." Nayana menggumam.

"Mami nggak mau?" tanya Zaira.

Sekali lagi Nayana harus menghela napasnya. Dia tidak bisa lepas dari pertanyaan Zaira saat ini. Tanpa memberi jawaban, maka Zaira akan semakin penasaran. 

"Mami mau lebih sering makan sama kamu, tapi mami nggak mau terlalu sering makan sama papi kamu."

Zaira menatap keduanya secara bergantian, karena posisi anak itu memang berada di tengah papi dan maminya.

"Kenapa? Mami malah sama papi?"

"Bukan marah, tapi mami dan papi kamu nggak bisa sering-sering bertemu."

"Kenapa?"

Astaga, Zaira! Berapa banyak kata kenapa yang bisa kamu kasih ke mami sekarang?

"Karena ... mami dan papi bukan pasangan menikah."

Nayana melirik ke arah Patra yang tidak menoleh sama sekali. Pria itu malah meneguk air mineral yang sudah lebih dulu disuguhkan dan membiarkan Nayana menjawab pertanyaan dari Zaira sendiri.

"Bukan pasangan menikah? Mami sama papi nggak nikah?"

Bagaimana menjelaskan definisi dari pernikahan pada anak usia enam tahun? Nayana tidak yakin bisa menjawab dengan bijak dan aman jika meneruskan sesi tanya jawab ini. Dia benar-benar butuh bantuan Patra yang mungkin lebih tahu bagaimana cara membuat putri mereka diam dan menghentikan pertanyaan.

"Em ..." Nayana bergumam bingung.

"Aiya," panggil Patra sambil menyentuh tangan anaknya meminta perhatian penuh. "Mami dan papi pernah menikah sewaktu memiliki kamu. Terus beberapa waktu mami dan papi bercerai."

Zaira menatap papinya masih penuh dengan kebingungan. "Celai apa?"

"Cerai itu berpisah, nggak lagi menikah. Waktu menikah, kami tinggal satu rumah dan waktu bercerai kami nggak tinggal satu rumah lagi."

"Ohhh. Makanya lumah papi sama mami beda ya?"

Patra mengangguk dan mengusap pipi putrinya itu. Nayana sudah merasakan kelegaan ketika akhirnya Zaira tidak terdeteksi akan mengeluarkan pertanyaan lagi. Namun, kelegaan itu hanya sementara saja.

"Belalti papi sama mami nanti bisa nikah lagi kalo lumahnya satu?"

Ingin sekali Nayana mengatakan pada Patra, "Jangan dijawab! Itu bisa jadi pertanyaan jebakan selanjutnya!" Sayangnya dia tahu Zaira akan semakin menjadi-jadi jika mereka kompak diam saja.

"Nggak bisa semudah itu, Aiya. Menikah caranya bukan cuma tinggal di rumah yang sama. Ada urutan acara yang harus dilakukan lebih dulu supaya bisa menikah dan tinggal satu rumah."

"Calanya gimana?"

Patra tersenyum dengan maklum. Dia kecup pipi putrinya dengan gemas. "Hanya orang dewasa yang tahu caranya. Aiya belum bisa tahu."

Zaira langsung bersedekap, bibirnya maju menunjukkan rasa tak senang. "Huuuuh! Aiya mau cepet gede bial bisa dewasa!"

Celetukan itu mampu membuat Patra dan Nayana tertawa. Zaira benar-benar menghibur dengan keluguannya itu. Tanpa benar-benar disadari oleh dua orang dewasa itu, Zaira tersenyum melihat papi dan maminya yang tidak bertengkar dan malah tertawa bersama dengan bahagia. Diam-diam anak itu merekam tawa kedua orang tuanya dengan baik di dalam kepala. Dia ingin melihat keduanya terus tertawa seperti ini. Dan Zaira akan mencari tahu bagaimana caranya supaya mereka bertiga bisa lebih sering bersama dan tertawa bahagia.

***

Patra akhirnya menyerahkan sebagian pekerjaan pada Taraga. Dia tidak ingin kehilangan momen bersama Nayana dan Zaira. Dia akhirnya mencoba menginterupsi kegiatan dua perempuan yang diam-diam menunjukkan kemiripan dari segi hobi dan cara berkomunikasi. Wajah Zaira boleh saja menguasai gen yang Patra miliki, tapi sifatnya jelas jiplakan Nayana.

Memang tidak pernah ada hal yang tak adil di dunia ini. Tuhan menciptakan seorang anak juga selalu dengan takaran yang pas. Ada yang fisiknya memang menuruni kedua orang tuanya, ada juga yang kasusnya seperti Zaira. Dari luar anak papi, tapi dari dalam anak mami sekali.

Lalu, entah bagaimana Zaira juga bisa membawa maminya untuk bertandang kembali ke rumah mereka. Mengajak Nayana ke dapur dan membuat puding yang sebenarnya tidak benar-benar menjadi agenda penting mereka hari ini. Yang Patra dengarkan dari obrolan keduanya saat di mobil dalam perjalanan tanpa rencana setelah makan siang, pria itu bisa menangkap canggihnya cara Zaira mempengaruhi maminya yang baru beberapa minggu ini akhirnya bisa menghabiskan waktu bersama.

"Pudingnya nanti gagal kalo kamu nggak aduk yang bener, Zaira!" omel Nayana.

Bukannya membalas maminya dengan omelan balik, Zaira malah terlihat terkikik geli.

"Ngapain ketawa begitu? Kamu ngetawain siapa?"

"Mami!"

Nayana terlihat tidak suka dengan kelakuan putrinya dan menatap Patra yang hanya menjadi pengamat dengan kacang almond yang menjadi temannya.

"Patra! What are you doing there?! Lihat kelakuan anak gadis kamu ini! Dia ngetawain orang yang lebih tua darinya!"

Patra mengangkat kedua tangannya dengan sengaja dan semakin membuat Nayana semakin kesal.

"Mami lucu banget!"

"Apanya yang lucu, Zaira?! Mami lagi marah sama kamu!"

"Ituuu!"

Zaira tidak bisa menggerakan tangannya karena sibuk mengaduk puding yang belum panas sama sekali. Hanya gerakan dagunya yang membuat Nayana sadar bahwa pakaiannya basah karena terkena vla puding yang tadi dibuka Zaira karena dia suka dengan rasa manisnya.

"Pantes berasa lengket, kamu yang iseng bikin baju mami kena vla begini, kan?"

"Hihihi. Mami nggak tahu dali tadi kena itu. Ihhhh mami jolok! Tadi pagi mami bilang Aiya jolok, sekalang mami yang jolok."

"Zaira ..."

Patra mendekat dan memisahkan perdebatan yang sebenarnya tidak serius itu. "Kamu bisa ganti pake bajunya Tita yang ada di sini. Dan ini, matiin aja kompornya."

"Eh, eh, nggak. Biar aku yang terusin sampe jadi. Aku bisa ganti nanti."

"Tapi baju kamu lengket."

"Nggak masalah, bentar lagi juga pasti pudingnya mateng. Kamu bawa Zaira aja ke tempat lain selain dapur."

Patra hanya bisa pasrah mengikuti perintah Nayana dan membiarkan perempuan itu melakukan apa yang diinginkannya.

Meski membutuhkan waktu sekitar lima belas menit untuk menyelesaikan semua kegiatan di dapur hingga semuanya terlihat bersih kembali, Nayana bisa menghela napas lega. Dia menghampiri ruang keluarga yang biasanya digunakan untuk Zaira menonton, rupanya tak ada siapa pun di sana.

"Zaira?" panggil perempuan itu.

Tidak ada yang menimpali panggilannya itu. Rumah tersebut terasa sepi dan entah kenapa mengingatkannya pada masa lalu, dimana dia sendiri di rumah itu dan semua orang sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Perasaan semacam itu sungguh tak menyenangkan. Dia dikucilkan sendiri di rumah yang besar itu. Dalam keadaan hamil, dia dipaksa tak berhubungan dengan dunia luar. Dan setiap harinya diisi dengan kesepian.

Kemarahannya pada Prata semakin hari menjadi saat itu. Meski pria itu berusaha pulang sesegera mungkin dari kampus, tapi akhirnya Nayana hanya akan mengabaikannya dan menjadikan Prata sebagai pelampiasan dari rasa kecewanya. Karena pria itulah dia harus menenggelamkan kehidupannya. Karena pria itulah Nayana harus ditekan oleh wanita yang melahirkan Prata itu. Dan karena pria itulah Nayana terkurung dan tak bisa melihat dunia luar sama sekali.

"Aya?"

Nayana dalam sekejap kembali pada kenyataan dan mendapati Prata yang baru keluar dari kamar Zaira.

"Zaira mana?"

"Tidur. Dia kecapekan sampe nggak bisa nahan ngantuk lagi."

Nayana menghela napasnya dan mengangguk. "Kalo gitu aku pulang aja—"

"Ganti baju kamu. Aku udah siapin bajunya di kamar Tita dulu."

"Aku ganti baju di rumah aja."

Prata memejamkan mata sejenak dan berkata, "Sekali ini aja. Kamu nggak perlu bertahan dengan keras kepala. Ganti baju kamu dan aku nggak akan larang kamu setelahnya."

Nayana tak mau repot-repot berdebat dengan Prata. Dia menuruti pria itu dan segera berjalan menuju kamar adik pria itu dulu. Harusnya tadi dia tidak menuruti keinginan Zaira untuk datang ke rumah ini. Karena berada di sana terlalu lama mampu memunculkan banyak kenangan penuh kesepian yang diingat Nayana. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top