Kelimabelas ; Saingan
[Bab 26 sudah tayang di Karyakarsa, ya. Udah baca special chapter? Selamat menikmati, ya🤭]
Prata tidak tahu apakah dirinya perlu membahas kecemasannya ini pada putrinya atau tidak. Dari apa yang dilihatnya kemarin, ada rasa tak tenang saat menangkap seorang pria duduk di balik kursi kemudi. Yang jelas itu bukan mobil milik Nayana. Jika pria itu seorang sopir, penampilannya tak akan serapi dan setampan itu. Halah! Kenapa gue malah kesannya mengakui ketampanan laki-laki itu, sih?
"Papiiiiii!" panggil Zaira dengan keras.
"Aiya? Kenapa teriak begitu?" sahut Patra menahan kesal.
"Papinya Aiya panggil panggil diem telus. Papi napa?"
"Ya ampun ...." Patra hanya bisa menghela napas dan mengurut keningnya.
"Ya ampun apa?" balas Zaira bingung dengan sikap papinya.
"Aiya, papi nggak bilang 'ya ampun' ke kamu."
"Telus ke siapa? Di sini cuma papi sama Aiya doang beldua. Papi omong ya ampun sama siapa? Papi omong sendili?"
"Aiyaaa ... bisa diem sebentar? Papi lagi pusing."
Anak itu sudah pasti tampak panik karena ayahnya mengeluhkan hal semacam ini. Dia tidak akan bisa menerima fakta bahwa sang ayah merasa pusing dan dirinya tak boleh melakukan apa pun.
"Papi pusing??? Aiya ambilin obat, ya?"
Patra langsung panik ketika putrinya itu berusaha turun dari meja makan. Bahkan sarapannya belum selesai dihabiskan.
"Aiya mau ke mana? Papi nggak pusing yang begitu. Papi nggak butuh obat."
"Hm???"
Zaira tidak paham dengan apa yang papinya maksud. Sedari kecil, dia diajarkan mengenai jika sakit harus minum obat. Tapi kali ini berbeda. Pusing sudah termasuk ke dalam definisi sakit bagi Zaira, tidak ada makna lain. Sedangkan di dunia orang dewasa, rupanya ada banyak jenis pusing yang tiba-tiba saja membuat Zaira bingung.
"Papi pusing, kan?"
"Iya, tapi pusingnya bukan sakit."
Zaira memegang kepalanya dengan cepat. "Aiya bingung. Jadinya Papi sakit atau nggak?"
Patra tidak mau menjadi banyak kesalahpahaman lain antara dirinya dan sang anak. Jadi dia lebih memilih untuk menjawab tegas dengan penolakan. "Nggak. Papi nggak sakit, tadi papi pusing karena banyak kerjaan."
"Aiya masih nggak ngelti."
Hanya bisa menghela napasnya, Patra tetap memberikan senyumannya dan membawa putrinya untuk kembali duduk di kursi makan.
"Aiya nggak perlu ngerti. Papi nggak kenapa-napa, dan kita bisa makan lagi."
Untungnya anak itu tidak mengeluarkan pertanyaan lainnya. Mereka makan dengan tenang, meski Prata tidak bisa tetap santai memikirkan sesuatu. Dia ragu kapan waktu yang tepat untuk bertanya pada Zaira mengenai pria yang mengantarkan maminya kemarin. Anak itu mungkin akan kembali tidak paham mengenai arah pembicaraan Patra, tapi anak kecil tidak pernah berbohong. Ya, Aiya nggak akan bohong dan ini jadi kesempatan.
"Aiya," panggil pria itu.
"Ya, Papi?"
"Kemarin mami naik mobil siapa?" tanya Patra hati-hati.
Zaira nampak berpikir lebih dulu. "Nggak tahu."
Percuma, dong papi nanya kalo kamu nggak tahu, Nak!
Namun, Patra tidak boleh menyerah. Dia harus tahu siapa pria yang membuatnya curiga itu.
"Jadi yang bawa mobil itu sopir taksi?"
Zaira menggelengkan kepalanya. "Bukan."
Pertanyaan pancingan Patra sangat berhasil. Dari sini dia akan mengulik terus mengenai apa yang putrinya ketahui.
"Loh? Mobilnya mami, kan, rusak. Kalo bukan sama sopir taksi, yang bawa mobilnya siapa, dong?"
"Temen lama mami," ucap Zaira tanpa mengerti perubahan ekspresi papinya.
Serangan panik memenuhi diri Patra. Dia sudah pernah memikirkan kemungkinan Nayana akan memiliki kehidupan sendiri bersama pria lain. Namun, dia tetap tak bisa begitu saja menerima begitu mendengar kata 'teman lama' dari jawaban putrinya.
"Temen lama mami?"
"Iya."
"Siapa namanya?"
"Om Jef."
Ingatan anak kecil memang setajam itu. Meski Zaira mengatakan tak mengetahui mobil siapa yang digunakan mereka kemarin, tapi Patra dapat menyimpulkan bahwa itu adalah mobil 'Om Jef' sesuai dengan rangkuman jawaban singkat gadis kecil itu.
"Om Jef baik banget, loh, Papi! Aiya suka."
Satu lagi serangan rasa panik menghantam Patra. Lama-lama, sosok Om Jef itu tidak terdengar seperti teman lama Nayana, melainkan saingan Patra. Jika begini, bagaimana nasib Patra nantinya? Sebab hatinya masih menimbun banyak kenangan bersama ibu Zaira itu.
***
"Bang Jef apa kabarnya, Nay?" tanya Galea yang mulutnya penuh dengan sandwich.
Ini bahkan belum sepenuhnya memasuki jam makan siang, tapi karena bos sedang tidak ada di kantor maka Galea yang merasa tugasnya sudah selesai langsung menghampiri meja Nayana.
"Lah? Ngapain lo nanya bang Jef sama gue? Emangnya gue ibunya?"
"Ih, sensi banget! Kayak bini kalo lagi cemburu, Nay."
Kening Nayana berkerut tak setuju dengan apa yang temannya itu katakan. Bini? Nayana saja sudah merinding ketika mereka terlalu sering berdua, tak mungkin dia akan membayangkan menjadi istri Jefran yang sudah melukai masa remajanya dengan menunjukkan adegan ciuman pria itu dengan teman perempuannya dulu.
Galea yang melihat ekspresi Nayana langsung tertawa dan menyemburkan makanan yang belum tertelan.
"Gal! Jorok banget, sih!" protes Nayana.
Membutuhkan beberapa waktu bagi Galea untuk bisa membalas ucapan Nayana. "Ekspresi lo itu, loh. Menghibur banget, Nay."
"Nggak ada menghibur. Pokoknya kalo lo tertarik deketin bang Jefran, jangan bawa-bawa gue buat jadi perantara. Gue nggak mau rencana kehidupan gue ke depannya terganggu sama hal-hal begituan."
Galea hanya mengangguk-angguk tanpa benar-benar serius menangkap ucapan temannya itu. Terkadang manusia memang selalu memiliki rencana yang begitu banyak, tapi belum tentu nantinya ucapannya akan benar-benar dipertahankan.
"Nggak kangen punya pasangan? Nggak kangen ayang ayangan mumpung masih muda?"
"Nope."
Galea berdecak dan menatap Nayana dengan serius kali ini. "Lo sadar, nggak, sih? Selama kita temenan, lo nggak pernah mau terlibat dengan laki-laki?"
"Masa, sih?"
"Serius, Nay! Kalo gue sibuk gatel sama cowok di pub atau kelab malam yang berisik, lo malah diem aja di tempat dan seringnya kabur kalo ada cowok yang deketin. Apa se-trauma itu lo sama laki-laki?"
Nayana berhenti menatap layar komputer dan beralih pada Galea. Helaan napas ibu satu anak itu membuat Galea meyakini satu hal. "Lo trauma banget. Ya, paham gue. Tapi bukan berarti lo harus mendiamkan trauma itu, kan? Salah satu cara mengobati trauma adalah dengan menghadapinya."
Untuk sejenak Nayana merapatkan kedua bibirnya. Dia tak mau mengungkapkan bahwa bukan laki-laki yang membuatnya trauma, melainkan perasaan cinta yang semula memabukkan dan secara perlahan menenggelamkan adalah momen paling menyakitkan. Cinta membentuk ekspektasi, dan sejatinya ekspektasi tak pernah beriringan dengan kenyataan. Itulah yang selalu membuat Nayana menjadi pengecut jika menyoal romansa. Jangankan laki-laki, bahkan mengakrabkan diri dengan anaknya saja Nayana takut.
"Dari pada banyak omong, mendingan kita makan siang. Isi perut biar nggak pusing bahas hal serius! Cukup kerjaan aja yang serius, yang lainnya dibawa santai aja."
Ya, bohong aja terus sama diri sendiri, Nay!
"Gue nggak percaya sama omongan lo. Gue cewek juga, Nay. Gue paham kalo cewek seringnya kata hati sama kata di mulut beda."
Nayana menggelengkan kepalanya dan berdiri dari kursi kerjanya. "Kalo lo banyak omong, nanti nggak bakal gue mau traktir buat makan siang kita."
"Hah? Lo yang traktir? Okeh, gue diem! Ayo, traktir gue! Di tempat makan kesukaan gue yang deket sekolah itu, ya."
"Hm."
"Yesssss!"
Tak apa menggunakan uangnya untuk membuat Galea terdiam, yang terpenting tak ada ocehan temannya itu lagi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top