Keempatbelas ; Siapanya Mami?

[Bab 25 sudah tayang di karyakarsa, ya. Menurut kalian Zaira perlu papi baru nggak?]

Selama perjalanan menuju rumah Patra, tidak ada yang berniat bicara dengan leluasa. Sepertinya bukan hanya Nayana yang menekan banyak pertanyaan di kepala, tapi Jefran juga. Diam-diam Nayana juga merasa lega, karena jika memang niat pria itu adalah mendekatinya dengan status Jefran yang tak tahu seperti apa, maka serangan Nayana dengan membawa pria itu bertemu dengan Zaira adalah hal yang benar.

"Belok kiri," ucap Nayana saat melihat gang komplek rumah Patra semakin dekat.

"I know, Ayana. Aku udah cari alamatnya di maps."

Seketika saja Nayana merasa bodoh. Dia tidak sadar Jefran sudah mencari alamat rumah yang disebutkannya tadi. Bahkan tawa kecil yang muncul dari bibir pria itu membuatnya semakin gugup. Apaan, sih, Nay? Kenapa malah salah tingkah?

Tak seharusnya Nayana bersikap ceroboh begini. Dia sudah bukan gadis SMP yang tidak tahu apa-apa mengenai kehidupan orang dewasa. Dia sudah pernah menjalani masa dewasa yang menyebalkan berkali-kali pasca tak bertetangga lagi dengan keluarga Ayumi. Lalu, kenapa di dekat Jefran dia malah terlihat seperti gadis pubertas?

"Ah, sorry."

"Kamu pasti nggak sabar ketemu sama anakmu sampai nggak sadar aku udah pakai aplikasi buat tahu arah ke tempat anak kamu berada."

Nayana tidak membalas ucapan itu. Dia merasa tak perlu menjelaskan pada Jefran bahwa mereka menjemput anaknya di rumah sang ayah. Nayana tidak ingin mengurai apa pun pemikiran Jefran saat ini. Pria itu bisa terus menganggap Nayana sebagai seorang ibu dan tidak lagi available untuk didekati.

Untuk beberapa saat, Nayana merasa lebih bodoh karena merasa begitu percaya diri Jefran sedang mendekatinya. Padahal, jika memang pria itu sudah dewasa dan memiliki keluarganya sendiri. Mungkin saja sikap Jefran sejak awal hanya berusaha baik sebagai tetangga lama saja. Dan mungkin memang pertemuan mereka beberapa kali terjadi karena kebetulan saja.

"Ini rumah nomor 212. Bener, kan?" ucap Jefran yang membuyarkan pikiran Nayana.

Perempuan itu menoleh dan mendapati gerbang rumah Patra yang tidak dibuka seperti kemarin. Melihat rumah itu membuat Nayana melupakan keberadaan Jefran. Dia masih menganggap rumah itu sebagai tempat tinggal petaka. Rumah yang mengurungnya dari dunia luar, tak membebaskannya untuk bergaul, dan memaksanya untuk mengandung sedangkan Patra tetap mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan. Rumah dengan nomor 212 inilah yang membuat Nayana menjadi gila tanpa disadari. Dan sekarang dia akan lebih sering bertandang di sana mengingat rencananya mengambil Zaira dari Patra.

"Ayana? Kamu nggak turun dan jemput anak kamu?" tanya Jefran.

Menarik napas dalam, Nayana mengangguk dan meminta pria itu menunggu. Padahal jika Jefran turun juga bukan masalah besar. Jika Patra melihat keberadaan Jefran, maka perempuan itu bisa mematahkan keinginan Patra membangun hubungan dekat, menjadi orang tua sepenuhnya bagi Zaira. Nggak! Nggak! Baik Patra atau pun Jefran, keduanya tidak masuk dalam daftar aman untuk menjadi pasangan Nayana. Intinya Nayana tak ingin ada permasalahan panjang di belakang. Fokusnya saat ini adalah Zaira saja.

Kaki Nayana agaknya gemetar ketika menyadari Zaira dan Patra sudah menunggu di depan pintu. Sepertinya mereka baru saja keluar dari dalam rumah, tapi mendapati wajah keduanya yang kompak tersenyum ... seperti Nayana ingin memilih mundur saja.

Anggap saja Nayana alergi dengan kebahagiaan. Dia mendadak takut dengan jenis ekspresi yang menunjukkan bahagia. Perasaan itu hadir bukan tanpa alasan, dia memiliki banyak pengalaman dalam hidup yang mengecewakan. Terlalu banyak sakit yang dipendam, membuatnya merasa tak nyaman dengan pandangan 'hidup bahagia'.

"Mami!" seruan itu menghalau langkah Nayana untuk mundur.

"Kamu udah siap ternyata," ucap Nayana.

"Iya, udah. Mami kenapa lama banget jemputnya?"

"Mobil mami nggak bisa dipake."

Patra yang mendengar hal itu langsung mengajukan pertanyaan. "Terus kamu ke sini tadi gimana?"

Tidak ada gunanya mencemaskan Nayana yang begitu sulit bicara dengan santai pada Patra. Karena sekecil apa pun bentuk kepeduliaan pria itu, maka Nayana akan membalasnya dengan nada sinis.

"Aku bukan perempuan bodoh yang nggak bisa apa-apa. Aku juga bukan perempuan pengangguran yang nggak punya uang untuk pakai transportasi lain. Jangan pernah berpikir untuk mencari kesempatan mengantarkan aku dan Zaira. Aku nggak butuh cara murahan kamu buat mengganggu waktuku dan Zaira."

"Aku nggak pernah berpikir untuk menggunakan cara apa pun—"

"Papi! Mami! Stoooooppp! Aiya mau pelgi dengan damai, okeee? Jangan beltengkal lagi!"

Rupanya Zaira tak suka mendengarkan perdebatan orang tuanya hingga bisa mengeluarkan kalimat yang sangat dewasa. Pastinya Nayana dan Patra terkejut dengan peringatan yang dikatakan Zaira itu. Namun, mereka tak bisa lebih lama terkejut karena Zaira sudah lebih dulu menggandeng tangan maminya dan mengajak segera pergi.

"Dadahh, Papi! Aiya makan makan di lumah mami dulu!"

"Ya, Sayang. Jangan bandel sama mami, ya."

"Oke, Papi. Love you!"

Salam perpisahan itu akhirnya selesai ketika Zaira dan Nayana masuk ke mobil dan Patra hanya menyipit saat melihat si pengemudi yang bukan orang yang dikenal dari balik jendela mobil yang tak terlalu bening. Biarkan saja Patra berpikiran macam-macam, meski besar kemungkinan pria itu hanya menganggap Jefran sebagai sopir taksi online.

"Mami," panggil anak itu di kursi belakang.

"Ya?"

"Aiya pikil sama tante Galea."

"Oh, tante Gal nggak ikut. Kita berdua aja yang makan malam hari ini. Nggak apa-apa, kan?"

Zaira menggelengkan kepala. "Nggak papa. Yang penting makan makan sama mami lagi."

Nayana menyembunyikan senyumannya saat Zaira mengatakan hal demikian. Dia tidak terbiasa tersenyum di depan Zaira dan rasanya aneh jika langsung akrab dengan anak itu.

"Kalian makan berdua aja?" tanya Jefran pada Nayana.

"Hm."

"Tadi rumahnya siapa yang kamu minta tolong titipin anak kamu?"

"Tadi rumah papinya, dan Zaira nggak aku titipin, dia tinggal di sana."

Jefran terlihat mengernyit dan beberapa kali melihat Zaira melalui kaca tengah mobil. Saat mata mereka bertemu, Jefran tersenyum pada anak itu.

"Nama kamu Zaira?"

"Aiya."

Jefran menoleh pada Nayana, dan perempuan itu mengerti kebingungan yang ada.

"Namanya memang Zaira, tapi dia biasa dipanggil Aiya. Itu panggilan yang papinya kasih dan dia suka. Jadi panggil dia Aiya, karena dia bakalan marah kalo kamu panggil Zaira."

Zaira yang mengamati interaksi maminya dengan pria asing itu mulai merasakan penasaran. Dia memajukan tubuhnya hingga berada di antara Nayana dan Jefran.

"Mami," panggil Zaira lagi.

"Ya?"

"Olang ini siapanya mami?"

Bagaimana Nayana bisa menjawab pertanyaan anaknya itu? Sebab dia sendiri bingung menyebut Jefran apa dan siapa dalam hidupnya. Bang Jef? Dia siapa di hidupku yang sekarang, sih?

Menyadari Nayana tidak bisa memberikan jawaban yang tepat untuk putrinya, Jefran mengambil alih dan menjawab dengan perlahan.

"Om ini teman lamanya mami kamu, Aiya."

"Teman lama? Belalti udah nggak teman?"

Jefran tertawa mendengar balasan Zaira yang sangat lugu itu.

"Bukan begitu. Jadi, dulu Om tetangganya mami kamu, terus kita temenan. Waktu mami kamu pindah rumah, om udah nggak pernah ketemu lagi dan nggak bisa main bareng lagi. Terus beberapa hari lalu om ketemu mami kamu di jalan, jadi kita bisa main lagi."

Teman? Bisa main lagi? Nayana tidak percaya apa yang didengarnya ini. Jefran terlalu banyak membual di depan anak kecil. Sayangnya Nayana tak bisa menyangkal, karena beberapa diantaranya memang sebuah fakta.

"Oh, jadi om temennya mami. Jadi nama om siapa? Om Ini?"

Jefran kembali tertawa dengan celetukan Zaira yang tidak dibuat-buat. "Bukan, dong. Kamu bisa panggil om dengan panggilan Om Jef."

"Om Jef ... hm, oke. Aiya panggil Om Jef."

Melihat interaksi Zaira dan Jefran yang tidak kaku, mendadak membuat Nayana ketar ketir sendiri. Tuhan, kenapa mereka malah keliatan saling nyaman? 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top