Keduabelas ; Telepon
[Bab 23 sudah tayang duluan di Karyakarsa kataromchick. Silakan yang mau akses cepat, ya. Dukungan kalian sangat membuatku semangat😍
Masih ada satu buku Like Crazy di aku. Yang mau beli langsung DM IG freelancerauthor.]
Nayana tidak merasa baik-baik saja setelah memberikan nomor ponselnya pada Zaira. Meski itu adalah nomor kantor yang tidak akan aktif jika bukan pada waktu kerja, tapi tetap saja rasanya tak nyaman membuka privasinya pada Zaira dan bahkan Patra. Memang setiap orang pasti memiliki jalan sendiri, bukan hanya untuk mendapatkan kebahagiaan tapi juga pembelajaran. Dan mungkin ini juga menjadi pembelajaran bagi Nayana untuk tak selalu mudah memberikan apa pun pada orang lain.
Orang lain? Zaira itu anakku, kan?
Semakin banyak pertanyaan yang menumpuk di kepala Nayana, semakin dia tidak bisa bekerja dengan baik. Sebisa mungkin Nayana tak ingin harinya terganggu. Oh, mungkin itu adalah keinginan yang terlalu berlebihan. Sebab satu telepon di pagi hari tepat saat dirinya membuka ponsel kantor sudah lebih dulu berdering.
Lebih dulu Nayana memejamkan mata, dia berdoa supaya bukan Patra yang menghubunginya. Semoga saja itu adalah sekretaris pribadi bos besarnya yang akan memberikan tugas padanya.
"Mami!"
Suara Zaira sudah menggema lebih dulu sebelum Nayana menyiapkan diri.
"Kamu baru bangun tidur?"
Sebenarnya respon Nayana pada putrinya memang sangat kaku. Bagaimana bisa dia menyapa Zaira dengan pertanyaan yang tak perlu dijawab itu? Zaira yang menyapanya di telepon sudah pasti menandakan anak itu tak sedang terlelap. Sungguh Nayana adalah ibu yang memalukan.
"Sudah."
"Mandi?"
Meski tahu dirinya memang kaku, entah kenapa sikap seperti itu yang selalu muncul dari Nayana. Tak tahu berapa lama waktu yang dibutuhkannya untuk bisa lebih akrab dan tidak kaku terhadap putrinya sendiri. Meninggalkan bayi kecil yang dilahirkannya ternyata memberikan efek semacam ini pada Nayana. Padahal katanya seorang ibu akan memiliki insting tersendiri pada anaknya. Namun, di sinilah Nayana yang tidak terlalu merasakan perbedaan. Dia justru kebingungan melebur hubungan dengan anaknya sendiri.
"Sudah! Papi mandiin."
"Kamu, kan, sudah besar. Kenapa masih dimandiin papi kamu?"
Tidak terdengar suara apa pun dari Zaira untuk beberapa saat. Sepertinya pertanyaan Nayana tidak bisa diterima anak itu. Mungkin juga Zaira merajuk karena seperti sedang dicibir oleh maminya sendiri mengenai kebiasaan mandinya.
"Halo?"
Nayana tidak tahu apakah panggilan tersebut dimatikan sepihak atau bagaimana, dia melihat layar ponsel dan detik waktu masih berjalan menandakan bahwa panggilan suara mereka masih tersambung.
"Halo?" seru Nayana lagi.
"Dah!"
Kening Nayana berkerut dengan suara Zaira yang baru muncul lagi. "Halo?"
"Aiya dah bilang ke papi," ucap Zaira tiba-tiba.
"Bilang apa?"
"Besok Aiya mandi sendili."
Nayana agaknya paham, rupanya saat dia menanyakan mengapa Zaira masih dimandikan papinya, anak itu langsung meninggalkan ponselnya dan mengadu pada Patra.
"Jadi, kamu telepon mau bilang itu aja?"
"Nanti makan, ya. Papi izin, loh."
Cara anak itu mengucapkan kalimat sederhana dengan susunan kata yang tak sempurna membuat Nayana tertawa tanpa suara. Dia tidak tahu bahwa berbicara dengan anak kecil mampu membuatnya merasakan sesuatu yang tak biasa. Apa ini yang namanya jatuh cinta? Tapi rasanya tak mungkin. Seingat Nayana jatuh cinta tak seperti ini. Rasanya jauh berbeda dari cinta buta yang pernah perempuan itu rasakan pada Patra.
"Mami? Dengel nggak?"
"Iya, mami denger. Nanti sore mami jemput kamu, tapi nggak makan di tempat tante Galea."
"Terus dimana?"
"Rumah mami."
Kembali ada jeda yang Nayana dapati. Dia tidak tahu apakah Zaira akan suka dengan ide tersebut.
"Halo? Kamu denger mami?" tanya Nayana.
"Iya."
"Kamu mau makan di rumah mami atau nggak?"
"Mauuu! Pokoknya jemput, ya! Jangan lupa."
"Iya."
"Yaudah, aku matiin teleponnya, ya. Ada onti Tita, kata papi kalo ada onti jangan telepon mami nanti nanti malah."
Tanpa menunggu balasan dari Nayana, anak itu sudah lebih dulu memutuskan sambungan telepon. Rupanya Patra sudah memberikan banyak pengertian pada Zaira hingga anak itu juga tidak memberikan kesempatan Patra bicara dengan Nayana. Tak apa, justru hal itu malah bagus. Nayana tak perlu merasa canggung atau malah bicara kasar pada Patra.
"Stop mikirin masa lalu! Balik kerja! Saatnya mengesampingkan urusan pribadi, Nayana."
***
Pada jam makan siang, tak ada yang berbeda. Nayana kembali ditemani Galea dan mereka menikmati makanan dengan lebih banyak diam. Lebih tepatnya Galea yang terlalu shock hingga sulit mengajak bicara Nayana. Siapa yang tidak akan terkejut? Informasi yang Nayana berikan pada Galea sangat mendadak. Belum lagi fakta bahwa Nayana sudah melahirkan enam tahun lalu, sudah pasti membuat Galea merasa aneh seketika.
"Lo nggak banyak ngomong dari semalem, Gal."
Galea menghela napasnya dan menatap temannya itu dengan tajam. "Lo mau gue secerewet biasanya setelah gue ngerasa bego banget kemaren?"
"Tapi, kan, gue udah jelasin semalem."
"Ya, ya, ya. Lo emang udah jelasin banyak hal, terutama hubungan lo dan ayahnya Aiya yang nggak bagus. Gue paham, Nay. Tapi kenapa gue tahu pas anak lo sendiri yang dateng dan gue nggak ada persiapan apa pun selain nuduh itu anak salah ngenalin ibunya!"
Nayana tidak menceritakan dengan detail mengenai bagaimana hubungannya dan Prata yang tak baik. Dia hanya menjelaskan secara garis besar bahwa tak bisa mengurus Zaira dengan benar karena hubungannya dan keluarga ayah gadis kecil itu memang sangat kacau. Galea juga bisa menilainya dari reaksi yang Pratista berikan kemarin.
"Gue nggak tahu harus bereaksi gimana. Lo melalui banyak hal sendiri dan nunjukin sisi dalam diri lo yang jauh dari faktanya di depan gue, Nay."
"Gue yang asli emang gini. Gue bukan orang jahat, Gal. Gue cuma nggak ngumbar status gue sebagai ibu aja. Tapi HRD kantor tahu dengan jelas gue pernah nikah dan cerai."
Nayana tidak berniat menyembunyikan statusnya yang rumit. Sebenarnya jika dia ingin mengatakan pada semua orang mengenai statusnya tentu mudah saja. Nayana hanya perlu mengatakan dirinya seorang janda. Namun, tak ada yang menanyakan hal itu. Orang kantor hanya berasumsi sendiri dari penampilannya yang seperti seorang perempuan single.
"Kalo gue tahu dari awal soal ini, mungkin gue bakalan bantuin lo kabur kemarin. Supaya lo nggak perlu ketemu ayah anak itu."
Nayana tertawa pelan dan menggeleng. "Nggak perlu sampe segitunya, Gal. Sebenernya juga gue udah dateng ke rumah mereka duluan. Meskipun gue benci sama papinya, tapi anak itu nggak ngerti apa-apa."
"Kuat banget, sih, lo. Kalo gue jadi lo, mungkin nggak bakalan bisa hidup sesantai ini."
"Gue cuma perlu bersikap santai di depan banyak orang, kan, Gal. Gue nggak perlu nunjukin seberapa rapuhnya gue, karena nggak akan ada yang peduli juga. Masing-masing orang punya masalahnya sendiri. Jadi, kita nggak perlu ngadu nasib terus sama orang lain."
Galea menggelengkan kepalanya tak percaya dengan apa yang didengarnya dari mulut Nayana.
"Dari awal gue ngeliat lo, gue emang punya feeling kalo lo beda dari yang lain. Makanya gue lebih milih temenan sama lo."
"Gue juga lebih seneng punya temen kayak lo. Padahal katanya kalo kerja di kantor nggak bakalan ada temen yang bener, tapi pengecualian buat lo."
Selayaknya takdir yang jika sudah berkata tak akan bisa diubah. Pertemuan Nayana dengan Galea menjadi salah satu hal bahwa mereka tak akan menjadi orang yang selalu sendirian. Baik Nayana atau Galea, keduanya sudah diberikan takdir untuk bertemu dan menjadi teman yang bisa saling mendukung meski tak selalu ada 24 jam.
Selayaknya pertemanan yang memiliki batasnya, mereka berdua juga demikian. Tak peduli seberapa bobrok masa lalu keduanya, pertemanan mereka di masa kini tidak memerlukan kisah masa lalu. Urusan masa lalu yang masih menghantui, biarkan mereka berdua menyelesaikan masing-masing tanpa perlu diinterupsi satu sama lain.
"Nanti sore gue pulang sendiri, mau jemput Zaira buat makan malem di rumah gue."
Galea tampak tak yakin dengan ucapan Nayana. "Jemput? Kenapa bukan bapaknya yang anterin anaknya?"
"Gue yang nggak mau. Gue nggak masalah jemput, dari pada bapaknya tahu gue tinggal dimana."
"Ah ... gitu. Okelah. Gue nggak akan ganggu quality time antara ibu dan anak kalo gitu."
Quality time ibu dan anak? Nayana tidak tahu apakah dirinya pantas menggunakan kesempatan itu atau tidak. Dia sudah menyia-nyiakan enam tahun quality time bersama Zaira. Ada rasa malu ketika memikirkan kembali kata itu. Namun, Nayana juga tak berniat menyampaikannya pada Galea karena itu urusan pribadinya yang akan membawa rekaman masa lalu lagi.
"Eh, eh, Nay. Itu abang-abang yang ngobrol sama lo bukan, sih?"
Nayana menoleh mengikuti arah pandang Galea. Matanya menyipit dan mendapati postur tubuh Jefran di kantin kantornya.
"Bang Jef? Ngapain dia di sini?"
Belum selesai pertanyaan Nayana, sumber pembicaraan kedua perempuan itu menangkap keberadaan Nayana dan tersenyum. Nayana tak suka ini. Shit! Kenapa Jefran tersenyum seolah mereka tak memiliki kisah memalukan di masa lalu, sih?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top