Kedua ; Rasa Sakit
[Yang mau baca duluan sampai bab 5, bisa mampir ke Karyakarsa 'kataromchick'. Jangan lupa sapa aku di Instagram freelancerauthor, ya. Happy reading!]
Nayana ingat dengan jelas rasa sakit yang menggenang di hatinya. Begitu besar rasa sakit itu hingga menimbulkan kubangan di hati dan terisi penuh dengan kepedihan yang hingga sekarang tak kunjung sembuh. Dia menjadi sangat mati rasa dengan semua yang datang membawa cinta untuknya. Baginya cinta bukanlah hal yang bisa terus memberikannya bahagia. Nayana justru tak ingin menjadi semakin lelah karena harus menjalani cinta yang baru dan menambahkan luka di antara yang sudah ada.
"Aku suka sama Kak Patra!"
Itu adalah pernyataan cinta yang sudah Patra duga sejak lama. Namun, tidak pernah Patra sangka akan datang dengan cara seperti ini. Dia sedang asyik mengobrol dengan teman-temannya di area parkir gedung kampus mereka. Dihampiri oleh Nayana si adik tingkat yang tidak mengerti situasi sama sekali membuat rasa kesalnya meledak. Belum lagi godaan dari teman-temannya yang malah membuat suasana menjadi semakin tak karuan.
"Aku nggak bisa nyimpen perasaan ini lebih lama. Jadi aku ungkapin ke Kak Patra."
Patra sendiri bingung harus menanggapinya seperti apa. Dia sudah biasa memiliki penggemar rahasia, tapi untuk yang satu ini, Patra kehabisan kata-kata.
"Lo—"
"Kak Patra nggak perlu jawab!"
Patra semakin tidak memahami si cewek yang tampangnya pas-pasan itu. Keberanian Nayana memang luar biasa, tapi Patra tidak tertarik dengan cewek itu.
"Hm ... aku cuma mau bilang itu aja, kok. Jadi ... aku permisi, Kak!"
Sudah pasti Nayana mengira tidak akan mendapatkan tanggapan apa pun setelah menyatakan rasa sukanya pada Patra Rajaksa. Nayana bahkan selalu sengaja membuat rencana apik untuk menghindari kakak tingkatnya itu dengan baik. Menghindari jam nongkrong lelaki itu, tempat tongkrongannya, dan jam kuliahnya.
Namun, Nayana terkejut bukan main ketika dirinya melihat Patra menyandarkan punggungnya pada dinding sembari bersedekap tangan di tangga darurat. Kepalang tanggung, Nayana tidak bisa kembali menaiki tangga dan turun menggunakan tangga yang lain karena itu sangat melelahkan. Ditambah kemungkinan dirinya akan dinilai terlalu percaya diri jika mengira Patra sengaja menjegatnya di sana. Tak mau semakin lama menahan rasa malu, Nayana berusaha melewati Patra dan berniat menuruni tangga dengan cepat. Sayangnya cewek itu tertegun ketika satu kalimat sindiran keluar dari bibir Patra.
"Jadi gini gaya lo? Abis nyatain perasaan, terus besok-besoknya bersikap kayak orang nggak kenal."
Tidak ada orang lain di sana selain mereka berdua. Tangga darurat selalu menjadi pilihan segelintir orang saja. Dan memang saat ini keadaannya sedang sepi, hanya ada Patra dan Nayana saja saat ini. Sudah jelas kalimat itu dituju kepada Nayana, kan? Siapa lagi yang sudah menyatakan perasaan pada pria itu dan pura-pura tak kenal? Hanya Nayana!
"Kak Patra ngomong sama aku?"
"Sama tembok!" sinis lelaki itu. "Siapa lagi kalo bukan sama lo?"
Nayana mengernyit kecil, tak butuh waktu lama bagi Patra untuk mengajaknya pergi dari sana. "Ikut gue."
"Kak Patra mau ke mana?"
"Makan. Ini jam dua, lo juga baru kelar kelas, kan? Emang nggak laper?"
Nayana tidak tahu harus bereaksi seperti apa, tapi dia merasakan sesuatu yang baru. Perasaan yang tidak bisa dibandingkan dengan apa pun. Hingga kesenangan itu turun ke perutnya dan membuatnya merasakan geli yang aneh. Butterfly effect. Ajakan makan siang saja bisa membuat Nayana merasakannya. Apalagi ketika lelaki itu mulai memberikannya perhatian lebih dan menjadikannya kekasih? Sudah pasti Nayana tidak bisa menjelaskan terlalu detail efek rasa bahagianya.
Proses jadian yang Nayana kira tidak akan pernah terjadi, nyatanya menghampiri tanpa diduga. Ajakan makan siang memang permulaan. Dugaan Nayana juga mulai bermunculan dari sana. Namun, gadis itu tak mau terlalu percaya diri mengira bahwa Patra mendekatinya karena berniat menjadi kekasihnya. Yang dipikirkan Nayana adalah pria itu hanya merasa kasihan.
"Nasi gorengnya nggak enak?" tanya Patra.
Mereka duduk di kursi berwarna merah di samping gerobak nasi goreng kaki lima dengan Nayana yang kebingungan. Dia kebingungan bagaimana caranya menanyakan apa yang ada di pikiran Patra.
"Hm? Enak."
"Enak apanya. Kamu aja dari tadi malah bengong sambil ngaduk-ngaduk doang."
Panggilan yang semula hanya 'lo-gue' perlahan hilang seiring dengan rutinitas jalan berdua. Nayana sering ditanya oleh teman-temannya cara seperti apa yang dilakukannya untuk bisa kencan dengan senior kampus yang memang terkenal tampan itu. Namun, Nayana kebingungan menjawabnya. Sebab Patra tidak pernah mengatakan jika mereka sedang berkencan.
"Kak, aku sebenernya nggak kenapa-napa sejak nyatain perasaan waktu itu. Kalo usaha Kak Patra ini buat bikin aku nggak merasa malu atau kasihan—"
"Ngomong apa, sih, kamu?" sela Patra.
"Maksudku ... Kak Patra yang suka ngajakin pergi berdua kayak gini bikin banyak orang salah paham. Aku bingung sama pertanyaan temen-temen di kampus yang mikir kalo kita jadian."
"Kenapa harus bingung? Bilang aja kita emang jadian."
Nayana tertegun. Hampir saja dia menjatuhkan piring tukang nasi goreng jika Patra tidak menahannya.
"Hati-hati. Kalo pecah bukan masalah gantiin piringnya, tapi bahaya kena pecahan belingnya."
"Eh? i-iya."
"Iya apa?" tanya Patra.
"Iya, aku hati-hati."
"Terus yang soal jadiannya? Iya atau nggak?"
"Eh?"
Malam itu, Nayana merasakan waktu seolah berhenti. Patra menatapnya meminta seluruh kepastian. Yang tentu saja anggukan malu-malu sebagai jawaban dari Nayana. Mereka resmi menjadi sepasang kekasih.
Ketika mengingat itu, Nayana merasakan penyesalan yang luar biasa. Andai saja malam itu dia berkata, "Kasih aku waktu buat mikir, Kak." atau jawaban yang membuat pria itu tak langsung menjadi kekasihnya, mungkin segalanya tak akan seperti ini. Jika saja Nayana cukup pintar membaca keanehan yang terjadi, mereka berdua tidak akan pernah bersinggungan lagi. Mungkin Patra akan menyerah dan gagal. Serta satu hal yang pasti, Nayana tidak akan dipaksa melahirkan seorang bayi dan menghentikan kehidupan masa mudanya.
"Maaf, Aya. Maafin aku."
Nayana menghela napasnya begitu dalam. Dia tidak membutuhkan permintaan maaf. Sudah terlalu banyak kata maaf, tapi tidak ada satu pun yang bisa menyembuhkan luka perempuan itu.
"Kata maaf nggak bikin aku lebih baik, Patra." Gelengan kepala perempuan itu yang sangat pelan membuat Patra semakin merasa bersalah.
Ada banyak opini yang selama ini menyakiti Nayana. Opini yang dianggap akan membawa kebaikan, tapi rupanya tidak demikian. Nayana semakin terjerumus, tertekan, dan hampir gila. Itulah kenapa pada akhirnya Patra melepaskannya. Segalanya tidak dimulai dengan niatan yang baik, mungkin itulah kenapa opini yang mengira semuanya akan baik malah berbanding terbalik.
"Hanya maaf yang bisa aku berikan, Nayana. Dan dengan membesarkan Aiya. Itu dua hal yang bisa aku lakukan untuk menebus kesalahanku di masa lalu. Aku nggak bisa menyembuhkan luka yang udah aku kasih ke kamu. Tapi kalo kamu mau kasih aku kesempatan untuk berusaha menggantinya dengan hal baik yang baru ... aku akan berusaha. Untuk kamu dan Aiya."
Bisakah? Apa mungkin ada kesempatan untuk Nayana bisa mengganti lukanya dengan orang yang memberikannya luka itu?
"Aya, aku akan berusaha—"
"Gimana caranya? Kamu yang kasih luka itu, Patra. Gimana kamu memperbaikinya?"
Patra terdiam. Sudah pasti pria itu tidak tahu secara pasti. Namun, Nayana sepertinya tahu apa yang bisa membuatnya merasa lebih baik. Mengambil Zaira dari hidup Patra.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top