Kedua Puluh Sembilan
[Bab 42 sudah tayang di Karyakarsa ya. Dedek-dedek online kita hadir, yes.😍]
Zaira masih tak ingin bicara banyak kepada Nayana. Anak itu masih bersikap tak terbuka meski Jefran mengatakan Zaira sudah mau diantara Nayana pulang. Kalau dipikirkan berulang kali, Nayana memang yang memiliki andil besar melakukan kesalahan hingga putrinya tak mau berdekatan dengannya.
"Tadi kamu belum makan, mau beli makanan dulu nggak?" tanya Nayana.
Zaira menggelengkan kepalanya, tidak menjawab dengan sisi cerewet yang biasanya ditunjukkan. Sikap Zaira ini sedikit banyak mengganggu perasaan Nayana yang sudah sangat amburadul sejak terakhir kali bicara dengan Patra. Bukan seperti ini keinginan Nayana yang sebenarnya. Dia tidak ingin Zaira menjadi pihak yang memusuhinya. Niat awal dirinya mendekati Zaira juga agar anak itu bisa meninggalkan Patra, tapi kenapa sekarang dia malah menemukan Zaira tak bisa melepas sosok papinya?
"Mami," panggil Zaira.
"Hm?"
"Mami malahan sama papi?"
Tidak. Nayana ingin sekali menjawab tanpa memikirkan apa pun. Namun, menyadari Zaira adalah yang sangat cerdas, maka sulit bagi Nayana untuk mengelabui anak itu. Zaira pasti tak akan langsung percaya, terlebih lagi dari apa yang Jefran sampaikan sebelumnya, mereka berdua yang menunggu di depan rumah pasti mendengar hampir seluruh perdebatan antara dirinya dan Patra.
"Tadi, Zaira denger apa aja?" tanya Nayana yang secara tak langsung mengabaikan pertanyaan putrinya.
"Dengel apa?" balas Zaira.
"Denger mami dan papi yang ngomong agak keras."
Zaira tidak langsung menjawab, dan lagi-lagi anak itu terdiam. Nayana menjadi sangat penasaran apa yang ada di kepala Zaira sebenarnya. Pasti ada bagian yang anak itu sembunyikan darinya, dan juga Jefran. Melihat bagaimana gelagat Zaira yang terlalu banyak berpikir, tampaknya anak itu lebih dipenuhi perasaan tak nyaman.
"Zaira? Kamu denger apa?"
"Nggak dengel. Aiya cuma takut papi pelgi. Aiya nggak mau kalo papi sama mami malahan. Aiya maunya papi sama mami tinggal balengan lagi. Tapi tadi papi sedih. Kalo papi sedih jadinya suka sendilian. Mami kenapa bikin papi sedih?"
Kenapa sekarang anak itu menunjukkan rasa tak suka pada Nayana? Semua yang diungkapkan dari bibir Zaira, itu adalah bentuk rasa peduli pada perasaan Patra saja. Mendadak rasa cemburu dan iri menguar dalam diri Nayana. Dia juga harusnya berhak mendapatkan kepedulian dari orang sekitarnya. Dia merasakan kesedihan, bahkan kemalangan yang datangnya dari keluarga Patra. Namun, hingga anak yang pernah dikandung serta dilahirkannya itu saja lebih membela Patra. Kenapa Nayana tak pernah dipedulikan?
Nayana menghentikan mobilnya, dia menatap Zaira dengan lurus. "Papi kamu yang selama ini membuat saya sedih, Zaira."
Zaira tampak terkejut dengan apa yang diucapkan oleh Nayana.
"Kamu hanya anak kecil yang nggak akan paham. Papi kamu itu pria yang pernah bersikap jahat kepada saya. Dia membuat saya menderita! Kamu harusnya tahu hal ini, bahwa papi kamu adalah pria jahat yang hanya bisa membuat kehidupan seorang wanita hancur. Membuat saya harus berjuang lagi dari nol!"
Wajah Zaira memerah, tangisan mulai tergenang di mata bulatnya. Anak itu bahkan menggigit bibirnya sendiri karena ketakutan saat ini. "Mami ...."
"Ya, ya, ya! Saya dengar kamu memanggil saya! Kenapa kamu nggak bisa jadi anak yang baik?! Kenapa kamu menyebalkan sama seperti papi kamu, sih?!"
Semakin Nayana berkata, semakin banyak kalimat yang tidak menyenangkan untuk Zaira dengar. Ketika kesadaran mulai kembali, Nayana berusaha meminta maaf pada anak itu yang tak ditanggapi dengan apa pun selain tangisan.
Sial. Aku mau memperbaiki situasi, tapi malah makin nggak karuan.
***
Patra diam-diam menunggu kepulangan putrinya. Dia berharap bahwa bukan Nayana yang mengantarkannya, melainkan pria asing yang membuat Patra cemburu. Patra tahu kebiasaan Nayana jika sedang marah. Dia tidak bisa mengontrol kalimat yang keluar dari bibir. Jangan sampai Zaira menjadi pihak yang mendengarkan seluruh kalimat tak bersahabat Nayana. Jika yang mendengarnya adalah Patra, pria itu masih bisa melupakannya dengan cepat. Namun, jika Zaira yang mendengarnya, kemungkinan besar anak itu tak akan bisa membuka pintu maaf dengan mudah. Ya, sifat Zaira dan Nayana tidak jauh berbeda untuk urusan kemarahan dan kata maaf.
Suara mesin mobil terdengar di telinga Patra. Dia tidak bisa diam saja saat melihat mobil Nayana yang terparkir di depan gerbangnya. Untung saja Patra memasang gerbang yang bisa melihat ke arah luar tapi tak bisa dilihat dari luar. Dia berjalan cepat saat pintu belakang mobil Nayana terbuka dan Zaira keluar dengan tangisan.
"Aiya!" seru Patra yang mencemaskan putrinya.
Anak itu tidak bicara, dia berlari ke arah sang papi begitu melihat pria yang disayangi membuka gerbang. Tangisan Zaira menjadi sangat keras ketika berada di dalam pelukan Patra. Semula pria itu akan mengetuk pintu mobil Nayana dengan kencang, tapi pemiliknya sudah lebih dulu keluar.
"Apa yang kamu lakukan ke anak sekecil Aiya!?"
Patra masih bisa menahan diri jika memang dirinya yang disakiti, tapi tidak dengan putrinya. Zaira adalah anak yang diurus dengan perang emosi yang terjadi di dalam diri Patra. Sekalipun Patra tak pernah menyalahkan atau menyesali kehadiran Zaira meski hidupnya agak tak baik-baik saja saat harus menjadi satu-satunya sosok orang tua untuk anak itu. Patra masih bisa mengerti ketika Nayana pergi dan meninggalkan Zaira yang wajahnya mengingatkan perempuan itu dengan Patra dan luka masa lalu mereka. Namun, Patra tidak akan diam saja ketika Nayana menyakiti anak itu.
"Dengar, aku nggak melakukan apa pun. Aku hanya salah bicara—"
"Kamu pikir 'hanya' salah bicara bisa membuat Aiya menangis? Aku tahu kamu Nayana! I know you when you talk in your way! Aku nggak ingin mendengar apa pun penjelasan kamu yang nggak pernah menerima fakta bahwa kamu harusnya mengatakan maaf. Silakan pulang dan jangan berpikir bisa menemui Aiya karena kamu sudah menyakitinya."
Patra tidak lagi bisa menolerir sikap Nayana. Mungkin cinta yang membuat Patra selalu mengalah pada Nayana dan rasa bersalah karena sudah merenggut masa muda perempuan itu. Namun, tak semua hal yang sudah berlalu harus selalu dijadikan bahan pembahasan. Mereka harusnya bisa move on dan menjadi pribadi yang baru dengan kesalahan di masa lalu yang sempat terjadi. Sikap Nayana hanya membuat Patra dan Zaira menjadi pihak yang akan diingat sebagai kesalahan selamanya dalam hidup perempuan itu.
Kini, bagi Patra, jika memang Nayana tak ingin bersama dengannya tak akan menjadi masalah. Patra sudah menjalani enam tahun hidup tanpa Nayana meski cinta selalu membayangi. Kini Patra bersikap tegas untuk fokus saja pada tumbuh kembang Zaira. Terserah Nayana mau melakukan apa pun dengan pria asing yang ada diantara hubungan mereka.
"It's okay, Baby. Papi di sini. Jangan sedih, ya."
Patra mengusap punggung putrinya dengan kasih sayang. Zaira merengkuh tubuh papinya dengan erat. Sungguh Patra menjadi sangat tersakiti ketika mendapati putrinya menangis seperti ini. Lebih baik anak itu marah-marah atau mengeluarkan kalimatnya yang cerewet hingga membuat telinga pekak, ketimbang menangis seperti ini. Hati Patra tersayat-sayat dengan sangat dalam.
"Papi ..." raung anak itu.
"Ya, papi di sini. Aiya boleh nangis, tapi jangan sedih terus-terusan. Maafin papi yang nggak ajak Aiya pulang tadi. Maafin papi, ya?"
"Papiiii ... Papi Aiya bukan olang jahat. Huhuhu, Papi bukan olang jahat."
Patra menggigit bibirnya dan menatap ke atas agar air matanya tak ikut jatuh. Dia bisa menebak apa yang diucapkan Nayana hingga Zaira bisa mengatakan hal ini. Patra ingin sekali mengelak bahwa memang benar dirinya bukan pria jahat, tapi kenyataannya dia memang pernah menjadi orang yang jahat bagi Nayana.
"Maafin papi, Aiya. Maafin papi."
Hanya kata maaf yang bisa keluar dari bibir Patra. Dia tak bisa mengatakan hal lain yang bisa menenangkan Zaira selain meminta maaf. Patra tak keberatan meminta maaf sebanyak mungkin, asal dia tak menyangkal layaknya seorang pengecut. Kesalahan tetaplah kesalahan, dia tak menyangkalnya dan Zaira—cepat atau lambat, harus memahaminya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top