Kedua puluh satu ; O ... ow, kamu ketahuan!
[Halo! Bab 32 sudah tayang duluan di Karyakarsa, ya. Happy reading!]
Zaira yang hanya berniat tidur bohongan akhirnya malah tertidur lelap hingga terbangun dalam kondisi rumah yang terasa sepi. Dia tidak yakin bahwa maminya masih berada di rumahnya. Padahal, tadinya dia hanya ingin membiarkan sang mami menunggunya hingga terbangun tidur saja. Sayangnya, ketika Zaira melihat jam dinding di kamarnya, malah sudah jam enam malam.
"Aiya wudlu dulu ah, bial papi nggak malah."
Karena sudah terbiasa melaksanakan ibadah magrib bersama papinya, Zaira dengan cepat mengambil wudhu di ruang ibadah yang sudah papinya hias sedemikian rupa hingga menyerupai taman pengajian yang seru.
"Loh? Papi kenapa belum di sini, ya?" gumam anak itu dengan bingung.
Biasanya sang papi sudah standby di ruang ibadah menunggu Zaira yang sangat lambat karena terkadang rasa malas menghampiri. Namun, hari ini berbeda. Entah kemana papinya berada dan Zaira jadi bingung sendiri apakah harus shalat magrib sendiri atau menunggu sang papi datang.
"Masa Aiya telat? Papi udah shalat sendili kali, ya?"
Berulang kali anak itu terus menimbang keputusan untuk shalat sendiri atau menunggu papinya, tapi akhirnya dia memilih untuk melaksanakan shalat sendiri dan buru-buru mencari papinya setelah selesai.
"Papi?" panggil anak itu.
Mencari di kamar sang papi, masih tidak ada. Kamar mandi, juga tidak ada. Begitupun saat Zaira mencari papinya di dapur. Dengan otak cerdasnya, dia mengecek pintu depan, apakah sepatu papinya ada yang dipakai atau tidak. Lalu, Zaira terkejut ketika mendapati sepatu sang mami yang masih berada di rak depan.
"Mami belum pulang!" seru anak itu senang.
Tanpa berpikir lama, Zaira mencari keberadaan mami dan papinya. Meski rumah ini sepi, tapi Zaira tidak takut. Anak itu tidak pernah menangis meski terkadang ditinggal sendiri. Dia dengan keyakinan penuh mencari di seluruh penjuru ruangan di rumah tersebut. Hanya tinggal kamar tantenya yang belum dia cek. Anak cerdas itu langsung membuka pintu kamar tantenya secara perlahan.
Wajah penuh kebahagiaan muncul dari Zaira, melihat papi dan maminya tertidur bersama. Karena terlalu senang, anak itu bergerak cepat keluar. Dia membuka kamar sang papi dan mengambil ponselnya. Tanpa sadar bahwa kedua orang tuanya hanya memakai selimut hingga bahu, Zaira memotret keduanya yang terlelap.
Ini adalah momen yang langka, tidak akan mudah terjadi setiap harinya. Di pikiran Zaira, jika dia ingin momen ini menjadi kenangan yang indah, maka dia harus memotretnya segera dan melihatnya sesekali ketika meminjam papinya.
"Papi, mami! Udah maglib!" seru Zaira yang akhirnya membangunkan keduanya.
Anak itu menaiki Naynaa dan Patra tanpa peduli bahwa di balik selimut itu, keduanya tidak menggunakan apa pun.
"Papiiii! Mamiii! Maglib!"
Sungguh Zaira memang ampuh untuk menjadi alarm. Dia memiliki suara yang sangat nyaring hingga kedua orang tuanya bisa terbangun dalam dua kali teriakan.
Nayana yang terbangun dan sadar lebih dulu. "Zaira!?"
Yang disebutkan namanya malah menyengir lebar. Dia tidak peduli dengan apa yang terjadi di bawah sana dan menatap maminya dengan mata berbinar.
"Hai, Mami!"
Nayana kebingungan harus bersikap bagaimana untuk tetap biasa saja menghadapi situasi serba salah ini. Dengan cepat wanita itu menatap Patra yang malah terdiam membeku begitu melihat putrinya berada di atas tubuh telanjang mereka yang bagusnya masih terbungkus selimut.
"Patra ...!" gumam Nayana yang sekarang bingung sekali.
"Eh, emm ... Aiya bisa ke kamar dulu? Papi mau ngomong dulu sama mami."
"Oke!"
Untung saja Zaira bukan anak yang suka membangkang meski segala pertanyaan yang keluar dari mulutnya akan sangat tajam dan sulit dijawab. Dalam situasi seperti ini, Patra bersyukur karena tidak ada pertanyaan dadakan dari sang putri.
"Eh, Aiya tunggu di lual ajalah. Aiya mau nonton tv."
Patra langsung mengangguk cepat. "Oke, oke. Pokoknya kasih papi sama mami ngomong berdua."
"Oke, Papi!"
Seperginya anak itu, tidak ada lagi yang bisa mengganggu Nayana dan Patra untuk bisa bicara berdua.
"Ay—"
"Aku bilang bangunin aku sebelum Zaira bangun! Kamu malah ikut tidur! Gimana, sih, Patra?!"
"Aku juga ... nggak sadar kalo ikut tidur."
"Kamu, tuh—ugh! Aku mau mandi. Aku pinjem baju Pratista dulu!"
"Oke. Aku juga harus bersih-bersih buat magrib."
Nayana meringis dengan ucapan Patra itu. Mereka melakukan hal bejat, lalu pria itu akan melaksanakan shalat. Sungguh ironi yang tidak bisa dibandingkan dengan apa pun."
***
Kedua orang tua itu menatap Zaira yang sedang makan dengan lahap tanpa terlihat terusik dengan tatapan papi dan maminya. Sungguh ketenangan Zaira ini membuat Patra dan Nayana ketar ketir menahan curiga. Kira-kira apa saja, sih, yang sudah anak itu saksikan?
"Aiya, seneng, deh! Untung mami belum pulang, jadi Aiya bisa makan enak."
Patra yang mendengar hal itu langsung merasa tersindir. "Memangnya selama ini Aiya nggak pernah papi masakin? Kan, setiap hari juga selalu makan enak."
"Oh, iya. Papi selalu masak, tapi lasanya beda sama bikinan mami."
"Oh ... jadi masakan papi nggak enak, gitu?"
"Eh ..." Zaira langsung menutup mulutnya dengan dramatis.
Nayana yang semula merasa tak nyaman, kini bisa tertawa lepas. Ekspresi Zaira yang tampak tak enak hati mengungkapkan kejujuran pada sang papi membuat perempuan itu tak bisa menahan tawanya.
Pemandangan itu membuat Patra dan Zaira secara otomatis menatap Nayana dengan takjub. Selama beberapa minggu pertemuan mereka terjalin, ini kali pertama mereka bisa melihat Nayana tertawa lepas. Sungguh mereka tidak bisa memikirkan hal lain selain apa yang dilakukan oleh Nayana saat ini.
Begitu sadar sudah menjadi pusat perhatian di meja makan tersebut, Nayana menjadi salah tingkah sendiri.
"Kenapa? Lanjutin makan kalian!" ucap Nayana yang langsung membuat Patra dan Zaira kompak menunduk dan kembali makan.
Sungguh hari ini menjadi hari yang tak terlupakan bagi mereka bertiga.
***
Dengan seluruh perasaan yang lebih lega, Nayana akhirnya berpamitan untuk pulang. Hal itu tidak langsung disetujui oleh Zaira, tapi anak itu akhirnya bisa mengerti setelah Patra memberikan penjelasan.
"Mami janji main lagi, kan?"
Sesungguhnya Nayana tersedak dengan ludahnya sendiri karena ada dua makna kata 'main' yang ada di kepalanya. Yang pertama main—menghabiskan waktu bersama Zaira, dan yang kedua adalah main dalam konotasi dewasa dengan Patra. Lupain apa yang tadi udah lewat, Nay!
"Iya. Mami janji akan main lagi sama Zaira."
Bagus. Setidaknya jawaban Nayana sudah tepat untuk didengar.
"Kalo gitu mami pulang."
"Oke. Nanti Aiya kilim fotonya ke mami, ya!"
Kening Nayana bertumpuk menjadi satu. Foto apa? Nayana tidak merasa sudah mengambil gambar dengan anak itu seharian ini. Dan di ponsel siapa foto yang Zaira maksud itu?
"Aiya, foto apa?" tanya Patra yang mewakili kebingungan Nayana.
"Ada, deh! Nanti aja Aiya kilim."
"Emangnya kamu foto pake hp siapa?" tanya Patra lagi.
"Pake hp Papi!"
Keduanya semakin bingung dengan jawaban yang sudah Zaira berikan. Namun, karena Nayana tak mau semakin malam menghabiskan waktu di jalan, maka dia mengabaikan foto yang putrinya maksud itu.
"Hati-hati mami! See you!"
"Ya, see you!"
Nayana akhirnya kembali pada rutinitasnya yang biasa. Kembali merasakan sepi dan sendiri. Ketika dia sampai di rumah, entah kenapa harinya menjadi berbeda tanpa Zaira. Padahal, dia baru menghabiskan waktu sehari dengan gadis kecil itu. Bagaimana bisa dia menjadi mudah rindu pada Zaira?
Sebenarnya Nayana masih penasaran dengan foto apa yang Zaira maksud, tapi dia agak malas membuka ponsel kantor yang sengaja dia bawa meski mengambil cuti. Jika dia membuka ponsel kantor, maka dia harus membuka pesan yang berkaitan dengan pekerjaan juga.
Ting!
Nah, kan! Pesan dari nomor Patra akhirnya masuk. Nayana membuka isinya dan mengunduh kiriman foto yang tidak akan jelas gambarnya tanpa diunduh.
"Oh, My God!" seru Nayana.
Foto yang putrinya maksud rupanya adalah foto semi telanjang dirinya dan Patra!
"Astaga, Zaira!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top