Kedua Puluh Enam ; Ajang Debat

[Bab 39 sudah tayang di Karyakarsa, ya. Mari mampir yang terbiasa baca cepet🥳]

Nayana tidak menyiapkan diri untuk situasi semacam ini. Dia tidak pernah meminta bahwa Jefran—cinta monyetnya dulu, dan Patra—mantan suami yang dia cinta, bisa berada di satu tempat yang sama. Terlebih lagi, tempat mereka bertemu adalah rumah Nayana sendiri. Dengan seluruh kecanggungan yang tercipta, Nayana meminta Jefran untuk tak mengindahkan sikap Patra yang bisa dibilang sinis. Pria itu tidak repot-repot menunjukkan rasa tak sukanya pada Jefran, bahkan dengan mengabaikan jabatan tangan dan bersikap seolah pria itu sudah terbiasa masuk ke kamar Nayana. 

Demi apa pun, mereka tak pernah melakukannya di kamar Nayana. Khilaf yang kedua kalinya mereka lakukan di meja makan dan sofa! Jadi pria itu tak pernah mengacak-acak kamar Nayana. Hanya Nayana yang diacak-acak di tempat yang terkadang membuat mereka bingung sendiri kenapa bisa melakukannya di sana. 

"I thought he doesn't like me that much, huh." 

Nayana mengabaikan gumam Jefran. Dia membawa Zaira untuk menuju dapur dan menawarkan sarapan. Datang sepagi ini sudah pasti ada alasan khusus yang Zaira inginkan. Karena selama ini mereka selalu menghabiskan makan malam dengan masakan Nayana, yang disebut anak itu enak, maka Nayana bisa menyimpulkan bahwa Zaira juga ingin sarapannya berasal dari buatan sang mami. 

"Mami cuma bikin loti?" tanya Zaira. 

"Iya, mami nggak ada bahan masakan. Nanti mami belanja kalo ada tukang sayur lewat." 

Jefran memberikan tatapan penuh rasa tak percaya. "Jam segini nunggu tukang sayur? Kenapa nggak beli aja langsung?" 

Nayana menggelengkan kepalanya. "Aku belum bersih-bersih, belum mandi, dan masih banyak tugas menanti. Jadi, belanja nggak bisa aku lakukan secara mendadak."

"Kalo gitu biar aku yang belanja. Kamu catat aja, nanti kirim via chat." 

Nayana menatap penuh rasa curiga. Apa yang Jefran rencanakan dengan bersedia pergi belanja sendiri? Pria itu tidak sedang minder karena melihat Patra, kan?

"Kenapa harus buru-buru? Nanti aku juga bisa berangkat kalo emang tukang sayurnya nggak ada yang lewat komplek." 

"Aiya keburu bad mood kalo nggak kamu masakin. Aku nggak masalah pergi belanja buat bikin suasana hati princess kecil ini bahagia." 

Zaira suka dengan perhatian yang Jefran berikan. Dia tersenyum senang saat rambutnya diacak oleh pria itu. 

Oh, jadi ceritanya mau kelihatan jadi pria siap siaga? Nayana membatin, tapi tidak mempedulikannya. Kesediaan Jefran tersebut memang tak perlu dijadikan masalah yang terlalu serius. Ya, meski Nayana tahu motif Jefran, tapi dia tidak menganggapnya demikian. Bagi Nayana pria itu sedang berusaha bersikap baik pada Zaira. Terserah Jefran ingin melakukan apa, Zaira tak perlu melarang, karena itu diluar kuasanya. 

"Yaudah, aku kirim bahan apa aja yang perlu kamu beli." 

Jefran mengangguk dan bersiap keluar. 

"Om Jef, Aiya mau ikut!" seru Zaira. 

Nayana yang melihat itu langsung panik. Jangan sampai Zaira ikut pergi belanja, karena perempuan itu tak mau memiliki waktu berdua saja dengan Patra. Nggak lagi! 

"Zaira, kamu belum sarapan. Biar om Jef berangkat sendiri." 

Zaira melirik roti buatan maminya dan mengambil dengan cepat begitu turun dari kursi makan. 

"Aiya bisa makan di mobil sama om Jef, Mami." 

Belum sempat Nayana melarang, anak itu sudah berlari menuju Jefran dan meminta digandeng. "Babai, Mami! Aiya belanja dulu sama om Jef!" 

Pasrah. Nayana tidak memiliki kesempatan lagi untuk bisa menghalangi niatan sang putri. Kini, Nayana harus siap untuk berduaan saja di dalam rumah dengan Patra. 

*** 

Terlalu banyak pertanyaan di dalam kepala Jefran. Utamanya mengenai hubungan yang dijalani Nayana dan papinya Zaira. Melihat bagaimana interaksi keduanya, Jefran malah menjadi bingung. Galea menyarankan dirinya untuk mendekati Nayana dengan agresif, memberikan bunga dan hadiah-hadiah yang menurut Galea bisa disukai oleh Nayana. Namun, informasi Galea tampaknya juga salah. Hari ini bukan hari ulang tahun Nayana, ekspresi wanita itu tadi sudah menjelaskan segalanya. Tebakan Jefran juga sudah pasti tepat, teman kantor yang biasanya akrab itu sedang dalam mode perang. 

"Om Jef kenapa?" tanya Zaira lembut. 

Entah kenapa anak ini membuat Jefran menginginkan sosok baru dalam hidupnya. Seorang anak. Jefran yang tadinya merasa baik-baik saja dengan kesendirian, mendadak tergugah untuk membangun keluarga dan memiliki anak secerdas Zaira. 

Selain itu, sebenarnya Jefran juga menimbang pilihan mendekati Nayana karena tahu dulu gadis itu menyukainya. Nayana yang dulu hanya tetangga sekaligus teman main adik Jefran, kini menjelma menjadi wanita sukses yang pandai merawat diri. Lalu, rupanya memiliki buntut yang lucu dan mudah akrab dengan orang lain. Semakin kuat keinginan Jefran untuk mendekati Nayana, karena tahu fakta bahwa orang tua Zaira tidak tinggal di rumah yang sama, dan Jefran bisa menyimpulkan mereka tak lagi bersama. 

Terus kenapa tatapan mereka dalam banget tadi? 

"Omm? Om Jef?" Zaira menggoyangkan lengan Jefran untuk menyadarkan lamunan pria itu. 

"Hah? Eh, Aiya. Kenapa?" 

"Om Jef yang kenapa? Aiya panggil panggil nggak jawab. Om Jef lagi pusing kayak papinya Aiya, ya?" 

Jefran tertawa mendengar ucapan Zaira. Anak itu seolah memahami kondisi pusing papinya. Sungguh anak Nayana ini memang cerdas.

"Kok, ketawa?" tambah anak itu semakin bingung. 

"Kamu lucu banget, sih, Aiya. Om jadi pengen bawa kamu ke rumah aja." 

"Nggak boleh Om! Nanti papi Aiya sendilian, kasian. Papi belum ditemenin mami, jadi Aiya halus ada buat papi. Nanti kalo mami udah bisa temenin papi, Aiya janji main ke lumah Om Jef!"

Kegiatan Jefran memilih sayuran terhenti seketika. Dia tidak menyangka akan keluar kalimat seperti ini dari bibir Zaira. 

"Papi sama mami kenapa nggak tinggal bareng?" Jefran mencoba mengulik pertanyaan yang kemungkinan besar tidak akan bisa dijawab dengan benar oleh Zaira. 

"Kata onti Tita, kalena meleka dah pisah, dah celai. Katanya kalo olang celai nggak boleh tinggal di lumah yang sama."

Pertanyaan Jefran bisa dijawab dengan baik oleh bocah enam tahun itu. Keterkejutan semakin tercetak jelas di wajah Jefran. 

"Terus kenapa Aiya pengen mami temenin papi? Mereka, kan, udah pisah." 

"Kan, papi masih cinta sama mami. Foto-foto mami sama papi pas kuliah masih ada. Lucuuuu bangettttt! Aiya mau liat mami papi foto bedua lagi, foto yang lucu lucu lagi, terus ditambah sama Aiya, deh! Kata papi, olang yang pisah masih bisa balengan lagi. Calanya nikah lagi, kayak anak buah papi di kantol, nikah lagi telus tinggal baleng." 

Menurut Jefran, terlalu banyak informasi yang Zaira tangkap. Anak ini terlalu teliti menyerap ucapan serta kejadian di sekitarnya, makanya bisa menjawab dengan logis dan detail menjelaskan pada Jefran. 

"Jadi ... kamu nggak mau kalo punya papa baru?" 

Zaira langsung mengerutkan keningnya. Kedua alis anak itu naik dan memasang ekspresi tak senang. "Nggak mau!" 

"Terus kenapa kamu baik banget sama om?" 

"Soalnya om Jef baik sama Aiya. Om Jef juga temennya mami, jadi Aiya mau temenan sama om Jef juga." 

Jadi, selama ini sikap penuh persahabatan yang Zaira berikan karena merasa mereka harus menjadi teman? Anak itu memahami kedekatan mereka sebagai teman? Padahal hanya karena Jefran mengatakan teman lama Nayana, maka anak itu juga berpikir untuk bisa menjadi teman baik Jefran? Ya, Tuhan, Jef. Lo dianggap cuma teman, bukan kandidat papa barunya! 

"Kalo ada laki-laki yang mau deketin mami gimana?" tanya Jefran mencoba kembali. 

"Aiya nggak suka! Aiya mau liat papi mami balengan lagi. Aiya mau punya papi dan mami. Aiya nggak suka mami baleng cowok lain. Aiya sedih banget kalo mami nggak bisa baleng Aiya dan papi lagi." 

Jefran shock dengan apa yang didengarnya. Bukankah ini salah satu jenis penolakan mutlak dari seorang anak-anak? Apa Jefran harus tetap mengikuti keinginannya sendiri untuk mendekati Nayana, sedangkan Zaira tidak bersedia menerima sosok baru untuk menjadi pasangan maminya? 

Jefran sungguh pusing memikirkan hal ini. Sepertinya benar tebakan Zaira, Jefran menjadi pusing seperti papi anak itu yang entah memiliki beban pikiran apa. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top