Kedua Puluh Delapan

[Bab 40 udah siap kalian baca duluan, ya. Happy reading!]

Nayana bisa melihat langkah Jefran yang agak ragu memasuki rumah. Zaira sudah menangis di dalam gendongan pria itu. Sudah jelas bahwa hari minggu Nayana menjadi sangat kacau. Dia tidak melihat sosok Zaira yang ceria dan banyak bicara seperti biasanya, anak itu malah menangis dan menyembunyikan wajahnya di leher Jefran.

Tidak ada yang bicara, Jefran senantiasa terdiam dan mengusap punggung Zaira. Mau tak mau Nayana menghela napasnya berat dan memanggil nama anaknya. "Zaira—"

Jefran menghentikan apa pun niatan Nayana. Pria itu menggelengkan kepala melarang Nayana untuk bicara pada Zaira yang masih sibuk menangis.

"Om ... Jef ... antelin Aiya pulang?" ujar anak itu terputus-putus akibat tangis.

"Iya. Aiya nggak perlu cemas, Om anterin pulang. Om udah hafal alamat rumah Aiya."

Nayana melihatnya dengan bingung. Kenapa Zaira seolah mengabaikan keberadaan maminya itu? Seharusnya anak itu meminta antar Nayana, bukan malah Jefran. Dengan cepat Nayana bisa menebak bahwa Zaira yang melihat papinya pergi menjadi memiliki pemikiran buruk terhadap Nayana.

"Zaira, mami bisa antar kamu pulang."

Anak itu masih tak mau melepaskan diri, dia menggelengkan kepala di pelukan Jefran. Tak ada suara yang gadis itu keluarkan sama sekali. Sungguh ini adalah pertanda buruk bagi Nayana.

"Zaira??" panggil Nayana kembali, tapi anak itu malah menangis makin keras di dalam pelukan Jefran.

Secara perlahan Jefran meminta Nayana tidak menekan Zaira. Sekarang ini terlalu banyak pikiran berkeliaran di kepala pria itu, tapi juga tak bisa diatasi karena Zaira pasti lebih banyak merasakan emosi. Kondisi keluarga kecil ini memang ruwet, dan harusnya Jefran tidak menambah kerumitannya.

"Biar aku bawa Aiya ke kamar kamu, ya? Dia kayaknya terlalu kaget dengan kejadian hari ini."

Tidak ada yang bisa Nayana lakukan selain mengiyakan pendapat Jefran. Memaksa Zaira untuk bicara juga tak akan berakhir baik. Anak itu mungkin hanya akan menjadi pelampiasan emosi Nayana yang masih terkumpul karena tak ada Patra yang bisa menjadi ruang pelampiasan.

***

Jefran membawa tubuh gadis kecil itu untuk duduk di pinggir ranjang maminya. Akhirnya Jefran bisa melihat bagaimana wajah Zaira yang sedari tadi disembunyikan. Melihat anak sekecil ini menangis dan tidak tahu apa yang harus dilakukan membuat Jefran meringis pedih.

"Aiya kenapa nggak mau ngomong sama mami?" tanya Jefran lembut.

"Mami jahat," ucap anak itu tersedu.

"Mami jahat kenapa?"

"Mami bikin papi sedih, Om. Aiya tadi liat papi sedih. Makanya papi nggak mau liat Aiya. Papi juga nggak mau temenin main di sini. Mami pasti udah jahat sama papi."

Semakin mengenal Zaira, semakin banyak pula Jefran mengerti bahwa pikiran anak kecil tidak sesempit itu. Mereka bisa lebih jeli dalam menangkap sesuatu. Tidak heran jika sekarang Zaira memiliki pendapat demikian, dan cenderung lebih berpihak pada papinya. Anak itu sudah lebih lama dan terbiasa mengenal papinya lebih lama ketimbang bersama Nayana. Meski Jefran tak senang mendengar kata 'jahat' yang anak kecil itu sematkan, tapi kenyataannya anak-anak memang apa adanya dalam menilai seseorang.

"Aiya, ada waktu dimana papi dan mami nggak bisa bicara baik-baik. Ada waktunya papi dan mami harus bertengkar. Masalah orang dewasa terlalu banyak, dan terkadang mereka harus bicara keras."

"Tapi kita nggak boleh teliak teliak, kan, Om? Papi bilang halus selalu bicala yang baik."

"Iya. Yang papi dan mami lakukan itu salah. Nggak baik untuk ditiru, tapi manusia memang bisa marah dan nggak bisa ditahan. Kadang itu terjadi juga sama Om. Jadi, nanti kalo marahnya udah selesai, Om harus minta maaf sama orang yang Om marahin."

Zaira menatap Jefran dengan penuh pertanyaan. Tangis gadis kecil itu perlahan mulai hilang. "Belalti papi sama mami halus minta maaf?"

"Hm. Nanti kalo marahnya udah selesai, mereka harus minta maaf satu sama lain karena udah teriak-teriak."

"Aiya halus kasih tahu papi ... tapi Aiya nggak belani sama mami."

Jefran tertawa kecil dengan kalimat belakangan yang Zaira ucapkan. Rupanya bisa juga seorang Zaira merasa takut, padahal sejak pertemuan pertama mereka, Zaira adalah anak kecil yang penuh keberanian.

"Kalo gitu, nanti aiya harus ngomong sama mami. Aiya pulang dianterin mami, ya? Ngomong ke mami supaya jangan marah-marah lagi sama papi. Dan nanti di rumah Aiya ngomong ke papi buat bicara sama mami lagi, jangan marahan supaya Aiya seneng. Kamu seneng, kan, kalo mami sama papi akur?"

"Hum! Aiya mau mami papi balengan lagi!"

"Iya. Kalo gitu Aiya harus bantuin mami dan papi."

Kenapa gue malah bantuin mereka deket lagi? Jefran tak mengerti kenapa dia malah menjadi mendekatkan Nayana dan Patra dengan menyemangati Zaira. Namun, kata hatinya memang lebih senang jika melihat Zaira menjadi bahagia bersama orang tua lengkapnya.

***

Rumah masih berantakan, dan kini pikiran Nayana juga ikut berantakan. Hatinya mendadak kelabu karena pembicaraannya dan Patra berjalan buruk. Belum lagi Zaira yang tak mau bicara dengannya, semakin lengkap saja semua orang membuat Minggu perempuan itu menjadi gelap dan tak seceria biasanya.

"Aiya tidur dulu di dalam. Kayaknya dia kecapekan habis belanja."

Nayana menatap Jefran tak sepenuhnya percaya. Dia bisa merasakan bahwa Jefran menjadi sekutu yang baik dengan Zaira.

"Aku tahu dia nggak mau ngomong sama aku."

"Kenapa kalian para wanita selalu punya pikiran buruk, sih? Ini yang bikin hubungan kalian mudah memburuk sama orang lain. Kecurigaan yang terlalu menjerumuskan pikiran kalian sendiri."

Nayana menyipitkan matanya dan membalas Jefran dengan ketus. "Dan kalian para lelaki adalah makhluk paling cuek dan nggak peduli dengan perasaan perempuan! Kalian sibuk menjalani hidup seolah nggak terjadi apa-apa. Bahkan habis kalian bohong, kalian bisa bersikap biasa aja!"

Jefran mengangkat kedua tangannya, bersikap seolah dia adalah tawanan. "Aku nggak mau terseret dalam beban emosi kamu sendiri. Masalah kamu dan papinya Aiya, jangan libatkan aku ke dalamnya. Tapi kali ini aku mau bicara serius," kata Jefran.

"Apa yang mau kamu bicarakan?"

"Apa kamu memang sengaja melakukannya?"

"Apa?"

"Mempertahankan dua pria yang menyukai kamu. Membiarkan kami larut dalam kesempatan yang kamu berikan?"

Jefran bisa memastikan balasan penuh rasa tak terima yang akan Nayana luapkan, tapi pria itu sudah lebih dulu bicara.

"Oke, aku nggak mau membahas itu. Intinya aja langsung. Kamu mau denganku atau nggak? Kamu suka aku atau nggak? Jawab aja dengan singkat, nggak perlu kalimat panjang karena merasa nggak enak hati."

Nayana menghela napasnya dan mengurut kening. Sikap perempuan itu seakan hanya dia yang sedang frustrasi dan satu-satunya pihak yang memiliki masalah paling berat. Padahal Jefran bisa dikatakan lebih frustrasi dengan posisinya sekarang.

"Aku nggak pernah minta kamu suka denganku. Aku juga nggak bisa mengendalikan perasaan orang lain kalo memang suka ke aku—"

"Oke, berarti jawabannya nggak. Kan, aku udah bilang kamu nggak perlu menjawab dengan kalimat panjang."

"Terserah Bang Jef, deh! Yang jelas aku nggak memanfaatkan atau mempermainkan kalian. Aku cuma nggak mau mengatur urusan perasaan orang lain!"

Jefran mengangguk mantap. "Iya, iya. Aku paham. Kalo gitu aku harus pulang sekarang."

Nayana menaikkan pandangan untuk menatap Jefran. "Bang Jef udah janji buat anter pulang Zaira tadi."

"Aiya udah aku kasih penjelasan, dan dia nggak keberatan untuk kamu yang antar pulang. Nggak ada alasan lagi buatku di sini. Aku nggak mau semakin salah paham sama tetangga yang kata Yumi punya perasaan ke aku. Dari pada aku malah makin terjerumus, lebih baik dihentikan sesegera mungkin."

Tak ada yang Nayana katakan. Perempuan itu sibuk dengan isi pikirannya sendiri.

"Kalo boleh aku kasih saran, jangan hanya berfokus pada kesalahan seseorang. Kita sama-sama manusia yang suka bikin salah. Fokus perbaiki apa yang bisa diperbaiki mulai sekarang."

Setelah mengatakan hal itu, Jefran pergi tanpa menoleh. Pria itu tampaknya juga tak baik-baik saja dengan jawaban Nayana tadi.

"Sial!" maki Nayana sendiri.

Hari liburnya kali ini malah menambah beban pikiran. Padahal Senin dia harus menghadapi hari kerja yang tak mudah. Tapi semua ini bukan salahku, kan? Ini salah—

Nayana berhenti bicara di dalam hati. Dia perlahan ingat ucapan Jefran. Apa benar jika dirinya terlalu sibuk menyalahkan orang lain dan malah membuatnya terlihat tak dewasa sama sekali? Apa benar Nayana tak didewasakan keadaan sejauh ini? 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top