Kedua puluh ; Bagaimana Bisa?

[Bab 31 sudah tayang duluan di Karyakarsa, ya. Silakan mampir yang udah gak sabar baca kelanjutan kisah papi Patra dan mami Nayana.😊]

Kamar yang digunakan oleh Nayana adalah kamar Pratista. Harusnya itu hal yang tidak berpengaruh besar pada perempuan itu. Harusnya tak banyak kenangan yang bisa menjarah isi kepalanya sekarang. Namun, semuanya berbanding terbalik. Mungkin karena bentuk ruangannya hampir mirip, Nayana menjadi emosional dan menitikkan air mata. 

Bodoh. Harusnya dia tidak terbawa perasaan seperti ini. Harusnya dia segera pergi dari rumah itu dan kembali beraktivitas seperti biasa. Sudah berulang kali Nayana memperingatkan dirinya sendiri, bahwa berlama-lama di rumah Prata hanya akan membuatnya merasakan de javu. 

Tangisan Nayana sepertinya juga terdengar oleh Patra hingga pria itu masuk dan mendapatinya bingung. 

"Ay? Kenapa? Ada apa?" 

Nayana tidak bisa mengatakan apa pun. Dia yakin bahwa enam tahun lebih sudah cukup membuatnya sembuh. Namun, ternyata dia hanya berlari dan mengkhianati diri sendiri saja. Dia tidak tahu bahwa kembali menapaki kaki di rumah itu masih menyisakan luka. 

"Ay ... aku harus apa supaya rasa sakit kamu hilang? Atau paling nggak, membuatnya berkurang. Bilang sama aku, apa yang harus aku lakukan, Ay?" 

Cinta yang mereka miliki memang begitu besar. Nayana tahu Patra berubah. Pria itu menunjukkan perasaannya yang sungguh-sungguh saat mereka menjadi kekasih. Nayana percaya bahwa perasaannya memang berbalas. Tidak ada yang palsu dengan tatapan cinta yang Patra berikan. Namun, satu fakta yang didengarnya membuat Nayana tak lagi percaya.

"Kamu membuat aku jatuh cinta sebesar ini sama kamu, tapi kenapa kamu kasih luka yang lebih besar??" ucap Nayana dengan suara bergetar. 

Patra menatap mantan istrinya itu dengan putus asa. Hal yang sama juga Patra tanyakan pada dirinya sendiri. Kenapa dia bisa mencintai Nayana sebesar ini sampai lupa tujuan awalnya mendekati perempuan itu. Patra juga kecewa pada dirinya sendiri yang tak bisa mengakhiri permainan bodohnya dan malah terjerumus pada perasaannya. Padahal, jika dia lebih dulu memutus belitan hatinya untuk Nayana, itu akan lebih baik. Nayana setidaknya tak perlu terlalu menderita karena harus mengandung dan diasingkan di rumah ini. 

"Aku memang bajingan, Ay. Aku mempermainkan perasaan kamu. Niatan awalku mendekati kamu juga salah. Nggak heran Tuhan menghukum aku dengan semua ini." 

Nayana menggelengkan kepalanya. "Kamu merasa sudah mendapatkan hukuman? Mengurus Zaira adalah hukuman buat kamu?" 

"Bukan. Hukumanku adalah mencintai kamu lebih besar dari yang kamu kira. Aku dibuat terjatuh sangat dalam, dan aku juga nggak bisa memiliki kamu. Aku mencintai kamu yang aku anggap biasa aja diawal. Aku mencintai kamu dan aku dipaksa menelan kenyataan kalo aku juga sudah menyiksa perempuan yang aku cinta. Lebih jauh lagi, aku menyakiti putri kita. Buah cinta kita. Karena aku nggak bisa memberikan keluarga utuh untuknya sejak dia berada di kandungan."

Nayana tenggelam dalam tangis. Pelukan Patra tak lagi dihiraukan. Sebab rupanya, dia nyaman dengan kehangatan ini. Ternyata Nayana merindukan pelukan yang bisa memberikan energi bagi tubuhnya ini. Dia tidak pernah tahu bahwa perasaannya bisa merasakan damai saat berpelukan dengan Patra. 

"Aku benci kamu, Patra." 

"Aku tahu. Aku tahu kamu sangat membenci pria ini. Aku nggak akan meminta kamu melupakan kebencian dan masa lalu kita. Aku hanya mau kamu menerima Aiya. Berikan cinta yang masih tersisa untukku buat Aiya. Aku nggak akan menuntut apa pun lagi—" 

Nayana meraih wajah pria itu, menciumi bibirnya dengan kuat. Menyalurkan emosi yang luar biasa membingungkan. Ada benci, cinta, rindu, dan ingin bersama. Merasakan Prata yang tak kunjungi membalas, Nayana memperdalam ciumannya dan mulai menggerakan bibir. Tangan Patra yang semula mengambang di udara menahan diri tak menyentuh bagian tubuh manapun mulai terasa mengusap punggung Nayana. Perlahan, remasan di pinggul Nayana membawa mereka merebahkan diri di atas ranjang gadis Pratista.

Tenggelam dalam setiap sentuhan, Nayana melingkarkan kedua tangannya di punggung lebar Patra. Tanpa melepaskan ciuman, perempuan itu meremas rambut sang mantan. 

Prata menahan gerakan bahaya lebih lanjut, dia memberi jarak pada wajah mereka dengan tatapan menggelap pada Nayana. 

"Aku nggak mau kamu menyesali ini, Ay." 

Nayana yang berusaha mengatur napasnya menatap Patra dengan sama gelapnya. Saat merasakan Patra akan pergi, perempuan itu segera bergerak lebih dulu menyatukan bibir mereka kembali. Untuk kali ini, Nayana tak ingin peduli dengan apa pun. Dia butuh Patra. Ya, dia hanya butuh fisiknya dipuaskan oleh Patra. Hanya itu. 

***

Jam kerja sudah habis. Jefran yakin sekali bahwa waktu itu Nayana keluar dari kantor sekitar jam ini. Pria itu sengaja menunggu di depan kantor, bukan di parkiran untuk mencegah kepergian Nayana nantinya. Dia akan berusaha mengajak Nayana menghabiskan waktu bersama Zaira yang sudah akrab dengannya. Ya, Jefran sangat yakin anak itu sudah nyaman dengannya. Tidak membutuhkan waktu yang lama bagi Zaira dan dirinya bisa dekat. Ini pertanda yang bagus, bukan? 

Hingga beberapa menit berjalan, mobil Nayana tidak terlihat juga. Justru Galea yang terlihat menatap ponselnya seperti tengah menunggu sesuatu. Setahu Jefran, Galea adalah teman dekat Nayana di kantor, jadi pria itu akan mencoba mencari informasi mengenai Nayana dari sang teman itu. 

Tin tin. Jefran membunyikan klakson dan menurunkan kacau mobilnya segera. 

"Loh? Bang Jef?" sambut Galea antara bingung dan senang. 

"Kamu nunggu Nayana?"

Galea menggeleng. "Nggak, aku lagi nunggu gojek. Nayana, kan, nggak masuk. Bang Jef nggak tahu?" 

Jefran tidak mau mengabaikan informasi ini. Dia menggunakan kesempatan ini untuk bisa menggali fakta lainnya mengenai Nayana dari Galea. 

"Cancel aja gojeknya. Kamu pulang sama saya." 

"Hah? Tapi kasian gojeknya, Bang Jef." 

"Kalo gitu tunggu dia sampe sini. Biar nanti saya ganti ongkos kamu." 

"Jangan, Bang Jef!" 

Jefran yang tak sabaran langsung memastikan mesin mobil dan turun. Dia ikut menunggu di samping Galea hingga driver sampai dan menyebutkan nama Galea. 

"Mbak Galea, ya?" 

"Eh, iya, Pak."

"Ini helm-nya, Mbak." 

Jefran menahan helm itu lebih dulu. "Nggak perlu, Pak. Mbak Galea-nya pulang sama saya. Ini, sebagai gantinya." 

"Tapi mbaknya udah bayar via gopay, Mas." 

"Nggak apa-apa, biar nanti itu jadi urusan saya sama mbak Galea-nya." 

Jefran terlihat tak sayang sama sekali mengeluarkan yang dua ratus ribu sebagai permintaan maaf. Padahal, menurut Galea tak perlu melakukan hal semacam itu. Sebab Galea juga tetap membayar via aplikasi.

Mereka berdua akhirnya berangkat menggunakan mobil Jefran. Pria itu terlihat sangat karismatik ketika mengemudi dengan lengan kemeja yang dinaikkan hingga siku. Galea tidak bisa menyalahkan Jefran yang terlihat sangat keren. Yang salah adalah pandangan Galea yang tak tahu diri. Gal, tahu diri please! Jefran sukanya sama Nayana! 

"Bang Jef, maaf banget malah jadi hutang. Aku ganti nanti, ya. Aku belum ada cash—"

"Santai, Galea. Don't worry. Saya yang salah maksa kamu pulang bareng saya." 

Galea tidak melanjutkan basa basi mengenai gojek lagi. Dia langsung membahas mengenai Nayana yang semula menjadi pertanyaan pria itu. Pasti pria itu sudah penasaran dengan alasan tidak masuknya Nayana hari ini. 

"Nayana hari ini ambil cuti. Katanya mau ada acara sama seseorang." 

"Sama anaknya maksudnya?" terang Jefran. 

"Loh? Bang Jefran tahu?" 

Jefran tertawa, dan lagi-lagi Galea mengutuk suara tawa pria itu yang enak sekali di telinga. 

"Tahu, kok. Saya udah makan malam dua kali sama Aiya." 

Galea mengangguk santai. "Udah sedeket itu ternyata, ya. Nggak perlu repot lagi kalo gitu, Bang. Kalo anaknya udah nyaman, berarti gampang deketin ibunya." 

Jefran mengerutkan kening. "Dan kamu tahu niatan saya?" 

"Bang Jefran, nenek-nenek yang menjanda aja tahu gestur laki-laki kalo Bang Jef naksir sama Nayana. Masa aku nggak?" 

"Kayaknya kamu terlalu peka, bahkan Nayana aja nggak paham juga. Dia malah kesannya minta saya pergi." 

"Hm, gitu? Berarti Bang Jefran harus lebih keras berusaha. Lagian nggak ada penolakan dari anaknya Nayana juga, kan?" 

Jefran mengiyakan dan Galea hanya memberikan semangat untuk pria itu. 

"Kalo gitu jangan nyerah. Aku doain supaya berhasil." Ya, laki-laki kayak Jefran pasti sukanya sama perempuan cantik aja. 

Untungnya Galea sudah berpengalaman diabaikan dan dianggap tidak atraktif di mata lawan jenis. Jika ada lelaki yang tertarik padanya di kelab, itu hanya karena si pria memiliki fetish terhadap perempuan yang lebih berisi saja. 

"Thanks, Gal. Kayaknya saya harus sering main sama kamu supaya saya tahu soal Nayana yang sekarang." 

"Aduh, jangan!" 

Jefran terkejut dengan respon Galea yang sangat cepat itu. 

"Kenapa?" 

"Nanti aku yang baper, hehe." 

Jefran ikut tertawa sembari menggelengkan kepala. "Ada-ada saja kamu ini, Galea." 

Yeuhhh, dibilangin malah dikira bercanda! Dasar pria ganteng!

Tapi ya, sudahlah. Galea tidak peduli dengan niatan pria itu. Yang penting Galea sudah memberi batasan pada dirinya sendiri untuk tak terlalu sering memandang aura karismatik Jefran yang sudah kepala tiga malah bertambah menggiurkan. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top