Kedelapanbelas ; Izin

[Bab 29 sudah tayang duluan di Karyakarsa, ya. Silakan mengamati drama emosyenel papi Patra dan mami Aya.]

Patra tidak menyulitkan izin bagi Zaira untuk menginap di rumah Nayana. Dia tahu bahwa sudah saatnya momen seperti ini terjadi. Zaira sangat mendamba kehadiran maminya selama ini. Anak itu bahkan selalu diam-diam mengamati anak lain ketika berada di supermarket yang belanja bersama ibunya. Patra akui putrinya terlalu dewasa untuk ukuran anak-anak yang tak paham dengan situasinya. Itu sebabnya Patra juga tak pernah berusaha 'mematikan' keberadaan Nayana. Dia menceritakan mengenai Nayana yang dikenalnya sejak kuliah. Zaira selalu suka mendengarkan cerita mengenai maminya itu. 

Berbeda dari Patra yang tak pernah keberatan dengan Zaira berada di tangan ibunya sendiri, Pratista yang sudah tak cocok dengan Nayana sejak awal langsung menjadi heboh mengeluarkan banyak kemungkinan buruk. 

"Ta, bisa diem sebentar nggak? Kamu dateng jam segini ke kantor cuma buat bikin kepalaku pusing?" 

Selama ini, jika Patra mau tak mau harus ke kantor, maka dia akan menitipkan Zaira pada Pratista. Namun, karena hari ini dia masuk kantor tanpa menitipkan Zaira, tentu saja adiknya itu langsung curiga. 

"Kak Patra itu terlalu baik! Dari dulu selalu ngalah sama perempuan itu! Dia pergi dan datang sesuka hati, dan sekarang mencoba mengambil Aiya dari kita!" 

"Berapa kali aku harus jelasin ke kamu? Bukan aku yang mengalah, selama sembilan bulan dia nggak punya kehidupan. Dia mengorbankan segalanya. Bahkan dia diabaikan keluarganya sendiri karena keegoisan aku menuruti perintah mama. Dia nggak bisa lanjutin kuliah, nggak punya hidup yang normal, bahkan ngobrol sama orang lain aja nggak pernah! Kenapa sulit sekali bagi kamu untuk bersikap baik ke Nayana? Apa kamu sebagai perempuan harus menjatuhkannya terus menerus?" 

Pratista diam. Bukan karena dia mau mengerti penjelasan kakaknya, tapi karena Patra yang mengucapkannya dengan keras. Pratista tahu kakaknya sedang marah, dan ketika Prata bersikap demikian, memang lebih baik untuk tidak gegabah membantah pria itu.

"Jangan sampai aku lebih marah dengan sikap kamu ini, Ta. Aku nggak memaksa kamu minta maaf ke Nayana atas sikapmu selama kehamilannya yang dingin ikut-ikutan mendiang mama. Jadi, jangan paksa aku bersikap lebih keras sama kamu."

"Aku begini karena aku sayang sama Aiya, dan aku peduli dengan kakak. Aku nggak suka melihat kakak terpuruk karena perempuan itu." 

Patra menghela napasnya dan mengangguk. "Aku tahu itu. Terima kasih untuk kepedulian kamu. Tapi jangan merendahkan Nayana atau berkata buruk soal dia. Jangan sampai sikap kamu ini bikin Nayana memilih pergi lagi dan bikin Aiya kecewa karena nggak mendapatkan kesempatan deket sama maminya. Biarkan mereka punya waktu berdua. Oke?" 

Pratista masih menunjukkan ekspresi tak setuju, tapi tidak ada penolakan lain yang bisa dilakukannya karena Prata sudah menentukan sikap. Memberikan izin bagi Nayana untuk masuk ke dalam kehidupan pria itu adalah salah satu keputusan yang tidak bisa Pratista halangi lagi. Apalagi dengan alasan supaya Zaira tidak kecewa kehilangan ibunya. 

"Yaudah, karena Aiya sama maminya. Kak Patra bisa ikut aku makan siang, kan?" 

Kening pria itu berkerut, dia memikirkan kemungkinan rencana yang sedang adiknya rangkai. "Nggak bisa. Aku harus menyelesaikan kerjaan kantor supaya besok aku nggak perlu ke sini." 

Pratista memutar bola matanya kesal dengan penolakan kakaknya itu terus menerus. "Kakak nggak disini pun, Taraga juga tetap bisa urus semuanya."

"Justru aku hari ini datang ke kantor karena Taraga nggak bisa handle sendiri. Kamu nggak usah mengacaukan urusan kerja kakak kamu ini, oke?"

Pratista merasa diabaikan ketika kakaknya sudah larut dalam dokumen-dokumen itu. Jadi, dia memilih berdiri dan menciumi pipi Patra cepat. 

"Oke. Aku nggak akan paksa hari ini, tapi aku akan tetap berusaha di waktu yang lain sampai kak Patra bisa kenal perempuan lain dan kasih Aiya ibu baru yang lebih berkompeten!" 

Pratista tidak menginginkan ada penyangkalan dari kakaknya terdengar telinga. Jadi, perempuan itu lebih cepat pergi dan menganggap Patra mengiyakan idenya itu. Pratista bersikeras bahwa kakaknya harus mengenal perempuan lain supaya tidak stuck di satu perempuan yang sudah lama meninggalkannya itu. 

***

"Hihihi, Mami geliiiii!" 

Zaira memiliki waktu yang tidak bisa dibandingkan dengan apa pun. Dia merasakan hatinya berjalan dengan baik, bahkan sangat membahagiakan, karena sejak semalam dia mendapatkan kesempatan memeluk tubuh sang mami. Iya, memeluk tubuh maminya menjadi hal yang sangat membuatnya bahagia. 

Bagi Zaira, memeluk tubuh maminya jauh berbeda dari memeluk sang papi. Seperti pernyataan yang diberikan anak itu saat terbangun dia bilang, "Mami anget! Empuk juga."

"Hah? Apanya yang anget dan empuk?"

"Badannya." 

"Emangnya papi kamu nggak pernah meluk? Kenapa kamu bilang badan mami anget dan empuk?"

"Papi seling peluk, tapi badannya kelas! Tulangnya banyak. Kalo mami enak. Dadanya empuk, nggak kayak papi tukang aja."

Dan Nayana hanya bisa tersedak dengan ucapan anaknya yang terlalu jujur di pagi hari itu. Serta sekarang, dia harus mengajari Zaira untuk membersihkan tubuhnya dengan benar sampai anak itu geli sendiri area tubuhnya dibersihkan oleh sang mami. 

"Mandinya jangan ngasal, Zaira. Mandi apa kamu? Dari tadi mami lihat, kamu cuma gosokin perut doang. Ini leher, ketek, sampai lipatan kaki nggak kamu gosok. Jorok." 

"Hihi, iya mami. Tapi geliiii." 

Nayana tidak mendengarkan putrinya yang malah senang dan kesannya bercanda. Padahal sekarang ini Nayana sedang mengajari anak itu supaya terbiasa mandi dengan bersih. 

"Papi kamu kalo mandiin gimana, sih?!" omel Nayana tanpa menatap wajah anaknya.

"Papi belhenti mandiin Aiya waktu umul lima. Aiya mandi sendili. Tapi papi nggak bilang ketek belsihin, gitu mami." 

Zaira memang cerdas untuk mengetahui terakhir kali dirinya dimandikan oleh sang papi. Namun, yang membuat Nayana langsung tak tega adalah tidak telitinya seorang ayah mengurus seorang anak. Membiasakan anak mandi sendiri memang mengajarkan kemandirian, tapi tanpa pengawasan sama saja salah. Apa ini efek dari tiadanya sosok ibu di rumah?

"Mulai besok, mandinya harus yang bersih. Ingat mami mandiin sebersih ini, oke? Sekarang kamu juga harus sikat gigi, ini, udah mami siapin sikat gigi baru. Pelan-pelan, jangan sampai gusinya luka. Mami ambil handuk baru dulu." 

"Oke. Aiya bisa sendili cuci gigi, Mami."

"Sikat gigi, bukan cuci gigi. Ngomongnya yang bener." 

"Iya, Mami, sikat gigi. Aiya ngelti, kok. Aiya anak pintel." 

Nayana menggelengkan kepala pelan dan meninggalkan anaknya sebentar. Dia sungguh tak menyangka bisa menikmati momen seperti ini yang meskipun melelahkan entah kenapa juga menyenangkan. Apa ini? Kenapa jantungku berdebar lebih kencang? 

Nayana merasakan dorongan untuk bersama dengan Zaira. Padahal tujuan utamanya adalah membuat anak itu bergantung padanya dan meninggalkan papinya. Namun, kenapa rasanya ia tak tega melakukan hal itu? 

"Mami?? Aiya udah selesai sikat giginya, mana anduknya?" 

Mengusap wajahnya, Nayana mengalahkan isi pikirannya. 

"Iya, ini handuknya." 

***

Nayana mau tak mau menunggu lebih dulu kedatangan Patra. Dia sudah membuat janji dengan pria itu untuk makan siang bersama. Sesuai dengan permintaan Zaira sejak pagi. 

"Papi mana, sih? Lama banget." 

Nayana mendapati putrinya itu sudah mulai bad mood di kursi penumpang belakang. 

"Papi kamu katanya berangkat dari kantor, jadi agak lama. Mami kirain papi kamu nggak kerja, makanya ajak ketemu di sini. Apa kita langsung ke restorannya?" tanya Nayana meminta pendapat putrinya. 

"Jangan, kasihan papinya."

"Tapi kamu marah-marah dari tadi." 

"Nggak jadi malah, kok. Kita tunggu in papi aja, ya, Mami?" 

Nayana mengangguk dan mengecek ponselnya kembali. Dia akan menghubungi nomor Patra, tetapi jendela mobil sudah lebih dulu diketuk. 

"Itu papi!" seru Zaira.

Nayana membuka pintu mobilnya dan Patra duduk di kursi samping kemudi. "Maaf, ya. Papi telat." 

"Kamu naik ojek?" tanya Nayana. 

"Iya, biar lebih cepet." Patra baru bisa mengamati Nayana setelah lebih santai. "Kamu nggak pake baju kerja, kamu nggak dari kantor, Ay?" 

Meski tak suka dengan panggilan lama itu, tapi Nayana enggan mempermasalahkannya lagi. 

"Aku cuti," jawab Nayana sembari menjalankan mobil. 

"Aku kira kamu bawa Aiya ke kantor kamu."

"Nggak, kantorku nggak ramah anak. Lagi pula, aku pengen punya waktu satu hari full sama Zaira. Dari kemaren-kemaren cuma habisin waktu makan malam aja, jadi aku hari ini bakalan habisin waktu seharian sama Zaira." 

Patra baru sadar jika panggilan Nayana untuk putri mereka tak menggunakan nama yang disukai oleh Zaira sendiri. Tapi anehnya anaknya tidak marah ketika berulang kali maminya memanggil dengan nama 'Zaira' dan bukan 'Aiya'. 

"Aiya nggak bandel sama mami, kan?" tanya Patra seraya menoleh ke belakang.

"Nggak, dong. Mami aja nggak malah. Iya kan Mami?" 

"Nggak. Mami nggak akan marah sama Zaira, karena mami cuma marah sama orang yang bikin hidup mami menyedihkan aja." 

Patra tahu sindiran itu untuknya. Meski begitu dia tak ingin menanggapi. Terlepas dari kemarahan perempuan itu yang belum juga reda, Patra akan berusaha tak menimbulkan kemarahan yang lain. Dan dia tak akan merusak momen mereka bertiga makan siang untuk pertama kalinya ini. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top