Kedelapan ; Mami Aiya
[Sudahkah kamu membaca bab 16 duluan malam ini? Karena Zaira makin bikin gemesss, loh!]
Setiap mimpi yang hadir di dalam tidur Nayana, semuanya didominasi oleh gambaran masa lalunya yang menyakitkan. Mungkin karena dia terlalu sering memikirkannya di alam bawah sadar hingga dia selalu memimpikan hal yang sama. Luka yang dibentuk akibat kisah masa lalu masih menyandera sebagian ingatannya, dan bukan hal mudah untuk melupakannya. Apalagi kejadian yang saat itu membuat Nayana malu sekaligus tertekan bukan main.
"Bikin malu!" hardik ibu Patra.
Setelah berhasil membuat ibunya datang ke rumah kos Nayana, wanita yang terlihat sangat mandiri itu tidak membutuhkan waktu lama untuk membawa pasangan yang menyebabkan masalah itu ke rumah.
Nayana sudah siap jika dikatai buruk, juga sudah siap untuk mendengar makian dari wanita yang melahirkan Patra itu. Asal tidak ada paksaan lebih jauh seperti yang Patra lakukan.
"Aku minta maaf, Ma. Aku yang bersalah di sini."
"Kalian berdua sama salahnya! Gimana bisa kalian merasa leluasa untuk melakukan hal yang nggak seharusnya dilakukan?! Konsekuensi dari hubungan seks adalah kehamilan, dan kalian nggak mikir jauh untuk hidup kalian?!"
Nayana tidak berniat untuk membalas ucapan apa pun dari wanita itu. Dia membiarkan Patra yang sibuk menanggapi kemarahan ibunya. Sebab saat ini daya pikir Nayana sudah habis, serta fisiknya sudah sangat lelah untuk melayani drama ini.
"Kamu!" seru ibu Prata pada Nayana. "Kamu sebagai perempuan maunya apa?! Kenapa kamu dari tadi diem aja? Kamu nggak bisa tegas sedikit pun untuk menentukan hidup kamu, ya?! Mana juga orang tua kamu? Apa nggak ada yang tahu kalo kondisi kamu lagi begini??"
Nayana menatap ibu Prata itu. Dari suasana yang tegang ini, Nayana bisa merasakan ketegangan mantan kekasihnya itu. Lelaki yang terlihat sangat patuh pada ibunya itu sedang cemas menunggu respon Nayana yang sedang ditanya oleh ibu sang mantan kekasih.
"Saya nggak ingin mempertahankan bayi ini. Saya nggak berniat memberitahu kondisi saya ke keluarga. Karena dari awal saya mau menghilangkan janin ini. Anak tante aja yang sok pahlawan mau tanggung jawab. Padahal dia udah mempermainkan hubungan kami dari awal. Harusnya anak tante nggak bersikap—"
Satu tamparan mendarat di pipi Nayana sangat keras. Bunyi yang tercipta dari tamparan seorang wanita yang sudah melalang buana menyerap pengalaman hidup dari zaman ke zaman memang sangat berbeda.
"Mama!" seru Patra kalah cepat dari tamparan ibunya.
Tidak ada yang bisa melawan wanita itu, bahkan Patra juga dalam kondisi terdesak. Jika tidak bersikap dengan baik, bisa-bisa malah rencana Patra tak terealisasi.
"Saya tadinya nggak mau menghina keluarga kamu, tapi melihat sikap kamu yang kurang ajar ini saya jelas harus menjelek-jelekkan mereka! Kualitas ucapanmu ini menunjukkan seberapa bobroknya orang tua kamu mendidik kamu!"
Nayana mendengkus di depan wanita itu. Tak peduli lagi dengan perih di pipi. "Siapa yang bilang mereka mendidik saya? Nggak ada. Tante ini sok tahu, ya. Terserah tante juga kalo mau menjelekkan keluarga saya, karena saya sendiri nggak tahu pihak mana yang harus saya akui sebagai keluarga."
Ibu Patra terlihat sangat kesal. Tatapannya beralih pada Patra yang berusaha menyentuh bahu Nayana tapi selalu ditolak.
"Patra, kamu yakin akan bertanggung jawab sama perempuan seperti ini?! Dia udah bilang bakalan gugurin kandungannya, kamu bisa lepasin dia sekarang! Mama nggak setuju kamu tanggung jawab buat perempuan kasar dan nggak tahu diri!"
"Mama salah. Nayana nggak seperti itu. Dia cuma lagi kalut, Ma. Lagi pula, kenapa mama jadi mendukung rencana khilaf Nayana? Apa mama nggak pikirin anak yang dititipkan Tuhan ini?"
"Nggak usah bawa-bawa Tuhan, Patra. Kamu ngomong begini seolah kamu laki-laki yang nggak berbuat dosa aja. Aku pengen ketawa dengernya."
Nayana memang sepertinya sengaja memancing amarah ibu Patra agar bisa terbebas dari paksaan menikah. Namun, Patra tidak ingin hal itu terjadi. Apa pun kekacauan yang disebabkan oleh mereka berdua, Patra akan menjaga anak itu hingga dewasa kelak. Patra tak ingin membunuh darah dagingnya sendiri.
"Ma, abaikan aja ucapan Nayana saat ini. Aku mohon bantu aku dan restui aku menikahi Nayana, Ma. Bantu kami untuk melahirkan bayi nggak berdosa ini ke dunia. Bantu kami supaya nggak semakin salah jalan, Ma. Please."
"Saya nggak mau, Tante. Saya nggak mau menikah."
"Ma, jangan dengerin—"
"Bawa perempuan ini ke kamar tamu, jangan biarin dia kabur. Mama akan urus pernikahan dan walinya. Karena dia kayaknya nggak punya keluarga yang jelas, kita pakai wali nikah bayaran aja. Setelah itu, dia nggak bisa bertindak semena-mena. Mama mau kamu pastikan dia nggak pergi kemana pun supaya kehamilannya nggak tersebar."
Dan itulah awal dari penyiksaan yang Nayana rasakan. Dia selalu menangis sejak saat itu, bahkan hingga kini. Disaat mimpi itu terasa nyata membawa Nayana ke masa lalu, dia menangis tersedu-sedu. Kepalanya memang pusing karena hal seperti ini, tapi apa yang bisa dilakukannya tanpa mengeluarkan emosi melalui tangisan? Tidak ada.
Oh, atau mungkin ada? Pergi ke pub, contohnya. Bukankah Nayana bisa menghabiskan waktu untuk mabuk sebentar dan kembali pulang untuk istirahat dan melupakan kejadian buruk itu?
"Ya, gue bisa pergi ke pub dan minta tolong Galea nemenin gue."
Mengambil ponselnya dan berusaha menghubungi teman kantornya itu, Nayana mendapati balasan yang diinginkan. Mereka akan bertemu di mal lebih dulu untuk memenuhi kebutuhan Galea akan camilan sebelum benar-benar menghabiskan malam awal mereka hingga tengah malam menjelang.
Tak membutuhkan waktu lama untuk mereka berdua masuk ke dalam mall dan menuju pusat perbelanjaan yang ada. Nayana hanya mengikuti kemana Galea pergi, mengambil suatu barang jika memang merasa memerlukannya saja.
"Ini ada masalah apa lo ajak gue minum?" tanya Galea.
"Biasalah, pengen aja."
Galea selalu melemparkan tatapan curiga pada Nayana. Namun, tidak ada satu kalimat penjelasan yang akan keluar dari bibirnya karena memang tak ingin ada orang lain yang tahu mengenai masalah hidupnya.
"Lo selalu jadi orang misterius, tahu!"
"Yang penting gue bukan kriminalitas."
"Ya, ya, ya. Yang penting lo yang bayarin gue."
Mereka berniat berjalan menuju kasir, tapi langkah keduanya terhenti karena teriakan seorang anak kecil yang nyaring.
"Mami!"
Mereka berdua tidak merasa terpanggil sebagai 'mami', tapi mereka menoleh karena merasa terdistraksi saja.
"Mami Aiya!"
Deg!
Seketika saja jantung Nayana seolah berhenti berdetak. "Nay? Kok, muka lo pucet? Kenapa?"
"Mami Aiya! Tunggu!"
Berakhir sudah masa-masa sembunyi Nayana, mau tak mau dia harus menghadapi kenyataan bahwa Zaira pasti akan mencarinya. Dan itu terjadi saat ini.
"Mami!"
Tangan Nayana disentuh oleh tangan mungil Zaira yang kini mendongak dan meminta atensi perempuan itu. Bagaimana mungkin anak itu ada di tempat yang sama dengan Nayana? Ini bukan kebetulan, kan? Jika memang kebetulan, kenapa harus serapi ini?
"Mami? Dia ... lo punya anak, Nay? Eh, nggak mungkin, nggak mungkin! Lo, kan, single. Iya, kan, Nay?" Galea bertanya dengan wajah terkejut.
"Ini mami Aiya! Tante siapa?? Aku anak mami Aiya!"
Oh, rupanya Zaira memiliki spontanitas yang luar biasa bagus. Namun, sayangnya Nayana tidak memiliki kemampuan bicara saat ini. Gue harus gimana?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top