Empat ; Mengubur Luka
[Selamat membaca. Anyway, bab 9 sudah bisa dibaca duluan di Karyakarsa kataromchick, ya.]
"Aku harus pulang."
Nayana tidak bisa berada di tempat itu untuk waktu yang lebih lama. Dia tahu kapasitasnya untuk berapa lama berdekatan dengan Prata dan anak kecil yang sudah dilahirkannya enam tahun lalu itu. Semakin sering bertemu, maka akan semakin besar harapan yang tercipta. Dan Nayana bukannya takut harapan itu hadir dalam diri Zaira atau pun Patra, melainkan dirinya sendiri.
"Sekarang?" tanya Patra.
Pria itu berusaha menidurkan putrinya, tapi Zaira tidak ingin tidur malah meminta dibuatkan susu sembari menonton acara kesukaannya. Tidak hanya mengajak sang papi, tapi anak itu juga membuat kalimat yang mengejutkan dengan berkata, "Mami sini dulu sampe Aiya bobo."
Hal itu membuktikan bahwa Zaira tetap kekurangan figur seorang ibu. Anak itu menunjukkan bagian dari dirinya yang selalu ingin menghabiskan waktu seperti ini, lengkap bersama papi dan maminya. Dan entah bagaimana bisa, Nayana tersihir dan diam saja melihat seluruh tayangan anak-anak yang diputar berkali-kali tanpa jeda di smart TV milik Patra.
Nayana bisa melihat wajah kecewa dari Zaira meski anak itu tidak mengungkapkannya secara langsung. Nayana ingin tetap melanjutkan rencananya, tapi bukan dengan cara yang buru-buru. Dia tahu cara terbaik untuk bisa menarik Zaira ke hidupnya dan meninggalkan Patra dalam seluruh penyesalannya. Secara perlahan, Nayana ingin rencananya berjalan secara perlahan.
"Kalo bukan sekarang, apa aku harus menunggu lebih malam lagi untuk pulang?" balas Nayana.
Patra melirik putri mereka yang tidak mengatakan apa pun. Sebagai seorang ayah yang mengurus Zaira sejak bayi, pria itu pasti sudah memahami sedikit banyak isi pikiran putrinya. Untuk itulah, Nayana mengamati segalanya. Interaksi yang terbentuk antara Patra dan Zaira memang tidak mudah untuk dilepaskan ikatannya.
Nayana tiba-tiba berdiri dan mengejutkan kedua orang itu. Patra tidak bisa bereaksi apa-apa selain mempersilakan perempuan itu pergi.
"Aiya nggak mau anterin mami ke depan?" tanya Patra pada sang putri.
"Nggak."
Nayana yang melihat balasan itu entah kenapa merasa kesal sendiri. "Terserah kamu. Aku juga nggak butuh dianterin ke depan!"
Patra berada di dalam situasi yang sangat sulit. Dia tidak bisa berpihak pada salah satu diantara kedua perempuan yang memiliki sifat keras kepala yang sama itu. Nayana keluar dari rumah tersebut dan Zaira masuk ke dalam kamarnya dengan membanting pintu. Ini baru pertemuan pertama mereka, bagaimana Patra bisa mencari cara untuk membuat pertemuan yang lain?
"Aya, tunggu! Aya!"
"Apa?! Ngapain, sih, kamu ikutin aku??! Aku bisa pergi sendiri!"
Patra sama sekali tidak terpengaruh dengan balasan penuh rasa kesal dari perempuan itu.
"Dengar, Aiya nggak bermaksud jadi anak yang nggak sopan ke kamu. Bagaimana pun ini adalah momen pertama kali dia bisa ketemu maminya. Dia sebenernya pengen nunjukkin ke kamu kalo dia pengen punya waktu lebih dengan kamu, tapi dia sama seperti kamu yang keras kepala-"
"Keras kepalanya aku dan anak itu nggak ada samanya! Kenapa kamu ngotot mengaitkan sifatku dan anak itu?? Kami nggak pernah hidup bersama dan dia nggak tahu gimana aku, begitu juga sebaliknya. Kalo dia bersikap keras kepala dan nggak sopan, berarti yang dia tiru adalah kamu yang udah menghabiskan banyak waktu dengan dia!"
Patra tertegun dengan kalimat balasan yang Nayana berikan. Menggunakan panggilan 'anak itu' di telinga Patra sungguh tidak menyenangkan. Namun, Patra juga menyadari kesalahannya dulu hingga membuat kerasnya hati Nayana pada anak mereka sendiri.
"Aku minta maaf. Aku salah ngomong."
Ada jeda yang terjadi diantara mereka berdua, sebelum akhirnya Patra memulai kembali kalimat perpisahan setelah pertemuan singkat mereka.
"Terima kasih untuk hari ini. Makasih karena kamu mau menemui Aiya. Meskipun aku berharap kalian nggak cuma ketemu hari ini aja, tapi aku nggak akan memaksa lagi. Aku seneng kalian udah kenalan hari ini. Kamu bisa melanjutkan hidup yang kamu inginkan sejak awal lagi, Ay. Bye."
Tidak ada yang salah dengan kalimat atau tindakan Patra. Yang salah adalah ekspektasi Nayana yang terlalu berlebihan untuk melihat pria itu memohon agar dia datang secara rutin menemui Zaira. Tapi apa ini? Kenapa pria itu malah membalikkan tubuh dan masuk ke rumah setelah mengucapkan kalimat menyebalkan seperti itu? Apa Patra benar-benar menyerah dengan segalanya?
"Shit! Bego banget, sih, Nay! Emangnya mau mengharap apa lagi?!" omel perempuan itu pada dirinya sendiri.
Di dalam mobil, Nayana tidak langsung menyalakan mesin. Dia tertegun dan masuk ke dalam ingatan yang berkeliaran secara acak. Yang dirasakannya kini seolah seperti pengabaian yang sempat dirasakannya dulu, ketika dirinya mengetahui kehamilan dan Prata tiba-tiba menghilang.
"Kamu tenang dulu, Ay. Jangan terlalu panik gini. Kalo kamu terlalu panik, bakal banyak yang curiga. Kamu sekarang balik ke kosan dulu, aku ke sana habis latihan. Aku akan beliin alat tesnya, kita pastiin berdua nanti, ya."
Nyatanya, selama tiga hari menunggu Nayana tidak melihat kedatangan Prata mau pun alat tes kehamilan yang pria itu katakan akan dibawa. Kekasihnya itu seolah menghilang tanpa jejak. Memang masih banyak teman Nayana yang melihat dan bertemu lelaki itu di kampus. Namun, dari sekian banyak orang, Prata begitu sulit untuk Nayana temui. Kenapa dari sekian banyak orang, malah dia yang menjadi pihak yang Prata hindari? Padahal saat ini Nayana sedang sangat membutuhkan kehadiran lelaki itu.
Ay [Aku udh tes sendiri. Positif. Kamu dmn? Aku hrs gmna, Pra?]
Nayana sudah pasti terus mengirimkan pesan kepada Prata. Meski tahu bahwa ponsel kekasihnya itu tidak aktif. Selama tiga hari mencoba menghubungi nomor itu, selama itu juga tidak ada tanda-tanda Prata akan datang.
Tak menyerah, Nayana terus mencari pria itu. Dia menggunakan kecerdasannya yang sangat minim itu dengan baik, tidak menunggu jam pria itu tapi akan menyergap secara sembunyi-sembunyi. Dia mendapatkan kesempatan dan semoga saja beriringan dengan keberuntungan.
"Muka lo bikin eneg, Ta. Ngapain, sih, kucing-kucingan begini? Gara-gara lo kita jadi kena teror sama cewek lo."
Nayana tidak langsung mendengar balasan dari Patra. Dia akan terus mendengarkan pembicaraan itu ketimbang langsung menyergap kekasihnya yang sudah sulit dicari itu.
"Capek banget gue, Dap. Gue nggak nyangka masalahnya jadi begini."
"Ya, lo aja yang bego. Udah tahu dari awal cuma taruhan, malah keblablasan. Udah keenakan di kekepin sama tuh bocah, sampe nggak pake otak!"
Nayana yakin suara teman Prata yang sedang bicara itu adalah Dafa. Kakak tingkat yang selalu menjadi teman bermain Prata dan sekarang sedang membicarakan masalah yang dihadapi Patra. Bocah yang dimaksud Dafa juga sudah pasti adalah Nayana, mengingat dia adalah adik tingkat pria itu. Dan taruhan? Jadi, sejak awal tidak ada atensi lelaki itu untuk Nayana, ya? Jadi, alasan kenapa pria itu tidak muncul selama tiga hari dan sibuk menghilang dari Nayana karena memang tidak berniat bertanggung jawab?
Rupanya memang keberuntungan berada di pihak Nayana, dia bisa mendengar kebenaran dibalik semua yang terjadi. Prata tidak menggunakan perasaan ketika mendekati dan menjadikan Nayana kekasih. Jadi, untuk apa Nayana mengharapkan pria itu? Lebih baik Nayana menggugurkan kandungannya, kan? Ya, itu lebih mudah ketimbang menunggu pria yang hanya mempermainkannya memberi keputusan yang tidak kunjung datang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top