Luka Ini ...
"Ya Allah, Nak!" Ibu berseru heboh ketika membukakan pintu untukku.
Ada kelegaan tersirat dari nada suaranya. Pun, dapat kulihat gurat kekhawatiran di sana. Perempuan sepuh itu memang tidak begitu pandai menyimpan rasa.
"Kenapa belum tidur, Bu?" tanyaku, berusaha bersikap sewajarnya.
Saking gugupnya, aku merasa detak jantungku mengentak menggila. Semoga Ibu tidak mendengar getar pada nada suaraku. Jangan tanya bagaimana reaksi tubuhku, gemetar itu masih terasa walaupun tidak sehebat satu jam lalu.
"Gimana bisa tidur? Anak gadis Ibu belum pulang," omel Ibu seraya menoleh, menengok jam dinding di perbatasan ruang tamu dengan lorong menuju kamar tidur dan dapur. "Itu, lihat! Sudah hampir jam dua belas," katanya lagi.
"Namanya juga kerja, Bu," kilahku, mendorongnya berpikir positif. Kutuntun Ibu memasuki rumah. Angin malam membuat tubuhku yang lembap kedinginan.
Aku harap Ibu tidak berpikiran yang macam-macam. Meskipun benar, telah terjadi sesuatu. Cukup aku yang tahu. Aku tidak ingin membuatnya jatuh sakit karena banyak pikiran.
"Biasanya paling malam jam sembilan sudah pulang. Ini molornya lama banget."
Aku meringis. Sesaat tadi kupikir Ibu akan berhenti mengintervensi, tetapi rupanya masih ada yang mengganjal di hatinya. Apa itu naluri seorang Ibu?
"Di sana ada hajatan. Tadinya dikasih izin pulang jam sepuluh, tapi karena masih ramai, Ika nggak jadi pulang. Nggak enak, Bu. Kasihan juga Mbok Inah, kalau semuanya dikerjain sendiri."
"Lain kali, kalau memang pulang telat, kabari Ibu. Biar Ibu nggak khawatir."
Aku tersenyum maklum mendengar keluhannya. Namun, dalam hati sangat pilu. Nelangsa. Ini kali pertama aku berdusta padanya.
"Bibir kamu kenapa, Ka?" tanya Ibu.
Seketika tubuhku menegang. Tanpa kusadari, entah sejak kapan, Ibu memperhatikan wajahku. Luka di sudut bibir tak bisa kusembunyikan darinya.
Tangan Ibu nyaris menyentuh ujung bibirku, tetapi kucegah. Pergelangannya kucekal. Dengan lembut kurangkum tangan Ibu dalam genggaman.
"Tadi Ika ngelakuin kesalahan," ujarku pelan.
"Kamu bikin salah apa, toh, Ka, sampai majikan kamu tega nyakitin? Kamu ditampar? Baru kerja empat bulan di sana, ya, wajar kalau masih belum begitu paham. Kalau salah, harusnya ditegur. Jangan main tangan begini," tuturnya sedih.
Kali ini kubiarkan dirinya membelai pipiku. Matanya berkabut sedih, menatapku pilu.
"Bukan, Bu. Nggak gitu, kok! Ini murni kesalahan Ika," kilahku.
"Jadi, kenapa, toh? Biarpun kamu cuma pembantu, jangan nrimo aja diinjak-injak. Nyonya kamu itu juga nggak sepantasnya semena-mena."
"Ika tadi kepentok gagang pintu. Ika nggak ingat kalau pintu itu bukanya ke arah luar. Eh, Ika malah dorong kuat-kuat. Nggak bisa gerak, lah! Pas ancang-ancang mau dorong lagi, pintu malah didorong dari dalam."
Karangan yang luar biasa, Ika! Batinku makin tak tenang saat Ibu justru memandangku prihatin. Kudengar Ibu menghela napas.
"Ibu, kok, susah percaya? Nggak masuk akal. Masa–"
Aku langsung memasang wajah sedih. "Bu, kapan, sih, Ika pernah bohong sama Ibu?" tanyaku merangkul lengannya, mendudukkannya di sofa buluk yang sebenarnya sudah tak layak lagi digunakan.
Ibu tampak berpikir, kemudian menggeleng. Namun, kesedihan itu masih saja membayang di wajahnya. Aku langsung duduk di depan Ibu, merebahkan kepalaku di pangkuannya.
"Ibu nggak perlu khawatir. Oma Anggi orang baik." Cucunya yang jahat.
Aku memejamkan mata, menahan gemetar saat bayangan lelaki itu menjamahku dengan kasar melintasi pikiran. Wajahnya yang bengis tampak sangat jelas. Tatapan tajamnya yang menelanjangi. Aroma mulutnya yang berbau alkohol. Kata-katanya yang tajam. Tanpa sadar, aku menangis.
"Ka, kamu kenapa?"
Pertanyaan Ibu memanggil kesadaranku. Astaga, aku ingin mati saja saat ini. Namun, Ibu tidak memiliki siapa pun selain aku untuk menjadi pegangannya. Keadaan Bapak yang memburuk dari hari ke hari sudah cukup menjadi tekanan buat Ibu. Jangan sampai aku turut menjadi bebannya.
"Ka?" Ibu mulai menuntut jawaban. Tangan keriputnya bergerak pelan mendongakkan kepalaku. "Jawab Ibu, Ka! Sesuatu terjadi sama kamu, kan?"
Aku menelan ludah kelat. Napasku memburu. Bagaimana aku bisa tega menceritakan apa yang baru saja kualami? Tidak! Ibu tidak boleh tahu.
Aku beringsut menjauhi Ibu, menatapnya dengan mata basah.
"Ika sayang Ibu," ujarku tercekat. Gumpalan emosi menekan pita suaraku, membuat suaraku timbul tenggelam. "Ika beruntung punya Ibu sama Bapak. Kalian ngasih Ika kesempatan hidup lebih baik."
"Ibu sama Bapak yang beruntung, Ka. Kamu segalanya buat kami," balas Ibu dengan suara parau.
"Ika sedih, nggak bisa melakukan banyak hal untuk membahagiakan Ibu sama Bapak. Seharusnya-"
Ibu membungkam mulutku dengan telapak tangannya. Ekspresi paniknya berubah sayu. Kesedihan itu semakin kentara. Hatiku remuk redam melihat wajahnya basah berurai air mata.
"Ibu jangan nangis," pintaku. Dadaku sangat sesak melihat tubuh Ibu berguncang. "Ika minta maaf, sudah bikin Ibu sedih."
Ibu merangsek turun dari sofa, berlutut menghambur memelukku. Bibir keriput yang telah lama tidak berpoles lipstik itu menghujaniku kecupan di puncak kepala. Kedua tangannya melingkupi tubuhku erat.
"Ibu yang harusnya minta maaf. Kamu tinggal sama Ibu bukannya senang dan menikmati masa muda, malah hidup melarat dan sengsara kayak gini."
"Ika nggak pernah ngerasa begitu. Ibu sama Bapak segalanya buat Ika."
Kami berpelukan erat. Entah berapa lama waktu terlewati. Hanya isak tangis kami bersahutan di keheningan malam.
Aku sudah terlalu lelah berjibaku dengan perang batinku seharian. Kehangatan ini yang paling kubutuhkan. Apapun yang akan terjadi nanti, biarlah urusan nanti.
Ibu mengurai dekapannya setelah mendengar suara Bapak dari arah kamar. Bapak menyerukan nama Ibu dengan suara lirih bergetar.
"Kamu mandi dulu. Bau kamu nggak karuan. Kayak bau–"
Aku meneguk ludah. Aroma lelaki itu sepertinya tertinggal di tubuhku.
"Bu, jangan sampai Bapak nunggu lama. Kasihan. Mungkin kepingin sesuatu," ujarku sebagai upaya pengalihan.
Mulut Ibu kembali mengatup. Kami berdiri bersamaan, bergegas mendatangi Bapak.
"Haus," lirih Bapak menunjuk gelas di atas nakas. Sudah lebih dua bulan Bapak tidak beranjak dari tempat tidur.
Mataku kembali berkabut melihat tubuh kurusnya yang tidak berdaya. Untuk menjangkau gelas yang jaraknya tidak sampai setengah meter saja, Bapak tidak bisa. Berat badannya terus turun. Hampir tidak ada makanan yang bisa masuk ke perutnya.
"Ika baru pulang, Nak?" tanya Bapak. Jemarinya bergerak pelan melambai, memintaku mendekat.
Aku menuruti permintaan Bapak. Ibu menjauh, duduk di ujung empat tidur. Sementara itu, aku menggantikan Ibu berlutut di samping kanan Bapak.
"Iya, Pak. Tadi ada acara di tempat Oma Anggi." Sudut bibirnya yang basah bekas minum kusapu dengan lap handuk lusuh. "Gimana keadaan Bapak hari ini?"
Bapak tersenyum. "Jauh lebih baik," sahutnya terbata. Tidak lama kemudian, Bapak menarik napas dalam. Biasanya hal itu terjadi karena dadanya kembali sesak.
"Bapak bohong!" tudingku sedih. "Besok kita pergi berobat, ya?" Kugenggam tangannya. Tak bisa kutahan lagi, air mataku menitik.
"Ika jangan terus mengkhawatirkan Bapak. Bapak sudah jauh lebih baik. Sakit Bapak nggak akan lama lagi, Nak." Meskipun putus-putus, kalimat itu terdengar jelas olehku. Dadaku semakin sesak dibuatnya.
Aku mengangguk, mencoba tersenyum di antara derasnya air mata. "Bapak pasti sembuh. Ika akan bawa Bapak berobat ke rumah sakit. Ika sendiri yang akan nungguin selama Bapak diperiksa. Ika–"
"Maafin Bapak, nyusahin Ika terus." Bapak menyela ucapanku.
Aku menggeleng tegas. Asin dari air mata merembes di sela bibir. Aku tidak kuasa berkata-kata. Air mataku enggan berhenti, terus mengalir.
Luapan emosi tidak hanya menyesakkan dada, tetapi juga mengeringkan tenggorokanku. Aku mulai sesenggukan.
Ibu yang sedari tadi hanya diam menyimak pembicaraan kami, ikut menangis.
"Ika janji sama Bapak, Ika harus bahagia. Ya, Nak?" pinta Bapak. Suaranya semakin surut.
Tidak ada lagi yang dapat kulakukan selain mengangguk dan mendekap Bapak.
.
.
.
Samarinda, 06 Juni 2021
Salam sayang,
BrinaBear88
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top