Jangan Pergi ...
Aku menahan napas saat membalurkan sabun ke sekujur tubuh, takut aroma tubuhnya kembali terhidu. Kuhapus kasar bekas tangannya di tubuhku, yang sebenarnya tak berjejak. Namun, semua terasa sia-sia saat kusadari semua itu tertinggal jelas di benakku. Memori tentang lelaki itu sudah membekas dalam di otakku. Tertanam, tertancap kuat.
Jejak kemerahan yang ditinggalkan bibirnya di dada, perut dan tulang selangka, bahkan di kedua paha membuat tangisku kembali pecah. Mengapa aku yang harus merasakan ini? Pertanyaan itu menggaung di otakku seolah tak berjeda.
Dia membeli tubuhmu, Ka. Dia membayar mahal untuk keperawananmu. Kenapa harus sesentimentil ini? Ini sepadan untuk orang nggak berduit kayak kamu. Kelas rendah, rakyat jelata.
Air mataku semakin deras. Seberapa pun besarnya usahaku menahan tangis, hati kecilku mengkhianati. Berulang kali kubangun ketegaran, tetapi selalu runtuh oleh perasaan terhina teramat dalam.
Aku tertawa miris. Sok jual mahal, tidak terima dengan perkataan dan perlakuan Randy, nyatanya aku memang seburuk itu. Buah tak jatuh jauh dari pohonnya. Ah, seharusnya aku sadar diri. Darah tidak akan pernah mengkhianati garis keturunan.
Apa memang begitu?
Tuhan ... seharusnya aku tidak pernah terlahir ke dunia. Kehadirankku hanya membawa bencana. Hidupku sangat tidak berguna. Bahkan, mungkin jika aku mati pun, aku tidak berarti apa-apa. Tidak berharga.
"Ka?"
Ketukan pada pintu kamar mandi dan seruan Ibu membuatku gelagapan. Tangan-tangan tak kasat mata menyeretku pada realita menyakitkan.
"Ka!" Suara Ibu naik satu oktaf. Aku yakin, Ibu mulai mencemaskan diriku.
"Iya, Bu! Sebentar lagi selesai." Aku berteriak. Jika tidak segera kujawab, aku takut Ibu menggedor pintu dan menimbulkan keributan.
"Mandinya jangan lama-lama. Nanti kamu sakit. Sudah larut malam ini," pesan Ibu. Suaranya kembali normal.
Hening lagi. Terdengar suara langkah menjauh tidak lama setelah aku mengiyakan perkataannya. Ibu pergi, meninggalkan aku sendirian dalam pilu menyesakkan.
Ingin rasanya berbagi beban, tetapi aku rasa Ibu tidak akan sanggup menerima kenyataan. Anak gadis yang selalu dibanggakan, kehilangan keperawanan, merelakan kehormatan demi uang yang nantinya akan digunakan untuk biaya pengobatan.
Aku berani bertaruh, beliau akan menolak tegas dan mungkin terkesan tanpa perasaan. Seratus persen yakin, tanpa perlu diperdebatkan.
-***-
"Bapak sudah tidur, Bu?" tanyaku setelah berpakaian. Sengaja kugunakan setelan panjang agar Ibu tidak melihat mahakarya yang ditinggalkan lelaki itu di hampir sekujur tubuhku.
"Sudah." Ibu melipat pakaian terakhir dalam keranjang. "Malam ini Bapak lebih anteng," katanya lagi sambil menatapku.
Aku mengangguk-angguk, duduk di seberang Ibu, di atas kasur tipis yang biasa kugunakan tidur. "Batuk Bapak berkurang, ya, Bu?" tanyaku mendekap bantal.
"Alhamdulillah, Ka," sahut Ibu tenang. Sudut bibirnya sedikit terangkat, mengulas senyum tipis.
"Besok kita bawa Bapak berobat, ya, Bu." Aku membalas senyum Ibu. "Biar dirawat inap sekalian."
"Uang dari mana, Ka? Biaya rawat jalan aja sudah mahal, apalagi kalau sampai opname. Utang kita juga numpuk di sana-sini." Ibu mengingatkan masalah mendasar yang membuat Bapak terpaksa menahan sakit tanpa perawatan. Debas keras terdengar seolah melemparkan ribuan beban yang Ibu rasakan.
"Oma Anggi kasih pinjaman."
"Yang benar, kamu, Ka?" tanya Ibu tak percaya.
Aku mengangguk lagi. Dekapanku pada bantal mengerat. Kilasan wajah lelaki itu kembali melintas. Pun perlakuannya yang tidak pantas.
Ibu masih diam. Pandangannya yang tertuju padaku membuat tak nyaman. Andai bisa, apapun akan aku lakukan untuk membuatnya menaruh kepercayaan.
"Masalah biaya, Ibu nggak usah risau. Pinjaman dari Oma Anggi." Aku meneguk ludah. Getir. Dustaku berlipat-lipat malam ini.
"Bayarnya gimana, Ka?"
"Oma Anggi bilang, dipotong dari gaji Ika tiap bulan. Selama belum lunas, Ika akan terus di sana." Aku menghela napas panjang. "Sampai kapan pun, berapa pun lamanya, nggak akan jadi masalah."
"Kalau kondisi Bapak baikan, Ibu bantu kamu ngumpulin uang. Biar Ibu balik kerja di laundry lagi. Jadi utang sama Nyonya kamu cepat lunas. Nggak mungkin kamu kerja di sana seumur hidup."
Aku mengangguk. Tidak sanggup kusuarakan apapun di saat tenggorokanku tercekat akibat banyaknya emosi yang terkumpul di sana.
"Makasih banyak, Ka," ucap Ibu.
Binar mata Ibu menyiratkan banyak makna buatku. Harapan, ungkapan rasa syukur, kebahagiaan, kelegaan.
"Ika tidur dulu, Bu. Besok harus berangkat lebih pagi." Untuk mencari pekerjaan baru. Ika nggak mungkin kembali ke rumah Oma Anggi. Ika nggak sanggup kalau harus ketemu laki-laki itu lagi.
"Iya, Ka. Ibu juga mau istirahat. Jangan lupa berdoa."
Aku berbalik tanpa menyahut. Mataku kembali memanas.
"Maafkan Ika, Bu," ucapku tanpa suara di sela lelehan air mata.
-***-
"Ika, bangun! Bapak, Ka ...."
Tangis dan jeritan Ibu memanggil seluruh kesadaranku. Mataku sontak terbuka lebar. Tubuhku menegak dan aku langsung melompat begitu melihat Ibu duduk meraung di depan pintu kamar tak hentinya menyerukan nama Bapak.
Kudekap Ibu. Perempuan itu tidak sama sekali memberontak. Kepalanya tersuruk di belahan dadaku. Air mata Ibu membasahi pakaianku.
"Bu, tenang. Bapak kenapa?" tanyaku seraya mengurut punggungnya dengan belaian lembut.
"Bapak nggak mau bangun, Ka!" jerit Ibu lagi.
"Sudah coba diguncang badannya?"
Ibu mengangguk-angguk.
"Badan Bapak dingin. Mukanya pucat. Bapak sudah nggak ada, Ka! Bapak ninggalin kita!" raung Ibu pilu.
Seluruh kekuatanku menghilang. Aku terduduk, memeluk Ibu semakin erat. Air mataku luruh untuk ke sekian kalinya. Meskipun tidak ingin percaya, tetapi aku tidak punya daya apa-apa untuk mengubah apa yang sudah menjadi ketetapan-Nya. Tidak ada yang bisa kulakukan untuk mencegah kepergian Bapak.
Bapak lebih memilih pergi. Tidak memberiku kesempatan lebih lama berbakti. Bapak lebih memilih meninggalkan kami. Daripada membiarkanku mengobatinya dengan uang hasil menjual diri.
.
.
.
Jangan lupa tinggalkan jejak ⭐💬
Tolong bantu share cerita ini di semua akun medsos kalian, ya... Biar lebih banyak yang mampir dan membaca cerita ini.
Have a nice weekend, guys 😊
Samarinda, 10 Juni 2022
Salam sayang,
BrinaBear88
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top