Two | Niall dan Kesialan

Support aku di akun heyItsWinka ya, kan gaisss.
.
.
_______________________
Happy Reading!
________________________
.
.
.

"Papa, Papa, Liat! Nilainya Nathan, bagus-bagus semua, 'kan? " ujar Nathan semangat sembari menunjukkan bukunya kepada Nakka, papanya.

"Liat juga punya Nichol, Pa!" kini giliran Nichol.

"Wah, anak Papa pinter-pinter semua, ya?! Bagus! Nilainya bagus-bagus semua!"

Nakka membawa kedua putranya itu ke atas pangkuannya. "Kalian mau hadiah apa, dari Papa?" tanya Nakka.

"Mainan baru!!" seru kedua bocah kelas dua SD itu, semangat.

"Mainan?" ulang Nakka.

"Iya, Pa! Beliin, ya?!"

"Iya, sayang. Pasti! Kalau perlu, nanti kalian bisa borong semua mainan yang kalian mau."

Sementara itu, di sisi lain, tepatnya di balik tembok, seorang anak berdiri di sana, dengan mobil-mobilan dari botol oli di tangannya. Ia nampak meremas mainan itu, nyaris saja menangis. Menyaksikan pemandangan yang sangat-sangat ia benci.

Andai saja ia juga berada di atas pangkuan papanya. Pasti pangkuan itu terasa sangat kokoh dan nyaman untuk diduduki.

"Papa! Nanti, kita beli yang banyak ya, mainannya?!" seru Nichol.

"Iya," jawab Nakka.

Niall segera berlari dari tempatnya berdiri mematung, dengan mobil-mobilan yang nampak sangat usang di tangannya. Menuju kamarnya yang kini terletak di belakang. Di mana letaknya tak jauh dari gudang. Ia membuka pintu kamarnya, dan menutupnya rapat. Bocah berusia tujuh tahun itu, langsung merosot dengan punggung yang bersandar rapat pada daun pintu. Ia menangis.

Isakan kecilnya terdengar sangat memilukan. Hati kecilnya benar-benar terluka. Diusianya yang sekecil ini, ia harus mengalami semuanya. Ia bahkan tak tau, apa salahnya.

Bocah tujuh tahun itu, membuka seragam merah putih yang ia kenakan, lalu menyingkap bagian lengannya. Bercak biru keunguan masih membekas di sana.

"Mama, Papa," bisiknya lirih. "Di sekolah, Niall dipukul Ma, Pa. Sakit!" ujarnya pelan. "Sakit,"

Ia terisak. Kembali ia mengingat kejadian di sekolah. Dimana dirinya, selalu menjadi bahan bully-an teman-temannya.

"Emang bener 'kan, kamu itu cuma anak aneh!" bocah seusia Niall, yang tubuhnya cukup gempal mendorong Niall, hingga bahunya membentur meja.

Niall meringis menahan sakit. "Niall ga aneh!" bela Niall, pada dirinya sendiri.

"Huu! Aneh!" tanpa sebab mereka mendorong-dorong Niall.

E

mpat orang bocah yang nampak lebih berkuasa itu, dengan seenaknya menyudutkan Niall. Entah apa salah Niall, hingga ia diperlakukan begitu. Untunglah, ada seorang guru yang membantu melerai.

Niall merasakan perutnya melilit karena lapar. Sejak pagi, ia belum sarapan. Dan sekarang, sudah pukul setengah sebelas pagi. "Mama, Papa, Niall laper!" ujarnya.

Tidak ada lagi Mbak Sita, yang akan menyuapi dirinya. Karena Mbak Sita telah dipecat oleh Mama dan Papanya hanya karena dirinya yang memberikan Niall sepotong ayam goreng, saat makan siang, beberapa minggu yang lalu.

Nasib Niall memang selalu buruk dan memprihatinkan. Ia tak pernah mengecap kasih sayang dari kedua orangtuanya. Bahkan menikmati makanan yang biasa orang tuanya makan saja, sangat jarang dan terkesan sembunyi-sembunyi.
Makanan yang hari-hari ia makan tak jauh dari nasi goreng kecap dan kerupuk. Tak ada segelas susu atau jus baginya. Atau sekadar buah untuk pencuci mulut. Atau pudding, atau kue kering untuk camilannya. Tapi, Niall tak pernah mengeluh, bahkan terkesan sangat bersyukur dengan apa yang ia terima dalam hidupnya.

Niall kemudian membuka seragamnya, dan menggantungnya pada paku, yang menancap di tiang. Sejenak, ia merebahkan tubuhnya di atas kasur tipis, di ujung ruang kamarnya, yang hanya berukuran tiga kali empat meter itu.

Langkah mungilnya menuju lemari, di mana pakaiannya berada.
Ia memilih sebuah kaos dari beberapa buah kaos yang ada, lalu mengenakannya. Melepas celana merah seragamnya dan menggantinya dengan celana santai selutut. "Bibi masak apa, ya?" tanyanya. "Ada sayurnya gak ya?"

Langkah kakinya melangkah keluar kamar, menuju dapur segera. Karena cacing-cacing di dalam perutnya, sudah mulai mengadakan konser dadakan. "Bibi!" sapanya pada Bi Darmi, yang tengah mengaduk sop di panci.

"Eh, Den Niall!" Bi Darmi membalas sapaan Niall tak kalah semangat.

"Bibi masak apa?" tanya Niall.

"Sayur sop, Den." jawab Bi Darmi. "Den Niall, mau?"

Niall mengangguk antusias. "Mau, bi." ia kemudian berlari ke arah rak piring lalu mengambil sebuah mangkuk. "Ini, Bi."

Bi Darmi menerima mangkuk itu lalu mengisinya dengan potongan kentang, wortel, dan daging ayam beserta kuah, ke dalamnya. "Ini, Den." Niall menerimanya dengan senyuman merekah. "Makasih, Bi!"

"Sama-sama den."

Niall lalu mengambil posisi duduk di pojokan dapur, menyilang kakinya bersila dan bersiap menyuap sendok demi sendok sop itu ke mulutnya. "Bismillahirrahmaanirrahiim!" ucapnya. Baru saja ia hendak memasukkan sendok itu ke mulutnya, sebuah tangan besar merebut sendok dan mangkuk di hadapannya, dan-

Prangggggg!!!

Mangkuk itu, seketika menjadi pecah belah tak berbentuk. "Ma-ma," lirih Niall takut.

Naya berdiri dengan amarah memuncak. Ia lalu dengan kasar mencengkeram tangan Niall. "Sini kamu!" pintanya kasar. "Siapa yang suruh kamu makan?!"

"Ma-maaf, Ma..." lirih Niall takut.

Naya menarik tubuh Niall dan membawanya ke kamar. "Masuk kamu!"

" Ta-tapi ma, Niall laper..."

"Gak ada tapi-tapian! Masuk!"

"Ma, Niall laper, Ma!"

Naya kehabisan kesabaran. Ia kemudian menyeret Niall dan memasukkannya ke dalam kamar mandi, lalu menghempaskan tubuh putranya itu. "Duduk!" titahnya kejam.

"Mama, mau apa, Ma?"

Segayung air, membanjur tubuh malang Niall. Dua gayung lagi, ditambahkan.

"Ma-ma," Niall mulai menggigil.

Total, 10 gayung air dingin membanjur tubuh mungil Niall.

"Awas kau, berani makan-makanan yang disiapkan sebelum yang lain makan! Ku habisi kau, sialan!!" ancam Naya, lalu pergi.

Niall memeluk tubuhnya sendiri karena kedinginan. Ia menggigil dan bukan tidak mungkin, asmanya akan kambuh. Benar saja, selang beberapa menit kemudian, ia mulai merasa sesak napas dan semakin menyiksa tubuh mungilnya. Bunyi mengi yang khas, mulai terdengar.

"MASHAALLAH, DEN NIALL!" Pekik Bi Darmi kaget, saat menemukan tubuh mungil Niall yang menggigil, tengah meregang nyawa akibat nyaris kehabisan napas. Bi Darmi kembali ke kamar Niall, mancari handuk dan inhaler untuk Niall.

Ia kemudian menyelimuti tubuh Niall dan segera menyuruh Niall menggunakan inhaler itu.

"Di-dingin, bi..." ujar Niall lemah, sembari menggigil.

"Kita ganti baju dulu, ya, Den"

****

Bi Darmi mengelus lembut dahi Niall yang terasa hangat. Jika asmanya kambuh, Niall pasti akan langsung demam. Maka dari itu, malam ini Bi Darmi memilih tak tidur, demi mengurus anak majikannya itu.

Tetes demi tetes air mata, menetes deras dari pelupuk mata Bik Darmi. Sembari terus memeras, melipat dan menempelkan kain basah ke atas dahi Niall. Semua ini salahnya. Karena kecerobohan nya, bocah tujuh tahun itu tertidur dengan perut kosong. Terlebih lagi sekarang, bocah itu tengah sakit. "Maafin Bibi ya, Den." ujarnya lirih. "Gara-gara bibik, den Niall jadi kaya gini."

Jam telah menunjukkan pukul sepuluh malam. Bi Darmi memilih untuk kembali ke dapur, dan mengambilkan nasi untuk Niall. Nasi putih, dengan kuah sup dan sepotong ayam goreng sisa majikannya makan. Tak lupa ia membawakan segelas air hangat dan Parasetamol untuk menurunkan demam Niall.

"Den, bangun dulu nak!" panggil Bi Darmi lirih. "Makan dulu yuk, Den!"

Niall bergerak lalu mulai mengerjapkan matanya.

"Den, yuk, makan dulu. Habis itu minum obat."

Niall menggeleng lemah. "Nanti Mama marah lagi," ujarnya lirih sembari menunduk.

Kepala bocah itu, pasti terasa pusing dan berputar-putar.

"Biar Bibi yang dimarahi, den. Den Niall makan dulu ya, 'kan lagi sakit, biar cepet sembuh!"

"Kalo Niall sembuh, emangnya Mama bakal seneng, Bi?" tanya Niall. "Bukannya Mama, Papa, Nathan, sama Nichol, bakal senang kalo Niall mati?"

"Husst! Den!" sela Bi Darmi cepat. "Gak boleh ngomong gitu!"

"Tapi bener 'kan, Bi?"

Bik Darmi tak tau, harus berkata apa lagi. "Tapi, den Niall harus makan, ya?"

Akhirnya, dengan segala daya upaya, Niall makan. Walaupun liurnya mungkin terasa pahit, namun bocah itu tetap lahap menerima suap demi suap nasi yang Bi Darmi suapkan kepadanya. Karena saat ini, perutnya terasa benar-benar lapar.

Seharian, ia tak makan. Dan baru makan pada pukul sepuluh malam seperti ini. "Habis itu minum obat ya, Den." ujar Bik Darmi.

Niall mengangguk lemah. "Minum, Bi" pintanya.

Bi Darmi lalu menyodorkan mulut gelas dan membiarkan Niall meneguk air putih itu. "Ini obatnya, Den."

Sebelumnya, Bik Darmi sudah menghancurkan obat-obat itu menjadi puyer agar Niall lebih mudah menelannya. "Makasih, Bi."

Bi Darmi mengangguk. "Sekarang, den Niall istirahat lagi, ya. Biar cepet sembuh dan bisa sekolah besok!"

Lagi-lagi, Niall mengangguk lemah. Beruntungnya dirinya, masih memiliki seorang yang memiliki kasih sayang untuk dirinya.

Niall ingin tidur nyenyak malam ini. Terlebih lagi dengan perut kenyang sepeti ini. Jarang-jarang ia bisa tidur dengan perut kenyang, dan lebih sering dengan perut kosong menahan lapar.

Niall ingin bermimpi indah. Dimana mamanya, papanya, Nathan dan Nichol bersama dirinya. Memeluknya disaat ia sakit, dan membawanya jalan-jalan saat ia merasa sedih.
"Niall sayang Mama, sayang Papa, sayang Nathan, sayang Nichol,"








TBC!

22 Agustus, 2018
Happy Eid Adha, bagi yang merayakan :)))

Revisi : 090719
Revisi II : 070919

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top