Three | Niall dan Kesepian
Follow aku di heyItsWinka please!
"Aku tak akan menentang, jikalau itu adalah perintah. Sekali pun aku harus mati, untuk memenuhinya."
Niall memegangi selembar kertas HVS putih dengan tulisan yang diketik di atasnya. Itu adalah undangan bagi wali murid. Tapi Niall bingung, apa mama atau papanya mau memenuhi undangan wali murid itu?
Ini adalah hari kelulusannya. Sebentar lagi, ia akan mengenyam bangku SMA. Selama ini, sekolahnya dan kedua saudara kembarnya berbeda. Nathan dan Nichol bersekolah di sekolah elite dan berkelas. Di mana hanya di tempati oleh anak-anak pejabat dan pengusaha kaya raya. Sedangkan dirinya, ia disekolahkan di sekolah yang bisa dibilang sangat memprihatinkan.
Terkadang saat di kelas, Niall merasa was-was, saat menatap langit-langit kelasnya. Plafon dan dek itu, nampak sangat rapuh, dan pastinya bisa ambruk kapan pun. Jendela kacanya pecah, dan meja kursinya sudah reyot. Walaupun ini adalah sekolah yang berada di kota, namun sekolah ini berada di lingkungan kumuh. Tak taulah, mengapa ia disekolahkan di tempat ini.
Tempat di mana kesehariannya, hanya mendapat kekerasan. Ia nyaris mengalami pem-bullyan setiap hari. Ia didorong, dipukul, diolok-olok, bahkan dikunci di dalam gudang atau kamar mandi yang super kotor dan bau.
"Aku minta siapa buat pergi, ya?" tanya Niall pada langit-langit kamarnya yang nampak usang. Dengan kaki yang ia tekuk, di atas lantai yang langsung bersisian langsung dengan kasur tipisnya.
"Mama mau pergi gak, ya?" tanyanya lagi. "Papa ... atau siapa?"
Ia kemudian berdiri, dan melangkahkan kakinya ke luar kamar. Rencananya, ia ingin memberitahu papa atau mamanya perihal undangan itu. Dengan senyum mengembang penuh semangat, sembari membawa kertas itu.
"Kita buang aja dia ke kolong jembatan!"
"Anak itu kerjaannya cuma nyusahin aja. Ga berguna sama sekali."
Hati Niall tercekat. Sesak tiba-tiba muncul, seakan hatinya yang penuh luka itu diremat dengan kuat, lalu dicabik kasar.
"Seharusnya sejak lahir, kita buang saja dia."
"Atau kita bunuh saja."
Niall tau, siapa yang kedua orang dewasa itu maksud. Dirinya. Ya, dirinya.
Niall berlari sembari meremas kertas di tangannya. Ia kemudian mengunci dirinya di dalam kamar sembari memeluk lutut. Air matanya tak lagi dapat di bendung. Kenapa orang tuanya sangat membenci dirinya? Apa kesalahannya? Apakah dia sudah membuat dosa besar?
"Niall salah apa, Ma ... Pa ... ?" bisiknya lirih. Apakah ia tak pantas mendapat kasih dan sayang walaupun hanya sekejap saja? Ia rela tersiksa sepanjang hidupnya, namun apakah tak boleh jika ia mendapatkan dan merasakan kasih sayang barang sebentar saja?
"Niall capek Ma ... Pa ... sakit!" Niall meremas dadanya saat rasa sesak menyerangnya. "Sa—kit." lirihnya.
"Ma ... hhh...hhh...Ma.....hhh..."
Asmanya kambuh. Kenapa harus disaat seperti ini? Kenapa? Di mana Inhalernya?
Nafasnya semakin menipis. Bahkan sekarang, Niall tengah megap-megap kehabisan nafas. Ia bahkan sudah tergeletak sembari memeluk dirinya sendiri. Mencengkeram erat dadanya mengatur nafasnya.
"MASYAALLAH! DEN NIALL?!" Bi Darmi memekik saat mendapati Niall tengah megap-megap kehabisan nafas.
Segera ia mencari letak inhaler untuk Niall. "Den, ini Den!"
Terlambat sudah. Niall telah kehilangan kesadarannya. Dengan keringat dingin yang membasahi seluruh tubuhnya. Bi Darmi panik dan langsung berusaha mencari bantuan untuk menolong Niall. Membawanya ke Rumah Sakit agar segera mendapat pertolongan.
****
Niall mengerjapkan matanya perlahan, untuk menyesuaikan cahaya yang menyapa indera penglihatannya. Tiba-tiba, rasa pusing melanda dirinya. Niall berusaha kuat. Matanya kemudian menelisik ruangan di mana ia berada.
Ruang serba putih, dengan aroma obat yang menyegak indera penciuman siapa saja. Perlahan, Niall mencoba melepaskan selang oksigen yang menghiasi hidungnya, namun sebuah tangan menghentikannya.
"Jangan dilepas dulu, dek!" ujarnya lembut. "Kondisi adek, masih lemah."
Niall akhirnya mengurungkan niatnya, dan menuruti titah Suster tadi.
"Den Niall!"
Niall menoleh ke arah pintu masuk, di mana bi Darmi berdiri dan mendekatinya dengan tergopoh.
Bi Darmi kemudian menciumi dahi dan pelipis Niall berkali-kali, dengan air mata yang sulit ia bendung.
"Mashaallah, Den Niall. Alhamdulillah, Aden Akhirnya bangun. Aden bikin Bibi khawatir."
Niall mengerjap, menikmati kasih sayang dari Bi Darmi, yang tak bisa dia rasakan dari orang lain.
"Me-mangnya, be-berapa la-lama Niall ti-tidur?" tanyanya terbata.
Jujur, untuk bicara saja, ia harus benar-benar mengatur nafasnya.
"Gak penting, berapa lama Den Niall tidur." ucap Bi Darmi. "Yang penting, Aden sembuh dulu ya, nak?"
Niall sangat-sangat bersyukur, masih ada kasih sayang yang begitu tulus ia dapatkan. Walaupun bukan dari mama dan papanya, tapi itu lebih dari cukup baginya. Niall memang belum dewasa dalam segi usia. Bahkan ia baru menginjak remaja. Namun cara berpikirnya, sudah dewasa. Tak apalah, jika ia tak mendapatkan kasih sayang dari keluarganya. Asalkan ia bisa berada di tengah-tengah mereka saja, Niall sudah bahagia. Berasa mendapat nikmat Allah, yang sangat besar, saat melihat keluarganya tersenyum bahagia. Tertawa, dan bersenang-senang, walaupun di atas penderitaan dirinya.
Niall tak masalah, dengan perlakuan kasar yang selalu ia terima dari keluarganya. Karena, dia selalu percaya, bahwa Allah itu tak pernah tidur. Pasti suatu saat nanti, ia akan mendapat kebahagiaan yang ia dambakan sejak lama. Tak apalah jika ia harus pergi meninggalkan dunia. Asalkan, ia sudah merasakan peluk hangat keluarganya, dan senyuman tulus untuknya. Walaupun hanya untuk sekali helaan nafas terakhir, sebelum berhembus hilang seiring dengan ajal menjemput.
Terkadang, Niall selalu berpikir, apakah ia akan mendapat kebahagiaan seperti dalam impiannya? Apakah Allah, akan memberinya waktu lebih lama lagi, sampai ia mendapatkan arti kebahagiaan yang sesungguhnya? Atau, apakah ia masih akan kuat menunggu hingga kebahagiaan itu datang sendiri kepadanya? Semua pertanyaannya itu segera terjawab, oleh pikirannya yang dewasa itu. Bahwa, Allah tak pernah tidur, dan Allah, maha mendengar apapun dan kapan pun do'a hambanya. Dan Niall yakin itu.
Di dalam do'anya, Niall selalu meminta kesehatan, Kebaikan, keberkahan, dan segala yang baik bagi keluarganya. Tak peduli jika ia harus menunggu berapa lama lagi, dan mengenyam rasa sakit berapa banyak lagi, asalkan hidup keluarganya itu sejahtera.
Niall memang bukan emas yang berharga. Bukan pula mutiara yang indah. Apalagi berlian yang berkilau. Dia hanyalah sebutir debu yang tersisihkan. Niall sadar, akan itu. Di mana memang, dirinya bukan apa-apa, dan bukan siapa-siapa. Tapi, salahkah jika dirinya ingin bahagia walaupun hanya sedetik saja?
"Bi," panggil Niall dengan suara lirih kepada Bi Darmi yang berusaha membujuknya untuk makan.
Bik Darmi menoleh. Menatap manik mata Niall yang nampak sayu itu. "Iya, Den. Kenapa?" tanya Bi Darmi lembut.
Niall berusaha mengumpulkan segala keberanian. Mengindahkan rasa sesak yang sedari tadi menjalar di dadanya. Lihatlah sekarang. Saat ia berada di rumah sakit pun, tak terlihat olehnya batang hidung anggota keluarganya. Tidak sepenting itukah dirinya?
"Kapan, Mama, Papa, Nathan sama Nichol peduli ... sama Niall?"
Pertanyaan dari Niall, sukses membuat Bi Darmi merasakan rasa sakit yang nyaris sama dengan apa yang Niall rasakan. Dadanya terasa sesak. Bukan karena sesak nafas, namun karena air mata yang mendesak ingin keluar. Kalau Niall melontarkan pertanyaan seperti ini, apa yang harus ia jawab?
"Den Niall berdo'a ya, semoga semua harapan den Niall, segera terkabul. Inget, Den. Ada Allah, yang selalu bersama kita."
Barulah Niall bisa tenang, saat Bi Darmi mengucap kata Allah, kepadanya.
Niall kemudian memejamkan matanya, mengusir rasa sesak yang ia rasakan. "Bi," panggil Niall lagi.
"Ya, Den?"
"Niall ngantuk."
"Tapi aqden belum makan,"
"Bacain solawat ya, Bi sampe Niall tidur."
"Ya sudah, tapi nanti kalau Aden bangun, langsung makan ya."
"Iya,"
Bi Darmi sampai-sampai tak sadar, jika ia telah menangis sedari tadi. Mendengar permintaan tulus, dari Niall.
Dan seiring lantunan merdu itu, Niall pun berhasil menjelajah alam mimpinya. Meninggalkan rasa sakit yang sedari tadi ia rasakan.
Biarkan Niall bahagia, sebentar saja. Walaupun hanya, di alam mimpinya.
CallMeNiall
TBC!
Jangan lupa Vote sama Comment nya ya....
Thanks for Reading :*
23/8/18
Revisi : 180719
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top