√Nine | Niall dan Akhir

Niall tak pernah bermimpi setinggi langit.

Niall sadar, selama ini dia bukan anak yang bisa dibanggakan. Dilirik saja, ia tak pernah berharap. Niall juga sadar, dia hanyalah sebutir debu yang tak ada artinya, dan hanya bisa membebani saja.

Niall sadar akan itu.

Anak itu manatap langit malam yang terbentang luas dengan gagahnya. Terkadang, ia membayangkan, kalau kebahagiannya seluas itu. Seindah dan semenakjubkan langit malam.

Hanya saja, lagi-lagi itu hanyalah sebuah angan kosongnya.

"Ma, Pa. Kalo Niall udah gak ada, apa kalian bakal kirim doa buat Niall?"

Niall tak lagi berharap apa-apa. Ia hanya berharap, jika suatu saat dia sudah tiada lagi, kedua orangtuanya masih sudi, barang mengirim alfatihah sebagai penerang alam kuburnya.

Tapi, ya, lagi-lagi itu hanyalah sebuah khayalannya saja. Angan-angan kosongnya saja.

Niall membuang nafas sekali, lalu kembali menatap langit.

Hari semakin malam, dan ia harus segera pulang. Kalau ia tidak juga pulang, bisa-bisa kepalanya itu, akan dipenggal ketika sampai di rumah, lalu dijadikan pajangan dinding, di ruang tamu.

Astaga. Khayalannya terlalu aneh. Niall terkikik sendiri, dibuatnya.

Keluarganya bukan psikopat kejam, atau pembunuh berdarah dingin, 'kan? Jika iya, mungkin sejak lahir ia sudah tidak ada di dunia ini lagi.

Lagipula, jika kepalanya akan dipajang di ruang tamu, apa mungkin? Pasalnya, melihat wajahnya saja, keluarganya tak sudi.

Niall memijat pangkal hidungnya sepanjang perjalanan pulang. Jujur, kepalanya terasa sakit sejak tadi, namun anak itu hanya diam merasakan sakitnya.

Nafasnya sedikit tersengal. Tangan kanannya ia gunakan untuk mengurut dada kirinya perlahan.

Sensasi panas yang menjalar di bagian dada kirinya, serta rasa sakit bagaikan tertusuk jarum, membuat Niall melemas.

Niall mencoba mengatur nafasnya. Sejenak, ia dudukkan bokongnya pada trotoar jalan. Menyandarkan tubuhnya pada salah satu tiang plang, sembari memejamkan matanya.

Sakit!

Rintih Niall dalam hati.

Sejak hari di mana bi Darmi pergi, Niall tak lagi dapat mengatasi rasa sakitnya dengan obat. Ia tak lagi punya uang sepeser pun, untuk membeli obat-obatan yang mahal itu.

Masih bisa melihat hari esok saja, sudah merupakan anugerah luar biasa bagi Niall. Perlahan, ia menggenggam gagang pintu, dan memutarnya.

Tapi sayangnya, ia tak bisa membukanya. Pintunya dikunci dari dalam.

Niall memilih duduk, menyandarkan tubuhnya pada daun pintu.

Tangan kanannya ia gunakan memijat dada kirinya, sementara tangan kiri, ia biarkan terkulai. Sungguh, seluruh tubuhnya terasa ngilu luar biasa, saat rasa sakit menyerangnya.

Niall tak kuat lagi.

Air matanya menetes, kala mengingat apa saja yang terjadi pada dirinya, selama belasan tahun ini.

Niall ingat, saat-saat bersama mbak Sita. Hari-hari di mana ia masih memiliki orang-orang yang peduli padanya.

"Den Niall, aaakk!"

Saat-saat di mana, mbak Sita menyuapi dirinya. Wanita itu tersenyum lembut, lalu memeluknya hangat. Menciumi pucuk kepalanya.

Hari itu, Niall merasa bahwa mbak Sita adalah ibunya.

"Den Niall, jangan hujan-hujanan sayang. Nanti sakit!"

Teringat saat mbak Sita memperingatinya. Memperhatikan dirinya lebih dari segalanya. Memberinya selimut saat ia sakit, dan merawatnya penuh kasih sayang.

Tapi ...

Hanya sebentar saja, sebelum wanita baik hati itu pergi. Meninggalkan berjuta kenangan berarti di sepanjang hidup Niall.

Lalu, ada mang Tatang.

Orang yang selalu membuatkan mainan-mainan sederhana untuknya, namun teramat sangat berarti.

"Den Niall, ini ada pesawat tempur buat aden,"

Niall ingat, sebuah pesawat tempur luar biasa bagi bocah seusianya, yang terbuat dari botol-botol bekas, yang dibentuk sedemikian rupa.

Niall masih menyimpannya di kamar, dan akan ia simpan seumur hidupnya.

"Den Niall, lihat. Ini apa?"

"Woah! Balon tiup!"

Gelembung sabun, yang mang Tatang buat dari sabun pencuci piring di dapur, tak ayal membuat Niall senang. Sepanjang hari, ia meniupnya. Berlarian kesana kemari, sampai membuat asmanya kambuh lalu berujung demam selama tiga hari.

Tapi, Niall senang akan itu. Dan ia akan selalu menyimpan kenangan dari mang Tatang selama yang ia bisa.

Rasanya sesak. Niall merasakan intensitas pada rasa sakitnya semakin menjadi. Hal ini, karena ia menangis terus, membuat jantungnya bereaksi sangat cepat.

Menyakitkan sekali rasanya.

Namun lagi-lagi, yang bisa anak itu lakukan adalah beristigfar dan berdoa. Siapa tau hidupnya lebih baik setelah hari ini.

Terakhir, Niall ingat seseorang yang sangat berarti baginya. Yang selalu peduli padanya sejak ia lahir, hingga beberapa tahun belakangan.

Bi Darmi.

Wanita kuat, dan hebat bagi Niall.

Orang yang paling berarti, dan paling berjasa dalam hidupnya.

Mungkin, kalau Bik Darmi tidak ada, Niall tak akan pernah sampai pada hari ini.

"Den Niall, ini sarapannya nak!"

"Iya, Bi. Terimakasih," gumam Niall lirih, tersamar dengan suara angin yang bertiup kencang. Seolah-olah bi Darmi ada di sini. Masih berada di sampingnya, memeluknya hangat dan membawanya masuk ke dalam.

"Dingin, Bi!" gumam Niall pelan.

Bibir anak itu membiru, sementara wajahnya sangat pucat.

Intensitas rasa sakit yang ia alami semakin lama, semakin menjadi. Membuat Niall rasanya ingin menyerah saja.

"Den Niall harus kuat, ya? Jangan nyerah, oke? Inget Allah Den. Allah selalu bersama kita."

Niall memejamkannya matanya, membuat air matanya jatuh, semakin banyak.

"Niall udah gak kuat, Bi." suaranya bahkan semakin melirih.

Tangannya meremas kuat, titik sakitnya.

"Ma, Pa ..." lagi-lagi, air matanya menetes kian deras. Berpadu antara rasa sedih dan rasa sakit yang ia rasakan. "Niall pamit. Maㅡaf."

Niall tau, ini adalah saatnya.

Kemarin, adalah hari terakhirnya melihat kedua orangtua yang teramat sangat ia sayangi.

Kemarin, adalah saat terakhir melihat kedua saudara kebanggaannya.

Hari ini, adalah saat terakhirnya melihat dunia. Merasakan sakit, sedih dan mengingat segalanya.

Hari ini, akhir dari penderitaannya.

Niall. Tau itu.

"Ma, Pa. Niㅡall sayang kaㅡlian."

Rasa sakit itu seakan semakin menjadi, namun perlahan menghilang.

Tarikan nafas terakhir. Rasa sakit terakhir. Penderitaan terakhir. Dan senyum terakhir yang anak itu sunggingkan, hingga tubuh itu, tak lagi bernyawa.

Niall menyerah.























______________________Π
Niall...... 😔😔😖😖😖😖😖

One last part more:"(
051118
081019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top