Four | Niall and Bullying
"Aku bersekolah, untuk mendapatkan ilmu. Bukan cacian dan makian dari kalian."
.
.
.
Niall mematut dirinya di depan cermin kecil yang berada di kamarnya. Dengan seragam putih abu-abu yang ia kenakan sekarang. Senyum pemuda itu kian terpancar indah, seakan siap menyambut hari barunya.
Segera ia mencangklongkan tas usang di sebelah bahu, lalu mengaitkannya di bahu lainnya. Menenteng sepatu yang baru beberapa hari yang lalu di belinya dengan bi Darmi, hasil menabung selama ini.
Ia langkahkan kakinya menuju dapur. Pandangan matanya tertuju ke meja makan. Ingin sekali rasanya Niall ikut duduk di sana. Berbaur di antara tawa bahagia anggota keluarganya.
Di sana, nampak jelas Nathan dan Nichol mengenakan seragam yang terlihat bagus. Bukan seragam putih abu-abu seperti yang ia kenakan. Namun kemeja putih dengan celana bahan hitam, serta almamater navy yang terlihat pas dikenakan oleh Nathan dan Nichol.
Ah! Pasti itu adalah seragam sekolah elite. Niall sampai tersenyum sendiri saat membayangkan, jika dirinyalah yang mengenakannya.
Terlihat jelas raut wajah bahagia di antara keluarganya. Walaupun kali ini, Niall hanya bisa mengintip lewat dinding, namun ia masih bisa melihat tawa bahagia penuh semangat dari mama, papa dan kedua saudara kembarnya. Walaupun wajahnya dengan dua saudara kembarnya tidak mirip, namun ia sangat bahagia jika melihat saudaranya itu bahagia.
Niall secara sembunyi-sembunyi, menuju dapur. Tak ingin memperlihatkan wajahnya kepada anggota keluarganya, karena mereka pasti tak akan senang.
Di dapur, ia disambut oleh bi Darmi yang tengah menyendoki nasi goreng ke dalam piring untuk Niall. Dan menambahkan sebuah telur mata sapi di atasnya.
"Bibi!" panggil Niall.
"Eh, Aden." bi Darmi terpana sejenak saat melihat Niall. "MasyaAllah, den. Aden ganteng banget, pake seragam ini!" puji bi Darmi.
"Heheh ... makasih, Bi."
Bik Darmi lalu memberikan piring berisi nasi goreng dan sepotong telur itu kepada Niall. "Nih, sarapan buat Den Niall!"
"Wihh ... asik, dapet bonus!" seru Niall senang. Bonus yang ia maksud adalah telur mata sapi di atas nasi gorengnya. Karena jarang sekali ia mendapatkannya.
"Ya udah. Aden makan dulu, sana! Entar telat. Ditinggal angkot nanti."
Niall mengangguk, lalu melangkahkan kakinya menuju pojok dapur. Ia kemudian mendudukkan bokongnya di lantai dingin itu, dan mulai berdoa sebelum makan. Menyuapkan nasi goreng itu, kedalam mulutnya dengan semangat. Nasi goreng buatan bi Darmi memang selalu enak. Walaupun ia terkadang bosan jika nyaris setiap hari makan nasi goreng, tapi rasa syukur itu tak pernah pudar. Masih untung ia bisa makan, kan?
"Den, ini minumnya."
Bi Darmi memberikan segelas teh manis hangat kepada Niall. "Biar ga lemas di sekolah, minumnya yang manis."
"Hehe ... makasih, bi." ucap Niall.
Bi Darmi tersenyum senang. Kemudian ia teringat dengan uang sisa belanjaan yang memang selalu di berikan kepada Niall sejak dulu. Yang sudah menjadi pesan tuan rumah. Bik Darmi merogoh saku Daster yang ia kenakan, menarik lembaran uang 20 ribuan dari saku kanan dasternya. Hanya itu uang sisa belanja hari ini. Namun, ia masih teringat dengan uangnya sendiri. Ia pun menambahkan uang sepuluh ribuan, di dalam lipatan uang 20 ribu itu. "Den, ini uang jajannya." bi Darmi menyerahkan uang itu kepada Niall.
"Banyak banget, bi?" tanya Niall saat melihat uang 20 ribu itu. Biasanya, paling hanya 10 sampai 12 ribu saja, karena nyonya rumah ini, selalu memberikan uang yang nyaris pas setiap bi Darmi berbelanja.
"Lagi rezekinya Aden." ucap bi Darmi. "Aden 'kan anak baik, anak soleh, makanya ada rezeki tambahan buat Aden."
"Wih, asik." Niall menerima uang itu dengan senang hati. Lumayan bisa ditabung. Batinnya. "Makasih, Bi."
****
"Anj*ng, Woy!! Rokok gue, Set*n!"
Niall mengerenyit saat mendengar umpatan tak mengenakkan.
Arrgghhh! Sekolah apa ini? Dan, apa tadi dia tak salah dengar? Dengan semudah dan seberani itu, suara tadi mengatakan, 'rokok'?
Bukankah biasanya disemua sekolah, merokok itu dilarang?
Niall menggedikkan bahunya, lalu melangkahkan kakinya menuju ruang kelas. Karena ini adalah sekolah biasa, jadilah tak ada masa Orientasi siswa atau MOS di sekolah ini, melainkan langsung belajar.
Kelas X A1.
Plang itu terlihat jelas di atas pintu. Segera Niall melangkahkan kakinya masuk ke dalam kelas barunya. Namun, sial baginya saat melangkahkan kakinya, entah apa yang menghalangi kakinya, hinggaㅡ
Ia jatuh, tersandung dengan kerasnya.
"Arrgghhh!"
Niall memekik sakit saat merasakan lututnya terasa pedas. Ada yang dengan sengaja menjegalnya sehingga membuatnya tersungkur. Terbukti setelah ia jatuh, seisi kelas itu langsung tertawa dengan terbahak bahak. Lebih tepatnya, menertawai dirinyaㅡNiall.
Telinga Niall berdenging dan merasa sakit saat mendengar suara tertawa terlampau keras itu. Seakan ikut bahagia melihat penderitaannya.
Niall mencoba bangkit, dengan tertatih, ia mencari meja kosong.
Dapat.
Meja urutan ke tiga, banjar pertama. Ia kemudian mendudukkan bokongnya di kursi itu. Meletakkan ranselnya di atas meja. Mencoba menikmati suasana baru ruang kelasnya. Niall bahkan sudah tak heran lagi, dengan rupa kelas yang rasa-rasanya nyaris ambruk itu.
Langit-langit kelasnya yang terbuat dari tripleks itu bahkan sudah terlihat menganga di beberapa bagian.
"Woy, minggir! Bangku gue."
Niall mendongak saat mendapati seseorang berdiri di samping mejanya. "Hah?" tanya Niall.
"Minggir! Bangku gue, set*n!"
Niall mendengus melihat Pemuda acak-acakan itu. Dengan rokok elektrik yang berada di tangannya.
Di kelas? Merokok?
Danㅡ apa tadi dia bilang? Setan?
Dengan terpaksa, Niall pindah tempat duduk. Ia memeluk ranselnya, dan kemudian berdiri. Memberikan tempat kepada siswa yang 'merokok' itu duduk.
Benar saja. Sesaat setelah Niall berdiri dan menjauh, siswa itu langsung duduk, menaikkan sebelah kakinya ke atas kursi, dengan mulut dan hidung yang terus-menerus menghembuskan asap.
Niall meneguk ludah. Tak ada lagi meja kosong disini, kecuali di sebelah pemuda yang kini tengah menghisap rokok elektrik-nya.
Aromanya ... umm ... Niall tau, kalau ini adalah aroma coklat. Enak memang baunya. Namun saat ia melihat betapa banyaknya asap yang keluar dari mulut dan hidung pemuda itu, Niall menjadi miris sendiri.
Entah sudah separah apa bentuk paru-parunya. Warna bibir mereka pun tak lagi berwarna. Lebih tepatnya hitam kelam.
"Woy, lo!" panggil seseorang.
Niall meneguk salivanya. Lalu menunjukkan telunjuknya ke diri sendiri. "A--aku?" tanya Niall ragu.
"Ya iyalah!" Bentak pemuda tadi. Ya, pemuda dengan rokok elektrik alias Vape yang ia gunakan tadi. "Lo belom dapet meja, 'kan?"
Suaranya... um ... tidak ada sedikitpun menunjukkan keramah tamahan.
"I--iya." jawab Niall lagi. Sebenarnya ... dia sedikit takut.
Pemuda itu menghembuskan asap Vapenya, lalu menyeringai. "Sini. Duduk di samping gue!" ucapnya.
Dahi Niall berkedut takut. Ya Allah, Niall takut... batin Niall. Perlahan, pemuda itu melemparkan tungkainya menuju meja kosong di sebelah si perokok itu.
"Gue Aaron!" ucapnya sembari menghembuskan asap.
"A--aku Ni-Niall," jawab Niall.
"Apa-apa? Apa nama Lo?" tanya pemuda bernama Aaron itu.
"Ni-Niall," ulang Niall.
"Hah?!" Pekik Aaron. "Ngayal¹? Nama lo ngayal?"
Kompak seisi kelas tertawa terbahak mendengar Aaron memplesetkan nama Niall.
"Niall. Namaku Niall. Bukan Ngayal." ucap Niall.
"Terserah deh, nama lo siapa. Duduk sini."
****
Niall berpikir, dengan bersekolah dia bisa mendapatkan ilmu dan memiliki banyak teman. Namun, semua impian dan keinginan Niall hanyalah tinggal angan-angan kosong.
Disini ... di sekolah barunya ini, lagi-lagi ia harus menerima ejekan dan kekerasan.
Seperti sekarang, Niall tengah dikunci di dalam kelas sendirian, karena guru-guru seluruhnya sedang melakukan rapat, jadilah kelas sepi. Dan anak-anak bandel itu seluruhnya berhambur keluar kelas, menyisakan Niall sendirian. Bahkan mereka mengunci Niall di dalamnya.
Kelas ini berubah sepi. Gelap dan mencekam. Seluruh jendela di sekolah ini dari papan. Bukan dari kaca. Jadilah kalau ditutup menjadi gelap.
Di posisi seperti ini, kepala Niall terasa berputar hebat. Pusing ... dan napasnya mulai sesak.
"Ma ... Pa ... se--sak."
Pasokan udara di sekitar Niall seakan menghilang. Membuat Niall dengan keras mencengkeram dadanya.
Dengan lambat, Niall menjangkau ranselnya. Mencari inhaler dari dalamnya.
Dapat.
Segera Niall memakainya.
Setelah napasnya berangsur-angsur teratur, Niall kembali menyimpan inhalernya. Mencoba menetralkan rasa takutnya, Hingga--
"KHIK... HI... HIIIII... HI...KHIKKKIIIIKKKKKK"
Napas Niall kembali memburu. Keringat dingin bercucuran deras, dan detik selanjutnya, Niall pingsan. Jantungnya kumat.
BRAKKK!!
Gelak tawa menggema seisi ruangan saat pintu yang terkunci rapat itu kembali dibuka.
"Semaput dia, Haha!"
Tahukah mereka, kalau Niall memiliki riwayat jantung lemah?
"Woy, Ar! Mati anak orang!"
~~
TBC
.
.
.
.
.
Vote sama Comment di perlukan.
a/n : Ngayal¹ = Menghayal/Halu
Pelafalan nama "Niall --> Nayel"
26/8/18
021019(revisi
Mampir ke heyItsWinka yuk?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top