√Eight | Niall dan Harapan

Harapan Niall, sangat sederhana.

Niall hanya ingin disayangi. Diperhatikan, dan dipedulikan. Ia tidak mau meminta lebih. Hanya itu saja.

Tapi, apakah mungkin?

Dengan langkah pelan, Niall memasuki rumah, lewat pintu belakang.

"Assalamualaikum," ucap Niall pelan, kepada siapa pun penghuni rumah yang sudi, menjawab salamnya.

Tapi sayangnya, tidak ada.

Tak ada lagi bi Darmi yang akan menyambutnya dengan senyuman, lalu menyuruhnya berganti pakaian, dan makan. Niall rindu, beliau.

Dengan langkah lambat, Niall berjalan menuju kamarnya. Mengganti seragamnya dengan pakaian yang selayaknya dipakai.

Setelahnya, Niall kembali menuju dapur. Siapa tahu, ada makanan yang dapat mengisi perutnya yang kosong, sejak pagi tadi.

"Mau apa kamu?"

Niall kontan mengusap dada kirinya, saat sebuah suara, membuatnya berdetak lebih cepat. Nafasnya naik turun tak teratur, hingga dengan istighfar, jantungnya itu kembali normal.

Siti, salah satu pelayan di rumah besar itu, yang mengagetkannya. Pasalnya, selain bi Darmi, pembantu wanita di sini, tak ada yang peduli padanya.

Niall memaksakan senyumnya, sembari menggaruk tengkuknya yang tiba-tiba gatal. "Mau ... makan, Bi." jawab Niall jujur.

Siti menatap Niall dengan tatapan sinis. Lalu menunjuk sudut dapur. "Tuh, makanan buat kamu!" ucapnya ketus, sembari menunjuk sepiring nasi, dan entahlah apa yang menjadi lauknya, tergeletak begitu saja di pojok dapur.

Niall meneguk salivanya. "Ta--tapi, itukan makanan buat kucing," ujarnya ragu-ragu.

Siti menyeringai. "Nyonya nyuruh saya, supaya kasih kamu itu. Gimana dong?" tanya Siti dengan wajah sok menyesal.

"Ta--tapi, itu 'kan kotor."

"Makan aja sih, kenapa susah amat?!" Siti kemudian berjalan ke pojok dapur, meraih piring itu dan membawanya kepada Niall. "Nih, makan! Kalau gak mau mati, makan aja apa yang ada!" ketusnya.

Niall diam saja. Menundukkan kepalanya, saat melihat nasi yang diulurkan oleh Siti.

Nasi yang sekilas terlihat hampir basi, dengan tulang ikan yang sepertinya, sisa makanan pembantu yang digaul jadi satu.

Melihatnya saja, Niall berasa ingin muntah.

Ia kemudian mengangkat wajahnya, lalu tersenyum tipis. "Ya udah, itu buat kucing aja." kata Niall. "Niall gak makan juga gak pa-pa, kok."

Setelahnya, Niall membalik tubuhnya untuk kembali ke gudang--kamarnya.

Siti menyeringai. "Ya baguslah kamu gak makan. Biar cepet mati, sekalian!"

Memangnya Niall tuli?

Dia bahkan bisa mendengar jelas, kata-kata Siti tadi.

Sabar, Niall. Cuma gak makan sehari, kok. Batinnya.

****

Sejak bi Darmi dipecat, Niall sudah membiasakan dirinya menjadi pencuri.

Yah, mungkin terdengar jahat, dan sebuah tindak kriminal.

Tapi, jika ia tidak mencuri, lalu bagaimana caranya ia bisa bertahan hidup?

Lagipula, yang ia curi bukan barang mahal, atau sesuatu yang bisa menghasilkan uang. Ia hanya mencuri beberapa makanan, yang sekiranya dapat mengganjal perutnya. Mencuri di dalam rumah sendiri, sepertinya masih bisa diperbolehkan, bukan?

Pukul 01.00

Niall tau, kalau seluruh anggota keluarga di rumah, pasti sudah tidur. Ini, adalah waktu yang paling tepat, untuk mencuri makanan.

Lampu dapur yang dimatikan, tak pernah menyulitkan Niall, untuk bergerak menjelajahi dapur. Berbekal insting, dan cahaya meremang dari arah kamar mandi dapur, membuatnya bisa bergerak bebas.

Perlahan, Niall membuka lemari es, yang tingginya melebihi tubuh.

Niall terbilang pendek, untuk tinggi badan anak lelaki seusianya. Tingginya sendiri, hanya 168 cm. Dan ia tak tau, apakah masih bisa tinggi, kalau ia kekurangan kalsium seperti sekarang?

Tak ada bahan makanan sisa, yang bisa Niall curi. Semuanya masih bersegel, dan Niall takut mengambilnya. Ia tak bersalah saja, sudah disiksa. Apalagi kalau dia ketahuan bersalah? Bisa langsung dihukum mati, dia.

Niall kembali menutup kulkas dengan perlahan. Ia melangkahkan kakinya menuju lemari di atas kompor. Untunglah. Tuhan masih berbaik hati kepadanya.

Stoples kerupuk, membuat matanya berbinar. Diraihnya stoples itu perlahan. Meletakkannya di lantai, lalu berjalan pelan menuju meja makan besar di ruang makan, yang bersebelahan dengan dapur. Sayangnya, meja itu kosong. Di atasnya, hanya ada beberapa peralatan makan super mahal.

Ahh, Niall tak mungkin memakai itu semua. Bermimpi saja tak pernah?

Niall kembali ke dapur. Membuka magicom, dan mengambil sedikit nasi dari sana. Tentu saja, menggunakan piring yang biasa digunakan pembantu.

Setelah mengambil nasi, ia memilih mendudukkan bokongnya, di dekat stoples kerupuk yang ia simpan. Mengambil sebuah kerupuk, dan mulai menikmatinya.

Makan di tengah malam yang sepi seperti ini, adalah saat-saat paling menyenangkan bagi Niall. Walaupun hanya dengan nasi dan kerupuk. Karena yang terpenting adalah, ia bisa makan, dan kenyang. Itu saja.

Semakin besar, Niall semakin sadar, jika ia tak boleh terus-menerus bersedih meratapi nasibnya. Bersyukur, keluarganya ini, masih berbaik hati menyediakannya tempat untuk berteduh.

Niall tak berani melawan. Takut dilempar pergi, dari rumah. Lalu, ia akan tinggal di mana kalau itu sampai terjadi? Lagipula, terdapat banyak sekali kenangan, di dalam rumah ini. Juga banyak sekali siksaan yang ia alami, di sini. Niall tak ingin melupakan semuanya, barang sedikitpun. Ia ingin menghabiskan sisa-sisa usianya, di sini.

Jantung itu, semakin hari semakin melemah. Ia tak bisa memprediksi, entah sampai kapan, jantung itu terus bekerja.

Paru-parunya, semakin lama semakin rusak. Semakin menghimpit, dan tak tau, sampai berapa lama, paru-parunya itu akan terus mengembang dan mengempis.

Tubuhnya yang penuh bekas luka dan kesakitan itu, entah sampai kapan akan bertahan. Entah sampai kapan, akan terus berdiri tegak, dan berjalan melewati sisa-sisa harinya.

Apa amalnya sudah cukup, untuk menemui ajalnya nanti?

Apa Tuhan akan memanggilnya disaat ia siap melepaskan semua kenangannya di tempat ini?

Apa, dia akan meninggal dalam kasih sayang?

Atau, dia akan meninggal dengan kebencian yang masih mengukungnya?

Apakah dia meninggal secara baik?

Atau mati di tangan keluarganya sendiri?

Niall berdiri, mengemaskan kembali stoples kerupuk ke dalam lemari di atas meja kompor. Mencuci piring yang ia gunakan tadi, dengan gerakan lambat, penuh kehati-hatian agar peralatan itu tak saling bergesekan, dan akan membuat berisik satu rumah.

Yang ada, dia bisa digantung, atau bahkan ditembak tepat di kepalanya, atau di jantungnya.

Niall bergidik. Ia mengeringkan tangannya yang basah, ke celana yang ia kenakan, sampai kering.

Setelah itu, ia menyusuri lantai, tempat dia makan tadi. Siapa tau, ada nasi atau remahan kerupuk yang terjatuh. Ia harus membersihkannya.

Setelah semua selesai, Niall membalikkan tubuh, untuk kembali ke gudang--kamarnya.

Bersholawat kecil, untuk menenangkan hatinya. Siapa tau dengan bersholawat, dosanya sedikit berkurang?

Ya, bukankah baru saja dia berbuat dosa? Mencuri makanan di rumah sendiri. Bukankah itu dosa?

Setelahnya, Niall menutup pintu kamarnya, dan bersiap tidur. Bagaimana pun, besok ia harus sekolah.

Tanpa Niall sadari, seseorang baru saja memperhatikannya di balik tembok, dengan dada sesak dan perasaan aneh yang mejalar dalam dirinya. Seperti, ingin menangis.





________________Π
TBC

Dedicated to : ChieraLadiiyazta
😊
21sept18
061019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top