9. Kacang, Kacang!

Sepertinya, kekhawatiranku terbukti.

Lagi – lagi, di pagi hari aku melihat Vani menekuk wajahnya. Aku jelas penasaran, jadi aku langsung menanyakannya.

“Perasaan kok ane sering banget ya liat ente nekuk muka gitu? Elu kalo ada masalah pasti dibawa baper begitu yak?” tanyaku.

“Gimana nggak baper La...” sahut Vani.

“Ya udah, cerita napa!”

Akhirnya Vani menceritakan apa yang dialaminya.

Jadi, selama ini, Vani dikacangi oleh Liam.

Bagiku, ini hal yang biasa. Dia bisa dibilang nggak menganggapku ada. Tapi... Aku kan nggak peduli.

Beda dengan Vani. Dia memang sudah dekat sama Liam, dan dikacangi seperti itu memang membuatnya heran.

Dimulai dengan chat yang sering lambat dibalas, atau malah nggak sama sekali. Lalu saat di sekolah, Liam jadi nggak banyak ngomong sama Vani. Bisa dibilang dia malah sedikit menghindari Vani.

Kalo dipikir sih, emang cowo ini brengsek. Pikirin aja. Dia yang nyatain duluan ke cewenya, kemudian dia juga yang perlahan menjauhi cewenya. Aku mikir... Cowo ini kepengennya apaan sih? Ditenggelamin di air terjun Niagara?

Sebetulnya, apa yang dia lakuin itu nggak sepenuhnya salah. Karena dia taunya kalau Vani punya pacar. Yah, cari mati aja sih, kalo ngedeketin cewe yang udah punya pacar.

Tapi dari sisi lain, gue menganggap dia cowo yang cemen. Kenapa? Dia nggak mau usaha buat memperjuangkan perasaannya. Cewe yang dia incar emang udah ada yang punya, tapi gak ada salahnya kan kalau ngarep dia putusan? Dan lagi, Vani bilang kalau dia ngerasa nyaman sama Liam. Kenapa coba dia nggak berusaha lebih? Padahal, kalau cewe udah nyaman, gampang aja bikin dia merasakan hal yang sama. Dia itu cowo atau apa sih, hal yang dia lakukan ini sama sekali nggak jantan, tau.

Bahkan aku sempat berpikir bahwa dia adalah robot yang salah produksi karena dia nggak bertingkah seperti cowo pada umumnya.

Hal ini jelas membuat Vani kepikiran terus.

“Tunggu, sejauh ini, gue nggak nangkep kalo elu naksir sama Liam. Tapi elu mendekati dia karena kepengen temenan sama dia, gitu kan?” ujarku.

“Ya, emang. Dan dia menjauh dari gue itu rasanya aneh.” Jawab Vani.

“Mungkin dia takut elu nggak ngebales perasaannya kali, makanya dia menjauh...”

“Iya, tapi masa berteman aja nggak boleh?”

Aku terkekeh. “Aku tau. Tapi kalau dia menjauh, sebaiknya elu nyerah aja deh...”

“Tapi kan dia sendiri yang bilang suka temenan sama gue.”

“Dan elu mau bikin dia baper mulu karena temenan sama elu? Kalo gue jadi Liam, ya mungkin gue bakalan mundur teratur juga.”

“Tapi...”

“Tapi apa? Dia maunya begitu kan?”

“Masa iya hubungan kami yang bagus diakhiri begitu?”

“Itu terserah elu. Yang punya hubungan kan elu, masa gue juga ikut mikir?”

Kalau boleh dinilai, diantara mereka nggak ada yang bener dan nggak ada yang salah. Pikir aja begini, Vani nggak bisa dianggap bener, karena dia seperti memaksakan agar mereka berdua bisa temenan lagi. Tapi nggak bisa dianggap salah karena dia memang ingin memperbaiki hubungan mereka. Liam sendiri nggak bisa dianggap salah, karena dia nggak pengen baper lagi karena terlalu sering berinteraksi dengan Vani. Tapi dia juga nggak bisa dianggap bener, karena yang dia lakukan nggak jantan.

Belum lagi Vani. Dia boleh bilang kalau dia mau berteman dengan Liam. Tapi dari apa yang bisa diliat dari usahanya, sepertinya dia menyukai Liam, entah dia sadar atau tidak.

Udah ah, pusing mikirinnya. Intinya satu aja : Bisa jadi mereka sama – sama suka, tapi mereka terlalu ragu untuk mengakui dan mengatakannya.

Dan kini, Liam ngacangin Vani.

~~~~~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top