16. Headshoot!

Seminggu sudah berlalu semenjak aku chat dengan Pak Wendy. Dan kuakui, semenjak saat itu sepertinya Liam seperti mendekatiku.

“Rila, boleh aku pinjam bukumu?” tanya Liam, yang kini tiba – tiba ada di sebelahku.

“Nggak, aku masih make.” Sahutku.

“Ya udah, gak papa deh. Makasih sebelumnya.”

“Ya.”

Begitulah. Aku mati – matian berusaha menghindarinya. Bukan kenapa, tapi aku merasa risih. Karena aku tau persis kalau dia mendekatiku karena dia ingin mencari tau soal Vani dari aku.

Dan maaf aja, cowo seperti dia itu harusnya berusaha sendiri.

Hingga akhirnya, aku sedikit telat saat pulang sekolah, dan di kelas tersisalah aku dan Liam.

Baru saja aku akan pergi, tiba – tiba Liam menahanku. Dia meremas bahuku erat, tidak membiarkan aku untuk pergi.

“Lepaskan, Liam.” Ujarku.

“Tidak. Sebelum kita bicara.” Sahut Liam.

“Kita nggak butuh bicara apapun.”

“Ya, kita butuh.”

“Kau butuh bicara, tapi bukan denganku, bodoh.”

“Kumohon... Ini soal Vani...”

Aku menghempaskan tangannya yang ada di bahuku dan langsung menoleh sambil memperlihatkan wajah kesalku padanya.

“Bisa nggak sih kamu jangan ganggu aku! Aku ini sudah berusaha buat nggak mengganggu kamu sejak dulu, tapi sekarang kamu mengusik ketenangan diriku karena mau bertanya soal Vani! Itu mengganggu, tau!” seruku kesal.

“Kamu cemburu?”

“Maaf saja, jangankan mau menaruh hati padamu, mau dekat – dekat kamu aku juga malas.”

“Tapi kenapa kamu marah?”

“Karena aku kesal kamu nggak bertindak jantan pada sahabatku yang kamu cintai! Sadar nggak sih, kamu itu cowo yang payah banget! Sudah mengakui perasaanmu sama Vani, eh tiba – tiba kamu ngacangin dia dan pergi dengan orang lain! Aku marah karena aku peduli sama sahabatku, tau!”

“Kenapa kamu peduli? Kamu bilang hal yang penting bagi orang lain nggak penting buatmu, iya kan?”

“Memang iya! Coba pikir, ngapain kamu mikirin perasaan sahabatmu yang lagi galau sampai begitu dalam. Nggak penting kan? Bagiku itu penting! Aku kesal, tau. Dia nggak berhenti ngomongin soal kamu sampai kupingku panas, dan aku tau, di belakangku dia bakalan nangis karena kamu! Itu membuatku kesal setengah gila, bodoh!”

“Tapi kenapa? Kalau kamu mendukung aku dan Vani, kenapa kamu nggak mau bantuin aku?”

“Karena kamu cowo paling dungu yang pernah aku kenal! Mana ada coba cowo yang langsung mundur teratur walau gebetannya udah punya pacar! Kamu terlalu cupu buat jadi cowo, tau! Cowo paling bocah yang kukenal seumur hidupku sekalipun nggak bakalan ngelakuin hal yang sama sepertimu!”

“Aku masih heran kenapa kamu marah padaku.”

“Karena aku membela Vani! Puas?! Karena aku nggak mau liat dia sekali lagi terluka karena kamu. Makanya aku judes sama kamu! Karena aku takut kamu menghancurkan hati sahabatku sekali lagi!”

“Tapi... Aku kali ini janji La, aku janji nggak bakalan nyakitin Vani lagi. Aku sungguh – sungguh suka sama Vani, La...”

Aku menarik napas sejenak, kemudian berusaha mengontrol amarahku sedikit.

“Untunglah kamu mengucapkan kalimat itu lebih cepat. Kalau tidak, dalam waktu satu menit lagi kau akan kuhajar.”

“Kumohon La, kamu boleh marah sama aku. Menghajarku sampai mati juga boleh. Aku tau aku ini cowo paling tolol yang ada di muka bumi, dan semua kemarahan kamu itu menamparku keras, bagaikan sebuah headshoot ke keningku. Tapi kumohon tolong aku buat mendekati Vani lagi. Hanya kamu yang bisa, kumohon...”

“Nanti malam, kamu chat aku saja.” Sahutku, lalu bergegas untuk pergi.

“Hei, kenapa!”

“Pertama, aku yakin akan ada kehebohan kalau kita ngobrol disini. Kedua, aku perlu sedikit menenangkan diriku dulu.”

Aku berjalan ke luar kelas, melewati beberapa orang dengan wajah penasaran yang ada di dekat kelasku.

Yah, aku senang kalau aku bisa memberi sebuah headshoot padanya.

Sepertinya coklat bagus untuk menenangkan pikiranku hari ini. Atau mungkin es krim? Ah, nanti akan kuputuskan...

~~~~~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top