Two Worlds
'Jika kau mau melihat lebih dekat. Aku hanya meminta hal sederhana.
.
.
Aku memintamu untuk mengerti.'
Taehyung memasang wajah datarnya kala suara Chanyeol yang tengah menyetir di sebelahnya kembali meninggi. Sudah sekitar setengah jam kakak kesayangannya itu mengomelinya karena ia kabur tadi pagi dari apartment dengan keadaan demam.
Belum lagi Chanyeol jadi tidak bisa menceramahi adiknya itu seperti yang ia rencanakannya kemarin.
"Hyung, berhentilah, kepalaku pusing sekali." Keluh Taehyung lirih sambil mengusap titik sakit di sekitaran keningnya, tangannya ia sandarkan pada jendela kaca mobil dan dengan lelah menatap Chanyeol yang seperti tidak mendengarnya.
"Bagus! Itu salahmu sendiri! Kenapa kau keluar dari apartmentku tadi pagi? Kau jadi terkena angin dingin dan semua orang tau betapa rentannya kau dengan itu."
Chanyeol mendecak kesal lalu menatap adik semata wayangnya itu dengan tajam, "Padahal kau lahir di musim dingin. Harusnya kau punya pertahanan diri yang baik terhadap dingin kan? Menyusahkan saja!"
Taehyung mengerutkan alisnya marah, ia mendelik, "Jadi begitu? Aku menyusahkanmu, hyung?"
Chanyeol langsung gelagapan dibuatnya, tangannya yang berada di stir mengerat. Dalam hati dia sudah mengutuk dirinya sendiri karena berkata seperti itu pada Taehyung.
Tangan besar Chanyeol terulur pada Taehyung yang sibuk menatap jalanan lewat jendela di sampingnya. Mengusap lembut surai biru sang adik yang asyik dengan pikirannya sendiri. Tangannya menumpu dagu lancipnya dan mata hazel Taehyung tak teralihkan dari gedung-gedung elit Seoul.
"Aku hanya khawatir, Tae."
Chanyeol mengusak puncak rambut biru adiknya pelan. Berusaha membuat Taehyung tidak marah. Namun seperti sia-sia saja, bahkan sampai mereka memasuki rumah besar milik sang ibu, Taehyung masih enggan mendengar permintaan maaf sang kakak dan langsung masuk ke dalam.
Menjadi anak dari kedua orang tua yang sudah bercerai memang membuat Taehyung tumbuh menjadi anak yang super sensitif. Ia bisa cepat marah akan sesuatu dan merasa sedih atau tersinggung hanya karena hal kecil.
Karena ia merasa dirinya— tidak lengkap.
Harusnya, Chanyeol menjaganya dari hal-hal yang membuat Taehyung merasa 'berbeda' karena kedua orang tuanya sudah tidak tinggal satu atap dan memberikan perasaan di mana dia masih punya rumah yang sama seperti anak-anak lain.
Namun pagi ini, Chanyeol menekan tombol bahaya di otak Taehyung yang membuatnya otomatis menjadi diam.
"Aigooo, sayangku," nyonya Kim dengan segera merengkuh tubuh Taehyung ke pelukan hangatnya dan mengusap pelan rambut Taehyung.
Chanyeol tersenyum kecil saat melihat sang ibu menggoyangkan tubuh Taehyung yang berada di pelukannya ke kanan dan kiri sembari mengecup pipi anak itu berkali-kali.
Hak istimewa anak kesayangan.
Ia meletakkan tas Taehyung di sofa tanpa mengalihkan pandangannya dari keluarganya itu. Ibunya pasti sangat khawatir mendengar Taehyung yang tiba-tiba menghilang lalu kembali dengan keadaan demam seperti itu.
"Kau tidak boleh melakukan itu lagi, sayang. Kau membuat eomma khawatir."
Taehyung hanya mendengung sambil mengangguk kecil menanggapinya. Badannya benar-benar terasa tidak nyaman sekarang.
Nyonya Kim mengurai pelukannya pada Taehyung dan menatap anak itu lekat. Mengusap pipi tirusnya lembut lalu menghela nafas berat.
"Kau juga demam sekarang. Ya Tuhan Taehyungku, kau tidak boleh sakit eoh? Kalau kau kabur karena khawatir eomma akan memarahimu, itu tidak akan terjadi. Kau boleh memiliki warna rambut apapun, masalah peraturan sekolah, eomma bisa mengurusnya untukmu."
Bungsu keluarga Kim itu masih diam.
Bukan karena itu eomma.
"Yasudah, kau langsung ke kamar ya sayang. Eomma sudah buatkan sup abalon kesukaanmu. Istirahatlah, nanti eomma akan antar."
Setelah Taehyung naik ke kamarnya, Chanyeol mendekat pada ibunya dan memeluknya erat. Sang ibu mengusap punggung Chanyeol sayang.
"Hyung-ie, tinggal sampai makan malam ya? Eomma masak banyak hari ini."
Hati Chanyeol perlahan menghangat.
Ia kalah.
Kalau ibunya sudah memintanya tinggal seperti ini, dia tidak bisa menolak. Ibunya jarang sekali meminta sesuatu padanya atau melarang melakukan sesuatu selama itu tidak melanggar hukum.
Dan bila ibunya memintanya tinggal, itu hanya berarti satu hal.
"Eomma rindu, apa sekarang kau mau menjadi anak nakal dan melupakan eomma, Chan?" Suara ibunya terdengar lirih dan Chanyeol tidak kuasa untuk tidak tersenyum.
Chanyeol mengurai pelukannya pada sang ibu mencium pipi wanita yang paling berharga dalam hidupnya itu lembut.
Membuat nyonya Kim tersenyum.
"Apapun untuk eommaku yang cantik ini."
***
"Apa kau tidak bisa lebih berguna hah?!"
Mata Aira terpejam takut kala ayahnya kembali berteriak. Sendok dan sumpit yang tadinya ia genggam sudah terbuang ke lantai.
"Memasak masakan sederhana saja kau tidak bisa! Apa yang bisa kau lakukan dengan benar hah?!
"M-maaf appa."
"Maaf, maaf! Aku bosan mendengarmu meminta maaf! Aku hanya butuh kau menjadi berguna di hidupku! Apa begitu saja kau tidak bisa?!"
Aira menggigit bibirnya menahan isakan. Menautkan dengan gugup jari-jarinya yang penuh luka.
Aira sudah berusaha.
Demi Tuhan.
Ia sudah berusaha.
Di setiap irisan daging yang ia buat, Aira menyertakan cintanya. Di setiap ayunan spatulanya ia berdoa demi kesehatan sang ayah. Di setiap taburan penyedap rasa yang ia masukkan, Aira berharap ayahnya selalu bahagia.
Saat menghias masakannya pun Aira tidak berhenti tersenyum. Berharap sang ayah akan menyukai masakan yang ia buat dengan segala pengharapan yang tersirat di sana.
Meski tangannya harus terluka.
Meski ia harus mengorbankan waktunya.
Meski ia sendiri juga, belum makan.
"Bereskan ini semua! Aku jadi tidak lapar."
Air mata Aira menetes tepat saat ayahnya bangkit dan pergi meninggalkan ruang makan mereka. Sebenarnya saat ayahnya melewatinya, Aira sangat ingin memeluk sang ayah.
Menyalurkan rasa rindunya. Meminta haknya sebagai anak untuk disayang dan juga dilindungi. Ia ingin mengatakan bahwa ia sangat menyayangi sang ayah meski sikap kasar pria paruh baya itu padanya sudah sangat keterlaluan.
Ia tidak peduli.
Park Jaesung tetaplah ayahnya.
Ayah kandungnya.
Dan apapun yang terjadi Aira tetap menyayanginya.
***
Genggaman tangan seorang pemuda yang baru saja menyaksikan pertengkaran Aira dengan ayahnya mengerat. Buku jarinya memutih dan rahangnya mengeras otomatis. Ia menghela nafas lalu menyeringai seram.
"Bagus, kau merusak hariku yang lain. Dasar anak sialan."
Pemuda itu kembali naik ke lantai atas. Berjalan langsung ke arah kamarnya, senyumnya terukir saat netranya menangkap sesosok gadis yang kini sedang berkutat dengan laptop dan beberapa kertas di sekitar meja belajar miliknya.
Gadis itu mendongak, menatap penuh tanya terhadapnya.
"Apa semua baik-baik saja? Aku mendengar appa-mu berteriak."
"Apa perlu ku jawab?"
Gadis itu mengerutkan alis kesal, "Ya, Park Jimin."
Jimin terkekeh lalu berjalan ke arahnya, "Semuanya tidak pernah baik-baik saja sekarang, Senna-ya. Kau tau itu."
"Apa— adikmu kena marah lagi?"
Jimin diam. Memilih duduk di samping Senna dan membaca hasil kerja Senna di laptopnya.
"Apa kau sama sekali tidak kasihan padanya, Jim? Itu bukan salahnya kalau—"
"Bisakah kita selesaikan tugas ini saja dan berhenti membahas tentang keluargaku?"
Senna menatap Jimin datar. Ia sebenarnya kesal karena anak itu berani memotong kalimatnya barusan. Tapi setelah melihat mata Jimin yang seolah memohon padanya, Senna mengalah.
---------
March, 18 2019
Okay sudah up lagi, pusing aku ngurusin Taetae yang makin hari makin💜💜
Balik ke rutinitas mahasiswa lagi setelah ini haaaaaa
See you in the next chapter ya💜💜
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top