PART 1 (i hate you angel william)
Angel hanya bisa termenung di dalam kamarnya, sudah dua hari semenjak berita tentang keberangkatan dirinya ke rumah suami yang bahkan dirinya tidak tahu siapa itu orangnya, karena sebuah pernikahan sialan yang bahkan dia tak merasa melakukannya, yang dilakukan oleh Papanya, akan dilakukan dua minggu lagi membuatnya benar-benar seperti dihantam nuklir. Hidupnya benar-benar akan tamat sekarang, cobaan demi cobaan terus berganti, setelah kematian kekasihnya dua tahun silam, sejak insiden itu hati Angel benar-benar terasa mati. Terlebih, berita mengejutkan dari Papanya, saat dia dipaksa menikah dengan lelaki yang tak dikenalnya. Alasan orang tuanya menikahkan Angel tak lain adalah karena harta, Angel sebenarnya tak terima, dia merasa dijual orang tuanya hanya untuk menutupi kebangkrutan dari perusahaan keluarganya. Saat Angel menolak dengan keras, malah membuat Papanya drop dan harus dilarikan di rumah sakit. Tak lama setelah itu, Papa Angel meninggal. Kini, siapa yang bisa mendengar tangis hati Angel, air matanya sudah mengering. Hatinya terasa mati, tak ada satu orang pun yang bisa membantunya keluar dari takdir yang benar-benar telah merenggut kebahagiaannya.
Alan begitu jeli memandangi foto berbingkai yang ada di meja kerjanya, mata cokelatnya terlihat penuh amarah. Kejadian itu benar-benar tidak bisa dilupakan, sebuah penghinaan yang dilakukan seorang gadis saat dirinya masih berada di bangku kuliah untuk mengambil gelar S1 dulu. Gadis pertama yang mampu menarik hatinya menolaknya mentah-mentah di depan umum. Wajah gadis itu, penghinaan gadis itu, sampai detik ini membuat kebencian terhadapnya semakin dalam. Kebencian yang membuat Alan ingin sekali balas dendam.
"Dua minggu lagi ya," kata lelaki perawakan tinggi tegap dengan rambut ikalnya, wajah Timur Tengah dengan kulit kecokelatan membuatnya terkesan sangat eksotis.
Alan tersenyum kecut sambil terus memandangi foto itu.
"Pembalasan dendam pengusaha muda Alan Rivano kepada istri dari sahabatnya sendiri." Sontak perkataan seorang lelaki yang baru saja masuk ruangannya membuat ekspresi Alan berubah, raut-raut amarah terlihat begitu jelas menghiasi wajah tampannya.
"Bukan balas dendam, tapi bayaran bagi orang yang berani menghinaku," jelas Alan membantah tudingan Andrew. Andrew hanya menghela napas, dia tahu betul kalau sahabatnya sudah seperti ini tak akan mampu untuk dicegah lagi.
"Well, aku tak akan bahas itu lagi. Ini berkas-berkas yang harus kau pelajari untuk meeting besok, dan aku akan menyelesaikan pekerjaanku sekarang," kata Andrew bergegas meninggalkan ruangan Alan.
"Bagaimana, Tuan Andrew?" tanya lelaki paruh baya sambil berjalan menghampiri Andrew, wajahnya terlihat begitu cemas. Andrew hanya bisa menaikkan kedua pundaknya seakan memberi isyarat kalau dia sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
"Meski bagi Tuan Alan dia bisa membeli segalanya dengan uang, tapi tak seharusnya dia melakukan ini. Sebenarnya Papa Tuan Alan sudah ingin membatalkan pertunangannya dengan Nona Angel, saat Nona Angel memohon kepada Papa Tuan Alan karena dia telah memiliki kekasih, tapi Tuan Alan menolak mentah-mentah, dan keinginan menikahi paksa Nona Angel semakin kuat, sampai akhirnya kebangkrutan keluarga Nona Angel membuatnya memiliki kesempatan emas untuk meluruskan usahanya. Dan terakhir saya dengar, sudah beberapa hari Nona Angel tidak mau makan dan jatuh sakit," terang Herry.
"Aku sudah berusaha mati-matian, Herry, tapi kau tahu sendiri bukan kalau Alan tipikal orang yang tak bisa dibantah oleh siapa pun, jika dia menginginkan sesuatu, dia pasti akan mendapatkannya apa pun itu caranya." Kini Andrew dan Herry hanya bisa menghela napas panjang mereka, benar-benar mati akal untuk menyelamatkan seorang gadis dari jeratan Alan.
HP Angel berbunyi lagi setelah beberapa kali berbunyi sebelumnya, dengan berat hati Angel mengangkat HP-nya,
"Hallo, Ngel, kau di mana? Ayolah, kau bisa menemani aku mencari kado untuk Ana, bukan, aku sungguh kebingungan memilihkan dia kado ulang tahun, kau tahu sahabatmu satu itu benar-benar rewel kalau soal hadiah. Jadi tolong, kau harus menemaniku sekarang." Belum sempat Angel mengucapkan 'hallo' suara di seberang sana sudah berbicara tanpa henti.
"Tapi aku tak bisa, Doni, aku benar-benar tak enak badan sekarang. Aku tak punya nafsu untuk pergi ke mana-mana."
"Kalau kau tidak datang dalam waktu 30 menit, aku anggap persahabatan kita berakhir!!"
"Halo ... Halo, Donii. Haloo!" Doni langsung mematikan Hp-nya, dengan berat hati Angel melangkah menemui tunangan Ana yang kebetulan juga merupakan sahabatnya sejak SMU.
"Ya, Tuhan, Angel, penampilanmu ...? Sejak kapan malaikatku ini menjadi gembel seperti ini!" jerit Doni histeris sambil merapikan rambut Angel yang acak-acakan, wajahnya pucat pasi dengan kedua mata bengkak.
"Apa kau masih belum bisa melupakan Steave?" selidik Doni tapi dijawab gelengan oleh Angel.
"Lalu?"
"Sedikit masalah keluarga, tak perlu kau pikirkan."
"Ngel, dengarkan aku," kata Doni sambil memegang kedua pundak Angel, "Masalah apa pun itu, aku harap kau mau membaginya denganku dan Ana. Ingat, kami ini sahabatmu, jangan sampai kau hancur dengan masalahmu, oke. Kau bisa janji itu padaku?" Angel mengangguk dengan senyum simpulnya, Doni membalas senyuman itu sambil menggandeng Angel melangkah menyusuri trotoar pusat kota, tempat paling strategis untuk mereka berbelanja.
"Wanita baik-baik, huh? Wanita seperti apa saat memiliki suami masih bermesraan di pusat perbelanjaan dengan lelaki lain, apa Steave belum cukup? Dasar wanita penghibur," geram Alan dari dalam mobil sambil terus menatap keakraban Doni dan Angel.
Angel menyusuri ruangan demi ruangan perusahaan terbesar di Paris. Tatapannya menatap kanan-kiri mencoba mencari petunjuk dari apa yang dicarinya. Sebenarnya, dia juga tak tahu apa yang sedang dia cari dan apa yang sedang dia lakukan di perusahaan ini, dia hanya mengingat pesan dari almarhum Papanya untuk datang ke perusahaan ini agar dia bisa bekerja. Sebagai bentuk pelatihan untuk nantinya memimpin perusahaannya yang hampir bangkrut karena keteledoran salah seorang karyawan yang mengambil uang perusahaan yang tak sedikit.
Beberapa kali Angel menghela napas, Papanya seminggu yang lalu telah tiada, jadi sebenarnya untuk apa dia lakukan semua ini? Tapi Angel tipikal orang yang selalu menjunjung tinggi tanggung jawab, meski hatinya hancur, meski dia tak suka, mau tak mau dia harus melakukannya demi nasib ribuan karyawan yang bergantung pada perusahaan Papanya.
"Sedang cari apa, cantik?" sapa seorang lelaki perawakan kurus dengan kacamata tebal menghiasi hidung mancungnya. Rambutnya belah samping terlihat begitu rapi dan licin. Segurat senyum ramah menghiasi sudut-sudut bibirnya.
"Nick. Ya, ampun, akhirnya aku bertemu orang yang aku kenal juga," kata Angel lega, "Aku ke sini atas rekomendasi dari Papa, katanya ini salah satu perusahaan sahabatnya, dan aku disuruh bekerja di sini. Ehm, ngomong-ngomong kau bisa menunjukkan padaku di mana tempat ini?" tanya Angel menyodorkan secarik kertas, Nick tersenyum lebar sambil melirik gadis cantik yang ada di depannya.
Meski sudah empat tahun tak bertemu Angel tetap seperti dulu, seakan wajahnya tak berubah sedikit pun, manis, cantik, dan mungil. Kulit putihnya terlihat begitu bening, dan nampak indah dengan rambut cokelat panjang yang terurai berkilauan.
"Nick," kata Angel sekali lagi.
"Eehm, maaf, aku terlalu memperhatikanmu sampai aku tak mendengar ucapanmu, cantik. Kalau tempat ini kebetulan aku yang menjadi manajernya, jadi mulai sekarang kau akan menjadi anak buahku?"
"Syukurlah, Nick, kau jadi atasanku. Kalau begitu, ayo, kita ke ruangan sekarang." Angel sudah mengira kalau Nick pasti menduduki jabatan tinggi di perusahaan ini, karena sejak dulu dia adalah anak jenius dan serba bisa, rapi, dan cekatan itulah menjadi nilai plus pada lelaki ini, terlebih dia begitu baik.
"Bukankah itu Angel?" kata Andrew saat makan siang di restoran dekat perusahaan di mana dia bekerja, Alan tetap sibuk mengaduk kopinya tanpa memedulikan arah pandang Andrew.
"Dia itu sedang sama siapa? Sepertinya aku tak mengenalinya," ucapan Andrew berhasil membuat Alan melirik ke arah pandangannya.
"Dua hari yang lalu aku melihatnya jalan begitu mesra dengan lelaki lain, dan itu bukan Steave ataupun lelaki itu," kata Alan membuka suara, "Dan kau lihat sendiri bukan, dia dengan lelaki itu juga begitu akrab. Mana mungkin wanita baik-baik yang jelas-jelas memiliki suami melakukan hal itu kepada lelaki lain, Andrew? Apa kau sudah bisa membuka matamu tentang Angel? Bahkan dia memiliki dua suami, dan aku tak tahu dia akan melakukan apa saat dia pindah di rumahku nanti, mungkin dia akan membuat Steave seakan-akan jadi suami simpanannya, dan lelaki-lelaki lain sebagai kekasih gelapnya, pelacur."
"Sejak kapan kau mampu biacara panjang lebar mengenai perempuan, Alan? Wah, dendammu terhadapnya begitu hebat sampai membuatmu bisa secerewet ini," sindir Andrew, Alan hanya berdehem tanpa bicara sepatah kata pun.
"Hey, ayolah. Kau jangan asal tuduh, siapa tahu lelaki itu kakaknya, sepupunya, atau apalah yang masih ada hubungan darah, atau sahabatnya."
"Semua sepupunya ada di Amerika, Andrew, kau jangan bodoh. Dia anak semata wayang keluarga William."
"Kau cemburu, Alan?" Kali ini Alan menarik sebelah alisnya mendengar ucapan sahabatnya, cemburu? Tidak. Ini sama sekali bukan cemburu melainkan kebencian yang teramat sangat.
"Aku tahu seorang Alan Fernando, CEO termuda yang kaya raya, tidak pernah mau terikat dengan wanita mana pun karena sukanya hanya melakukan cinta satu malam pada semua gadis perawan, dan sekarang, kau menjerat dirimu kepada seorang gadis yang telah mempermalukanmu? Ayolah, sadar, Alan, kalau kau tak mencintainya, kenapa kau repot-repot menjerat dirimu sendiri, kalau kau mau kau bisa membayar semuanya tanpa ikatan, bukan? Ini bukan dirimu, Alan."
"Jangan cerewet, Andrew, ini bukan urusanmu!" kata Alan meradang
"Well, it's okey. Tapi saranku, jangan sakiti orang yang tak pantas kau sakiti, dan jangan hancurkan masa depanmu gara-gara dendam, dude! Hidupmu itu berharga."
"Aku tahu itu."
Angel menyibukkan diri di kantor, baru kali ini dia merasa begitu betah di sini. Andai saja bisa, dia benar-benar rela untuk pindah rumah di sini dan menghindari hari esok. Ya, lusa adalah hari di mana dia harus pindah ke rumah suami yang belum pernah dilihatnya. Sejenak dia menatap langit-langit ruangan yang bernuansa putih, sesekali dia memijit-mijit alisnya dengan kedua tangan dan meraih liontin berbentuk hati di lehernya. Liontin perak yang begitu indah, dibukanya liontin itu, nampak fotonya bersama Steave terlihat gembira, tanpa beban dan penuh cinta.
"Ini hanya pernikahan di atas kertas, yakinlah hatiku takkan pernah mengkhianatimu," gumam Angel dalam hati.
"Hey! Melamun aja. Sudah jam enam, ayo pulang, nanti kemalaman," tegur Lisa sambil mengemasi barang-barangnya ke dalam tas.
"Aku masih mau di sini, mungkin jam sembilan akan pulang," Lisa mengerutkan keningnya mendengar ucapan Angel "Oh, aku sedang pusing di rumah, rasanya banyak beban dan tak ingin pulang," jelas Angel mengetahui kalau Lisa berpikiran yang tidak-tidak.
"Ngel, kau tak boleh lari dari masalah. Seberat dan sebesar apa pun masalahmu, kau harus menghadapinya. Kalau kau lari dari masalah, kau tak akan pernah menyelesaikannya, tapi malah membiarkannya berlarut-larut." Nampaknya ucapan Lisa berhasil menyirami hati Angel. Seperti impuls yang sangat kuat Angel pun mulai tabah menghadapi semua cobaan yang menimpanya.
"Terima kasih, Lisa. Kau tahu, kau sahabat terbaikku," kata Angel sambil memeluk erat tubuh ibu satu anak ini.
"Ehm, atau kau cuma pura-pura di sini karena kau sudah tahu jika CEO perusahaan ini adalah lelaki lajang yang sangat tampan, iya?" selidik Lisa mencoba mengalihkan pembicaraan, dia tidak mau membuat Angel larut dalam kesedihan, tapi Angel malah bingung sendiri dibuatnya.
"Kau belum tahu kalau CEO perusahaan ini terkenal dengan ketampanannya?" Angel menggeleng kepala dengan tampang bodohnya, Lisa menghela napas panjang.
"Ya, ampuun ... Please, Ngel, hampir seluruh karyawan yang ada di sini saling berebut untuk ketemu dengannya, katanya CEO kita itu super tampan, terlebih dengan tangan dinginnya dia mampu mengembangkan perusahaan sampai di berbagai belahan dunia, dan katanya masih muda," jelas Lisa girang.
"Katanya?"
"Iya, karena aku tak pernah liat sendiri, dia itu misterius orangnya, hampir tidak mau bertemu dengan karyawannya, jadi yang bisa melihat ketampanannya hanya sekretarisnya, Tuan Andrew, dan Tuan Nick saja."
Angel pun tertawa terpingkal, "Ya, Tuhan, kau ini ada-ada saja. Sudah malam, kau pulanglah dulu, nanti anak dan suamimu mencarimu."
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan, tadinya Nick bersikekeuh untuk menemani Angel lembur, tapi Angel terpaksa menolaknya. Dia tidak mau dicap wanita gampangan yang dengan mudah bisa jalan dengan lelaki mana pun, terlebih statusnya menjadi seorang istri meski dia sendiri tidak tahu siapa suaminya. Tapi tatapan itu membuat hati Angel kelu, seperti ada dendam dalam sorot mata cokelat itu. Entah siapa, entah kapan pernah berjumpa lelaki tampan itu seperti tak asing lagi baginya.
Angel melangkah gontai setelah turun dari taxi, dia melihat rumah mewah bergaya Eropa dengan nuansa putih dan emas. Ya, rumah ini adalah rumah suaminya. Rumah orang yang membelinya demi menyelamatkan perusahaan yang hampir bangkrut, tapi dialah yang menjadi korbannya. Angel beberapa kali menghela napas panjang. Nampak seorang pembantu paruh baya menyambutnya dengan senyum lebar.
"Nona William?" tanya pembantu itu ragu, Angel membalasnya dengan anggukan dan senyum setengah dipaksa.
"Ya, Tuhan, bukan hanya namanya yang cantik, orangnya juga cantik seperti malaikat, mari saya antar. Tuan Alan sudah mempersiapkan semuanya untuk Nona" Bibi itu menuntun Angel masuk ke kamarnya.
"Oh, ya, Nona panggil saja saya Sofie, jika Nona butuh bantuan langsung panggil saya tak usah sungkan."
"Iya, Sofie, Terima kasih," kata Angel sambil mengekor di belakang Sofie.
"Tadi Tuan Alan berangkat ke kantor pagi-pagi sekali, jadi beliau hanya berpesan jika Nona nanti jangan lupa makan siang."
"Suami macam apa istrinya datang malah kabur!" umpat Angel dalam hati.
"Jadi, mulai sekarang saya memanggilmu apa? Nyonya Fernando?" tanya Sofie lagi, Angel terdiam, belum menjawab pertanyaan itu.
Nyonya Fernando? Sungguh, dia enggan mengganti nama William yang tersemat manis di namanya, terlebih harus mengganti dengan nama Fernando. Nama yang mulai beberapa waktu yang lalu dibencinya. Nama yang memandang seseorang tak ubahnya seperti barang, dan membelinya sesuka hati. Seolah hak untuk menolak, hak untuk hidup tidak ada lagi.
"Jangan, cukup panggil Angel. Aku belum terbiasa dengan sebutan itu," kilah Angel, Sofie mengangguk, kemudian berpamitan pergi. Mempersilakan Angel untuk masuk ke dalam kamar dan beristirahat, mungkin.
Setelah berbenah menaruh semua baju-bajunya ke lemari dan kosmetiknya di meja rias, Angel merebahkan tubuhnya. Belum sempat dia terpejam sosok yang membuat bulu kuduknya merinding itu pun datang. Wajahnya begitu tampan dengan kulit kecokelatan, mata cokelat yang selalu menatapnya penuh kebencian, entah dendam apa yang dialami lelaki itu. Tapi, wajahnya begitu tidak asing di matanya.
"Bagaimana, merasa bangga kalau kau kubeli dengan harga cukup tinggi?" kata lelaki itu tanpa basa basi, tubuhnya bersandar di pintu kamar yang terbuka, dengan kaki disilangkan, kedua tangannya dimasukkan di saku celana kerjanya.
"Tenang saja, uang segitu tak akan ada artinya untukku, jadi kau tak perlu merasa kalau dirimu itu istimewa."
Ya, suara itu, Angel ingat betul suara lelaki ini, "A-Alan," kata Angel lirih, lelaki yang membuatnya trauma beberapa tahun silam adalah ... suaminya.
Alan tersenyum tetap dengan tatapan dinginnya dia melangkah mendekati Angel, tapi secara spontan Angel melangkah ke belakang membuat Alan membuang mukanya.
"Kau tak perlu takut, Angel, kau tahu meski kau telanjang di depanku pun, aku tak akan sudi menyentuhmu. Karena aku jijik menyentuh pelacur sepertimu!" kata Alan langsung membanting pintu dari depan, tubuh Angel bergetar, air matanya mengalir tanpa henti. Dari sekian banyak lelaki kenapa, kenapa harus Alan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top