Tahun Baru yang Cerah - 3
Demam si gadis semakin tinggi begitu malam turun; kulit putihnya sampai memerah di beberapa bagian. Mengompres keningnya saja tak akan cukup, jadi Pete dengan telaten menepuk-nepukkan handuk lembap ke wajah dan leher gadis itu. Pete juga memberi si gadis obat penurun panas dan sering menawarinya air minum, berharap itu dapat menurunkan demam lebih cepat.
Hebatnya, meskipun pasti menderita karena flu, si gadis tidak rewel atau merintih. Ia terus tersenyum dan banyak bertanya tentang penolongnya, juga Kota Mineral.
"Aku mendengar musik waltz," ucap si gadis pada satu titik pembicaraannya dengan Pete.
"Itu dari Lapangan Mawar. Ada pesta dansa tahun baru untuk orang-orang muda di sana."
"Begitukah?" Si gadis menatap Pete dengan rasa bersalah. "Apa karena aku, Pete jadi tidak bisa pergi? Maaf ...."
"Tak perlu minta maaf. Aku dari awal tidak berencana pergi, kok." Pete melipat handuk lembap kecil dan meletakkannya kembali di kening si gadis. "Tidak asyik menghadirinya kalau tak punya pacar."
"Pete tak punya pacar? Mustahil," kata si gadis tak percaya. Pete mengangkat alis bingung.
"Memangnya mengapa mustahil?"
"Pete kan baik."
Pete tersenyum, hampir tertawa. Keluguan gadis ini menyerupai May, satu-satunya gadis yang belum remaja di kota, yang saking lugunya pernah menawarkan diri untuk jadi istri Pete 'kalau sudah besar'. Alasannya sama: karena Pete baik.
"Butuh lebih dari sifat baik biar bisa punya pacar. Wajah tampan atau pekerjaan yang keren, misalnya?" Pete bersandar ke kursinya. "Aku cuma seorang petani. Lagi pula, aku tidak sebaik yang kaupikir."
... sebab kalau Pete memang sebaik itu, ia pasti tidak akan dibenci dan dikucilkan hampir seluruh Kota Mineral.
"Aku tidak mengerti," ujar si gadis lirih. Entah apa yang tidak dia mengerti: mengapa Pete tetap tidak punya pacar meskipun menurutnya pemuda itu baik? Mengapa orang harus tampan dan kaya biar punya pacar? Atau mungkin, gadis itu sudah lelah dan sedang mengigau saja?
"Apa kau terganggu dengan musiknya?" Pete mengalihkan pembicaraan. Gadis itu menggeleng dan–akhirnya–memejam untuk waktu yang lama.
"Aku ingat sesuatu lagi ...."
Pete menegakkan punggungnya. "Apa itu?"
"Aku juga berdansa dengan Paman di kapal. Pakai musik polka. Kami lalu minum anggur dan makan makanan enak. Paman itu mentraktirku semuanya. Kami ngobrol macam-macam–uh, aku lupa mengobrol apa, tapi Paman juga sendirian sepertiku. Keluarganya ada di tempat yang jauh ... dan aku tidak suka melihat wajah sedihnya. Itu seperti melihat wajahku sendiri ...."
Si gadis meneteskan air mata lagi–dan Pete tak bosan-bosan menghapusnya.
"Tapi ketika kalian sedang berdua, kesepian itu hilang, bukan? Itulah yang penting," kata Pete.
"Mm. Sepertinya baru pertama kali itu aku tidak merasa kesepian. Senang sekali akhirnya punya teman ...." Si gadis tertawa sengau; Pete bisa membaca betapa kacau perasaan orang yang ditolongnya ini. "Paman tak percaya aku sendirian selama ini soalnya katanya, senyumanku bagus dan mataku cerah. Orang seperti itu pasti bakal menjalani kehidupan yang cerah juga .... Seperti namaku ...."
Musik waltz Lapangan Mawar meredup di telinga Pete.
"Claire. Claire adalah namaku, artinya 'cerah' atau 'jernih'. Paman bilang namaku cocok sekali .... Karenanya, aku tidak boleh putus asa .... Harus hidup dengan bahagia ...."
Claire–gadis malang yang akhirnya ingat namanya itu–melanjutkan dalam bisikan yang menyayat hati Pete sebelum jatuh tertidur.
"Aku ingin hidup bahagia seperti yang dia bilang, tapi Paman–teman pertamaku–sudah tidak ada di dunia ini lagi ...."
***
Dari awal, Claire sepertinya sudah tahu selamat dari kecelakaan kapal membutuhkan mukjizat. Mukjizat itu tidak disediakan Tuhan untuk semua orang dan besar kemungkinan Paman bukan orang yang beruntung. Namun, Claire masih berharap pria tua baik hati itu selamat–sebab orang itulah yang paling berharga dalam hidup sepinya. Teman pertamanya. Kalau Paman tak ada, maka mungkin tak ada pula hal yang cukup berharga untuk membuat Claire bertahan hidup.
Ironisnya, Paman juga yang bilang bahwa Claire harus hidup dengan baik.
Pete bisa menyebarkan informasi tentang Claire ke pelabuhan atau menyurati surat kabar, tetapi bagaimana jika tidak ada yang datang menjemputnya? Bagaimana jika Paman adalah satu-satunya orang yang mungkin datang untuknya, padahal orang itu pasti sudah meninggal dalam kecelakaan kapal? Jika demikian, satu-satunya 'masa depan' yang menanti Claire adalah kehidupan di Kota Mineral.
"Masa depan di kota yang mau mati ini," desah Pete lirih, "memangnya bisa cerah?"
Tiba-tiba, Pete merasa jahat. Tidakkah ia seperti mendoakan Claire agar selamanya hidup sengsara dalam kota kecil menyesakkan ini–sepertinya, yang dikucilkan warga Kota Mineral?
Claire tak melakukan kesalahan apa-apa. Ia berhak untuk membangun ulang hidupnya serta meninggalkan hidup lamanya yang menyakitkan di kota asal. Hidup Pete memang sudah hancur di Kota Mineral ini, tetapi dia bisa membantu Claire menyongsong 'masa depan cerah' yang Paman janjikan. Pete bisa membuat Kota Mineral jadi surga baru buat Claire; siapa tahu, dengan begitu cintanya pada kota ini bisa ikut pulih?
Pukul sepuluh malam, Pete menguap sampai matanya berair. Ia berjalan dengan malas, melangkahi Tim yang sudah tidur duluan, untuk mencoret angka 1 di kalender musim semi. Ketika melakukannya, Pete tahu-tahu terngiang suara seorang gadis yang selalu jadi rekan dansa tahun barunya, dua tahun belakangan.
"Selamat tahun baru, Pete! Tahun ini pun, semoga panenmu lancar terus!"
Suara gadis ini biasanya didengar Pete tidak lama sebelum mencoret kalender, salam penutup kencan yang menyenangkan. Pengucapnya sudah pergi dari Kota Mineral, tetapi Pete masih mendengarnya sekarang dalam benak.
Mengembuskan napas panjang, Pete meletakkan spidol di meja teve, lalu kembali duduk di samping ranjangnya yang ditiduri Claire. Ia mengambil selapis selimut untuk dirinya sendiri, berniat tidur sambil duduk saja karena sewaktu-waktu, Claire mungkin membutuhkannya. Oh, dengan demam tinggi, luka-luka, dan batuk separah tadi, Claire pasti membutuhkannya.
Menyandari dinding untuk bersiap tidur, sejenak Pete memandangi wajah Claire yang lembut. Memandang wajah itu ternyata cukup membantunya melupakan segala masalah yang terjadi musim lalu. Wajah yang damai dan cerah meskipun tercoreng air mata; Paman benar soal kecocokan namanya. Pria tua itu harusnya benar juga soal kecerahan masa depan si gadis.
"Selamat tahun baru, Claire," ucap Pete tanpa mengharapkan balasan, tak sadar sudah bersikap seperti mantan teman kencannya di penghujung tanggal 1 Musim Semi. "Semoga tahun ini menjadi tahun yang lebih cerah bagimu." []
Tanggal 1 Musim Semi, Tahun Pertama
[Claire]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top