Tahun Baru yang Cerah - 2
"Kau butuh tidur setelah semalaman menunggu matahari terbit. Selain itu, kaukira apa reaksi Rick jika tahu pacarnya terlambat pulang dan malah dimanfaatkan laki-laki asing?"
Karen mengernyit. "Kau bukan laki-laki asing. Kau sahabatku dan sahabat Rick juga."
"Karen," potong Pete, "sejak akhir musim gugur kemarin, aku bukan sahabat siapa-siapa di Kota Mineral. Aku cuma tukang provokasi yang memicu semua orang muda meninggalkan kota ini. Pada akhirnya, aku akan membunuh Kota Mineral, lalu dengan seenaknya membawa kekayaan hasil bertani kembali ke kota asalku. Begitu kan yang mereka bilang di Lapangan Mawar?"
Karen tidak bisa mengatakan apa-apa lagi. Matanya menyendu–dan Pete jadi merasa bersalah. Gadis berambut cokelat panjang itu adalah satu-satunya kawannya di Kota Mineral setelah musim gugur tahun ketiga, tetapi Pete ternyata tidak bisa sedikit saja bersikap menyenangkan. Putus asa sendiri, Pete membuka pintu rumah, tadinya buat menyilakan Karen pulang saja, tetapi ternyata di ambang pagar, sudah berdiri tiga orang perempuan yang berbisik-bisik entah apa. Dua di antara perempuan-perempuan itu langsung berpaling begitu Pete membuka pintu. Satunya, yang bersanggul kecil dengan warna rambut sama seperti Karen, menyapa canggung.
"Oh, halo, Pete .... Aku datang menjemput Karen. Kami mau masak hidangan tahun baru."
Bohong. Karen tidak bisa memasak walaupun suka, maka pasti ia tak pernah diajak ke dapur. Selain itu, Manna, Anna, dan Sasha–ibu-ibu tukang gosip yang lebih cepat menyebar berita dibanding surat kabar–pasti tahu soal gadis terdampar yang baru Pete tolong. Mereka datang cuma karena penasaran. Bisa-bisanya mereka cuma mengintip dari pagar, padahal Pete, Dokter, Elli, dan Karen sudah jungkir balik untuk menyelamatkan si gadis pirang.
Meskipun begitu, Pete masih tersenyum sesantunnya.
"Ya, Sasha–"
"Ibu!" Sebelum disilakan pergi, rupanya Karen melesat duluan, keluar rumah Pete. Si petani muda masih bisa mendengar desisan Karen ketika gadis itu dan tiga perempuan lainnya berjalan menjauh.
Kalau tahu Pete kesulitan, masuk dan bantu, dong, bukannya bergosip! Memalukan!
Pete membuang napas panjang. Belum-belum, paginya sudah kacau hingga ia baru bisa bernapas sekarang. Tim menghampirinya, tahu kalau majikannya lelah, dan Pete berlutut untuk membelainya.
"Tim, tolong jaga gadis itu untukku selagi aku bekerja. Aku akan segera kembali."
***
Memangkas rumput untuk pakan ternak. Mencangkul. Menyemai benih-benih musim semi. Mengeluarkan ayam-ayam dari kandang ke area berpagar di kebun. Memberi makan sapi, domba, dan ikan. Memerah sapi-sapi. Mencukur domba-domba yang sudah terlalu lebat bulunya. Memanen sayur-mayur dalam rumah kaca, juga madu dan telur. Menyikat kuda dan mengeluarkannya dari istal agar bisa berlari bebas. Meramban rebung dan Rumput Biru. Setiap satu atau dua pekerjaan selesai, Pete akan menyempatkan diri menengok si gadis pirang, tetapi gadis itu baru sadar setelah Pete pulang dari pemandian air panas di bukit, sore hari sekitar pukul lima.
Si gadis pirang punya mata biru yang lebar dan indah. Pete tertegun beberapa saat ketika mata berbingkai garis air mata yang masih basah itu menatapnya–hingga ia sadar tatapan si gadis sebenarnya sarat ketakutan.
"Siapa?"
Akhirnya satu lagi kata terucap jelas dari si gadis, sebuah kata selain 'Paman'. Pete menarik kursi kecil mendekati ranjang.
"Aku Pete. Salam kenal."
Tatapan si gadis melunak. "Aku—"
Pete menunggu si gadis mengucapkan nama, tetapi yang mengejutkan ...
"—siapa?" Gadis itu mengedarkan pandang ke sekeliling. "Di mana ini?"
"Ini rumahku. Aku menemukanmu terdampar di pantai, jadi aku membawamu pulang untuk menolongmu. Dokter juga sudah merawat lukamu dan memberikan beberapa obat," jelas Pete lambat-lambat. "Bagaimana keadaanmu? Butuh sesuatu?"
"A–" Si gadis mendadak terbatuk-batuk keras. Pete mendengar dahak bergulung-gulung dalam tenggorokan si gadis, jadi ia mengambil piala ginjal yang sengaja Dokter tinggalkan untuknya. Ia mengangkat sedikit punggung si gadis dan meletakkan piala ginjal di bawah mulutnya.
"Ludahkan."
Si gadis meludahkan lendir kehijauan yang amat lengkeh dengan susah-payah ke piala ginjal. Pete jadi teringat pesan Dokter.
"Dia bisa saja mengalami radang paru-paru karena sempat tenggelam."
"Setiap batuk, meludah saja ke sini, jangan ditelan lagi karena akan buruk buatmu." Pete mengulang persis instruksi Dokter sebelum menyisihkan piala ginjal. Lemah gadis itu mengangguk; kepalanya kemudian terkulai kembali ke atas bantal.
"Lapar?"
Tangan si gadis tersembunyi di bawah selimut, tetapi Pete tahu tangan gadis itu bergerak memegangi perut. "T-Tidak–"
Namun, Pete mendengar gemuruh bersuara rendah dari balik selimut dan tak bisa tak tersenyum. Ia pun beranjak ke dapur.
"Aku juga lapar. Kuharap kau suka setup sayuran dengan kaldu ikan."
***
Setup Pete berisi kentang, wortel, rebung, dan jamur yang direbus sampai lunak, diaduk dalam kuah kental dari kaldu ikan dan tepung, lalu disedapkan garam-gula serta bawang merah. Aroma gurihnya sangat menggiurkan. Pete berharap setup itu cukup memulihkan tenaga dan memuaskan mulut alih-alih membuat si gadis sakit perut.
"Tunggu giliranmu, Tim," usir Pete pada Tim yang mengekorinya sambil menggonggong. "Kau tak bisa makan ini."
Gadis di atas ranjang Pete menatap mangkuk yang mengepulkan uap dengan kagum dan penuh harap. Ekspresinya yang lucu tak serasi dengan perban yang melilit kepalanya dan infus yang menancapi lengannya.
"Baunya enak ...."
Sepertinya gadis itu baru saja mengungkapkan pikiran tanpa sengaja. Pete tertawa juga setelah beberapa saat menahannya.
"Baguslah kau masih punya nafsu makan," kata Pete, dan gadis itu tampak malu. Pete mengalihkan perhatian gadis itu dengan menata bantalnya supaya agak tinggi, tips dari Dokter agar si gadis tidak tersedak saat makan. "Aku akan menyuapimu."
Si gadis menjadi panik dan sungkan. "Aku bisa sendiri ...."
"Hm? Kalau begitu," Pete mengangkat sendok dari mangkuk setup, "coba ambil ini dariku dulu."
Sendok Pete berada dalam jangkauan si gadis, tetapi tidak cukup dekat untuk diraih tanpa mengangkat tangan agak tinggi. Plus, tangan gadis itu ada di dalam selimut; ia harus menyibak selimut dua lapis dulu agar bisa mengeluarkan tangannya.
"Uh ...." Tangan si gadis bergerak-gerak di bawah selimut. "T-Tunggu ...."
Pete menunggu. Si gadis sepertinya menekuk lengannya di bawah selimut untuk mengeluarkannya dari atas tanpa menyibak selimut. Itu tak masalah andai dia tahu seberapa jauh harus menekuk lengan tanpa menggencet jarum infus di dalam siku atau menarik selang infusnya. Sayangnya, dia tidak tahu–dan memekik kesakitan kemudian.
Pete menyisihkan mangkuk dan sendok untuk mengecek lengan si gadis di balik selimut. Begitu selimut disibak, gadis itu menggigil lagi–dan tampaklah sikunya yang tertekuk tepat di titik jarum infus menancap. Pasti itu yang membuatnya memekik tadi.
"Maaf, harusnya aku tak mengujimu begitu," ucap Pete lirih, dengan hati-hati meluruskan tangan gadis itu lagi. Jarum infus tidak lepas, tetapi darah gadis itu naik sedikit ke selang. Menerapkan cara mengatur laju infus yang Dokter ajarkan, Pete membilas darah itu agar masuk lagi, lalu membenahi selimut si gadis.
"Pete, jangan repot-repot ...."
Gadis yang keras kepala–atau mungkin dia cuma sungkan. Pete mengambil lagi mangkuk setup, menyendok sedikit, dan meniup pelan isi sendok agar tak terlalu panas.
"Manusia punya batasan masing-masing yang bahkan tidak bisa dilampaui meskipun berusaha keras. Saat itu, kau harus bergantung pada orang lain." Pete mendekatkan kepala sendok ke mulut si gadis. Suapannya diterima dengan lambat, tetapi sebentar saja, si gadis sudah menelan. Sayur-sayuran dalam setup memang sangat lunak; dikulum saja sudah lumat ke dalam kuah.
"Kalau tidak enak atau ingin berhenti, bilang saja." Pete menyendok suapan berikutnya.
"Enak, kok." Lucunya, mata si gadis berlinang-linang ketika mengatakannya. "Enak sekali ...."
"Kau menangis, tuh. Kalau rasanya aneh–"
"Enak," sela si gadis dengan mantap, tetapi sengau. "Aku menangis ... karena kupikir tidak akan bisa makan seperti ini lagi ...."
Senyum Pete memudar walau tidak sepenuhnya hilang. Buat gadis yang terombang-ambing semalam penuh di lautan demi memperjuangkan hidupnya, kedinginan dan terluka sendirian, sampai hilang ingatan pula, bisa makan makanan sederhana dalam rumah yang hangat adalah sebuah kemewahan.
"Kau bisa makan ini sebanyak yang kaumau." Pete menyuapkan lagi sesendok setup dan si gadis menerimanya.
"Terima kasih banyak, Pete." Itu 'terima kasih' paling tulus yang pernah Pete dengar; bukan sekadar syarat sopan-santun, tetapi betulan bersyukur. "Kau juga harus makan, ya ...."
Lihat siapa yang mengurusi siapa sekarang.
***
Si gadis mengalami beberapa periode batuk yang parah hingga harus berhenti makan sementara, tetapi isi mangkuk yang sedikit itu akhirnya habis juga. Pete sudah menakar agar isi mangkuknya tidak berlebihan untuk perut yang baru saja diguncang air laut, apalagi perut seorang perempuan. Walaupun begitu, si gadis kelihatannya masih bisa menampung beberapa sendok setup lagi, tampak dari sorot matanya saat Pete mengambil setup untuk dirinya sendiri.
"Mau tambah?" tawar Pete. Si gadis mengalihkan pandang dari mangkuk setup Pete dengan malu.
"Pete harus makan."
"Aku bisa menyuapimu lagi."
Si gadis menggeleng. "Sudah kenyang."
Pete mengedikkan bahu sebelum mulai menyuap. Ia dan gadis itu tidak saling bicara selama beberapa saat; bunyi Tim mengunyah makanannya saja yang mengisi rumah. Tidak tahan dengan suasana dingin ini, Pete lebih dulu memulai percakapan.
"Sudahkah kau mengingat apa yang terjadi sebelum terdampar? Siapa namamu dan dari mana asalmu?"
Pete tidak langsung memperoleh jawaban.
"Aku ... cuma ingat naik kapal. Aku berkenalan dengan seorang pria tua yang baik. Tujuan kami sama, lalu kami berteman."
"'Paman' itu, ya," ucap Pete, mengejutkan si gadis. "Kau memanggilnya beberapa kali. Jadi, dia cuma pria tua asing yang kautemui di kapal, bukan keluargamu?"
"Benar. Dia membantuku naik ke sekoci, lalu menghilang untuk membantu penumpang lain. Dia harusnya naik denganku saja." Pandangan si gadis menerawang ke langit-langit. "Semoga dia selamat ...."
Kemungkinan besar tidak, Pete menanggapi dalam hati. Ia telan saja tanggapan itu bersama sesendok setup, tidak mau menyakiti gadis rentan di atas ranjangnya.
"Kaubilang kalian satu tujuan. Ke mana kalian akan pergi?"
"Aku tidak tahu." Sebentar kemudian, si gadis terdengar sangat letih. "Aku hanya ingat sangat ingin pergi dari tempat asalku, yang entah di mana."
"Mengapa?"
Si gadis diam, tetapi air matanya mengalir. Deras. Sebentar saja, terbentuk bercak basah yang lebar di sisi sarung bantal putih penyangga kepalanya.
Tahu si gadis belum cukup kuat untuk menyeka air matanya sendiri, Pete menyisihkan setupnya, mengambil saputangan, dan menghapuskan air mata si gadis.
"Maaf. Aku akan berhenti bertanya, tetapi jika kau berhasil mengingat sesuatu, beritahu aku," kata Pete. "Itu akan membantu kami mencari kerabatmu."
"Mm," angguk si gadis sebelum tersenyum getir, "walaupun aku tidak merasa punya satu, sih. Entahlah."
Jika Pete berada dalam situasi seperti gadis ini, ia yakin pasti masih akan ingat samar-samar tentang orang tuanya di kota asal, mendiang kakeknya, atau beberapa penduduk Kota Mineral. Ada ingatan-ingatan yang menancap begitu kuat karena perasaan pemiliknya ketika menghidupi ingatan itu. Jadi, kalau gadis ini sangat yakin dia tidak punya keluarga dan teman, maka mungkin begitulah kenyataannya. Ditambah fakta bahwa ia ingat si 'paman' sebagai satu-satunya orang yang dibilangnya baik, juga keinginannya untuk pergi dari 'rumah', Pete menyimpulkan kehidupan gadis itu sebelum tragedi sama saja buruknya.
"Maaf kalau aku melupakan semuanya dan menyulitkanmu, Pete," ucap si gadis. "Pasti repot sekali tiba-tiba harus mengurus orang sakit yang tidak bisa apa-apa .... A-Aku akan berusaha agar cepat sehat dan mencari pekerjaan–"
Si gadis tersedak lagi karena bicara terlalu cepat. Ia lantas batuk-batuk, jadi Pete membantunya duduk sedikit dan menuntunnya untuk meludahkan dahak ke piala ginjal. Lendir kehijauan kini bercampur beberapa garis merah. Badan gadis itu yang tadi pagi dingin, kini terlampau panas dan berkeringat di punggung.
Sesuai antisipasi Dokter. Pria yang hebat.
... maka sesuai pesan Dokter juga, Pete menyibakkan selimut tebal yang berada di lapis terluar tubuh si gadis, menyisakan selembar selimut yang lebih tipis. Ia mengisi baskom baru dengan air, mencelupkan handuk kecil, dan memerasnya hingga lembap.
"Tidak perlu terburu-buru," kata Pete sembari meletakkan handuk lembap ke kening si gadis. "Banyak peluang buatmu di Kota Mineral ini, tapi itu bisa menunggu. Istirahatlah dan jangan berpikir macam-macam dulu."
Di bawah keremangan cahaya lampu pijar, mata biru si gadis masih berkilauan ketika menatap Pete. Tidak pernah ada gadis yang menatapnya seperti itu, tidak pula gadis yang pernah menjadi pujaan hatinya, yang pergi musim panas lalu. Namun, pada satu titik, mungkin Pete-lah yang pernah menatap pujaan hatinya seperti gadis ini menatapnya sekarang.
Keharuan berubah menjadi kepanikan ketika si gadis pirang mencebik, lalu menangis, kali ini sampai tersedu-sedu. Kata-katanya menjadi sangat sengau dan kedengaran aneh, tetapi Pete yang awalnya panik malah jadi geli mendengarnya.
"T-Terima–ghasi ... Pete .... Ngamu–sangat–baing ...."
Terima kasih, Pete, kamu sangat baik.
Setelah semua yang terjadi tahun lalu antara Pete, gadis pujaan hatinya, dan penduduk Kota Mineral, pujian gadis pirang ini terdengar sangat berharga. Pete menutupi rasa harunya dengan tertawa.
"Bicara yang benar." []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top