Tahun Baru yang Cerah - 1
[Pete]
Tanggal 1 Musim Semi, Tahun Keempat
Menyalahi kebiasaannya, hari ini Pete terbangun pukul lima pagi akibat sebuah dorongan samar untuk melakukan sesuatu. Ini bukan dorongan bangun pagi yang biasa, di mana ia harus bangun sedini mungkin untuk menanam benih, menyiram tanaman di lahannya, dan merawat ternak. Lagi pula, pemuda itu bisa bangun pukul enam alih-alih pukul lima; semua pekerjaannya akan tetap selesai sebelum Zack datang membeli apa pun isi keranjang panennya.
Ada sesuatu yang lebih istimewa hari ini, tetapi Pete yang masih linglung karena mengantuk tidak bisa mengingatnya. Itu hingga ia menonton teve–dalam keadaan bersih dan sudah ganti baju–sambil sarapan pada pukul lima lima belas.
"Tahun ini akan diawali dengan cerah-ceria! Suhu udara mulai meningkat, tetapi masih berada di bawah sepuluh derajat, jadi jangan lupa mengenakan pakaian hangat!"
Gaya eksentrik penyiar cuaca tidak lagi menarik perhatian Pete. Apa yang dikatakan sang penyiarlah yang lebih menarik.
"Ah, benar, tahun baru."
Anjing gembala Pete–yang makan dari mangkuk di samping kursi tuannya–menggonggong sekali dan menggoyangkan ekornya, seakan membenarkan ucapan sang majikan. Pete tersenyum tipis melihat anjingnya yang energik itu.
"Selamat tahun baru, Tim," ucap Pete pada anjingnya sebelum lanjut menyantap roti isinya.
Begitu mendapat ucapan selamat, Tim meninggalkan mangkuknya dan menumpukan kedua kaki depan di pangkuan Pete.
"Tidak, Tim. Aku tak bisa memberimu bola mainan lagi untuk hadiah tahun baru. Kau tahu betapa mahalnya Won menjual itu," canda Pete sembari membelai kepala anjingnya. "Tapi, aku akan memberimu tahun baru yang berbeda dari sebelumnya, segera."
Teve dimatikan. Pete beranjak keluar rumah diikuti Tim yang setia. Namun, ketika Pete berbelok ke pagar, Tim malah berjalan ke arah lain dengan percaya diri.
"Bukan ke sana, Bocah," gumam Pete sebelum bersiul memanggil Tim. Anjing itu berbalik, tetapi tidak segera menyusul Pete yang sudah berada di ambang pagar. Tim menggonggong sekali.
"Jangan bingung," sahut Pete. "Sudah kubilang, kan: aku akan memberimu tahun baru yang berbeda, jadi bukan ke puncak Bukit Ibu tujuan kita."
***
Pete tidak mengerti mengapa bahkan orang-orang tertua di desa ini masih mau bersusah payah mendaki ke puncak Bukit Ibu demi sepotong matahari terbit. Momen itu terjadi setiap hari, termasuk di tahun baru, jadi apa istimewanya? Selain itu, jika memang matahari terbit tahun baru sebegitu penting, mengapa tidak menikmatinya dari tempat yang lebih mudah dijangkau, yaitu Pantai Mineral?
Kota Mineral memang begitu kecil. Sekecil itu, hingga puncak bukit dan tepi pantainya dapat menyajikan pemandangan yang mirip. Pete mempelajari fakta ini berangsur-angsur setelah iseng merayakan Festival Malam Bintang, Festival Bulan, dan Festival Kembang Api di lokasi yang berbeda dari kebanyakan orang. Langit pada hari-hari itu ternyata sama indahnya, mau dari puncak bukit atau dari pantai, makanya ia ingin mencoba menikmati matahari terbit Tahun Baru dari pantai alih-alih puncak bukit seperti yang disarankan penduduk.
Musim semi telah tiba di Kota Mineral tepat tengah malam, tetapi musim sebelumnya masih menyisakan lelehan salju serta angin dingin. Untung Pete mengenakan jaket dan syal kumalnya sebelum pergi; angin berembus paling kencang di tepi pantai. Mengabaikan hal itu, Pete berdiri di ujung dermaga, dikelilingi kapal-kapal yang ditambatkan, sebelum meniupkan residu napasnya ke atas. Kabut putih terbentuk sekejap sebelum hilang.
Begitu matahari terbit, seluruh salju akan meleleh, Moondrop akan berbunga ... dan aku akan kembali menanam benih, seperti tidak ada yang terjadi tahun lalu.
Pete menggelar tikar tebal di dermaga, lalu duduk di atasnya agar bokongnya tak basah kena lelehan salju. Tim melihat itu sebagai kesempatan emas; ia melompat ke pangkuan sang tuan tanpa sadar berat badan.
"Urk! Oi, aku ini bukan meja pemanas pribadimu," keluh Pete walaupun akhirnya pasrah pada nasib. Dibiarkannya si anjing gembala menggulung tubuh untuk menghalau dingin.
Lembayung mulai menggantikan kegelapan malam. Air laut memantulkan sesedikit apa pun cahaya yang jatuh ke permukaannya. Pete membayangkan sebuah kapal akan muncul dari ujung horizon, semakin dekat, semakin dekat ... dan ia akan menumpang. Kapal khayal itu lantas berbalik ke arah datangnya, membawa Pete menjauh dari Kota Mineral–
"Tidak," bisik Pete pada diri sendiri. Tim mendongak ingin tahu dan mendapati majikannya bermuka sendu.
"Aku yang memilih untuk pergi ke Kota Mineral dan membangun ulang kebun milik Kakek, meskipun Ayah dan Ibu tak setuju. Kalau kita kembali ke kota, tentunya," senyum Pete pada Tim, "aku akan jadi pria paling memalukan, benar?"
Tim jelas tak mengerti, tetapi gonggongannya terdengar ceria. Pete mengusap kepala anjing itu dan kembali memandang horizon. Warna lembayung meninggi. Sangat perlahan, Pete merasakan udara ikut menghangat. Lembayung itu lantas menjadi jingga amat pucat, lama-lama kuning ....
Pete memejam dan menunduk. Berteman desir ombak kecil yang menyapu pesisir, ia berdoa, sesuatu yang hanya dilakukannya saat tahun baru di Kota Mineral. Tahun baru di kota asalnya dulu terlalu hiruk-pikuk, tak menyisakan ruang bagi Pete untuk mendengar harapannya sendiri.
Tuhan, tahun ini, terlepas dari semua hal yang telah terjadi, tolong buat aku bahagia di Kota Mineral.
... dalam bentuk panen melimpah, Tim dan hewan-hewan ternak yang sehat, atau sekadar hati yang dipenuhi syukur, Pete tak peduli apa bentuk kebahagiaan itu. Kota Mineral sejak musim dingin terakhir tak lagi terasa seperti rumah, tetapi jika ia pergi, maka tanaman-tanamannya akan layu, ternak-ternaknya akan mati, dan Tim akan hidup terlunta-lunta, mengais makanan sisa di jalanan kota. Lahan luas yang paling subur di kota akan kembali terbengkalai seperti saat mendiang kakeknya pergi ke surga.
Pete mendesah lemah saat membuka matanya. Napasnya tak lagi berubah menjadi kabut putih. Suhu udara cukup hangat sekarang–sebab matahari telah terbit cukup tinggi untuk menerangi seluruh Kota Mineral.
Pete menghela napas. Matahari terbit itu sama saja dengan matahari terbit lainnya, tetapi mengapa ia terenyuh menyaksikannya?
"Tim, lihatlah." Pete menepuk lembut punggung anjingnya. Yang dipanggil langsung melompat turun dari pangkuan, berdiri di atas keempat kakinya di dermaga, dan melolong–melolong–ke arah matahari terbit. Betapa dramatis. Pete tak bisa tak tertawa; meski sudah tiga tahun hidup bersama, kelakuan Tim kadang masih sulit ditebaknya.
"Di mana-mana, melolong itu harusnya ke arah bulan purnama, atau ke langit malam ... tapi terserah kaulah." Pete perlahan meluruskan kakinya yang agak keram habis diduduki Tim. "Mari kita pulang–jangan. Kita ke makam Kakek dulu, deh."
Pete pikir, begitu balik kanan, tahun barunya akan dimulai dengan langkah ringan penuh rindu ke pusara sang kakek, berdamping matahari musim semi yang hangat. Namun, baru seperempat putaran, sesuatu yang buruk serta-merta mengguncang awal tahun keempatnya.
Di atas pasir, dekat peti-peti kayu bekas berdagang yang ditumpuk acak, tertelungkup seorang gadis berpakaian koyak dengan rambut pirang panjang dimerahkan darah.
***
Penduduk Kota Mineral yang mendaki Bukit Ibu pada malam tahun baru baru akan kembali sekitar pukul tujuh, ketika salju telah meleleh sepenuhnya. Yang tidak mendaki akan tidur di rumah masing-masing.
Di pondok tepi pantai, tinggal Zack–kurir yang dulu membantunya menjual hasil kebun–dan Greg si nelayan tua. Pete tahu bahwa hanya Zack penghuni pondok pantai itu yang mendaki Bukit Ibu, maka di dalam, tentulah ada Greg yang bisa membantunya menyelamatkan gadis itu. Namun, saking jarangnya bertemu Greg, Pete lupa pria tua itu ada. Kelimpunganlah ia menyelamatkan gadis malang yang ia temukan seorang diri; Tim dimintanya mencari Dokter ke Bukit Ibu.
"Atau Elli." Terengah-engah panik, Pete memiringkan tubuh si gadis pirang. Air mengalir keluar dari bibir dan hidung gadis itu yang semula tersumbat pasir, membuatnya batuk dan tersedak-sedak. "Mereka pasti sedang menuruni bukit. Cepat!"
Tim menggonggong sekali dan berlari pergi. Pete berharap anjing itu tidak bertindak bodoh.
Si gadis pirang memuntahkan air keruh bercampur pasir sebelum menggigil hebat. Badannya semakin pucat, kontras dengan bibirnya yang merah kebiruan. Lewat lubang-lubang dari banyak robekan di bajunya, Pete menemukan beberapa lecet dan babras di kulit gadis itu. Namun, yang paling mengerikan adalah robekan di pelipis kanan si gadis; luka itu lebar dan darah yang mengalir dari sana banyak sekali.
"Sial," desis Pete. Ia melilitkan syalnya ke kepala si gadis seerat mungkin, lantas membungkus tubuh basah itu dengan tikar tebal yang ia bawa, sisi keringnya di dalam. Pete yakin, bagian dalam yang kering itu akan basah juga dalam sekejap, menyebabkan makin anjloknya suhu tubuh gadis itu.
'Perapian' merupakan hal pertama yang terlintas di kepala Pete. Ia hanya bisa mengakses perapian di rumahnya, maka segeralah dibopongnya si gadis dan berjalan pulang.
Tepat waktu, sesampainya Pete di rumah, Tim berlari dari seberang lahan–diikuti Dokter, Elli, dan–entah mengapa–Karen.
***
Gadis malang yang Pete temukan mungkin adalah korban kecelakaan kapal. Namun, Pete tidak melihat puing-puing kapal–atau tanda apa pun yang menandakan karamnya sebuah kapal–dekat garis pantai. Artinya, kapal gadis itu pasti karam jauh dari Pantai Mineral. Artinya lagi, untuk dapat mencapai pantai dalam keadaan hidup, ia harus tetap mengapung–atau bahkan berenang–sepanjang malam hingga cukup dekat dengan pantai sebelum tersapu ombak.
Pete pikir, kalau dia yang berada dalam situasi itu, dia jelas sudah mati tenggelam.
Mungkin gadis ini tidak malang-malang amat.
Tatapan Dokter pada Pete seolah mengatakan 'apa-lagi-yang-kaulakukan', tetapi mata pria itu berubah waspada setelah melihat gadis pirang berbungkus tikar di antara lengan Pete.
"Elli, tolong ambilkan tasku di Klinik. Pete, nyalakan perapianmu dan siapkan selimut kering. Karen, bantu aku melepaskan pakaian gadis ini dan mengeringkan tubuhnya."
Dokter bukan pria paling menyenangkan yang Pete kenal di Kota Mineral, tetapi kerjanya paling cekatan dan rapi dibanding pemuda-pemuda lainnya di kota itu, termasuk Pete sendiri. Terlepas dari pandangannya terhadap Pete, Dokter tahu prioritasnya adalah menyelamatkan gadis kapal karam itu, maka ia bekerja cepat memanfaatkan 'tim' yang dimilikinya. Pete bersyukur untuk itu; Elli bahkan masih sempat meliriknya tajam sebelum pergi mengambilkan alat Dokter ke Klinik.
Si gadis sempat terbangun beberapa kali selama dirawat, memanggil-manggil seseorang yang tak ada di sana. 'Paman', itu satu-satunya kata yang Pete tangkap jelas dari bibir gemetar si gadis. Pete jadi iba; mungkin dalam kesadarannya yang timbul-tenggelam, gadis itu teringat keluarga yang amat penting baginya–orang yang mungkin sekarang sudah tiada lagi di dunia ini, hanyut bersama kapal nahas itu.
Dokter tidak memberikan si gadis waktu istirahat. Gadis itu mengerang tak nyaman saat Karen–atas perintah Dokter–menggunting pakaiannya untuk memudahkan menelanjanginya. Ia merengek lemah (sebelum pingsan lagi) saat Elli dan Karen mengeringkan tubuhnya. Ia sedikit memberontak saat Dokter memasangkan jarum infus berukuran besar ke lengannya, tetapi Dokter memegang tangannya dengan kuat hingga ia tak dapat melawan lagi. Terakhir, Karen yang bicara–dengan agak lantang–untuk gadis itu.
"Tak bisakah kaubalut saja luka di kepalanya itu? Kau tidak lihat dia masih kesakitan? Jangan menjahitnya sekarang!" ucap Karen pada Dokter yang sedang menyiapkan perangkat menjahit luka.
"Tidak bisa, Karen." Elli, asisten Dokter sekaligus satu-satunya bidan di kota itu, bicara untuk atasannya dengan tegas. "Luka robeknya besar, dia kehilangan banyak darah dari sana. Hipotermianya akan semakin parah jika Dokter tak menjahitnya."
Dokter menatap Karen. Pete mengartikan tatapan itu sebagai 'kau-dengar-dia'. Ia pun mengenakan sarung tangan lateks dan berkata, "Kita mulai sekarang."
***
Sekitar pukul sepuluh pagi, rangkaian perawatan emergensi untuk si gadis baru selesai. Meski masih pucat, pipinya sudah mulai kemerahan dan bibirnya tak lagi membiru. Ia telah dipakaikan kemeja terkecil yang Pete punya dan diselimuti dua lapis. Cairan infus yang sudah dihangatkan seadanya menggantung di gantungan mantel dan mengalir setetes demi setetes, memasuki pembuluh darah lengannya. Luka robek di kepalanya sudah dijahit dan diperban rapi.
Dokter memberikan beberapa pesan perawatan untuk Pete sebelum kembali ke Klinik dengan Elli ('aku akan berkunjung setiap pagi untuk memeriksanya, tapi kalau kau merasa kondisinya memburuk, panggil aku kapan pun'). Karen bersikeras agar gadis itu dirawat di Klinik saja, tetapi Elli kembali menyanggahnya ('dia sudah stabil sekarang, lagi pula memindahkan pasien sepertinya membutuhkan ambulans meskipun tempat tujuannya dekat; menggendongnya di cuaca yang masih dingin begini sangat berbahaya', katanya sambil melirik Pete, seakan menyalahkan metode Pete mengangkut gadis itu dari pantai). Menyerahlah Karen akhirnya.
"Orang-orang sok pintar itu menjengkelkan sekali," keluh Karen seperginya Dokter dan Elli. Ia duduk di meja makan Pete sambil minum jus anggur liar yang Pete hidangkan selagi Pete sarapan–untuk kedua kalinya. Merawat si gadis butuh stamina ekstra, padahal Pete masih harus bersih-bersih kebun, menanam benih, dan mengurus ternak.
"Pete, aku bisa menjaga anak itu buatmu."
'Anak' yang Karen maksud pastilah si gadis pirang.
"Tidak perlu." Pete menandaskan air di gelas sebelum mengenakan topinya, bersiap ke kebun. "Kau butuh tidur setelah semalaman menunggu matahari terbit. Selain itu, kaukira apa reaksi Rick jika tahu pacarnya terlambat pulang dan malah dimanfaatkan laki-laki asing?" []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top